Вы находитесь на странице: 1из 9

KETERLIBATAN SISTEM ENDOKRIN PADA GAGAL GINJAL KRONIK Rudy Susanto Bagian IKA FK Undip / RS dr.

Kariadi Semarang PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang progresif dan terjadi destruksi ginjal yang menetap. Pada sekitar tahun 1965 banyak pasien gagal ginjal kronik melanjut ketahap akhir penyakit ini dan kemudian menuju ke kematian. Tingginya angka kematian saat itu karena terbatasnya pengobatan dan mahalnya biaya pengobatan. Pada sekitar tahun 1972, mulai dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal, sejak saat ini angka kematian menurun. Jumlah pasien seluruh dunia yang dilakukan dialisis dan transplantasi meningkat 340.000 pasien pada tahun 1999, diperkirakan pada tahun 2010 menjadi 651.000 pasien [1]. Dalam sistem data renal Amerika Serikat (USRDS), angka kejadian gagal ginjal tahap akhir pada populasi anak yang berusia 0 19 tahun terus meningkat, pada tahun 1980 angka kejadian 1,5 / 100.000 anak, dan pada tahun 2002 menjadi 8,2 / 100.000 anak [2]. Dengan semakin meningkatnya angka kejadian, menurunnya angka kematian dan meningkatnya fasilitas pengobatan, maka morbiditas yang berhubungan gagal ginjal kronik juga bertambah. Morbiditas yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik pada anak adalah malnutrisi, anemia, gagal tumbuh, osteodistrofi dengan deformitas tulang, gangguan keseimbangan cairan dan kelainan neurologik antara lain: kejang, tuli, retardasi mental dan gangguan belajar, dan lain-lain [3]. Keterlibatan sistem endokrin sudah mulai terjadi pada awal gagal ginjal kronik dengan insufisiensi ginjal sedang, menjadi lebih manifes bila gagal ginjal melanjut. Mekanisme patofisiologi kelainan ini terjadi akibat menurunnya sintesis hormon-hormon endogen dan eksogen ginjal, berkurangnya kliren metabolik oleh mekanisme renal dan ekstrarenal, perubahan mekanisme sinyal homeostasis pada gagal ginjal kronik, perubahan ikatan hormon dan perubahan respon jaringan terhadap hormon [4]. Walaupun banyak sekali kelainan endokrin yang terjadi pada gagal ginjal kronik, namun relatif sedikit yang menimbulkan problem klinik. Karena terbatasnya waktu maka hanya dibahas masalah yang menonjol, yang merupakan tantangan untuk dokter yang merawat, dan yang mempengaruhi morbiditas, mortalitas serta kualitas hidup. KETERLIBATAN SISTEM ENDOKRIN Kalsium, Fosfor, vitamin D dan hormon paratiroid. Kalsium dan fosfor merupakan elemen anorganik yang banyak sekali dalam tubuh. Kedua elemen ini berperan penting dalam proses biologi. Homeostasis kalsium dan fosfor melibatkan kerja yang sangat terintegrasi, ambilannya di usus, kemudian ion di timbun dalam tulang dan pengeluarannya sebagian besar melalui ginjal. Untuk homeostasis kalsium pada prinsipnya diperantarai oleh dua hormon peptida, yaitu hormon paratiroid dan kalsitonin dan vitamin D dan metabolitnya yang larut dalam lemak. Sebagian besar kalsium disimpan dalam tulang, pada manusia dengan berat badan 70 kg, timbunan kalsium 1,1 kg. Dalam keadaan normal, kadar dalam darah berkisar antara 10 mg Ca /100 ml ( 7 12 mg / 100 ml), bilamana kadarnya kurang dari 7 atau

