Вы находитесь на странице: 1из 13

BAB I PENDAHULUAN

I.I

Latar Belakang Saat ini, sebagian besar masyarakat di Indonesia telah banyak menggeluti profesi

peternak sapi, khususnya di wilayah pedesaan, baik pemeliharaan ternak secara personal maupun kelompok. Sapi adalah hewan ternak anggota familia Bovidae dan subfamilia Bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Hasil sampingan, seperti kulit, jeroan, dan tanduknya juga kemudian dimanfaatkan. Di sejumlah tempat, sapi juga dipakai untuk membantu bercocok tanam, seperti menarik gerobak atau bajak. Profesi peternak sapi ini cukup banyak menjanjikan hasil bagi peternak, serta telah mampu diandalkan sebagai profesi utama dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari, juga untuk memenuhi permintaan pasar. Namun demikian, oleh karena kurangnya tingkat kewaspadaan peternak dalam menjaga sanitasinya, hal ini menyebabkan sering terjadi gangguan kesehatan pada ternak sapi tersebut. Penyakit pencernaan, respirasi, kulit, kelamin dan lain sebagainya tak jarang ditemui pada pemeliharaan dan managemen yang kurang tepat. Penyakit saluran pernafasan adalah masalah utama untuk ternak dan menyebabkan kerugian ekonomi yang serius bagi produsen. Bovine Respiratory Disease (BRD) menyebabkan meningkatnya kematian serta biaya pengobatan, tenaga kerja dan kehilangan produksi. Banyak agen infeksi yang berbeda dapat mengakibatkan gejala klinis yang serupa. Penyakit pernafasan pada hewan ternak sering dikaitkan dengan hewan termuda seperti anak sapi, sapi betina atau sapi jantan (Hartel et al. 2004; Ames, 1997). kebanyakan kasus
Page | 1

muncul sebelum usia dua tahun (Crowe, 2001) dan penyakit pernafasan merupakan penyebab utama dari kerugian, terutama dalam produksi sapi potong. (Prado et al. 2005; Kapil & Basaraba, 1997; Johnson, 1991). Salah satu penyakit pernapasan yang menyebabkan kerugian ekonomi peternak adalah Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR). Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit menular yang menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi ternak sapi.

BAB II
Page | 2

PEMBAHASAN

II.I

Pengertian Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh Bovine herpesvirus 1 (BoHV-1) yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi ternak sapi. Biasanya penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai dengan gejala demam tinggi 40,5 42 C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung, hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan (Kurniadhi, 2003). II.II Epidemiologi Dalam masa penggemukan, IBR umumnya diamati dan mungkin berhubungan dengan infeksi mata (konjungtivitis), aborsi atau infeksi bakteri sekunder. Meskipun segala usia dan keturunan ternak rentan terhadap IBR, penyakit ini paling sering terjadi pada anak sapi lebih dari enam bulan, pada saat imunitas yang diterima melalui penurunan kolostrum bendungan dan paparan meningkatnya virus. Wabah biasanya terjadi pada musim gugur dan musim dingin ketika banyak hewan rentan dicampur bersama-sama dan terbatas di masa penggemukan. BHV-1 sangat menular, khususnya dalam keadaan dimana anak sapi rentan berada dalam kontak dekat. Akibatnya, virus dapat menyebar dengan sangat efisien dalam kondisi berdesakan dan pencampuran pada penggemukan. Faktor tambahan yang berkontribusi terhadap tingginya insiden infeksi IBR di penggemukan termasuk tingkat stres yang tinggi karena penyapihan dan transportasi, serta paparan simultan untuk beberapa patogen pada saat kedatangan. Transmisi terjadi melalui hidung, air liur dan tetesan aerosol yang mengandung virus. Wabah penyakit terjadi melalui pengenalan hewan yang terinfeksi menjadi penggemukan atau ternak atau dengan reaktivasi virus laten sudah ada dalam penggemukan sapi, yang

Page | 3

kemudian menyebar ke yang baru tiba, hewan rentan. Wabah IBR biasanya berlangsung selama dua sampai empat minggu. Dibawah ini merupakan epidemiologi dan penyebab penyakit yang mengganggu respirasi pada hewan ternak, khususnya pada sapi. Table I: Main respiratory disorders in cows: cause and epidemiology
Clinical Impact + ++ +++ Affected animals Young > old Young > old Young > old Commercial impact All ages All ages Young > old

