Вы находитесь на странице: 1из 13

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR RUMAH SAKIT DENGAN MEMBRAN BIOREAKTOR

Argentha Ardhy ( 21030110151040 ) dan Yuniarti Dewi Damayanti ( 21030110151059 ) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, 50293, Telp/Fax : (024) 7460058 Pembimbing : Dr.rer.nat. Heru Susanto, ST, MM, MT

Limbah cair rumah sakit merupakan bahan buangan yang berbentuk cair yang berasal dari limbah domestik dan limbah klinis atau laboratorium. Selama ini pengolahan limbah cair rumah sakit yang umum digunakan adalah menggunakan konvensional activated sludge (CAS), yang mempunyai beberapa kelemahan, yaitu waktu pengolahan yang lama, kualitas effluent yang tidak stabil dan dibutuhkan lahan yang luas untuk proses pengendapan. Untuk itu perlu dikembangkan proses pengolahan alternatif untuk mengatasi kelemahan yang ada pada proses pengolahan secara konvensional. Salah satunya dengan system membrane-bioreaktor, gabungan bioreactor dan membran dapat meningkatkan konsentrasi biomassa dalam reactor. Membran disini untuk memisahkan padatan biomassa dengan cairan, sehingga effluent yang dihasilkan bebas dari biomassa. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil yang baik untuk pengolahan air limbah rumah sakit, yaitu effisiensi penyisihan kekeruhan, TSS, Amonia dan Logam Fe sangat efektif mencapai 99 % , effisiensi penyisihan COD mencapai 76-80% serta effisiensi penyisihan phospat mencapai 67-71%. Pengolahan limbah cair rumah sakit dengan menggunakan Membran Bioreaktor, nilai untuk setiap parameter yang diuji secara laboratorium dapat disimpulkan masih masuk baku mutu limbah cair rumah sesuai dengan Perda Jateng No. 10 tahun 2004, yaitu untuk parameter TSS, Turbidity, BOD, COD, Amonia, Phospat, logam Fe dan Total Coli. Kata kunci : limbah cair rumah sakit, konvensional activated sludge, membran bioreaktor. Abstract Hospital wastewater is form of liquid waste from domestic waste and clinical waste or laboratory. In hospital wastewater treatment commonly used a conventional activated sludge (CAS), which has several weaknesses, they are a long processing time, the quality of effluent that is not stable and large area required for the sedimentation process. For this its necessary to develop an alternative process to overcome the weaknesses that exist in conventional processing. One of them with membrane-bioreactor system, a combination of bioreactor and the membrane can increase the concentration of biomass in a reactor. The membrane here to separate the solid biomass to liquid, so that the effluent free from biomass. From the results of this study obtained good results for hospital waste water treatment, the efficiency of allowance for turbidity, TSS, Ammonia and Metal Fe has effectively reach 99%, elimination efficiency reached 76-80% for COD and elimination efficiency reached 67-71% for phosphate. Hospital waste water treatment using Membrane Bioreactor, the value for each parameter tested in the laboratory can be concluded still good quality standard in accordance with regulation of Perda-Jateng No. 10 of 2004, ie for parameters TSS, Turbidity, BOD, COD, ammonia, phosphate, metals Fe and Total Coli. Keyword : hospital wastewater, conventional activated sludge, membrane bioreactor.