lebih dari 12 mg/100 ml akan timbul gejala yang tidak diinginkan. Kalsium juga berperan penting pada kontrakasi otot, hantaran transmisi syaraf, pembekuan darah, struktur membran dan kofaktor ensim antara lain hemolase tripsinogen, lipase dan ATPase [5]. Pertumbuhan tulang normal diatur oleh interaksi antara hormon paratiroid (PTH), kalsium, fosfor dan Vitamin D [2]. Dalam keadaan uremia terjadi resistensi multifaktor tulang terhadap efek PTH, sehingga diperkirakan kebutuhan kadar hormon paratiroid intact (iPTH) dua sampai empat kali normal untuk menimbulkan efek fisiologik normal pada tulang. Respon tulang terhadap kadar iPTH dalam sirkulasi yang suprafisologik dan menurunnya sintesis kalsitriol akan meningkatkan pergantian tulang (bone turnover) dan defek pada meneralisasi yang berakibat osteitis fibrosa atau penyakit tulang akibat hiperparatiroid yang mengakibatkan rasa sakit pada tulang dan fraktur. Hiperkalsemia dan hiperfosfatemia, keduanya terjadi sekunder akibat pelepasan dari tulang, tetapi dapat juga terjadi karena meningkatnya absorbsi dari gastrointestinal akibat sekunder dari pemberian vitamin D yang digunakan untuk menekan sintesis PTH, sehingga sering terjadi kalsifikasi ekstraskeletal [6]. Pada awal insufisiensi ginjal kronik sudah mulai terjadi gangguan pemeliharaan homeostasis kadar serum kalsium, fosfor dan kalsitriol sehingga menyebabkan timbulnya hiperparatiroidisme sekunder [7]. Bilamana GFR menurun, maka kadar serum fosfat cenderung meningkat, hal ini dapat menghambat sintesis 1-a, 25-dihydroxy vitamin D3 [1,25(OH)2D3 / calcitriol], dan menurunnya sementara ion kasium serum. Rangsang untuk meningkatkan sintesis dan sekresi hormon paratiroid diperantarai secara langsung oleh meningkatnya fosfat, menurunnya kadar 1,25(OH)2D3, dan menurunnya kadar kalsium [8]. Pada insufisiensi ginjal sedang, berakibat fosfat tertahan, sehingga merangsang meningkatkan kadar iPTH dalam sirkulasi. Respon ginjal karena adanya kadar PTH yang tinggi dalam sirkulasi adalah meningkatkan ekskresi fosfat dalam fraksi-fraksi dan membentuk kalsitriol. Apabila GFR semakin menurun, maka kemampuan untuk mengeluarkan fosfat melalui urin juga menurun sehingga dalam menurunkan kadar PTH yang meningkat dan untuk keseimbangan absorbsi fosfat dari diet normal kewalahan, akibatnya terjadi hiperfosfatemia [9]. Selanjutnya pengaturan kompensasi kadar kalsitriol serum juga gagal. Pengaturan diet dan pemberian obat-obatan pengikat fosfat dapat mempertahankan kadar fosfat serum dalam batas normal, namun demikan kadar 1,25(OH)2D3, tetap rendah kecuali bila diberikan suplementasi. Walaupun kadar kalsium serum khas dalam rentang normal sampai normal rendah pada keadaan gagal ginjal kronik tingkat lanjut, namun perlu diberikan perhatian karena ginjal merupakan jalan paling efektif untuk pengeluaran kalsium dari badan. Jadi dengan melanjutnya gagal ginjal, dokter harus berusaha mengatur fosfat, PTH dan vitamin D seoptimal mungkin dan juga keseimbangan kalsium dan homeostasisnya. Bilamana fungsi ginjal makin memburuk, maka cenderung semakin terjadi hiperfosfatemia dan produksi kalsitriol menurun, ini menyebabkan rangsang kumulatif untuk timbulnya hiperparatiroidisme sekunder. Bilamana kelenjar paratiroid terangsang terus menerus akan terjadi hipertrofi dan hiperplasi [9]. Selanjutnya, pasien dengan gagal ginjal kronik jaringan paratiroid sel-selnya cenderung sangat berproliferasi dan terjadi hiperplasi difus mungkin timbul nodul (monoclonal) karena ekspansi sel-sel paratiroid. Sel-sel paratiroid menjadi lebih resisten terhadap supresi yang ditandai dengan menurunnya elemen vitamin D dan juga berubahnya kepekaan reseptor kalsium [9, 10].

