Вы находитесь на странице: 1из 35

Resposi KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU DENGAN ANEMIA

Oleh :

Azhar A. Wijaya Ardani Nindya Nur Raudatus S Pradana Nur Oviyanti Pembimbing : Affi Angelia, dr., Sp.OG, M.Kes

G0002039 G0006043 G0006132 G0007128

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2012

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU DENGAN ANEMIA Abstrak Sebuah kasus seorang G1 P0 A0, 34 tahun, dengan umur kehamilan 8+4 minggu. Penderita datang kiriman dari RSUD Banyudono dengan keterangan suspek KET. Pasien merasa hamil + 3 minggu, sejak 1 hari yang lalu mengeluh nyeri perut hebat sebelah kiri dan perdarahan dari jalan lahir sejak 6 hari SMRS. Mual kadang dirasakan, muntah (-). Pada pemeriksaan inspekulo didapatkan portio livide, OUE tertutup, darah (+), discharge (-), cavum douglasi tidak menonjol. Sedangkan pada pemeriksaan Vaginal Toucher didapatkan portio lunak, slinger pain (+), corpus uteri sebesar telur ayam kampung, retrofleksi, darah (+), adneksa kanan nyeri tekan (+), cavum douglasi tidak menonjol. Pada pemeriksaan USG didapatkan kesan menyokong gambaran kehamilan ekstra uterina. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan PP test (+), anemia (kadar hemoglobin 8,5 g/dl), dan leukositosis (Leukosit 14.400/uL). Kata kunci : Kehamilan Ektopik Terganggu, Anemia

BAB I PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi seorang wanita yang dapat menyebabkan kondisi yang gawat bagi wanita tersebut. Keadaan gawat ini dapat menyebabkan suatu kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang sering dihadapi oleh setiap dokter, dengan gambaran klinik yang sangat beragam. Hal yang perlu diingat adalah bahwa pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah dapat mengalami kehamilan ektopik terganggu.1 Berbagai macam kesulitan dalam proses kehamilan dapat dialami para wanita yang telah menikah. Namun, dengan proses pengobatan yang dilakukan oleh dokter saat ini bisa meminimalisir berbagai macam penyakit tersebut. Kehamilan ektopik diartikan sebagai kehamilan di luar rongga rahim atau kehamilan di dalam rahim yang bukan pada tempat seharusnya, juga dimasukkan dalam kriteria kehamilan ektopik, misalnya kehamilan yang terjadi pada cornu uteri. Jika dibiarkan, kehamilan ektopik dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat berakhir dengan kematian.2 Istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada istilah ekstrauterin yang sekarang masih banyak dipakai. Diantara kehamilan-kehamilan ektopik, yang terbanyak terjadi di daerah tuba, khususnya di ampulla dan isthmus. Pada kasus yang jarang, kehamilan ektopik disebabkan oleh terjadinya perpindahan sel telur dari indung telur sisi yang satu, masuk ke saluran telur sisi seberangnya.3,4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kehamilan Ektopik 1. Definisi Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan berada di luar tempat yang semestinya. Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan ektopik terganggu. 4,7

2. Etiologi Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur dari indung telur (ovarium) ke rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor resiko yang diperkirakan sebagai penyebabnya adalah 3,4,6: a. Infeksi saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan gangguan pada motilitas saluran telur. b. Riwayat operasi tuba. c. Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang. d. Kehamilan ektopik sebelumnya. e. Aborsi tuba dan pemakaian IUD.

f. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom. g. Bekas radang pada tuba; disini radang menyebabkan perubahanperubahan pada endosalping, sehingga walaupun fertilisasi dapat terjadi, gerakan ovum ke uterus terlambat. h. Operasi plastik pada tuba. i. Abortus buatan.

3. Patofisiologi Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap ovum yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Pada suatu saat kebutuhan embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba itu. Ada beberapa kemungkinan akibat dari hal ini 3,4,5: a. Kemungkinan tubal abortion, lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya terjadi pada kehamilan ampulla, darah yang keluar dan kemudian masuk ke rongga peritoneum biasanya tidak begitu banyak karena dibatasi oleh tekanan dari dinding tuba. b. Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat dari distensi berlebihan tuba.
c. Faktor abortus ke dalam lumen tuba.

Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan

terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit hingga banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian.1

4. Insiden Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20 40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Namun, frekuensi kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas 1.

5. Variasi Kehamilan Ektopik a. Kehamilan Abdominal Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan

kehamilan ektopik sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Implantasi primer di dalam rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih tinggi daripada kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamila intrauterin. Morbiditas maternal dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), emboli paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada kehamilan abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba secara bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat

ruptur bekas insisi seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut, meskipun tidak patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan suatu kehamilan abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus antara kandung kemih dengan janin, 2) plasenta terletak di luar uterus, 3) bagian-bagian janin dekat dengan dinding abdomen ibu, 4) letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion antara plasenta dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan visualisasi yang jauh lebih baik daripada USG. Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup sebesar 10-25%, namun angka malformasi kongenital pada bayi ekstrauterin cukup tinggi akibat oligohidramnios, dan hanya 50%-nya dapat bertahan hidup lebih dari satu minggu. Kelainan kongenital yang ditemukan umumnya berupa abnormalitas wajah, kranium dan ekstremitas. Kehamilan abdominal pula memberikan ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin yang sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat merusak organ-organ ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam rongga abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko tinggi. Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan

tempat implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi seperti miometrium. Sebelum operasi, cairan resusitasi dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur intravena yang cukup besar. Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula. Plasenta boleh diangkat hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan. Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis, pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta, serta preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan -hCG serum. Pemberian pencitraan ultrasonografi dan pengukuran kadar methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan, karena degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik, yang selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-arteri yang mendarahi tempat implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik. b. Kehamilan Ovarium

Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun 1878, Spiegelberg merumuskan criteria diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba pada sisi ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi harus menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus berhubungan melalui ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium harus ditemukan dalam

dinding kantong gestasi. Secara umum faktor risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan tuba. Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal. Manifestasi klinik kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik kehamilan tuba atau perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan ovarium pada awalnya dicurigai sebagai kista korpus luteum atau perdarahan korpus luteum. Kehamilan ovarium terganggu ditangani dengan pembedahan yang sering kali mencakup ovariektomi. Bila hasil konsepsi masih kecil, maka reseksi parsial ovarium masih mungkin dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan untuk terminasi kehamilan ovarium yang belum terganggu. c. Kehamilan Serviks

Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup jarang. Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah diajukan. Burg mengatakan bahwa kehamilan serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu cepat, yang disertai oleh belum siapnya endometrium untuk implantasi. Dikatakan pula bahwa instrumentasi dan kuretase mengakibatkan kerusakan endometrium sehingga endometrium tidak lagi menjadi tempat nidasi yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan serviks mengindikasikan adanya hubungan antara kehamilan serviks dengan kuretase traumatik dan penggunaan IUD pada sindroma Asherman. Hubungan serupa juga tercermin pada fakta bahwa Jepang, di mana angka kuretase juga tinggi, memiliki angka kehamilan serviks yang tertinggi di antara negaranegara lain. Kehamilan serviks juga berhubungan dengan fertilisasi invitro dan transfer embrio. Pada kehamilan serviks, endoserviks tererosi oleh trofoblas dan kehamilan berkembang dalam jaringan fibrosa

dinding serviks. Lamanya kehamilan tergantung pada tempat nidasi. Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis, semakin besar kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin besar pula tendensi perdarahan hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa sakit dijumpai pada 90% kasus, dan sepertiganya mengalami perdarahan hebat. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu. Prinsip dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik lainnya, adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada kehamilan serviks sering kali mengakibatkan perdarahan hebat karena serviks mengandung sedikit jaringan otot dan tidak mampu berkontraksi seperti miometrium. Bila perdarahan tidak terkontrol, sering kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini menjadi dilema, terutama bila pasien ingin mempertahankan kemampuan reproduksinya. Beberapa metode-metode nonradikal yang digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain pemasangan kateter Foley, ligasi arteri hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina, embolisasi arteri dan terapi medis. Kateter Foley dipasang pada kanalis servikalis segera setelah kuretase, dan balon kateter segera dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan. Selanjutnya vagina ditampon dengan kasa. Beberapa pakar mengusulkan penjahitan serviks pada jam 3 dan 9 untuk tujuan hemostasis (hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi angiografik arteri uterina adalah teknik yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan hasil yang baik, seperti pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks di Itali. Sebelum kuretase dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau kolagen dengan bantuan angiografi. Pada kasus tersebut, perdarahan yang terjadi saat

dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti pada kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi kehamilan serviks. Methotrexate adalah modalitas terapeutik yang pertama kali digunakan setelah diagnosis kehamilan serviks ditegakkan. Namun pada umumnya methotrexate hanya memberikan hasil yang baik bila usia gestasi belum melewati 12 minggu. Methotrexate dapat diberikan secara intramuskular, intraarterial maupun intraamnion. d. Kehamilan Ektopik Heterotipik

Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan intrauterin. Kehamilan heterotipik ini sangat langka. Hingga satu dekade yang lalu insidens kehamilan heterotipik adalah 1 dalam 30,000 kehamilan, namun dikatakan bahwa insidensnya sekarang telah meningkat menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam 900 kehamilan, berkat perkembangan teknik-teknik reproduksi. Kemungkinan kehamilan heterotipik harus dipikirkan pada kasus-kasus sebagai berikut: 1) assisted reproduction technique, 2) bila hCG tetap tinggi atau meningkat setelah dilakukan kuretase pada abortus, 3) bila tinggi fundus uteri melampaui tingginya yang sesuai dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari 2 korpus luteum, 5) bila terdeteksi pada USG adanya kehamilan ektra- dan intrauterin. 6. Manifestasi Klinik Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda; dari perdarahan yang banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosanya. Gejala dan tanda tergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil. Perdarahan pervaginam

merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin. Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejala-gejala yang samar-samar sehingga sulit untuk membuat diagnosanya.1 7. Diagnosis Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara ditegakkan, antara lain dengan melihat 5,6,8: a. Anamnesis dan gejala klinis Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak ada perdarahan per vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum.

b. Pemeriksaan fisik i. Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa. ii. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen.
iii. Pemeriksaan ginekologis

Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan kiri.

c. Pemeriksaan Penunjang
i.

Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.

ii. USG : -

Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri Adanya massa komplek di rongga panggul

iii. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada darah. iv. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.

8. Penanganan a. Penatalaksanaan Medis

Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, diameter kantong gestasi < 4 cm, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki

fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis. i. Methotrexate Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu. ii. Actinomycin Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik

pada

pasien-pasien

dengan

kegagalan

terapi

methotrexate

sebelumnya. iii. Larutan Glukosa Hiperosmolar Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.

b.

Penatalaksanaan Bedah

Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. i. Salpingostomi Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit

kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. ii. Salpingotomi Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi. iii. Salpingektomi Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadangkadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan

ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping. iv. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.

9. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi yaitu 4,7:


a. Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik

terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi. b. Infeksi c. Sterilitas d. Pecahnya tuba falopii
e. Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya

embri

10. Prognosis

Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dengan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971) melaporkan 1 kematian dari 826 kasus, dan Willson dkk (1971) 1 diantara 591 kasus. Tetapi bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus. Penderita mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah sekitar 50%. 1,2,7

11. Diagnosa Banding Diagnosa banding 6,7,8: a. Infeksi pelvic b. Kista folikel c. Abortus biasa d. Radang panggul, e. Torsi kita ovarium, f. Endometriosis

B. Anemia

1.

Definisi dan Etiologi Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 12 gr%.12 Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar Hb dibawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar <10,5 gr% pada trimester II.11 Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut Hidremia atau Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut: plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19%. Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu.12 Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya kehamilan. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduannya saling berinteraksi.11 Menurut Mochtar (1998) penyebab anemia pada umumnya adalah sebagai berikut:10
a. Kurang gizi (malnutrisi)

b. Kurang zat besi dalam diit c. Malabsorpsi d. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dan lainlain e. Penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dan lain-lain 2. Gejala Gejala anemia pada kehamilan yaitu ibu mengeluh cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang, malaise, lidah luka, nafsu makan

turun (anoreksia), konsentrasi hilang, nafas pendek (pada anemia parah) dan keluhan mual muntah lebih hebat pada hamil muda. 3. Klasifikasi Klasifikasi anemia dalam kehamilan menurut Mochtar (1998), adalah sebagai berikut:10
a. Anemia Defisiensi Besi

Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Pengobatannya yaitu, keperluan zat besi untuk wanita hamil, tidak hamil dan dalam laktasi yang dianjurkan adalah pemberian tablet besi.
1) Terapi Oral adalah dengan memberikan preparat besi yaitu fero

sulfat, fero glukonat atau Na-fero bisirat. Pemberian preparat 60 mg/ hari dapat menaikan kadar Hb sebanyak 1 gr%/ bulan. Saat ini program nasional menganjurkan kombinasi 60 mg besi dan 50 nanogram asam folat untuk profilaksis anemia.11
2) Terapi Parenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan akan

zat besi per oral, dan adanya gangguan penyerapan, penyakit saluran pencernaan atau masa kehamilannya tua.12 Pemberian preparat parenteral dengan ferum dextran sebanyak 1000 mg (20 mg) intravena atau 2 x 10 ml/ IM pada gluteus, dapat meningkatkan Hb lebih cepat yaitu 2 gr% .9 Untuk menegakan diagnosa Anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan anamnesa. Hasil anamnesa didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang dan keluhan mual muntah pada hamil muda. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat Hasil pemeriksaan Hb dilakukan dengan menggunakan alat sachli, dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan yaitu trimester I dan III. dengan sachli dapat digolongkan sebagai berikut:

1) Hb 11 gr% : Tidak anemia 2) Hb 9-10 gr% : Anemia ringan 3) Hb 7 8 gr%: Anemia sedang 4) Hb < 7 gr% : Anemia berat Kebutuhan zat besi pada wanita hamil yaitu rata-rata mendekatai 800 mg. Kebutuhan ini terdiri dari, sekitar 300 mg diperlukan untuk janin dan plasenta serta 500 mg lagi digunakan untuk meningkatkan massa haemoglobin maternal. Kurang lebih 200 mg lebih akan dieksresikan lewat usus, urin dan kulit. Makanan ibu hamil setiap 100 kalori akan menghasilkan sekitar 810 mg zat besi. Perhitungan makan 3 kali dengan 2500 kalori akan menghasilkan sekitar 2025 mg zat besi perhari. Selama kehamilan dengan perhitungan 288 hari, ibu hamil akan menghasilkan zat besi sebanyak 100 mg sehingga kebutuhan zat besi masih kekurangan untuk wanita hamil.9
b. Anemia Megaloblastik

Adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam folik, jarang sekali karena kekurangan vitamin B12. Pengobatannya: 1) Asam folik 15 30 mg per hari
2) Vitamin B12 3 X 1 tablet per hari

3) Sulfas ferosus 3 X 1 tablet per hari 4) Pada kasus berat dan pengobatan per oral hasilnya lamban sehingga dapat diberikan transfusi darah.
c. Anemia Hipoplastik

Adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang, membentuk sel darah merah baru. Untuk diagnostik diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan diantaranya adalah darah tepi lengkap, pemeriksaan pungsi ekternal dan pemeriksaan retikulosi.

d. Anemia Hemolitik

Adalah anemia yang disebabkan penghancuran atau pemecahan sel darah merah yang lebih cepat dari pembuatannya. Gejala utama adalah anemia dengan kelainan-kelainan gambaran darah, kelelahan, kelemahan, serta gejala komplikasi bila terjadi kelainan pada organorgan vital. Pengobatannya tergantung pada jenis anemia hemolitik serta penyebabnya. Bila disebabkan oleh infeksi maka infeksinya diberantas dan diberikan obat-obat penambah darah. Namun pada beberapa jenis obat-obatan, hal ini tidak memberi hasil. berulang dapat membantu penderita ini. 4. Efek Anemia pada Ibu Hamil, Bersalin, dan Nifas Anemia dapat terjadi pada setiap ibu hamil, karena itulah kejadian ini harus selalu diwaspadai. Anemia yang terjadi saat ibu hamil Trimester I akan dapat mengakibatkan: Abortus, Missed Abortus dan kelainan kongenital. Anemia pada kehamilan trimester II dapat menyebabkan: Persalinan prematur, perdarahan antepartum, gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia aintrauterin sampai kematian, BBLR, gestosis dan mudah terkena infeksi, IQ rendah dan bahkan bisa mengakibatkan kematian. Saat inpartu, anemia dapat menimbulkan gangguan his baik primer maupun sekunder, janin akan lahir dengan anemia, dan persalinan dengan tindakan yang disebabkan karena ibu cepat lelah. Saat post partum anemia dapat menyebabkan: tonia uteri, rtensio placenta, pelukaan sukar sembuh, mudah terjadi febris puerpuralis dan gangguan involusio uteri. Sehingga transfusi darah

BAB III ILUSTRASI PENDERITA

I.