Pendahuluan Rumah sakit dalam kegiatannya banyak menggunakan bahan-bahan yang berpotensi mencemari lingkungan, karena limbahnya biasa mengandung kuman infeksius, logam berat (karsinogenik) maupun radioaktif. Oleh karena itu untuk penanganan limbah rumah sakit yang dihasilkan harus dikelola sesuai dengan karakteristik dan volume limbah sehingga dapat meminimalkan dampak negatif yang dihasilkan dan tidak mencemari lingkungan. Pengolahan limbah cair rumah sakit, pada umumnya menggunakan lumpur aktif (activated sludge), untuk air limbah rumah sakit yang bersifat infeksius dan toksik akan membutuhkan waktu lama untuk mendegradable atau menguraikannya dengan menggunakan activated sludge, disamping itu peningkatan konsentrasi biomassa dengan cara mempertinggi waktu tinggal lumpur atau sludge retention time (SRT) menimbulkan permasalahan tersendiri di dalam proses lumpur aktif. Lumpur yang terbentuk sebagai akibat dari penggunaan SRT yang tinggi biasanya sukar mengendap dan sering dikenal dengan bulking sludge dan akan mengakibatkan kualitas effluent air limbah melebihi baku mutu air limbah rumah sakit. Untuk mengatasi masalah tersebut dikembangkan proses pengolahan air limbah dengan menggunakan membrane bioreactor (MBR). Teknologi MBR yang sering digunakan yaitu untuk pengolahan air limbah seperti air limbah rumah tangga [6] dan limbah industri[1].Aplikasi membran ultrafiltrasi untuk mengolah air limbah dapat diterima secara luas karena secara konsisten menghasilkan air buangan lebih baik. Beberapa penelitian terdahulu mengenai kombinasi proses lumpur aktif dan membrane telah dilakukan antara lain oleh Futamura, O. dkk (1994) dan Liu, Q dkk (2009). Dari berbagai penelitian tersebut memberikan hasil menggembirakan. Beberapa hasil yang diperoleh antara lain, yaitu keluaran bebas dari padatan tersuspensi[7], proses pengolahan memberikan efisiensi COD diatas 97%[5] dan mampu mereduksi lebih dari 80% untuk parameter COD,BOD,TSS, dan Amonia[9]. Dari data yang kita peroleh, effluent air limbah rumah sakit yang ada di daerah Jawa Tengah masih ada parameter yang berada di atas baku mutu, sesuai dengan baku mutu KEPMEN No 58/MENLH/12/1995[3] dan Perda Jateng No. 10 tahun 2004[4], yaitu untuk parameter BOD, COD, Amonia, Phospat dan Total Coli. Sehingga pada penelitian ini akan memfokuskan pada reduksi TSS, COD, Amoniak, Phospat, kekeruhan serta logam besi dengan menggunakan Membrane Bio Reaktor (MBR) yaitu kombinasi dari proses activated sludge dan membran ultrafiltrasi agar effluent yang dihasilkan sesuai dengan baku mutu air limbah rumah sakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik limbah cair rumah sakit, mempelajari karakteristik fluks dan rejeksi terhadap beda tekanan dan waktu tinggal serta mengetahui perbandingan antara air limbah yang di olah dengan proses activated sludge dan membran ultafiltrasi. Bahan dan Metode Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air limbah sintetis yang di buat dengan mencampurkan larutan induk COD yaitu Kalium Hidrogen Pthalat (KHP), larutan induk amonia yaitu Ammonium Chlorida (NH4Cl), larutan induk phospat yaitu Kalium dihidrogen Phospat ( KH2PO4) serta larutan induk Fe yaitu Feri Chlorida (FeCl3.6H2O); air limbah rumah sakit yang di ambil dari rumah sakit Ketileng; lumpur aktif yang di ambil dari PT NISSIN serta reagen untuk analisa COD, amonia, phospat serta logam Fe. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah modul ultrafiltrasi; reaktor volume 18lt; pompa; selang; valve; erlenmeyer; beaker glass; spektrofotometer UV-VIS untuk analisa COD, amonia, phospat, logam Fe; spektrofotometer HACH untuk analisa TSS, Turbidity meter untuk analisa kekeruhan; reaktor COD serta buret digital untuk analisa BOD.

Gambar 1. Rangkaian Alat Membran Bioreaktor Dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu tahap pendahuluan untuk mengetahui karakterisasi limbah cair, tahap seeding dan aklimatisasi, tahap penelitian secara batch, tahap penelitian secara kontinyu untuk limbah sintetis dan penerapan limbah rumah sakit yang sesungguhnya. 1. Pada tahap pendahuluan dilakukan penelitian terhadap limbah sintetis dan limbah rumah sakit yang sesungguhnya untuk mengetahui karakteristik limbah cair rumah sakit tersebut. Sehingga di dapatkan komposisi limbah sintetis sebagai berikut TSS 232mg/lt; COD 312mg/lt; amonia 47,36mg/lt; phospat 54,28mg/lt; kekeruhan 241NTU serta logam Fe 6,38mg/lt. Sedangkan komposisi influent limbah rumah sakit Ketileng sebagai berikut pH 6,5; suhu 31oC; BOD 23,04mg/lt; TSS 105mg/lt; COD 159,1mg/lt; ammonia 13,01mg/lt; phospat 4,38mg/lt; Total Coli 22.000 MPN/100ml; kekeruhan 81,9NTU serta logam Fe 0,487mg/lt. 2. Pada tahap seeding dan aklimatisasi lumpur aktif di ambil dari PT NISSIN. Untuk meningkatkan MLSS maka lumpur aktif yang diperoleh di aerasi dan ditambahkan substrat glukosa serta nutrien nutrien yang diperlukan. Oksigen terlarut dijaga > 2 mg/lt. Penambahan nutrien berdasarkan perbandingan BOD:N:P = 100:5:1[2]. Setelah konsentrasi MLSS sesuai dengan variabel yang ditetapkan ( 2000-3000 mg/lt atau SV 30 sekitar 30-40 %), selanjutnya dilakukan tahap aklimatisasi. Tahap aklimatisasi merupakan tahap penyesuaian mikroorganisme agar mampu mendegradasi air limbah rumah sakit. Lumpur diendapkan selama 2 jam lalu di buang dan supernatan digantikan dengan limbah sintetis dalam jumlah yang sama. Dalam penelitian ini volume reaktor sebesar 18 lt, sehingga lumpur yang digunakan sebanyak 8100 ml untuk mencapai SV30. Adaptasi lumpur aktif dilakukan dengan cara memasukkan air limbah sedikit demi sedikit ke dalam reaktor. Pemasukkan air limbah dilakukan setiap hari secara bertahap mulai dari 10%, 20%, 30%, 40% dan seterusnya. Aklimatisasi berakhir setelah air limbah yang dimasukkan mencapai 100%. 3. Pada tahap penelitian secara batch menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi COD dipengaruhi oleh waktu tinggal, dimana semakin lama waktu tinggal maka prosentase penurunan COD semakin besar. Untuk waktu tinggal 3 jam penurunan COD 49,54%; waktu tinggal 6 jam penurunan COD 62,18%; waktu tinggal 8 jam penurunan COD 70,58%; waktu tinggal 10 jam penurunan COD 78,36%, waktu tinggal 12 jam penurunan COD 97,88% serta waktu tinggal 24 jam penurunan COD 98,89%. Pada waktu tinggal 12 24 jam konsentrasi COD cenderung konstan. Sehingga dalam penelitian ini waktu tinggal divariasikan 12 jam, 18 jam dan 24 jam. 4. Pada tahap penelitian secara kontinyu dilakukan dengan limbah sintetis dan limbah cair rumah sakit Ketileng. Sebelum dilakukan pengoperasian antara bioreaktor ( CAS ) dengan membran eksternal, maka perlu dilakukan uji kompaksi membran terlebih dahulu. Tujuan uji

