Вы находитесь на странице: 1из 15

DERMATITIS ATOPIK

Dermatitis atopik, atau ekzema, adalah penyakit kulit yang umumnya sering berhubungan dengan kelainan atopik lainnya, seperti rhinitis alergika dan asma. Manifestasi klinis dermatitis atopik (gambar 1) bervariasi sesuai umur; tiga tahapan sering bisa diidentifikasi. Pada bayi, lesi ekzematous pertama biasanya muncul di pipi dan kulit kepala. Garukan, yang seringnya dimulai beberapa minggu kemudian, menyebabkan erosi krusta. Selama masa kanak-kanak, lesi mencakup fleksura, tengkuk, dan bagian dorsal anggota badan. Pada masa remaja dan dewasa, plak likenifikasi terdapat pada fleksura, kepala, dan leher. Pada tiap tahapan, gatal-gatal terjadi terus-menerus sepanjang hari dan memberat pada malam hari sehingga menyebabkan kurang tidur dan bisa merusak kualitas hidup pasien. Gambar 1. Aspek klinis, histologis, dan immunohistokimia dari dermatitis atopik Panel A menunjukkan lesi pertama dari onset awal dermatitis atopik yang mengenai pipi dan kulit kepala pada bayi yang berumur 4 bulan. Panel B menunjukkan manifestasi klasik kepala dan leher dari dermatitis atopik pada dewasa. Panel C menunjukkan tipe kronis, lesi likenifikasi di fleksura pada orang dewasa. Tanda panah di panel D (hematoxylin dan eosin), yang menunjukkan aspek histologis tipikal dari lesi akut, menunjukkan area spongiotik di dalam epidermis. Asterisk menunjukkan infiltrat perivaskular prominen. Panel E ( hematoxylin dan eosin) menunjukkan lesi kronik dengan penebalan epidermis. Asterisk menunjukkan infiltrat perivaskular prominen. Tanda dermatitis atopik kronis, yaitu adanya bentuk relaps inflamasi kulit, gangguan fungsi barrier-epidermal yang meningkat pada kulit kering, dan sensitisasi yang diperantarai IgE terhadap makanan dan lingkungan alergen. Gambaran histologis dari bercak dan plak ekzematous akut adalah edema interseluler epidermal (spongiosis) dan infiltrat perivaskular prominen dari limfosit, makrofag monosit, sel dendrit, dan beberapa eosinofil di dermis. Pada

likenifikasi kronik dan subakut dan plak ekskoriasi, epidermisnya menebal dan lapisan atasnya hipertrofi. Dua hipotesis tentang mekanisme dermatitis atopik telah dikemukakan. Yang satu menyatakan bahwa defek primer yang menetap pada gangguan imunologik yang menyebabkan sensitisasi yang diperantarai IgE, dengan disfungsi barrier epitel terjadi akibat dari inflamasi lokal. Hipotesis lainnya mengemukakan bahwa suatu defek intrinsik di sel epitel menyebabkan difungsi barrier; aspek immunologik dianggap suatu epiphenomenon. Pada review ini, saya menyusun bagian-bagian puzzle yang terpisah sehingga membentuk gambar yang koheren, hipotesis berdasarkan pertanyaan, dan menggabungkan hasil dari penelitian terbaru dalam sebuah cara yang memiliki implikasi dalam manajemen klinis dermatitis atopik.

Epidemiologi dermatitis atopik Prevalensi dermatitis atopik telah berlipat ganda atau tiga kali lipat meningkat dalam negara-negara industri selama tiga dekade lalu; 15 hingga 30% anak-anak dan 2 hingga 10% dewasa yang terkena. Kelainan ini sering mendahului diatesis atopik yang mencakup asma dan penyakit alergi lainnya. dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa infant (disebut juga sebagai dermatitis atopik onset awal). Total 45% dari semua kasus dermatitis atopik dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% dimulai pada tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5 tahun. Lebih dari 50% anak-anak yang terkena pada 2 tahun pertama kehidupan tidak memiliki tanda-tanda sensitisasi IgE, namun mereka tersensitisasi selama berlangsungnya dermatitis atopik. Hampir 70% anak-anak ini memiliki remisi spontan sebelum remaja. Penyakit ini juga dimulai pada masa dewasa (disebut juga dermatitis atopik onset lambat), dan sejumlah besar pasien ini tidak memiliki tanda-tanda sensitisasi yang diperantarai IgE. Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan daerah kota memberikan kesan adanya hubungan dengan hipotesis higiene, yang menyatakan bahwa tidak adanya
2

paparan terhadap bahan infeksius selama awal masa kanak-kanak meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergik. Bagaimanapun, konsep ini telah dipertanyakan akhir-akhir ini sehubungan dengan terjadinya dermatitis atopik.