Name Rhinitis Sinusitis Laryngitis

Agent Bacterial, fungic irritant, allergic Various Various

Frequency + ++ +

Epidemiology Sporadic or enzootic Sporadic (Dehorning) Enzootic for youngsters Sporadic in adults Enzootic Enzootic Sporadic and chronic possible if ineffective primary therapy Enzootic Associated signs: arthritis (youngsters) Mastitis (adults) Enzootic (youngsters) Enzootic but rare and clinically undifferentiated in adults (cough, milk drop) Enzootic (contagious aspect) Chronic aspect Enzootic (contagious aspect) Enzootic Associated sign : abortion Sporadic Multiple associated Page | 4

IBR Pneumonic Pasteurella +/- pleuritis Pneumonic Mycoplasma

BoHV1

Variable P. multocida ++++

0 to +++++

M. haemolytica

++++

Mycoplasma bovis BRSV PI3 Adenovirus BVD (associated)

+++

++++

All ages

Viral interstitial pneumonia

+++++

++++

All ages Young>old

Lungworm

Dictyocaulus viviparus Anaplasma phagocytophilum Coxiella burnettii OvHV2

0 to +++++ Often unknown 0 to +++? ? AHV1 +

+ to +++++

All ages now possible Old > young

Ehrlichiosis

0 to +++ 0 to ++ (respiratory signs) +++++

Q fever Catarrhal malignant

Old > young Old > young

fever Fog fever 3 MI Pulmonary thromboembolism Micropolyspora foeni and other spores Primary or secondary Unknown + ++++ Old

Vena caval thrombosis Extrinsic allergic alveolitis Tumor Fibrosing alveolitis

+++++

Old > young

signs Death Enzootic: pastureassociated syndrome Sporadic Multiple associated signs Possible confusion with chronic pneumonia Sporadic Sporadic Sporadic

++ rare rare

++++ ++++ ++++

Old Old > 6 years

Sumber : II.III Gejala Klinis

Page | 5

Bentuk pernafasan (IBR) adalah manifestasi paling signifikan dan ekonomis penting dari BHV-1 infeksi, khususnya dalam penggemukan. IBR akut ditandai oleh kombinasi tandatanda klinis seperti bernapas cepat, tidak bernafsu, suhu 40-42 C (104-108 F), batuk, nasal discharge, air liur berbusa, pernafasan dengan mulut terbuka, merobek, peradangan parah dari bagian hidung (red nose) dan jaringan sekitar mata (konjungtivitis), dan kehilangan berat badan dan IBR kondisi ( Foto 1 ). Perjalanan infeksi berlangsung selama 7 sampai 10 hari. Namun, memiliki IBR beberapa mungkin gejala

sisa. Infeksi di betis 4-6 bulan usia telah menghasilkan sesekali pada meningitis, dengan tanda-tanda

yang menunjukkan keterlibatan sistem saraf pusat, dan sapi kemungkinan mengalami keguguran, khususnya jika paparan terjadi antara 5,5 dan 7,5 bulan usia kehamilan. Seringkali, IBR diikuti dengan infeksi bakteri sekunder, seperti Pasteurella haemolytica, yang

menghasilkan radang paru - paru berat dan terkadang menyebabkan kematian.

Foto 1: Nasal discharge typical of IBR.

Meskipun jarang, IBR dapat terjadi pada anak sapi muda dan menyebabkan salah satu penyakit pernapasan yang parah atau penyakit sistemik yang fatal dan kematian yang
Page | 6

cepat. Infeksi neonatal IBR mungkin terjadi karena kurangnya kekebalan ibu dan ini dipersulit oleh sejumlah faktor manajemen (gizi, stres, penyakit lain). Dalam divaksinasi, populasi rentan, IBR umum mempengaruhi 20 sampai 30% atau lebih dari hewan yang terpajan. Meskipun tingkat kematian akibat IBR sangat rendah, rata-rata dari 1 sampai 2%, infeksi bakteri sekunder dapat menyebabkan radang paru paru berat dan kematian. Sedangkan kenaikan berat badan berkurang adalah kerugian ekonomi besar di antara betis sapi, kerugian pada hewan susu biasanya karena produksi susu berkurang, aborsi dan penyakit pada anak sapi yang baru lahir. Kematian adalah kebanyakan hasil dari infeksi bakteri sekunder di kedua daging sapi dan sapi perah.