kompaksi membran yaitu untuk memampatkan pori-pori membran agar diperoleh aliran permeat yang merata dan menghasilkan nilai fluks yang konstan pada Trans Membrane Pressure (TMP) yang konstan pula. Uji kompaksi membran dilakukan dengan cara mengatur speed controller pada pompa hisap secara perlahan hingga didapatkan tekanan hisap pompa mencapai 5 bar. Uji kompaksi dilakukan selama 30 menit dengan menggunakan aquadest dan dilakukan setiap kali membran akan digunakan untuk pengoperasian bioreaktor ( CAS ) dengan membran eksternal. Dari variasi yang dilakukan pada penelitian ini maka dilakukan uji kompaksi sebanyak 17 kali. Setelah uji kompaksi selama 30 menit maka tekanan diturunkan dari tekanan 5 bar menjadi tekanan 2 bar, 3 bar atau 4 bar. Permeat yang berupa aquadest ditampung selama waktu tertentu untuk menghitung fluks awal ( J0 ). Pengukuran fluks dilakukan dengan cara menampung sampel (permeat) yang mengalir dalam satu gelas ukur sampai waktu tertentu ( dalam menit, jam sampai harian ), kemudian dicatat volumenya. Sehingga besar fluks permeat dapat diketahui dengan menggunakan persamaan 1 ..(1) Dimana : J = Fluks (lt /m2 jam) A = Luas permukaan membrane (m2) V = Volume permeat (lt) t = Waktu (jam)

Sedangkan parameter yang digunakan untuk menggambarkan selektivitas membrane adalah koefisien rejeksi (R), yang dapat dihitung dengan persamaan 2 (2) Dimana : R = Koefisien rejeksi (%) Cp = Konsentrasi zat terlarut permeat Cf = Konsentrasi zat terlarut umpan

Dari variabel waktu tinggal (HRT) 12,18 dan 24 jam serta tekanan 2,3 dan 4 bar untuk limbah sintetis, hasil yang paling optimum yaitu pada HRT 24 jam dan tekanan 2 bar. Sehingga variabel tersebut yang digunakan untuk penerapan limbah rumah sakit yang sesungguhnya. Hasil effluent kemudian dibandingkan antara pengolahan CAS dengan MBR untuk parameter TSS, COD, ammonia, phospat, kekeruhan serta logam Fe untuk air limbah sintetis dan air limbah rumah sakit Ketileng. Hasil dan Pembahasan Pada gambar 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi tekanan suatu membran maka semakin tinggi pula fluks yang dihasilkan ( permeat ). Namun hal ini tentu saja akan meningkatkan kemungkinan membran akan rusak lebih cepat disebabkan koyaknya membran akibat tekanan yang begitu besar[8].Tetapi pada waktu tinggal 12 jam pada tekanan 3 bar mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena ukuran pori, porositas, ketebalan serta struktur masing - masing membran tidak sama dan juga disebabkan karena tekanan tidak stabil serta permeate yang keluar tidak lancar sehingga volume permeate pada tekanan 3 bar lebih sedikit. Permeabilitas sangat mempengaruhi efisiensi pemisahan pada proses membran, dimana tergantung pada struktur membran seperti distribusi ukuran pori, bentuk pori, porositas dan tortuositas. Pada waktu tinggal 18 jam terjadi kenaikan fluks yang sangat signifikan pada tekanan 5 bar. Hal ini disebabkan karena pada saat itu kondisi lumpur aktif sedang menurun yaitu pH menjadi asam. Sedangkan pada waktu tinggal 24 jam kenaikan fluks cenderung stabil.