Genetika dermatitis atopik Rata-rata indeks dermatitis atopik lebih tinggi di antara kembar monozigot (77%) daripada diantara kembar dizigot (15%). Asma alergik atau rhinitis alergik pada orangtua tampaknya merupakan faktor minor dalam perkembangan dermatitis atopik pada keturunannya, memberikan kesan bahwa dermatitis atopik-gen spesifik. Scan genomewide telah mengemukakan beberapa kemungkinan dermatitis atopikberhubungan dengan loci pada kromosom 3q21, 1q21, 16q, 17q25, 20p, dan 3p26. Bagian yang paling berhubungan diidentifikasi pada kromosom 1q21, yang terjadi pada gen keluarga yang berhubungan dengan epitel yang disebut kompleks diferensiasi epidermal. Kebanyakan bagian genetik yang berhubungan dengan dermatitis atopik sesuai dengan loci yang berhubungan dengan psoriasis, walaupun dua penyakit ini jarang berkaitan. Juga, asosiasi genom menyatakan bahwa dengan scan tersebut tidak overlap dengan varian allel yang sering terdapat pada asma alergik; penemuan ini sejalan dengan data epidemiologik. Beberapa kandidat gen telah diidentifikasi pada dermatitis atopik, khususnya pada kromosom 5q31-33. Semua gen ini melakukan encode sitokin mencakup regulasi sintesis IgE: interleukin-4, interleukin-5, interleukin-12, interleukin-13, dan

granulosit-makrofag colony-stimulating factor (GM-CSF). Sitokin tersebut dan sitokin lainnya dihasilkan oleh dua tipe utama limfosit T. Tipe sel T helper 2 (Th2) menghasilkan interleukin-4 sebaik interleukin-5 dan interleukin-13, dua sitokin yang meregulasi produksi IgE. Tipe sel T helper 1 (Th1) terutama menghasilkan interleukin-12 dan interferon-, yang mensupresi produksi IgE dan menstimulasi produksi antibodi IgG (gambar 2A). Mutasi yang mempengaruhi

fungsi promotor bagian limfosit yang menarik chemokin RANTES (diregulasi saat aktivasi, sel T normal diekspresikan dan dikeluarkan) (17q11) dan meningkatkan fungsi polimorfism dalam subunit dari reseptor interleukin-4 (16q12) telah diidentifikasi pada pasien dermatitis atopik. Polimorfisme gen yang mengkode sitokin interleukin-18, yang memperbesar pergeseran Th1 dan Th2 regulasi silang terhadap respon yang diperantarai Th1 (disebut juga polarisasi Th1), atau polimorfisme gen yang mengkode reseptor sistem imun bawaan bisa berperan dalam ketidakseimbangan respon imun antara Th1 dan Th2 pada dermatitis atopik. Pada seseorang dengan dermatitis atopik, secara genetis menentukan dominansi sitokin Th2 yang mempengaruhi maturasi sel B dan pengaturan genom sel ini yang menyerupai pergantian kelas isotip dari IgM ke IgE.