Perubahan ini pada tingkat kelenjar paratiroid mempunyai implikasi langsung terhadap dosis vitamin D yang dibutuhkan dalam pengobatan, menjadi lebih tinggi dari kadar fisiologik yang dibutuhkan untuk menekan sintesis PTH. Jadi secara umum, pada gagal ginjal terjadi gangguan homeostasis kalsium dan fosfor, metabolisme vitamin D dan pengaturan hormon paratiroid, gangguan ini menyebabkan kelainan pada tulang (osteodistrofi renal). Pada gagal ginjal tahap akhir, manifestasinya kompleks dan respon klinisnya terhadap disregulasi metabolisme mineral bervariasi, ini yang mempengaruhi berat ringannya penyakit tulang pada gagal ginjal kronik.[2, 4]. Pada stadium awal gagal ginjal kronik, interaksi ini abnormal ditandai dengan meningkatnya retensi fosfat, berkurangnya aktifasi vitamin D ginjal dan kurangnya absorbsi kalsium oleh usus, bila GFR semakin menurun maka akan terjadi hiperparatiroidisme. Bila hiperparatiroidisme tidak diobati akan berakibat penyakit tulang yang disebut osteodistrofi renal, yang meningkatkan risiko defomitas tulang (lihat gambar 1) dan fraktur, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan linier [2, 6]. Pada penelitian population base pada pasien yang dilakukan dialisis di Amerika Serikat menyokong adanya peningkatan risiko fraktur beberapa kali lebih tinggi dibanding kontrol sebagai akibat dari perubahan fenotip tulang yang bervariasi [4]. Akhir-akhir ini, paradigma berubah akibat temuan penting sekuele ekstra skeletal dari kalsifikasi metastase, khususnya kalsifikasi vaskuler [11]. Pada pasien gagal ginjal kronik, seringkali terjadi kalsifikasi ekstraskeletal antara lain: pada mata (konjungtivitis dan band keratopati), paru, jantung dan pembuluh darah. Kejadian kalsifikasi ekstraskeletal meningkat seiring dengan lamanya gagal ginjal dan sebagai akibat hiperfosfatemia, tinginya kadar produk kalsium dan fosfat, serta keseimbangan kalsium dan fosfat positif. Keseimbangan yang positif ini akan bertambah, karena absorbsi kalsium dan fosfat oleh gastrointestinal, seringkali pengambilan kalsium dan fosfat berlebihan melalui dialisis [12]. Pada tahun 1973, Contiguglia, dkk., mendapatkan bahwa kalsium pada kalsifikasi arteri yang berasal dari pembuluh darah pasien uremia, mengandung kristal hydroxyapatite (sama seperti yang ada pada tulang) [13]. Kira-kira 99,9% kalsium berada dalam tulang, kadar kalsium dalam plasma yang tinggi, menggambarkan penyimpanan yang jelek, karena tulang rangka merupakan buffer yang sangat efektif untuk mempertahankan kadar kalsium plasma dalam rentang normal dan hormon-hormon calciotropic (PTH dan vitamin D) berperan sangat penting untuk menyimpan kalsium dan fosfat kedalam tulang, atau bila perlu dilepaskan dari tulang, yang sangat penting disini adalah reseptor PTH dan vitamin D berada di banyak jaringan, termasuk pembuluh darah. Hal inilah yang menyebabkan kalsifikasi vaskuler [14]. Walaupun pedoman untuk pengelolaan osteodistrofi renal belum ada yang baku, namun secara umum dianjurkan untuk memantau kadar serum kalsium, fosfat dan PTH. Pemeriksaan kadar alkali fosfatase serum dapat membantu untuk mengevaluasi adanya penyakit tulang, karena asidosis metabolik juga dapat menyebabkan penyakit tulang, maka kadar bikarbonat serum juga perlu diperiksa. Pengobatan osteodistrofi renal menggunakan analog Vitamin D (mis. Calcitriol), suplementasi kalsium, pembatasan diet fosfat dan pemberian bahan pengikat fosfat (mis. Kalsium karbonat) [2]