Gambar 2 Hubungan antara fluks awal (J0) dengan berbagai tekanan pada waktu tinggal 12,18 dan 24 jam

Proses perpindahan dalam membran terjadi jika ada driving force pada komponenkomponen umpan. Dengan adanya TMP sebagai driving force menyebabkan suspensi fluida dan material-material di dalamnya berpermeasi ke dalam membran dan menjadi permeat. Oleh karena itu, pada proses pemisahan dengan membran kinerja proses sangat dipengaruhi oleh tekanan. Pada pengoperasian membran harus dilakukan analisa fluks untuk mengetahui umur membran sehingga dapat diketahui kapan waktu pembersihan atau penggantian membran. Membran yang akan digunakan sebelumnya harus dilakukan uji kompaksi terlebih dahulu untuk membuka pori-pori membran sehingga diperoleh fluks yang maksimal. Variasi TMP terhadap dinamika fluks permeat pada waktu tinggal 12 , 18 dan 24 jam dapat dilihat pada Gambar 3,4 dan 5.

Gambar 3. HRT 12 jam

Gambar 4. HRT 18 jamGambar 5. HRT 24 jam

Pada gambar 3. fluks awal pada tekanan 2 bar sebesar 0,718 turun hingga 0,560 dalam waktu 60 menit(J0=209,28). Pada tekanan 3 bar fluks menurun dari 0,715 hingga 0,509 dalam waktu 60 menit(J0=201,24). Sedangkan pada tekanan 4 bar fluks turun dari 0,706 menjadi 0,413 dalam waktu 60 menit(J0=272,47).

Pada gambar 4. fluks awal pada tekanan 2 bar sebesar 0,771 turun hingga 0,632 dalam waktu 60 menit(J0=140,21). Pada tekanan 3 bar fluks menurun dari 0,933 hingga 0,674 dalam waktu 60 menit(J0=181,51). Sedangkan pada tekanan 4 bar fluks turun dari 0,796 menjadi 0,439 dalam waktu 60 menit(J0=304,67).

Pada gambar 5. fluks awal pada tekanan 2 bar sebesar 0,757 turun hingga 0,721 dalam waktu 60 menit(J0=152,83). Pada tekanan 3 bar fluks menurun dari 0,728 hingga 0,490 dalam waktu 60 menit(J0=213,76). Sedangkan pada tekanan 4 bar fluks turun dari 0,761 menjadi 0,601 dalam waktu 60 menit(J0=216,78). Ketiga operasi tersebut sudah mencapai fluks yang konstan pada menit ke 60. Dari ketiga gambar di atas terlihat bahwa pada tekanan 2 bar untuk waktu tinggal 12, 18 serta 24 jam penurunan fluksnya cenderung stabil. Sedangkan untuk tekanan 3 dan 4 bar penurunan fluksnya cukup signifikan. Fluks yang dihasilkan semakin lama akan semakin turun sesuai dengan penambahan waktu reaksi. Hal ini menandakan bahwa membran telah mengalami fouling sehingga fluks yang dihasilkan juga semakin turun. Penurunan fluks ini disebabkan karena interaksi antara material membran dan bagian hidrofobik dari emulsi minyak yang mengarah pada adsorpsi pada permukaan membran. Ukuran molekul emulsifier jauh lebih kecil dibandingkan dengan pori-pori membran menyebabkan fouling pada internal pori membran. Fenomena ini mengubah keefektifan dari diameter pori yang berakibat pada penurunan fluks pada membran. Effisiensi penyisihan kekeruhan dan TSS terhadap variasi waktu tinggal antara pengolahan CAS dengan MBR untuk limbah sintetis dapat dilihat pada gambar 6 dan 7.

Gambar 6. Rejeksi kekeruhan

Gambar 7. Rejeksi TSS

Pada gambar 6 dan 7 menunjukkan bahwa pengolahan limbah sintetis dengan pengolahan CAS semakin lama waktu tinggal ( HRT ) maka effisiensi penyisihan ( % rejeksi ) kekeruhan dan TSS semakin meningkat. Tetapi pada HRT 18 jam mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pada kondisi ini di mungkinkan terbentuknya bakteri filamen sehingga warna lumpur menjadi pucat ( kuning muda ) dan sulit mengendap. Diindikasikan dengan pH lumpur aktif menjadi asam sehingga aktifitas metabolisme menjadi turun. Mikroba banyak yang mati dan kurang optimal dalam mengolah limbah. Effisiensi penyisihan kekeruhan dan TSS

untuk pengolahan CAS mencapai 82-94%. Sedangkan effisiensi penyisihan kekeruhan dan TSS untuk pengolahan MBR cenderung stabil yaitu 96-99%. Hal ini disebabkan karena membran ultrafiltrasi dapat memisahkan molekul dengan berat molekul 1000 atau diameter pori sebesar 0,0015 0,20 mikron. Sehingga tingkat kekeruhan dan nilai TSS cenderung stabil yaitu warnanya jernih dan nilai TSSnya rendah.