ANAMNESIS Tanggal 14 Januari 2012 jam 10.00 WIB A. Identitas Penderita Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Agama Pendidikan Alamat : Ny. A : 35 tahun : Perempuan : Karyawan : Islam : SMP : Duarawati, Ngabean, Kartasura

Status Perkawinan : Kawin 1 kali, 4 bulan HPMT HPL UK Tanggal Masuk No.CM Berat badan Tinggi Badan B. Keluhan Utama Nyeri perut sebelah kanan : 16 November 2011 : 23 Agustus 2012 : 8+4minggu : 14 Januari 2012 : 01073106 : 50 Kg : 158 cm

C. Riwayat Penyakit Sekarang Datang seorang G1P0A0, 34 tahun, kiriman RSUD Banyudono dengan keterangan susp KET. Pasien merasa hamil 3 minggu, sejak 1 hari yang lalu mengeluh nyeri perut hebat sebelah kanan dan perdarahan dari jalan lahir sejak 6 hari SMRS, mual kadang dirasakan, muntah (-). Pasien selama ini belum pernah memeriksakan kehamilannya. Pasien dirawat di RSUD Banyudono selama 1 hari. BAB/BAK tidak ada keluhan. D. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat sesak nafas Riwayat Hipertensi Riwayat Penyakit Jantung Riwayat DM Riwayat Asma

: Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal

Riwayat Alergi Obat/makanan: Disangkal Riwayat Minum Obat Selama Hamil : Disangkal Riwayat operasi Riwayat Mondok Riwayat Hipertensi Riwayat Penyakit Jantung Riwayat DM Riwayat Asma Riwayat Alergi Obat/makanan : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga

F. Riwayat Fertilitas Jelek. G. Riwayat Obstetri Belum dapat dinilai

H. Riwayat Ante Natal Care (ANC) Belum pernah periksa I. Riwayat Haid

Menarche Lama menstruasi Siklus menstruasi

: 14 tahun : 7 hari : 28-32 hari

J. Riwayat Perkawinan Menikah 1 kali, 4 bulan K. Riwayat Keluarga Berencana (-) II. PEMERIKSAAN FISIK A. Status Interna Keadaan Umum Tanda Vital Tensi Nadi Respiratory Rate Suhu Kepala Mata THT Leher Thorax Cor

: Baik, CM, Gizi cukup : : 120/90 mmHg : 88 x / menit : 20 x/menit : 36,5 0C : Mesocephal : Conjuctiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-) : Tonsil tidak membesar, Pharinx hiperemis (-) : Pembesaran kelenjar tiroid (-) : :

Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi Perkusi Auskultasi

: ictus cordis tidak kuat angkat : Batas jantung kesan tidak melebar : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-) : : Pengembangan dada ka = ki : Fremitus raba dada ka = ki : Sonor/Sonor : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronki basah kasar (-/-)

Pulmo

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

Abdomen:

Inspeksi

: Dinding perut sejajar dinding dada

Palpasi

: Supel, NT (+) regio inguinalis dextra, nyeri lepas (+), ballotemen (-), massa (-), undulasi (+), pekak beralih (-), Mc burney sign (-) : Tympani pada bawah processus xiphoideus, redup pada daerah uterus Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Perkusi

Genital Ekstremitas

: Lendir darah (+), air ketuban (-) : Oedema -

Akral dingin -

B. Status Obstetri Pemeriksaan Dalam :

Inspekulo : vulva / uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio livide, OUE tertutup, darah (+), discharge (-), cavum Douglasi tidak menonjol. VT : vulva / uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak, Hegar sign (+), OUE tertutup, corpus uteri sebesar telur ayam kampung, retro flexi, adneksa kiri dalam batas normal, adneksa kanan nyeri tekan (+), Slinger pain (+), cavum Douglasi tidak menonjol, darah (+)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium Darah tanggal 14 Januari 2012 :