Gambar 1. Seorang anak dengan osteodistrofi karena gagal ginjal kronik Defisiensi eritropoietin Eritropoitin adalah hormon yang secara endogen disintesis oleh ginjal dan hepar fetus. Eritropoitin merupakan stimulus penting sebagai prekursor eritroid pada sumsum tulang untuk mempertahankan eritropoisis normal. Pengaturannya melalui mekanisme rangsang jaringan terhadap oksigen, mungkin diperantarai oleh keadaan intracellular redox dan protein heme, sinyal memodulasi pengaturan transkripsi gen eritropoitin melalui hypoxia inducible factor 1 (HIF-1) [15, 16]. Produksi eritropoitin sebagian besar berasal dari sel-sel interstitial dalam korteks ginjal [17]. Apabila gagal ginjal melanjut, maka produksi eritropoitin juga menurun. Menurunnya produksi eritropoitin sangat berarti, karena akan berakibat anemia pada gagal ginjal kronik, namun kadang pada gagal ginjal kronik lanjut tidak terjadi anemia berat, keadaan ini umumnya disebabkan karena penyakit kista ginjal karena masih ada pemeliharaan pembentukan eritropoitin dan rangsang iskemik pada sel-sel didaerah sekitar kumpulan kista dan sel-sel inilah yang dapat mempertahankan produksi eritropoitin [18]. Sebagian besar pasien dengan gagal ginjal kronik terjadi anemia normositik normokromik, penyebab primernya adalah kekurangan produksi eritropoietin oleh ginjal [2]. Faktor-faktor lain yang menyebabkan anemia pada gagal ginjal kronik adalah defisiensi zat besi, kehilangan darah, kelainan hormonal dan peradangan. Anemia berakibat pada kesehatan jantung, tingkat energi, fungsi imun, dan fungsi intelektual, juga untuk perkembangan otak dan pertumbuhan fisik pada anak. Bila kadar hemoglobin kurang dari 11 g% maka harus dilakukan pemeriksaan [2]. . Pengobatan anemia karena gagal ginjal kronik, saat ini sudah dimungkinkan dengan adanya rekombinan human erythropoietin (EPO) sejak tahun 1980-an, ini sangat penting dalam pengelolaan gagal ginjal [19]. Biasanya diberikan secara subkutan atau intravena, satu sampai 3 kali seminggu. Banyak keuntungan dengan penggunaan preparat ini, antara lain menghindari anemia simptomatik dan besi yang berlebihan akibat transfusi, risiko infeksi dan sensitisasi antigen HLA yang biasanya meningkat, sambil menunggu waktu transplantasi, meningkatkan kualitas hidup serta fungsi kognitif [19]. Efek sampingnya sangat sedikit, yang sangat menonjol adalah naiknya tekanan darah, namun umumnya dapat dikelola tanpa menghentikan atau mengurangi dosis EPO.

Preparat yang dianjurkan adalah epoetin alfa dan Darbepoetin alfa. Dosis yang dianjurkan pada anak yang berusia lebih dari 5 tahun adalah 80 120 Unit/kgBB/minggu, diberikan secara subkutan dibagi dalam dua sampai 3 dosis, sampai tercapai target kadar hemogloblin 11 12 g%, keluhan yang sering terjadi adalah rasa sakit saat diberikan suntikan, sehingga perlu diberikan anestesi lokal pada tempat suntikan. Dianjurkan diberikan juga preparat besi peroral 3 6 mg/kgBB/hari sampai saturasi transferin mencapai 20% dan serum feritin paling sedikit 100 ng/mL [2]. Gangguan pertumbuhan linier Pertumbuhan normal merupakan hasil interaksi faktor genetik, nutrisi, metabolik dan endokrin. Sekresi hormon pertumbuhan (GH) oleh kelenjar hipofisis, dirangsang oleh Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) dari hipotalamus, somatostatin yang juga disekresikan oleh hipotalamus menghambat sekresi hormon pertumbuhan. Pada saat GH disekresikan kedalam sirkulasi secara pulsatil, maka dilepaskan Insuline Like Growth Factor 1 (IGF-1), ini yang menyebabkan pertumbuhan tulang. Dalam sirkulasi GH diikat oleh protein pengikat khusus (GHBP) yang bekerja pada reseptor GH ekstraseluler. IGF1 dalam sirkulasi diikat oleh beberapa protein pengikat (IGFBPs). IGFBP yang sangat tergantung pada GH adalah IGFBP-3 [20]. Anak yang menderita penyakit ginjal kronik, cenderung mengalami gagal tumbuh. Analisis dari North American Renal Trials and Collaborative Studies (NAPRTCS), pada anak gagal ginjal kronik, 37% perawakan pendek terjadi pada pasien saat diberikan pengobatan konsevatif, 47 % saat diberikan