Gambar 2. Paradigma Th1-Th2 dan perannya dalam alergi dan kulit sebagai tempat awal sensitisasi. Panel A menunjukkan bahwa hasil diferensiasi sel T helper (Th) diperintahkan oleh tipe sel dendrit, lingkungan, atau keduanya. Pada presentasi antigen, sel T naif diarahkan ke interleukin-12 dan interleukin-18 atau interleukin-4, yang mempolarisasi mereka ke sel helper Th1 atau Th2 secara berturut-turut. Sel Th1 menghasilkan interferon , sedangkan sel Th2 menghasilkan interleukin-4, interleukin-5, dan interleukin-13. Sel Th0 menghasilkan kedua sitokin Th1 dan Th2, mungkin sebagai respon terhadap sinyal polarisasi yang sedikit keras. Kedua sel T helper memiliki peran fisiologis yang jelas, dan diduga bahwa keseimbangan antara sel Th1 dan Th2 tersedia di bawah kondisi normal. Bagaimanapun, keunggulan Th2 yang kuat menyebabkan terjadinya kondisi patologik seperti overproduksi IgE dan penyakit alergi. Panel B menunjukkan inflamasi yang diperantarai non IgE. Disfunsi barrier epidermis, sinyal iritatif mekanis, atau peristiwa yang diperantarai sel T yang tidak melibatkan IgE menyebabkan reaksi inflamasi awal disertai perubahan fungsi residen sel dendrit. Sel-sel ini juga

diperkirakan secara lokal menghasilkan sitokin thymic stromal limphopoeitin (TSLP) dan mediator derivat serbuk. Hasilnya, sel dendrit migrasi ke nodus limfe regional dan mencetuskan polarisasi Th2 spesifik alergen. Reaksi inflamasi bisa juga mengakibatkan efek sistemik penting pada sistem imun adaptif, menyerupai perkembangan sensitisasi yang diperantarai IgE.

Karena kulit kering dan bersisik adalah gejala dermatitis atopik dan ichtiosis vulgaris, kelainan autosom dominan yang paling sering dari keratinisasi, kedua penyakit ini secara genetis bisa terjadi bersamaan. Setelah gen filaggrin (FLG) pada kromosom 1q21.3, yang mengkode protein kunci pada diferensiasi epidermal, diidentifikasi sebagai gen yang terlibat dalam ichtiosis vulgaris, beberapa kehilangan fungsi mutasi gen tersebut diketahui pada pasien di Eropa dengan dermatitis atopik, dan lainnya, mutasi FLG yang berbeda pada pasien Jepang telah dilaporkan. Mutasi FLG terjadi terutama pada onset awal dermatitis atopik dan mengindikasikan kecenderungan terhadap asma. Bagaimanapun, tidak ada hubungan antara mutan FLG dan penyakit pernafasan alergik tanpa dermatitis atopik. Karena mutasi FLG diketahui hanya pada 30% pasien dermatitis atopik di Eropa, varian genetik struktur epidermis lainnya, seperti stratum korneum tryptic enzim atau kolagen epidermis baru, mungkin penting. Dermatitis atopik merupakan penyakit genetik kompleks yang timbul dari gen ke gen dan interaksi antara gen-lingkungan. Penyakit ini timbul dalam konteks dua gen grup mayor: gen yang mengkode epidermis atau protein struktural epidermis lainnya, dan gen yang mengkode elemen mayor sistem imun.

Fungsi pertahanan kulit


Pertahanan fisik

Kompartemen epidermis yang utuh merupakan prasyarat bagi fungsi kulit sebagai barrier fisik dan kimiawi. Barrier tersebut adalah stratum korneum, struktur seperti batu dan lapisan semen (brick and mortar-like) dari lapisan epidermis atas. Perubahan barrier tersebut yang mengakibatkan peningkatan kehilangan air transepidermal merupakan tanda khas dermatitis atopik. Lipid interselular pada lapisan tanduk epidermis berasal dari badan lamellar, yang dihasilkan oleh eksositosis dari keratinosit atas. Perubahan dalam ceramid kulit yang merupakan sekunder dari variasi pH pada stratum korneum bisa mengganggu maturasi badan lamellar dan merusak barrier. Perubahan ekspresi enzim yang melibatkan keseimbangan struktur adhesi sepertinya juga turut berperan dalam kerusakan barrier epidermis pada pasien dermatitis atopik. Apakah perubahan epidermis ini merupakan akibat primer atau sekunder terhadap inflamasi yang mendasarinya, masih tetap tidak jelas sampai studi genetik dan immunohistokimia menyoroti pentingnya mutasi FLG pada dermatitis atopik. FLG berpengaruh terhadap sitoskeleton keratin dengan cara beraksi sebagai template bagi kumpulan amplop tanduk; selain itu, kerusakan produk FLG berpengaruh terhadap kapasitas ikatan air dari stratum korneum. Varian genetik FLG pada dermatitis atopik yang kekurangan kapasitas menjadi memecah secara proteolitik telah diketahui, namun perubahan epidermis secara genetik lainnya (seperti perubahan dalam loricrin dan involucrin protein amplop cornifikasi) atau komposisi lipid juga mungkin berpengaruh terhadap disfungsi barrier. Inflamasi yang mendasarinya bisa merubah ekspresi gen seperti FLG yang terlibat dalam fungsi barrier epidermis, menyebabkan meningkatnya penetrasi transepidermal dari allergen lingkungan dan berkolaborasi dengan pruritus, membantu perkembangan inflamasi dan sensitisasi.