Pengaruh tingkat kekeruhan dan konsentrasi TSS terhadap pengolahan CAS dan MBR untuk limbah rumah sakit pada tekanan 2 bar dan HRT 24 jam dapat di lihat pada gambar 8 dan 9.

Gambar 8. Tingkat kekeruhan

Gambar 9. Konsentrasi TSS

Pada gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan dan TSS untuk limbah rumah sakit tidak stabil. Tingkat kekeruhan dan TSS setelah pengolahan MBR selalu naik. Kekeruhan erat sekali hubungannya dengan kadar zat tersuspensi karena kekeruhan pada air memang disebabkan adanya zat-zat tersuspensi yang ada dalam air tersebut. Zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat, misalnya pasir halus, liat dan lumpur alami yang merupakan bahan-bahan anorganik atau dapat pula berupa bahan-bahan organik yang melayang-layang dalam air. Bahan-bahan organik yang merupakan zat tersuspensi terdiri dari berbagai jenis senyawa seperti selulosa, lemak, protein yang melayang-layang dalam air atau dapat juga berupa mikroorganisme seperti bakteri, algae, dan sebagainya. Bahan-bahan organik ini selain berasal dari sumber-sumber alamiah juga berasal dari buangan kegiatan manusia seperti kegiatan industri, pertanian, pertambangan atau kegiatan rumah tangga. Kekeruhan memang disebabkan karena adanya zat tersuspensi dalam air, namun karena zat-zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat yang bentuk dan berat jenisnya berbedabeda maka kekeruhan tidak selalu sebanding dengan kadar zat tersuspensi. Pada pengolahan CAS tingkat kekeruhan dan nilai TSS selalu naik setelah menggunakan membran. Hal ini disebabkan karena jika setelah menggunakan membran lumpur menjadi lebih ringan sehingga effluent yang keluar dari pengolahan CAS menjadi keruh dan nilai TSSnya menjadi naik. Dapat di lihat pada gambar 8 dan 9 tingkat kekeruhan dan nilai TSS naik pada pengamatan hari ke-2 dan ke-8 dan pegolahan MBR dilakukan pada pengamatan hari ke-1 dan ke-7. Sedangkan tingkat kekeruhan dan nilai TSS pada pengolahan MBR stabil yaitu sebesar 1 NTU dan 1 mg/lt. Effisiensi penyisihan COD dan phospat terhadap variasi waktu tinggal antara pengolahan CAS dengan MBR untuk limbah sintetis dapat dilihat pada gambar 10 dan 11.

Gambar 10. Rejeksi COD

Gambar 11. Rejeksi phospat

Pada gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa pengolahan limbah sintetis dengan pengolahan CAS semakin lama waktu tinggal ( HRT ) maka effisiensi penyisihan ( % rejeksi ) COD dan phospat semakin meningkat. Tetapi pada HRT 18 jam effisiensi penyisihan COD dan phospat mengalami penurunan yang disebabkan karena bakteri pengikat phosphor (PAO) banyak yang mati. Indikasi pada saat itu pH lumpur aktif menjadi asam dan mengalami kekurangan nutrisi. Bila mikroorganisme pengikat phosphor ini mati maka phospat akan terlepas kembali sehingga nilai konsentrasi phospat menjadi besar. Sedangkan pada HRT 24 jam sangat efektif dalam penyisihan phospat yaitu 95-98 %. Hal ini disebabkan karena aerasi kontinyu yang lebih lama pada HRT 24 jam menyebabkan semakin banyak phospat yang di ikat oleh PAO sehingga effisiensi penyisihan phospat semakin meningkat. Polyphosphate accumulating organisme (PAO) adalah bakteri yang memiliki kemampuan mengakumulasi fosfor yang melebihi kebutuhan sel normal, yang secara normal berkisar antara 1-3 % berat kering. PAO tidak hanya mengkonsumsi fosfor untuk pembentukan komponen selulernya saja, tetapi juga mengakumulasi sejumlah besar polifosfat dalam selnya, sehingga fosfor dalam organism ini berkisar 5-7% dari biomassa sel[11].Beberapa bakteri yang termasuk dalam golongan PAO adalah Acinetobacter, Pseudomonas, Aerobacter, Moraxella, E. coli, Mycobacterium dan Beggiatoa. Effisiensi penyisihan COD untuk pengolahan CAS mencapai 86-92% dan 90-95% untuk penyisihan phospat. Sedangkan effisiensi penyisihan COD untuk pengolahan MBR mencapai 86-97% dan 91-98% untuk penyisihan phospat. Effisiensi penyisihan amonia dan logam Fe terhadap variasi waktu tinggal antara pengolahan CAS dengan MBR untuk limbah sintetis dapat dilihat pada gambar 12 dan 13.