dialisis dan 43 % pada saat anak akan transplantasi ginjal. Etiologi perawakan pendek pada gagal ginjal kronik karena uremia penyebabnya multifaktor, antara lain malnutrisi, gangguan keseimbangan air dan elektrolit, asidosis metabolik, anemia dan gangguan hormonal yang menyangkut aksis hormon somatotropik dan gonadotropik [2, 21]. Sehingga pada pasien gagal ginjal kronik pertumbuhan harus selalu dipantau dengan mengukur tinggi dan berat badan setiap 3 4 bulan, bilamana tinggi badan kurang dari persentil 3 sesuai dengan umur dan jenis kelaminnya, maka gagal tumbuh [2]. Gagal tumbuh dapat terjadi dalam keadaan GH normal atau meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pada gagal ginjal kronik terjadi ketidak pekaan terhadap GH di perifer, kemungkinan karena mekanisme molekuler kurangnya densitas reseptor GH pada organ target dalam keadaan uremia, namun sampai saat ini pengukuran reseptor GH pada jaringan manusia masih belum memungkinkan, tetapi dapat diukur secara tidak langsung dengan mengukur kadar serum GH binding protein [22]. Pada manusia, afinitas yang tinggi GH Binding Protein (GHBP) dalam sirkulasi dapat menggambarkan ekspresi reseptor GH, karena bersal dari domain ekstraseluler reseptor GH dari pembelahan proteolitik. Pada penelitian terhadap 126 anak dengan gagal ginjal kronik, 77% kadar GHBP rendah [23] Insuline Like Growth Factor (IGF) dan kondrosit pada lempeng pertumbuhan, berperan penting pada pertumbuhan linier. Hormon pertumbuhan (GH) dan IGF berperan sinergis dalam merangsang proliferasi dan hipertropfi kondrosit pada lempeng pertumbuhan sehingga sangat berperan pada pertumbuhan linier. Pada anak dengan gagal ginjal kronik, terjadi banyak sekali kelainan pada aksis GH-IGF. Walaupun kadar serum IGF pada anak ini dalam rentang normal, namun aktivitas biologiknya rendah, hal ini karena berlebihnya unsaturated IGF yang terikat pada binding site [23, 24]. Pengobatan dengan hormon pertumbuhan telah disepakati secara umum untuk meningkatkan tinggi badan akhir pada

anak prepubertas yang mengalami gagal ginjal kronik, namun pada anak usia pubertas efeknya tidak jelas [21]. Powell DR, dkk (1998) memberikan GH rekombinan pada 44 anak pendek usia 2 - 11 tahun karena gagal ginjal kronik, memberikan hasil yang baik (lihat gambar 1) [24]. Pengobatan yang diberikan dengan suntikan GH rekombinan dengan dosis 0,35 mg/kgBB/minggu atau 0,05 mg/kgBB/hari, tentunya juga dilakukan koreksi terhadap anemia dan asidosis metaboliknya serta perbaikan nutrisinya (lihat gambar 2) [2]. Pada penelitian Nissel R, dkk (2008), yang melibatkan 193 anak laki-laki dan 47 anak perempuan, dengan pengobatan hormon pertumbuhan memberikan peningkatan tinggi badan yang sangat bermakna (p < 0,0001) [21]

Gambar 2. Menunjukkan grafik pertumbuhan linier seorang anak berusia 3 tahun dengan gagal ginjal kronik, setelah diberikan GH rekombinan tinggi badannya meningkat. (dkutip dari [2] Pubertas terlambat dan Hipogonadisme Pubertas terlambat adalah suatu keadaan pada remaja yang tidak timbul tandatanda perkembangan seksual sesuai dengan umur kronologiknya, dalam keadaan normal pada perempuan tanda mulainya pubertas pada usia 13 tahun dan pada laki-laki usia 14 tahun. Seringkali keadaan ini didasari penyakit kronik antara lain penyakit gagal ginjal kronik [25]. Pada gagal ginjal kronik, kadar testosteron dan dihydrotestosteron dalam