Sistem imun bawaan lahir Sel epitel pada interface diantara kulit dan lingkungan merupakan lini pertama pertahanan sistem imun innate. Sistem immun ini dilengkapi dengan berbagai

struktur yang sensitif, yang meliputi toll-like reseptor (TLRs), lectin tipe-C, nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors, dan protein rekognisipeptidoglycan. Paling kurang ada 10 TLRs yang berbeda telah dijabarkan pada manusia; mereka mengikat bakteri, jamur (kedua dinding sel), atau struktur virus (DNA atau RNA yang disebut juga motif cytosine phosphate guanidine (CpG)), dan struktur mikroba lainnya yang disebut pola molekular yang berhubungan dengan patogen. Aktivasi sel epitel yang diperantarai TLR mencetuskan produksi defensin dan cathelicidin famili peptida antimikrobial. Kulit memproduksi cathelicidin LL-37; human -defensin HBD-1, HBD-2, dan HBD-3; dan dermcidin. Inflamasi micromilieu yang diinisiasi interleukin-4, interleukin-13, dan interleukin-10 meregulasi peptida antimikroba ini di dalam kulit pasien dermatitis atopik. Kulit yang berlesi dan kelihatan normal secara luas dikolonisasi oleh bakteri seperti Staphylococcus aureus atau fungi seperti malassezia. Pasien dengan dermatitis atopik merupakan predisposisi terjadinya eczema herpetikum dan eczema vaccinatum akibat pengurangan produksi cathelicidin, yang potensial terhadap aktivitas antiviral.

Mekanisme imunopatologik dermatitis atopik


Mekanisme awal inflamasi kulit Dermatitis atopik onset awal biasanya muncul saat tidak terdeteksi sensitisasi allergi yang diperantarai IgE, dan pada beberapa anak kebanyakan perempuan sensitisasi seperti itu tidak pernah terjadi. Mekanisme awal yang mencetuskan inflamasi kulit pada pasien dermatitis atopik tidak diketahui. Hal ini bisa dicetuskan oleh neuropeptida, iritasi, atau garukan yang dicetuskan oleh pruritus, yang melepaskan sitokin proinflamasi dari keratinosit, atau bisa juga diperantarai sel T namun reaksi independen IgE terhadap alergen tampak pada gangguan barrier epidermis atau makanan (disebut juga dermatitis atopik sensitif terhadap makanan). IgE spesifik alergen bukanlah suatu prasyarat, namun, karena tes patch

atopi bisa menunjukkan bahwa aeroalergen yang diletakkan dibawah kulit mencetuskan reaksi positif pada absennya IgE spesifik alergen.