Gambar 12. Rejeksi amonia

Gambar 13. Rejeksi logam Fe

Pada gambar 12 menunjukkan bahwa pengolahan limbah sintetis dengan pengolahan CAS semakin lama waktu tinggal ( HRT ) maka effisiensi penyisihan ( % rejeksi ) amonia semakin meningkat yaitu mencapai 71-91%. Pada pengolahan limbah dengan MBR effisiensi penyisihan amonia mencapai 70-99%. Effisiensi penyisihan amonia dengan pengolahan MBR yang optimal yaitu untuk waktu tinggal 24 jam dan tekanan membran 4 bar mencapai 99,99%. Pada gambar 13 menunjukkan bahwa pengolahan limbah sintetis dengan pengolahan CAS semakin lama waktu tinggal ( HRT ) maka effisiensi penyisihan ( % rejeksi ) logam Fe semakin menurun yaitu dari 99-96%. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu tinggal maka tingkat kekeruhan semakin meningkat sehingga effisiensi penyisihan logam Fe juga semakin menurun. Pada penelitian ini sangat efektif untuk penyisihan logam Fe terutama dengan pengolahan menggunakan membran. Effisiensi penyisihan logam Fe dengan MBR pada tekanan 2 4 bar mencapai 99%. Hal ini disebabkan karena ion Fe dalam air berupa Fe 2+ dan jika teroksidasi dengan udara akan berubah menjadi ferri ( Fe3+ ) sehingga akan terbentuk endapan Fe(OH)3. Endapan tersebut akan tertahan jika menggunakan pengolahan MBR meskipun pada tekanan 4 bar. Pengaruh % Rejeksi COD, Amonia, Phospat dan Logam Fe terhadap pengolahan CAS dan MBR untuk limbah rumah sakit pada tekanan 2 bar dan HRT 24 jam dapat di lihat pada gambar 14 dan 15.

Gambar 14. Pengolahan CAS

Gambar 15. Pengolahan MBR

Pada gambar 14 menunjukkan bahwa pada pengolahan CAS untuk limbah rumah sakit setelah diamati sampai hari ke-8 maka % rejeksi antara COD, amonia, phospat dan logam Fe adalah tidak sama. Untuk parameter COD effisiensi penyisihannya mencapai 64-73%, effisiensi penyisihan amonia mencapai 99,9 %, effisiensi penyisihan phospat mencapai 38-57% sedangkan effisiensi penyisihan logam Fe mencapai 81-87%. Dapat dilihat bahwa semakin lama waktu pengamatan maka effisiensi penyisihannya semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu pengolahan CAS maka lumpur aktif semakin baik dalam mendegradasi limbahnya sehingga nilai konsentrasi COD dan phospat semakin turun. Effisiensi penyisihan logam Fe pada hari ke-8 mengalami penurunan karena pada saat ini effluent yang keluar setelah pengolahan CAS sangat keruh. Sedangkan pada gambar 15 menunjukkan bahwa pada pengolahan MBR setelah diamati selama 2 hari maka % rejeksi antara COD, amonia, phospat dan logam Fe adalah tidak sama. Untuk parameter COD effisiensi penyisihannya mencapai 71-74%, effisiensi penyisihan amonia mencapai 99,99 %, effisiensi penyisihan phospat mencapai 57-69% sedangkan effisiensi penyisihan logam Fe mencapai 99,79%. Dapat dilihat bahwa semakin lama waktu pengamatan maka effisiensi penyisihan COD dan phospat semakin meningkat. Tetapi effisiensi penyisihan