plasma rendah dan kadar LH normal atau meningkat, ini menunjukkan bahwa defek primer pada fungsi sel Leydig testis. Dua per tiga pasien gagal ginjal kronik mengalami hipogonadisme, disebabkan karena defsiensi androgen dan menurunnya kepekaan sel Leydig tehadap rangsang LH. Hal ini karena adanya uremia yang menghambat reseptor LH dan sel Leydig menjadi kurang peka terhadap rangsang LH [26], karena berkurangnya fungsi sel Leydig, menyebabkan produksi testosteron berkurang, ditambah dengan meningkatnya klirens testosteron maka kadar serum testosteron menjadi rendah [27]. Ferraris J, dkk (1980), meneliti 31 anak laki-laki dengan gagal ginjal kronik yang berusia 11,7 20 tahun, didapatkan pada sebagian besar pasien maturasi genital dan umur tulang terlambat dibanding usia kronologisnya [28]. Pada penelitian randomized control trial dengan pemberian nandrolone decanoate, derivat 19-nortestosterone, secara bermakna meningkatkan lean body mass dan fungsi fisik, serta menurunnya rasa letih [29]. Pengobatan hormonal hormonal agar pasien dapat mencapai status pubertas normal kembali. Pada perempuan diberikan terapi estrogen conjungated 0,3 mg/hari atau ethinyl estradiol 5 ug/hari selama 6 bulan sampai ada perdarahan menstruasi kemudian estrogen dan progesteron (medroxyprogesterone acetate 5 mg/hari) diberikan bersama sampai hari ke 12 21 dosisnya dapat dinaikkan secara bertahap, diberikan terus menerus sesuai siklus bulanan. Pada laki-laki diberikan androgen, umumnya diberikan testosteron injeksi kerja lama 50 75 mg setiap 3 4 minggu sampai tanda pubertas muncul, namun harus hati-hati terhadap cepatnya maturasi tulang [30]. RINGKASAN Keterlibatan sistem endokrin sudah mulai terjadi pada awal gagal ginjal kronik, lebih manifes bila gagal ginjal melanjut. Kelainan ini terjadi akibat menurunnya sintesis hormon-hormon endogen dan eksogen ginjal, berkurangnya kliren metabolik renal dan ekstrarenal, perubahan mekanisme sinyal homeostasis pada gagal ginjal kronik, perubahan ikatan hormon dan perubahan respon jaringan terhadap hormon. Dalam makalah ini dibahas kelainan yang mengenai fosfat, kalsium, vitamin D dan hormon paratiroid, yang mengakibatkan osteodistrofi dan fraktur. Perawakan pendek yang terjadi pada gagal ginjal kronik, walaupun kadar GH normal, dengan terapi GH memberikan hasil yang baik sebelum dilakukan transplantasi ginjal. Defisiensi eritropoietin, menyebabkan anemia pada pasien ini, yang bila diberikan EPO memberikan hasil yang baik, dapat mempertahankan kadar hemoglobin sekitar 11 g% sehingga tumbuh kembang anak dapat tetap baik. Pubertas terlambat dan Hipogonadisme, yang terjadi pada gagal ginjal kronik karena kurang baiknya fungsi sel Leydig, bila terjadi hipogonadisme dan pubertas terlambat dapat diberikan hormon seks yang dapat memperbaiki keadaan kesehatan pasien.. Akhir kata, yang kita kelola adalah pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik dengan berbagai masalah dan komplikasinya. Keterlibatan endokrin pada pasien ini hanya salah satu yang perlu diamati dan dipantau kemungkinan terjadinya, bukan masalah utama.

DAFTAR PUSTAKA [1] Levey AS, Coresh J, Balk E, etal. National Kidney Foundation practice guidelines for chronic kidney disease: Evaluation, classification, and stratification. Annals of Internal Medicine. 2003;139:13747. [2] Miller D, MacDonald D. Management of Pediatric Patients With Chronic Kidney Disease. Pediatric Nursing. 2006;32:128-34. [3] Tisher CC, Bastl CP, Bistrian BR, Chesney R, Coggins C, Diener-West M, et al. Morbidity and Mortality of Dialysis. NIH Consens Statement 1993 Nov 1-3. 1993;11:133. [4] Leavey SF, Weitzel WF. Endocrine abnormalities in chronic renal failure. Endocrinol Metab Clin N Am. 2002;31:10719. [5] Norman AW. The Vitamin D Endocrine System. The Physiologist. 1985;28:21931. [6] Ahmad R, Hammond JM. Primary, secondary, and tertiary hyperparathyroidism. Otolaryngol Clin N Am. 2004;37:70113. [7] Bricker NS. On the pathogenesis of the uremic state. An exposition of the tradeoff hypothesis.. N Engl J Med. 1972;286:10939. [8] Lopez-Hilker S, Dusso AS, Rapp NS, Martin KJ, Slatopolsky E. Phosphorus restriction reverses hyperparathyroidism in uremia independent of changes in calcium and calcitriol. Am J Physiol. 