Tempat awal sensitisasi Pada pasien dengan dermatitis atopik onset awal, sensitisasi yang diperantarai IgE sering terjadi beberapa minggu atau bulan setelah lesi tampak, menyatakan bahwa kulit tersebut merupakan tempat sensitisasi. Pada model hewan, epidermis berulang kali melawan ovalbumin mencetuskan IgE spesifik-ovalbumin, alergi respirator, dan lesi eczematous pada sisi yang terkena. Proses tersebut mungkin sama pada manusia (gambar 2b). Disfungsi barrier epidermis merupakan prasyarat bagi penetrasi dari alergen dengan berat molekul tinggi pada serbuk bunga, produk-tungau-debu-di rumah, mikroba, dan makanan. Molekul pada serbuk bunga dan beberapa alergen makanan menyebabkan sel dendrit meningkatkan polarisasi Th2. Terdapat sejumlah sel T di kulit (106 memori sel T per cm2 area permukaan tubuh), hampir dua kali jumlahnya di sirkulasi. Selain itu, keratinosit di kulit atopik memproduksi interleukin-7like thymic stromal lymphoopoeitin tingkat tinggi yang memanggil sel dendritik untuk melakukan polarisasi Th2. Dengan mencetuskan produksi sitokin dalam jumlah besar seperti GM-CSF atau chemokine, inflamasi kulit yang tersebar luas bisa mempengaruhi imunitas adaptif, merubah fenotip dari monosit yang bersirkulasi, dan meningkatkan produksi prostaglandin E2 pada dermatitis atopik. Semua faktor ini menyediakan sinyal yang dibutuhkan untuk kulit kuat akibat polarisasi Th2, dan karena alasan ini, kulit bertindak sebagai titik masuk bagi sensitisasi atopik dan bahkan bisa mengantarkan sinyal yang dibutuhkan untuk sensitisasi alergenik di paru atau usus. Perkembangan sensitisasi dan dermatitis atopik di sumsum tulang resipien setelah pencangkokan stem sel

hemapoeitik dari donor yang atopi mendukung peranan sistem hemapoeitik sebagai faktor tambahan dalam disfungsi barrier epidermis yang ditentukan secara genetik pada dermatitis atopik. Antigen spesifik IgE merupakan struktur utama yang diketahui pada alergen dalam sel mast dan basofil. Antigen ini juga bisa menjadi alat pencetus toleransi alergen-spesifik atau mekanisme antiinflamasi, namun apakah kejadian tersebut berdasarkan remisi spontan tetap butuh diteliti lebih lanjut.

Sel dendrit Sel dendrit epidermis pada dermatitis atopik mengandung IgE dan

mengekspresikan reseptor afinitas tinggi (FcRI). Pada lesi kulit, sel dendrit dari plasmacytoid, yang memiliki aktivitas antiviral poten dengan sifat produksi interferon-, hampir tidak ada. Sebaliknya, dua populasi sel dendrit myeloid menunjukkan: sel langerhans dan sel epidermal dendritik inflamatorik. Pada dermatitis atopik, tapi tidak pada kondisi lain, terdapat tampilan FcRI densitas tinggi dari kedua tipe sel. Sel langerhans terjadi pada kulit normal, namun sel epidermal dendritik inflamatorik hanya tampak pada kulit yang meradang. Sel ini mengambil dan memberikan alergen kepada sel Th1 dan Th2, dan mungkin juga ke sel T regulasi. Pada ligasi FcRI oleh IgE, sel langerhans menghasilkan interleukin-16, yang merekrut sel T CD+4 ke kulit. Selain dari interleukin-16, sel langerhans hanya menghasilkan chemokin dalam jumlah ternatas dan hampir tidak ada sitokin proinflamasi. Pada penangkapan alergen, sel langerhans berperan serta delam polarisasi Th2 dengan mekanisme yang tidak diketahui, dan sel epidermal dendritik inflamatorik menyebabkan polarisasi Th1 dengan

menghasilkan interleukin-12 dan interleukin-18 dan melepaskan sitokin proinflamasi. Pada tes patch atopik, sejumlah besar sel epidermal dendritik inflamatorik menyerang epidermis 72 jam setelah terkena alergen, dan sel ini beserta sel langerhans meregulasi tampilan FcRI.

