Вы находитесь на странице: 1из 4

Berbagi Demi Kehidupan yang Lebih Baik

Beranda Aku Humor Pelatihan Penelitian Peraturan Perjalananku Referensi

Daerah Khusus Memang Harus Beda


Desember 9, 2010 tags: apbd, daerah, DIY, Gubernur, istimewa, Jogja, khusus, korupsi, otonomi daerah, Sultan Hamengkubuwono X, Yogyakarta by syukriy Tri Agung Kristanto Sampai Presiden Soeharto lengser tahun 1998, di Indonesia hanya ada tiga daerah khusus atau istimewa, yaitu Yogyakarta, Aceh, dan Jakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh jadi istimewa karena kesejarahan dan peran dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. DI Aceh menjadi istimewa, berbeda dengan daerah lain, karena peran ulama yang besar dalam kemerdekaan Indonesia. Sebagai Serambi Mekkah, rakyat Indonesia di daerah lain menerima saat pemerintah dan DPR memutuskan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang menggantikan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang mengakui penerapan syariat Islam, termasuk dalam bidang hukum. Sampai saat ini, Aceh tetap daerah istimewa yang berbeda dengan provinsi lain. Meskipun dalam nomenklatur UU-nya tak ada lagi nama istimewa. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kini menjadi satu-satunya provinsi yang masih mempertahankan kata istimewa dalam UU-nya, yakni UU Nomor 3 Tahun 1950. Draf Rancangan UU yang diusulkan rakyat Yogyakarta, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemerintah tetap mempertahankan kata istimewa itu. Tampaknya memang ada kesamaan semangat dari penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah, untuk menekankan kata istimewa, dalam RUU Keistimewaan DIY. Ini mungkin saja terkait peran kesejarahan Keraton Yogyakarta, Puro Pakualam, dan rakyat Yogyakarta dalam sejarah NKRI.

Oleh karena itu, selama ini hampir tak ada keberatan dari provinsi lain, termasuk dari kerajaan di Nusantara, terhadap peran besar Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) sebagai pemimpin Keraton Yogyakarta dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam dalam pemerintahan DIY. Bahkan, sejarah membuktikan, tak ada keberatan saat Sultan HB IX merangkap jabatan sebagai menteri atau wakil presiden, bersamaan dengan jabatan Gubernur DIY. Meskipun de facto jabatan Gubernur DIY itu dilaksanakan Sri Paku Alam (PA) VIII, yang saat itu juga merangkap sebagai Wakil Gubernur DIY. Hampir semua rakyat Indonesia memaklumi hal itu sebagai bagian dari keistimewaan DIY. Keistimewaan Provinsi DKI Jakarta lain lagi. Sebagai ibu kota negara, Jakarta membutuhkan pengaturan yang pasti berbeda dengan provinsi lain. Inilah satu-satunya provinsi di negeri ini yang tidak dibentuk oleh satuan pemerintahan kota/kabupaten yang lengkap. DKI Jakarta memiliki kota/administratif saja sehingga setelah masa reformasi pun tak ada pemilihan wali kota atau bupati langsung di Jakarta. Setelah reformasi, Papua pun diakui sebagai daerah khusus. Keistimewaan Papua terkait dengan peran masyarakat adat dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Papua Barat, sebagai provinsi baru pecahan Papua, juga menikmati kekhususan itu. Lagi-lagi sebagian besar rakyat Indonesia lainnya menerima perbedaan perlakuan kepada Papua karena memahami perbedaan latar belakang dan kebutuhan provinsi itu. Guru Besar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Indonesia (UI) Paulus Effendi Lotulung dan Guru Besar Hukum Tata Negara UI Jimly Asshidiqqie, pekan lalu di Bengkulu, mengingatkan, daerah dengan status khusus atau istimewa memang memerlukan pengaturan dan perlakuan yang berbeda dengan daerah lain. Ini disesuaikan dengan sejarah, asal-usul, dan kebutuhan daerah itu. Bahkan, keduanya sepakat, dengan berbagai perkembangan daerah saat ini dan melihat asalusulnya bisa muncul daerah khusus atau istimewa baru. Bali, misalnya, bisa menjadi daerah khusus terkait posisinya sebagai daerah tujuan wisata utama di negeri ini. Bisa saja kekhususannya adalah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali bebas visa dan perdagangan di provinsi itu dengan mata uang yang beragam. Dalam sebuah dialog di televisi, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan, dari 33 provinsi di negeri ini, kecuali DIY, semua gubernurnya dipilih langsung. Jadi, perlu penyeragaman? Lalu, di mana kekhususan atau keistimewaan itu di mata pemerintah pusat?Kompas