II.IV Diagnosa dan Pengobatan Dengan pengalaman, diagnosis IBR tanpa komplikasi biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis, pola serangan dan luka. Namun, diagnosis ini harus dikonfirmasi dengan tes laboratorium. BHV-1 dapat dengan mudah diisolasi dari menyeka semua luka, karena virus tumbuh baik pada sel sapi dalam budaya.Karena virus replikasi maksimal dan penumpahan terjadi antara tiga dan enam hari setelah infeksi, penyeka untuk isolasi virus harus diambil pada awal perjalanan penyakit. The penyeka harus disimpan dingin dan dikirim secepat mungkin ke laboratorium diagnostik. Sejumlah tes diagnostik yang tersedia. Di antara mereka adalah metode yang spesifik dan sensitif yang dikenal sebagai reaksi rantai polimerase (PCR). Dengan metode ini memungkinan untuk mendeteksi jumlah yang sangat kecil virus didalam sekresi hidung atau jaringan. Karena sensitivitas tinggi, teknik ini secara khusus mungkin menemukan aplikasi penting sebagai metode deteksi BHV-1 dalam air mani sapi. Salah satu alat diagnostik yang paling relevan untuk mendeteksi BHV-1 ternak yang terinfeksi masih serologi menggunakan netralisasi virus (VN) tes atau enzyme-linked
Page | 7

immunosorbent assay (ELISA). Lebih disukai, dua sampel darah harus diambil, satu per timbulnya penyakit dan lainnya tiga minggu kemudian. Sebuah peningkatan empat kali lipat dalam BHV-1 titer antibodi spesifik serum harus dipertimbangkan diagnostik infeksi BHV-1 aktif. Karena tidak ada antivirus yang tersedia secara komersial, pengobatan IBR merupakan tanda. Selama wabah IBR, hewan sakit harus diidentifikasi dan diisolasi. Tergantung pada beratnya penyakit, betis yang terinfeksi dapat diobati dengan spektrum luas antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi bakteri sekunder (Kahrs, 1977). Selama wabah tidak dianjurkan untuk memperkenalkan ternak rentan. Hewan status vaksinasi tidak diketahui harus divaksinasi segera pada saat kedatangan dan ditempatkan secara terpisah dari sisa hewan. II.V Pencegahan dan Pengendalian Sudarisman (2007) mengemukakan bahwa keberhasilan pengawasan penyakit pada lembaga-lembaga pembibitan ternak akan dapat dicapai melalui beberapa tahapan seperti berikut: 1. Menghindarkan faktor resiko yang ada pada inseminasi buatan. Memisahkan hewan yang serologik positif dan yang negatif. Hambat impor hewan yang serologik positif, embrio dan semen yang telah terkontaminasi virus BHV-1 untuk tujuan pembibitan ternak ataupun program inseminasi buatan. 2. Mempertahankan kelompok ternak yang bebas BHV-1, melakukan uji serologik dan isolasi virus dua kali setahun pada ternak-ternak yang ada pada pusat pembibitan dan pusat inseminasi buatan terhadap adanya virus BHV-1. Keluarkan hewan yang positif BHV-1 berdasarkan isolasi virus dan kelompok hewan yang serologik positif dapat dilakukan vaksinasi, terutama dengan vaksin yang mati guna mencegah infeksi laten. Hindarkan
Page | 8

penggunaan vaksin hidup. Penggunaannya dapat dilakukan bila ada outbreak pada beberapa kelompok hewan serta pengawasan hewan yang telah divaksinasi harus lebih ketat. 3. Tidak mentolerir adanya pejantan yang serologic positif terhadap BHV-1 pada Balai Inseminasi Buatan (BIB). Hal ini merupakan jaminan terhadap produksi semen beku yang dihasilkan. Reputasi BIB sangat tergantung dari bebasnya pejantan dari penyakit menular Alternatif lain dalam program pemberantasan penyakit adalah mengontrol terjadinya infeksi dengan mengembangkan pengebalan ternak akibat infeksi alamataupun akibat

vaksinasi. Berdasarkan akan efektifitas dari imunisasi aktif setelah terinfeksi secara alami, kini vaksin digunakan untuk melakukan program kontrol penyakit IBR. Vaksin yang digunakan dapat dalam bentuk modified live virus vaccinesdan inactivated vaccines. Kedua vaksin ternyata sama-sama menghasilkan antibodi humoral. Beberapa kelemahan terjadi dalam penggunaan vaksin IBR. Vaksin yang diberikan secara intranasal akan menghasilkan interferon lokal dan antibodi lokal. Sub unit vaksin kini juga telah banyak digunakan akan tetapi beberapa laporan menunjukkan bahwa subunit vaksin tidak dapat mencegah infeksi klinis akibat IBR. Beberapa vaksin hidup berdampak pada terjadinya keguguran/abortus dan dapat