Penyakit yang diperantarai sel T bifasik Alergen spesifik sel T CD+4 dan CD+8 bisa diisolasi dari lesi kulit pasien dermatitis atopik. Inflamasi pada dermatitis atopik adalah bifasik: suatu fase Th2 awal mendahului fase kronik yang didominasi sel Th0 (sel yang bersama bekerja dengan sel Th1 dan Th2) dan sel Th1. Sitokin Th2 interleukin-4, interleukin-5, dan interleukin-13 mendominasi pada fase akut lesi, dan pada lesi kronik terdapat peningkatan interferon-, interleukin-12, interleukin-5, dan GM-CSF; ada perubahan karakteristik pada predominan Th1 dan Th0. Sel Th0 bisa berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2 lainnya, tergantung predominan lingkungan sitokin. Peningkatan ekspresi interferon- messenger RNA oleh sel Th1 mengikuti puncak ekspresi interleukin-12, yang bertepatan dengan munculnya sel epidermal dendritik inflamatorik di kulit. Kulit yang tampak normal pada pasien dermatitis atopik mengandung infiltrat ringan, secara kuat mengesankan adanya inflamasi residual diantara flare.

Gambar 3. Fase akut dan kronik dari dermatitis atopik yang diperantarai sel T dan IgE. Pada fase akut dermatitis atopik, sel langerhans teraktivasi pada pengikatan elergen oleh IgE spesifik dan FcRI. Mereka menghasilkan monocyte chemotactic protein 1 (MCP-1) dan interleukin-16. Alergen derivat peptida diberikan kepada sel T oleh sel langerhans yang mencetuskan profil Th2. Setelah migrasi ke kulit, monosit yang direkrut berdiferensiasi menjadi sel epidermal dendritik

inflamatorik (IDEC) dan menghasilkan sitokin proinflamatorik interleukin-1, interleukin-6, dan tumor necrosis factor (TNF ). Sekresi interleukin-12 dan interleukin-18 berpengaruh pada pergantian dari Th2 menjadi Th1/0 dan dengan demikian menyebabkan terjadinya fase kronik penyakit.

10

Pengerahan sel T ke dalam kulit disusun oleh jaringan mediator kompleks yang berperan dalam inflamasi kronik. Homeostatik dan chemokine inflamatorik yang dihasilkan oleh sel kulit terlibat dalam proses ini. Sel inflamatorik dan keratinosit pada lesi kulit mengekspresikan chemoattractant level tinggi, dan keratinosit derivat thymic stromal lymphopoeitin mencetuskan sel dendrit untuk

memproduksi sel Th2-yang menarik thimus dan aktivasi regulasi sitokin, TARC/CCL17. Pada jalur ini, mereka bisa memperkuat dan meneruskan respon alergik dan generasi interferon- yang memproduksi sel T sitotoksik, seperti disarankan oleh studi in vitro. Interferon- yang diproduksi oleh sel Th1 telah terlibat dalam apoptosis keratinosit yang dicetuskan oleh kematian sel reseptor Fas. Peran regulasi sel T dalam dermatitis atopik telah diperiksa. ekspresi tingkat tinggi dari rantai alpha reseptor interleukin-2 (CD25) dan faktor transkripsi FOXP3 merupakan karakteristik sel ini. Terdapat peningkatan regulasi sirkulasi sel T pada dermatitis atopik, namun lesi kulit sama sekali tidak memiliki regulasi sel T yang fungsional. Kompleksitas kompartemen regulasi sel T tidak sepenuhnya dimengerti, dan peran regulasi sel T dalam regulasi penyakit kulit inflamatorik kronik masih sukar dipahami.

Staphylococcus aureus Supresi sistem imun innate kulit oleh lingkungan mikro inflamatorik dari dermatitis atopik menjelaskan kolonisasi kulit oleh S.aureus pada lebih dari 90% pasien dermatitis atopik. Gambaran ini berpengaruh pada sensitisasi alergik dan inflamasi (gambar4). Garukan meningkatkan pengikatan S.aureus ke kulit, dan peningkatan jumlah S.aureus-derivat ceramidase bisa memperburuk defek pada barrier kulit. Enterotoksin S.aureus meningkatkan inflamasi pada dermatitis atopik dan memprovokasi generasi enterotoksin-spesifik IgE, yang berkorelasi dengan derajat keparahan penyakit. Enterotoksin ini berinteraksi secara langsung dengan molekul klas II dari kompleks histokompabilitas mayor dan rantai beta dari

11

reseptor sel T untuk mencetuskan proliferasi antigen independen dari sel T. Mereka juga meregulasi ekspresi reseptor kutaneus limfosit yang ebrhubungan dengan antigen pada sel T dan produksi keratinosit derivat chemokine yang merekrut sel T. Dengan mencetuskan -isoform saingan dari reseptor glukokortikoid dalam sel mononuklear, enterotoksin mempengaruhi timbulnya resistensi terhadap pengobatan kortikosteroid lokal. Enterotoksin S.aureus juga mencetuskan ekspresi glukokortikoid yang dicetuskan protein ligand berhubungan dengan reseptor faktor nekrosis tumor pada sel antigen-presenting, menghasilkan suatu penghambatan dari aktivitas supresif dari regulasi sel T.