phopat yang paling kecil. Hal ini disebabkan karena bakteri pengikat phosphor ( PAO ) mengalami kekurangan nutrisi yang menyebabkan phopat yang telah diikat oleh PAO terlepas kembali. Effisiensi penyisihan COD antara effluent menggunakan membran dan tanpa menggunakan membran menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang terlalu jauh. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan membran tidak terlalu besar untuk menurunkan nilai COD, tetapi hanya untuk mengurangi padatan tersuspensi. Sedangkan untuk effisiensi penyisihan ammonia dan logam Fe yang paling efekif yaitu mencapai 99%. Koefisien rejeksi merupkan parameter yang digunakan untuk menggambarkan selektivitas membran. Hal ini menunjukkan bahwa selektivitas membran sangat baik. Karena selektivtas merupakan ukuran kemampuan suatu membrane untuk menahan suatu spesi atau melewati suatu spesi tertentu. Selektivitas Untuk mengetahui adanya fouling maka pada akhir penelitian, membran tetap dijalankan terus menerus selama beberapa hari pada tekanan 2 bar untuk mengetahui besarnya fluks permeate. Analisa fluks harus dilakukan karena untuk mengetahui kapan waktu penggantian dan pembersihan membran. Laju fluks akan menurun sejalan dengan waktu akibat adanya polarisasi konsentrasi, fouling dan scaling . Fouling biasanya disebabkan oleh adanya pengendapan oksida logam, materi koloid, pertumbuhan biologis oleh bakteri maupun mikroorganisme. Sedangkan scaling biasanya terjadi akibat pelekatan material seperti CaSO4, CaCO3, BaSO4, SrSO4, Mg(OH)2 dan lain-lain. Terjadinya fouling diawali dengan polarisasi konsentrasi yaitu peningkatan konsentrasi local dari suatu solute pada permukaan membran, sehingga material terlarut berkumpul membentuk lapisan gel yang semakin lama semakin menebal. Pada polarisasi konsentrasi ini, fluks mengalami penurunan karena adanya peningkatan pada tahapan hidrodinamik pada lapisan batas dan kenaikan tekanan osmotik total[10]. Untuk mengetahui kinerja membran dilakukan pengamatan selama 5 hari. Pada hari ke5 pengamatan dihentikan karena banyak lumpur terikut effluent keluar dari reaktor. Hasil percobaan pengaruh waktu terhadap fluks membran yang dihasilkan pada tekanan 2 bar dapat dilihat pada gambar 16; 17 dan 18.

membran tergantung pada interaksi antar muka dengan spesi yang akan melewatinya, ukuran spesi dan ukuran pori permukaan membran.

Gambar 16. T tiap 10menit Gambar 17. T tiap 1 jam Gambar 18. T tiap 24 jam Pada gambar 16 dan 17 penurunan fluks tidak begitu signifikan untuk interval waktu 10 menit(J0 I=141,51 dan J0 II=159,55) dan 1 jam (J0=159,55), penurunan fluks yang signifikan terjadi pada gambar 18 untuk interval waktu 24 jam, nilai fluks menurun dari 0,48 sampai 0,3(J0=159,55),. Dari ketiga gambar diatas dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk pengolahan air limbah rumah sakit, maka nilai fluks atau permeat yang dihasilkan akan semakin turun. Hal ini disebabkan semakin banyak pengotoran fouling yang terjadi pada membrane. Fouling ini semakin lama akan semakin bertambah, hingga menutup pori-pori membran yang membuat kinerja dari membran menjadi berat dan akan mengakibatkan penurunan jumlah permeat yang dihasilkan. Pengaruh % Rejeksi kekeruhan, TSS, COD, Amonia, Phospat dan Logam Fe terhadap fouling dapat dilihat pada gambar 19.

Gambar 19

Pengaruh % Rejeksi kekeruhan, TSS, COD, Amonia, Phospat dan Logam Fe terhadap fouling

Pada gambar 19 menunjukkan bahwa effisiensi penyisihan kekeruhan, TSS, Amonia dan Logam Fe stabil dan sangat efektif yaitu mencapai 99 %. Hal ini disebabkan karena membran ultrafiltrasi dapat memisahkan molekul dengan berat molekul 1000 atau diameter pori sebesar 0,0015 0,20 mikron. Effisiensi penyisihan COD mencapai 76-80% dan semakin lama semakin menurun . Karena semakin lama lumpur semakin banyak yang terikut effluent keluar dari reaktor. Selain menyebabkan COD menjadi turun hal semacam ini juga menyebabkan kekurangan mikroba. Sehingga pada hari ke-5 pengamatan dihentikan meskipun fluks permeate masih cukup besar. Sedangkan effisiensi penyisihan phospat mencapai 67-71% dan semakin lama semakin naik. Hal ini disebabkan karena aerasi kontinyu yang semakin lama menyebabkan semakin banyak phospat yang di ikat oleh PAO sehingga effisiensi penyisihan phospat juga semakin meningkat. Hasil penelitian dengan perbandingan pengolahan CAS dan MBR dapat dilihat pada tabel 1.Sedangkan baku mutu limbah cair bagi kegiatan rumah sakit dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 1. Hasil penelitian dengan perbandingan pengolahan CAS dan MBR Rejeksi Rejeksi CAS (%) MBR(%) 1 BOD mg/lt 23,04 11,14 7,10 51,65 69,17 2 TSS mg/lt 105 119,25 1 99,05 3 COD mg/lt 159,1 47,65 39,84 70,05 74,96 4 Phospat mg/lt 4,38 2,27 1,58 48,07 63,79 5 Amonia mg/lt 13,01 0,0033 0,001 99,97 99,99 6 Total Coli MPN/100ml 22.000 5.400 37 75,45 99,83 Pengolahan dengan MBR sangat efektif untuk parameter TSS, Amonia dan Total Coli yaitu mencapai 99%. Hal ini disebabkan karena virus, bakteri dan padatan tersuspensi tidak dapat lolos dengan menggunakan membran ultrafiltrasi (diameter pori sebesar 0,0015 0,20 mikron). Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No 10 Tahun 2004 No Parameter Satuan Influent CAS MBR Baku Mutu FISIKA No Parameter Satuan Influent CAS MBR