mengakibatkan endometritis. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa negara menggunakan vaksin hidup intranasal dan ini masih ada yang melaporkan kemungkinan menjadi ganas kembali. Vaksin inactive/mati banyak yang melaporkan derajat kekebalannya tidak tinggi kecuali dengan penggunaan adjuvant yang baik (Sudarisman, 2003). Waktu vaksinasi setidaknya sama pentingnya dengan pilihan vaksin. Karena perlindungan yang maksimal umumnya tidak terjadi sampai sekitar tiga minggu setelah vaksinasi, anak sapi harus divaksinasi dua sampai tiga minggu sebelum dilakukan penyapihan, pada saat itu mereka mulai berada pada risiko infeksi. Sebuah vaksinasi tunggal akan mengurangi keparahan penyakit, tetapi tidak memberikan perlindungan lengkap. Disarankan
Page | 9

untuk kembali memvaksinasi saat tiba di masa penggemukan dan lagi pada 60-70 hari pasca kedatangan jika penyakit diamati pada waktu itu di masa menyusui. Pada sapi / lembu lembu dan ternak penghasil susu, sapi pengganti harus divaksinasi di lima sampai enam bulan usia dan lagi setidaknya dua minggu sebelum pembibitan (Hjerpe, 1990). Pencegahan juga dilakukan dengan pemeriksaan awal terhadap sapi-sapi impor dari daerah atau negara lain yang tertular penyakit ini serta perlu benar-benar bebas dari caplak dan bebas antibodi terhadap virus IBR. Sedangkan pengobatan penderita IBR umumnya hanya bersifat simptomatik (Anonimous, 2008).

Page | 10

BAB III PENUTUP

III.I

Kesimpulan Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyebab utama kerugian ekonomi

untuk industri sapi potong. Vaksinasi telah menjadi strategi yang paling penting untuk mencegah dan mengendalikan infeksi IBR pada sapi. Untuk vaksinasi untuk secara optimal efektif, waktu sangat penting sehingga hewan terlindungi pada saat masuk ke dalam situasi berisiko tinggi. Oleh karena itu, hewan harus divaksinasi setidaknya tiga minggu sebelum masuk penggemukan, serta segera setelah itu, karena dua dosis salah satu vaksin yang tersedia saat dibutuhkan untuk perlindungan lengkap. Vaksinasi ulang pada reimplanting mungkin diperlukan jika wabah IBR telah terjadi pasca kedatangan di masa penggemukan tersebut. Pencegahan juga dilakukan dengan pemeriksaan awal terhadap sapi-sapi impor dari daerah atau negara lain yang tertular penyakit ini serta perlu benar-benar bebas dari caplak dan bebas antibodi terhadap virus IBR.

Page | 11

Daftar Pustaka

Anonimus. 2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino Tracheitis pada Sapi dan Kerbau di Indonesia http://peternakan.Iitbang. deptan.go.id. Ames TR. Dairy calf pneumonia. The disease and its impact. Vet Clin North Am Food Anim Pract, 1997; 13:379-391. Crowe JE, Jr. Influence of maternal antibodies on neonatal immunization against respiratory viruses. Clin Infect Dis, 2001; 33:1720-1727. Hartel H, Nikunen S et al. Viral and bacterial pathogens in bovine respiratory disease in Finland. Acta Vet Scand, 2004; 45(3-4):193-200. Hjerpe, C.A. 1990. Bovine vaccines and herd vaccination programs. Vet. Clin. N. Am. Food Anim. Pract. 6: 188-194. Johnson B. Nutritional and dietary interrelationships with diseases of feedlot cattle. Vet Clin North Am Food Anim Pract, 1991; 7(1):133-142. Kahrs, R.F. 1977. Infectious bovine rhinotracheitis: A review and update. J.A.V.M.A. 171: 2055-2064. Kapil S, Basaraba RJ. Infectious bovine rhinotracheitis, parainfluenza-3, and respiratory coronavirus. Vet Clin North Am Food Anim Pract, 1997; 13:455-469.

Page | 12

Kurniadhi. P. 2003. Teknik pembuatan biakan sel Primer Ginjal Janin Sapi Untuk Menumbuhkan Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bogor Prado ME, Prado TM et al. Maternally and naturally acquired antibodies to Mannheimia haemolytica and Pasteurella multocida in beef calves. Vet Immunol Immunopathol, 2005 (Epub ahead of print). Sudarisman, 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di Lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No. 3 Th. 2003. Sudarisman, 2003. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Th. 2007 .

Page | 13

Вам также может понравиться