Gambar 4. Jalur multipel Staphylococcus aureusdalam sensitisasi dan inflamasi Dengan beberapa mekanisme, S.aureus dan produknya menyediakan sinyal yang menyerupai sensitisasi dan inflamasi. S.aureus derivat ceramidase

meningkatkan permeabilitas stratum korneum, dan kapasitas superantigenik dari enterotoksin S.aureus mengaktivasi sel T dalam alergen-yang independen cara. S.aureus mencetuskan ekspresi reseptor kulit cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) pada sel T. Keratinosit derivat chemokine, thymic stromal lymphopoeitin (TSLP), dan sekresi interleukin-31 dicetuskan dan diperbesar oleh enterotoksin S.aureus. Mereka juga mempengaruhi resistensi kortikosteroid dalam sel T dan merubah aktivitas regulasi sel T. S.aureus spesifik IgE disebabkan oleh sistem imun bisa mengikat reseptor FcRI pada sel dendrit dan mengawali reaksi yang diperantarai IgE pada mikroba ini.

Mekanisme pruritus Gejala yang paling penting pada dermatitis atopik adalah pruritus persisten, yang bisa merusak kualitas hidup pasien. Kurangnya efek antihistamin dalam melawan peran histamin penyebab dermatitis atopikberhubungan dengan pruritus. Neuropeptida, protease, kinin, dan sitokin menginduksi gatal. Interleukin-31
12

adalah sitokin yang diproduksi oleh sel T yang meningkatkan ketahanan sel hemopoetik dan menstimulasi produksi sitokin inflamatorik oleh sel epitel. Interleukin-31 sangat pruritogenik, dan Interleukin-31 beserta reseptornya overekspresi pada lesi kulit. Lagipula, Interleukin-31 diregulasi dengan paparan terhadap eksotoksin staphylococcus in vitro. Penemuan ini menyatakan Interleukin-31 sebagai faktor mayor dalam genesis pruritus pada dermatitis atopik.

Autoimunitas dalam dermatitis atopik Sebagai tambahan terhadap antibodi IgE dalam melawan aeroalergen dan makanan, spesimen serum dari pasien dengan dermatitis atopik berat mengandung antibodi IgE yang melawan protein dari keratinosit dan sel endotel seperti manganese superoksida dismutase dan calcium-binding protein. Level serum autoantibodi IgE ini berkorelasi dengan keparahan penyakit. Garukan mungkin melepaskan protein interseluler dari keratinosit. Protein ini secara molekuler bisa menyerupai struktur mikrobial dan bisa mencetuskan autoantibodi IgE. Sekitar 25% orang dewasa dengan dermatitis atopik memiliki antibodi IgE yang melawan proteinnya sendiri. Pada pasien ini, dermatitis atopik onset awal, pruritus hebat, infeksi bakterial pada kulit yang berulang, dan level serum IgE yang tinggi merupakan tanda khas penyakit tersebut. Selanjutnya, antibodi IgE yang melawan proteinnya sendiri bisa dideteksi awal pada pasien dermatitis atopik pada usia 1 tahun. Beberapa autoalergen di kulit juga mencetuskan respons Th1 yang kuat. Antibodi IgE pada dermatitis atopik bisa dicetuskan oleh alergen lingkungan, namun antibodi IgE yang melawn autoantigen di kulit bisa menimbulkan inflamasi alergik. Oleh karena itu, dermatitis atopik tampaknya berada di garis perbatasan antara alergi dan autoimunitas.