o Suhu C 31 31 31 30 TSS mg/lt 105 119,25 1 30 KIMIA 1 pH 6,5 6,5 6,5 6-9 2 BOD mg/lt 23,04 11,14 7,10 30 3 COD mg/lt 159,1 47,65 39,84 80 4 Phospat mg/lt 4,38 2,27 1,58 2 5 Amonia mg/lt 13,01 0,0033 0,001 0,1 BIOLOGI 1 Total Coli MPN/100ml 22.000 5.400 37 5.000 Dibandingkan dengan baku mutu Perda no. 10 tahun 2004 maka semua parameter setelah dengan pengolahan MBR memenuhi baku mutu.

1 2

Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Semakin tinggi tekanan suatu membran maka semakin tinggi pula fluks permeat yang dihasilkan. Laju fluks akan menurun sejalan dengan waktu akibat adanya polarisasi konsentrasi, fouling dan scaling akan tetapi pada tekanan 2 bar fluks cenderung konstan. 2. Semakin lama waktu tinggal, maka efisiensi penyisihan Kekeruhan, TSS, COD, Amonia, Phospat dan logam Fe semakin meningkat. Tetapi pada waktu tinggal 18 jam mengalami penurunan. 3. Tekanan membran yang semakin besar menyebabkan selektivitas rendah, sehingga kualitas effluent semakin turun. 4. Perbandingan effisiensi pengolahan air limbah dengan CAS dan MBR didapatkan hasil yang lebih baik untuk pengolahan dengan MBR, sehingga memenuhi baku mutu. 5. Effisiensi penyisihan kekeruhan, TSS, Amonia dan Logam Fe sangat efektif mencapai 99 % ; effisiensi penyisihan COD mencapai 76-80% serta effisiensi penyisihan phospat mencapai 67-71%. Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.rer.nat. Heru Susanto, ST, MM, MT selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, saran dan kritik yang membangun hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga disampaikan kepada PT NISSIN, Rumah Sakit Ketileng dan semua pihak yang selama ini banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Daftar Pustaka [1] Abdessemed, D., Nezzal G. dan Ben R., 1999. Treatment of Wastewater by Ultrafiltration, Desalination, 126, p 1-5. [2] Anonim. 2006. IPAL PT. EJIP, Seminar Audit Lingkungan, Dep Biologi FMIPA IPB ks Bagian PKSDM Ditjen Dikti Depdiknas. [3] Anonim, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: KEP-58/MENLH/12/1995. diambil dari http://www.bapedal.go.id/kepmen [4] Anonim, Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No 10 Tahun 2004. diambil dari http://www.scribd.com/doc/50248771/Perda-Jateng-No-10-Thn-2004-Baku-Mutu-AirLimbah-BMAL

[5] Bailey, A. D., Hansford, G. S. dan Dold, P. L. 1994. The Use of Crossflow Microfiltration to Enhance the Performance of an Activated Sludge Reactor. Water Research, 28, p 297301. [6] Dialynas, E. dan Diamadopoulos, E. 2008. Integration of Immersed Membrane Ultrafiltration with Coagulation and Activated Carbon Adsorption for Advanced Treatment of Municipal Wastewater, Desalination, 230, p 113-127. [7] Futamura, O., Katoh, M., dan Koyosi, Takeuchi. 1994. Organic Wastewater Treatment by Activated Sludge Process Using Integrated Type Membrane Separation. Desalination, 98, p 17-25. [8] Januarti, C. 2005. Pengolahan Air Buangan Grey Water Menggunakan Membrane Bioreactor (MBR). Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP ITS. Surabaya [9] Liu, Q., Zhou, Y., Chen, L. dan Zheng, Xiang. 2009. Application of MBR for Hospital Wastewater Treatment in China. Desalination, 250, p 605-608. [10] Notodarmojo, Suprihanto, dan Anne Deniva.2004. Penurunan Zat Organik dan Kekeruhan
Menggunakan Teknologi Membran Ultrafiltrasi dengan Sistem Aliran Dead-End. PROC. ITB Sains dan Teknologi, Bandung.

[11] Wagner, M, Alexander L, Regina N, Ulrike P, Natuschka L dan Holger D., 2002. Microbial Community Composition and Function in Wastewater Treatment Plants, Antonie van Leeuwenhoek, vol 81.

Вам также может понравиться