Hemoglobin Eritrosit Leukosit Trombosit Hematokrit Golongan Darah GDS Ureum Creatinin Na+ K+ Ion klorida HbS Ag PP Test PT APTT Albumin

: 8,5 gr/dL : 2,89x106/uL : 14,4 x 103/uL : 314 x 103/uL : 28,1% :A : 109 mg/dL : 24 mg/dL : 0,6 mg/dL : 138 mmol/L : 3,6 mmol/L : 107 mmol/L : negatif : positif : 13,3 detik : 29,7 detik : 4,8 g/dL

B. Ultrasonografi (USG) tanggal 14 Januari 2012 :

Vesica urinaria terisi cukup, tampak uterus ukuran 7,2x5,1x2,5 cm3, tampak gestational sact extrauterina ukuran 2,8cm, tak tampak gestational sact intrauterina, tampak cairan bebas retrouterina. Kesimpulan : menyokong gambaran kehamilan ektra uterina IV. KESIMPULAN Seorang G1P0A0, 35 tahun, UK 8+4 minggu, riwayat fertilitas jelek dan riwayat obstetri belum dapat dinilai. V. DIAGNOSA AWAL Kehamilan ektopik terganggu dengan anemia VI. PROGNOSA Buruk VII. TERAPI

Mondok bangsal Infus RL 20 tpm Tranfusi PRC sampai Hb 10 gr/dl Injeksi ceftriakson 1gr Awasi tanda-tanda akut abdomen Usul laparotomi eksplorasi Konsul anestesi

VIII. LAPORAN OPERASI

Laparotomi eksplorasi emergency dilakukan pada 15 Januari 2012 dan dilakukan salphingectomi dekstra. Diagnosa post operasi : ruptur pars ampula tuba dekstra IX. DIAGNOSA AKHIR Ruptur pars ampula tuba uterina dekstra dengan anemia

Follow up tanggal 16 Januari 2012 Kel KU VS : perut sakit : baik, CM, gizi kesan cukup : T: 120/80 mmHg N: 100 x/ menit Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : cor/pulmo dbn Abdomen Genital Dx. Tx.:

Rr: 20 x/ menit t: 36,50C

: supel, NT (-), luka bekas operasi tertutup verband, : perdarahan (-), lochia (-) : post salphingektomi pada ruptur pars ampularis tuba dekstra

Awasi KU/VS Balance cairan Cek Hb, bila < 10 g/dl transfusi s/d Hb 10 g/dl Infus NaCl : D5% : RL = 1 : 2 : 1 (24 tpm)

Injeksi Ceftriaxon 2 g/24 jam (iv) Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam (iv) Injeksi Vitamin C 1 ampul/12 jam (iv) Injeksi Vitamin B complex 2 cc/24 jam (im) Injeksi Asam traneksamat 1 ampul/8 jam Injeksi Ketorolac 1 ampul/8 jam

Follow up tanggal 17 Januari 2012 Kel KU VS :: baik, CM, gizi kesan cukup : T: 120/90 mmHg N: 80 x/ menit Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax Abdomen Genital Dx. Tx.:

Rr: 20 x/ menit t: 36,50C

: cor/pulmo dbn : supel, NT (-), luka bekas operasi tertutup, verband (+), : perdarahan (-), lochia (-) : post salphingektomi pada ruptur pars ampularis tuba dekstra

Infus NaCl : D5% : RL = 1 : 2 : 1 (24 tpm) Injeksi Ceftriaxon 2 g/24 jam (iv) Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam (iv) Injeksi Vitamin C 1 ampul/12 jam (iv) Injeksi Vitamin B complex 2 cc/24 jam (im)

Injeksi Asam traneksamat 1 ampul/8 jam Injeksi Ketorolac 1 ampul/8 jam

Medikasi luka

Follow up tanggal 18 Januari 2012 Kel KU VS :: baik, CM, gizi kesan cukup : T : 120/80 mmHg N : 88 x/ menit Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax Abdomen Genital Dx. Tx.: Infus NaCl : D5% : RL = 1 : 2 : 1 (24 tpm)