Hipotesis gabungan

13

Satu klasifikasi membedakan bentuk dermatitis atopik yang berhubungan dengan IgE (seperti dermatitis atopik yang benar, disebut juga dermatitis atopik ekstrinsik) dari bentuk yang tidak berhubungan dengan IgE (dermatitis nonatopik, disebut juga dermatitis atopik intrinsik). Divisi ini menyatakan bahwa dermatitis nonatopik dan dermatitis atopik adalah dua penyakit yang berbeda. Bagaimanapun, karena kulit kering adalah tanda penting pada kedua kondisi ini, dan tidak adanya sensitisasi yang diperantarai oleh IgE bisa jadi hanya faktor sementara, maka perlu direkonsiliasi hipotesis yang berlainan ini. Gambaran baru muncul dari penemuan terakhir, dimana riwayat dermatitis atopik memiliki tiga fase (gambar 5). Fase awal adalah bentuk dermatitis nonatopik pada bayi baru lahir, ketika sensitisasi belum terjadi. Kemudian, pada 60 hingga 80% pasien, faktor genetik mempengaruhi induksi sensitisasi yang diperantarai IgE terhadap makanan, alergen lingkungan, atau keduanya ini merupakan transisi terhadap dermatitis atopik yang benar. Ketiga, garukan merusak sel kulit, yang melepaskan autoantigen yang mencetuskan autoantibodi IgE dalam jumlah besar pada pasien dermatitis atopik.

Gambar 5. Interaksi Gen gen dan Gen lingkungan pada riwayat dermatitis atopik. Akibat dari disfungsi barrier epidermis yang ditentukan secara genetik dan efek dari faktor lingkungan, dermatitis nonatopik adalah manifestasi utama dermatitis atopik. Akibatnya, karena predisposisi genetik dalam sensitisasi yang diperantarai IgE, pasien menjadi tersensitasi. Fenomena ini ditimbulkan oleh produk enterotoksin Staphylococcus aureus. Akhirnya, garukan menyebabkan kerusakan jaringan dan melepaskan struktur protein, memicu respons IgE pada pasien dermatitis atopik. Sensitisasi terhadap protein diri ini bisa diakibatkan homolog alergen derivat epitop dan protein manusia dalam konteks menyerupai molekuler.

14

Implikasi klinis Karena disfungsi barrier kulit dan inflamasi kronik merupakan karakteristik dermatitis atopik, manajemen klinis jangka panjang seharusnya menegaskan pencegahan, secara intensif dan individual terhadap perawatan kulit, mereduksi kolonisasi bakterial dengan aplikasi losion lokal yang berisi antiseptik seperti triclosan dan klorhexidin, dan yang terpenting kontrol inflamasi dengan penggunaan kortikosteroid topikal reguler atau inhibitor calcineurin topikal. Pada anak-anak, sebelum dan sesudah diagnosis sensitisasi yang diperantarai IgE, pengukuran yang mencegah paparan terhadap alergen bisa bermanfaat. Terapi terkini dermatitis atopik reaktif mengobati flare namun manajemen harus meliputi intervensi awal dan proaktif dengan kontrol yang efektif dan terus menerus pada inflamasi kulit dan kolonisasi S. Aureus. Strategi ini terbukti efektif dalam mengurangi flare. Ketika digunakan pada awal masa bayi, obat ini potensial membantu mengurangi sensitisasi setelahnya terhadap antigen lingkungan dan autoalergen.

Kesimpulan Pengetahuan terkini tentang mekanisme genetik dan imunologi yang

menyebabkan inflamasi kutaneus pada dermatitis atopik telah membawa pemahaman yang lebih baik pada riwayat penyakit ini dan menyoroti peran kritis fungsi barrier epidermis dan sistem imun. Keduanya berkontribusi terhadap sensitisasi yang diperantarai oleh IgE dan patut dipertimbangkan sebagai target mayor terapi. Perkembangan terbaru secara spesifik bertujuan pada defek molekul di stratum korneum bisa menyediakan jalan yang sesuai untuk memperbaiki fungsi barrier. Manajemen awal dan proaktif bisa memperbaiki akibat dan kualitas hidup bagi pasien dermatitis atopik.

15

Вам также может понравиться