Pendekatan Sosiologis. Dalam cara pandang sosiologis, konflik dikaitkan dengan masalah primordial. Ia menekankan pada keunikan dan keberadaan budaya yang satu sama lain saling terbatas serta kelompok yang menaunginya. Mereka menjelaskan konflik dalam istilah kekuatan psikologi dan budaya dalam mana individu di dalam kelompok memahami diri dan pihak lain. Termasuk ke dalam pendekatan sosiologis ini adalah masalah prasangka dan stereotip. Prasangka mengacu pada sikap bermusuhan yang ditujukan terhadap suatu kelompok atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai cirri yang tidak menyenangkan.2 Ia disebut prasangka akibat dugaan yang dianut orang yang berprasangka tidak didasarkan pada pengetahuan, pengalaman ataupun bukti yang cukup memadai. Misalnya, prasangka bahwa perempuan itu lemah, cerewet, merepotkan, dan sejenisnya merupakan sejumlah contoh. Sementara itu stereotip adalah citra yang kaku mengenai suatu kelompok rasa tau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Stereotip biasanya diaplikasikan kepada suatu ras atau suku bangsa, sementara prasangka lebih kepada individu dan kelompok sosial yang lebih kecil. Stereotip dapat berupa dua, yaitu positif dan negative. Sisi positif misalnya pandangan bahwa orang Cina dan Padang pintar berdagang, orang Bugis dan Makassar pelaut pemberani, orang Jawa mampu hidup di mana saja, dan sejenisnya. Sementara stereotip negative misalnya pandangan bahwa orang Polandia itu kotor, bodoh, dan kasar, orang Batak itu kasar dan besar mulut, atau orang Kawanua gemar pesta dan boros. Pendekatan Sosiologi-Politik. Pendekatan ini menggariskan pandangan pada sifat etnis yang sudah terbangun secara sosial dan kekerapan konflik yang kemudian muncul punya basis instrumental. Basis ini kemudian menjadi mekanisme bagi individu dan kelompok untuk memenuhi kepentingan mereka. Suku bangsa merupakan suatu bentuk jadi yang diperoleh lewat proses. Suku bangsa merupakan proses menjadi yang tercipta akibat adanya gerakan di masyarakat tersebut. Misalnya, Jong Sumatranen Bond 1920-an di Indonesia, terbentuk akibat keinginan peleburan etnis Sumatera yang berbeda-beda (Batak, Padang, Palembang, Aceh) ke dalam satu suku bangsa saja: Sumatera. Pada perkembangannya, kelompok sosial yang terbentuk bukan lagi pada sesuatu yang given semisal suku bangsa Batak, Minangkabau, atau Betawi, tetapi dialiri oleh factor politik, baik yang bercorak positif maupun negative. Sebab itu, dalam pendekatan Sosiologi-Politik ini dikenal adanya 2 arus pergerakan. Pertama, penekanan pada peran dari elit intelektual dan politik dalam membentuk dan memelihara konsepsi diri dan kelompok. Budaya, untuk sebagian, merupakan derivasi (turunan) dari power relation (hubungan kekuasaan) yang dominan di dalam suatu komunitas, sebab itu formasi budaya dan dinamika yang kemudian berkembang merupakan pengejawantahan dari struktur kekuasaan yang ada. Ekonomi Politik. Pendekatan ekonomi-politik menggeser titik perhatian atas fenomena konflik dari sisi actor individual kea rah sturktur-struktur masyarakat yang memberikan insentif material. Kelangkaan dan kesulitan distribusi kemakmuran merupakan titik tekan pendekatan ini. Bagi pendekatan ini, selama ada kondisi dominasi dan eksploitasi dalam masyarakat, perdamaian tidak pernah akan muncul.

Perbedaan distribusi pendapatan, ketimpangan horizontal, dan perbedaan akses atas kekuasaan dan sumber daya, merupakan titik kajian dari pendekatan ekonomi-politik terhadap konflik vandal dan violence. Pendekatan Antropologis. Sesuai namanya, pendekatan antropologis terhadap konflik focus pada aspek manusia. Utamanya perhatian pada adanya atau ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik dalam masyarakat. Akar-akar konflik yang biasanya muncul menurut tesis pendekatan ini adalah perbatasan wilayah kelompok, kepemilikan, sumber air, kepemimpinan, dan dinamika keluarga seperti prosedur warisan, pertikaian rumah tangga, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pendekatan antropologis yang menekankan aspek manusia punya keuntungan. Pertama, mereka lebih focus pada how to solve conflict dengan mengajukan pertanyaan seperti apakah factor penyebab konflik itu keragaman agama, etnis, bahasa, distribusi sumber daya, atau masalah yang berkaitan dengan factor geografis? Kedua, mereka menolak penjelasan konflik yang state-centric. Orang Dayak, Maluku, Madura, mungkin saja mengaku sebagai sebangsa Indonesia, tetapi mengapa konflik tetap muncul? Keempat pendekatan di atas berguna dalam menyelidiki konflik-konflik yang berkembang di Indonesia. Terkadang, beberapa pendekatan saling bertumpang-tindih tatkala kita menjelaskan suatu fenomena konflik di Indonesia. Ini tidak bisa terhindarkan akibat konflik antara manusia bukanlah sesuatu yang sederhana dan monofaktor.

Вам также может понравиться