1990;259:432 - 7. [9] Felsenfeld AJ. Considerations for the treatment of secondary hyperparathyroidism in renal failure. J Am Soc Nephrol. 1997;8:9931004. [10] Brown EM, Gamba G, Riccardi D, Lombardi M, Butters R, Kifor O, et al. Cloning and characterization of an extracellular Ca(2+)sensing receptor from bovine parathyroid. Nature. 1993;366:57580. [11] Goldsmith D. Vascular Calcification in Renal Failure. Business Briefing: US Kidney & Urological Disease 2005. [12] Block GA, Port FK. Re-evaluation of risks associated with hyperphosphatemia and hyperparathyroidism in dialysis patients: Recommendations for a change in management. Am J Kidney Dis. 2001;35:122637. [13] Contiguglia SR, Alfrey AC, Miller NL, Runnells DE, LeGeros RZ. Nature of soft tissue calcification in uremia. Kidney Int. 1973;4:22935. [14] Jones G, Strugnell SA, DeLuca HF. Current understanding of the molecular actions of vitamin D. Physiol Rev. 1998;78:193231. [15] Daghman NA, Elder GE, Savage GA, Winter PC, Maxwell AP, Lappin TR. Erythropoietin production: Evidence for multiple oxygen sensing pathways. Ann Hematol. 1999;78:2758. [16] Geiszt M, Kopp JB, Varnai P, Leto TL. Identification of renox, an NAD(P)H oxidase in kidney. Proc Natl Acad Sci USA. 2001;97:80104. [17] Maxwell PH, Osmond MK, Pugh CW, Heryet A, Nicholls LG, Tan CC, et al. Identification of the renal erythropoietin-producing cells using transgenic mice. Kidney Int. 1993;44:114962. [18] Eckardt KU, Mollmann M, Neumann R, Brunkhorst R, Burger HU, Lonnemann G, et al. Erythropoietin in polycystic kidneys. J Clin Invest. 1989;84:11606. [19] Macdougall LC. Higher target haemoglobin level and early anaemia treatment: Different or complementary concepts? Nephrol Dial Transplant. 2000;15:37.

[20] Kemp S. Growth Failure. Pediatric Endocrinology 2007 Nov 16 [cited; Available from: http://www.emedicine.com/ped/topic902.htm [21] Nissel R, Lindberg A, Mehls O, Haffner D. Factors predicting the near-final height in growth hormone treated children and adolescents with chronic kidney disease. J Clin Endocrin Metab. 2008;1:1-14. [22] Nshoff BT, Cronin MJ, Reichert M, Haffner D, Wingen A-M, Blum WF, et al. Reduced Concentration of Serum Growth Hormone (GH)-Binding Protein in Children with Chronic Renal Failure: Correlation with GH Insensitivity. J Clin Endocrinol Metab. 1997;82:100713. [23] Tonshoff B, Cronin MJ, Reichert M, Haffner D, Wingen A-M, Blum WF, et al. Reduced Concentration of Serum Growth Hormone (GH)-Binding Protein in Children with Chronic Renal Failure: Correlation with GH Insensitivity. J Clin Endocrinol Metab. 1997;82:100713. [24] Powell DR, Durham SK, Liu F, Baker BK, Lee PDK, Watkins SL, et al. The Insulin-Like Growth Factor Axis and Growth in Children with Chronic Renal Failure: A Report of the Southwest Pediatric Nephrology Study Group. J Clin Endocrinol Metab. 1998;83:165461. [25] McKeever MO. Delayed Puberty. Pediatr Rev. 2000;21:250. [26] Kalyani RR, Gavini S, Dobs AS. Male Hypogonadism in Systemic Disease. Endocrinol Metab Clin N Am. 2007;36:33348. [27] Dunkel L, Raivio T, Laine J, etal. Circulating luteinizing hormone receptor inhibitor(s) in boys with chronic renal failure. Kidney Int. 1997;22:14561. [28] Ferraris J, Saenger P, Levine L, New M, Pang S, B.Saxena B, et al. Delayed puberty in males with chronic renal failure. Kidney International. 1980;18:344-50. [29] Johansen KL, Mulligan K, Schambelan M. Anabolic effects of nandrolone decanoate in patients receiving dialysis: a randomized controlled trial. JAMA. 1999;281:127581. [30] Reiter EO, Lee PA. Delayed puberty. Adolesc Med. 2002;13:101-18.

Вам также может понравиться