Rr : 22 x/ menit t : 36,60C

: cor/pulmo dbn : supel, NT (-), luka bekas operasi tertutup, verband (+), : perdarahan (-),lochia (+) : post salphingektomi pada ruptur pars ampularis tuba dekstra

Injeksi Ceftriaxon 2 g/24 jam (iv)

Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam (iv) Injeksi Vitamin C 1 ampul/12 jam (iv) Injeksi Vitamin B complex 2 cc/24 jam (im) Injeksi Asam traneksamat 1 ampul/8 jam

Injeksi Ketorolac 1 ampul/8 jam

Medikasi luka

Follow up tanggal 19 Januari 2012 Kel KU VS :: baik, CM, gizi kesan cukup : T : 120/80 mmHg N : 76 x/ menit Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax Abdomen Genital Dx. Tx.:

Rr : 20 x/ menit t : 36,00C

: cor/pulmo dbn : supel, NT (-), luka bekas operasi tertutup verband (+), : perdarahan (-), lochia (-) : post salphingektomi pada ruptur pars ampularis tuba dekstra

SF 2 x 1 tab Cefadroxil 2 x 500 mg Metronidazole 3 x 500 mg

- Vitamin B complex 3 x 1 tab - Asam mefenamat 3 x 1 tab - Vitamin C 3 x 100 mg

BAB IV ANALISA KASUS

A. Analisa kasus diagnosa 1. Kehamilan ektopik terganggu Pada kasus ini diagnosa ditegakkan dari : a. Anamnesis : Pasien merasa hamil 3 minggu lebih ditandai dengan amenorea, 1 hari SMRS pasien mengeluh nyeri perut hebat sebelah kanan dan perdarahan melalui jalan lahir sejak 6 hari SMRS. b. Pemeriksaan Obstetri : Pada pemeriksaan didapatkan nyeri tekan pada regio inguinalis dextra, portio livide, Hegar sign (+), OUE tertutup, corpus uteri sebesar telur ayam kampung, nyeri tekan (+), Slinger pain (+), cavum Douglasi tidak menonjol, darah (+). c. Pemeriksaan USG : Tampak uterus ukuran 7,2x5,1x2,5 cm3, tampak gestational sact ekstrauterina ukuran 2,8 cm, tak tampak gestational sact intrauterina, tampak cairan bebas retrouterina. d. Pemeriksaan laboratorium : PP test (+) dan didapatkan anemia (Hb 8,5 g/dl) serta leukositosis (leukosit 14.400 / uL). e. Pada laparotomi eksplorasi elektif Didapatkan rupture pars ampularis tuba dekstra. 2. Analisa kasus penatalaksanaan Penatalaksaan pada pasien dengan kehamilan ektopik terganggu dengan laparotomi eksplorasi elektif oleh karena pada pasien ini tidak didapatkan tanda akut abdomen, selain itu laparotomi eksplorasi ini bertujuan untuk mengetahui letak kehamilan ektopiknya sehingga dapat ditentukan prognosis untuk kehamilan yang berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Prof. dr. Hanifa W, dkk., IlmuKebidanan, Edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1992, Hal. 323-334.

2. www.medica store.com/kehamilan ektopik,kehamilan luar kandungan/page:1-4 3.

Prof. dr. Hanifa W. DSOG, dkk, Ilmu Kandungan,Edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1999, Hal 250-255.

4. www.medica store.com/kehamilan ektopik/page:1-4 5.

Anthonius Budi. M, Kehamilan Ektopik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.

6. Arif M. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta 2001. Hal. 267-271.


7. Prof. Dr. Rustam. M, MPH, Sinopsis Obstetri, Jilid 1, Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Hal.226-235. 8. Dr. I. M. S. Murah Manoe, SpOG, dkk, Pedoman Diagnosa Dan Terapi Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, 1999. Hal. 104-1
9. Manuaba, I.B.G. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi

dan Keluarga Berencana. Jakarta: EGC


10. Mochtar, R. 1998 . Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jakarta: EGC 11. Saifudin, A.B. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal. Jakarta: YBP-SP


12. Abdulmuthalib. 2008. Kelainan Hematologik. Dalam : Ilmu Kebidanan Sarwono

Prawirohardjo. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal : 774-780

Вам также может понравиться