Вы находитесь на странице: 1из 18

Lupus Eritematosus Sistemik

Oleh : Andre Tanzil Ivan Sutanto Robert Johan Yosephine Wijaya Kezia Setiawan Chiquita Purnomo Yulia Kahimpong Nia Herlambang 1090904 1100921 1100938 1100020 1100955 1100963 1100964 1100965

Fakultas Farmasi Universitas Surabaya 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sukmana,2004). Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih adekuat. Baron dkk melaporkan keterlibatan ginjal lebih sering ditemukan pada SLE dengan onset usia kurang dari 18 tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk, lesi diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien SLE laki-laki, sedangkan artritis lebih jarang.(Sukmana,2004). Prevalensi SLE sangat bervariasi, semua suku bangsa dapat terkena tetapi lebih sering pada ras kulit hitam dan ada tendensi familiar. Insidensi tidak diketahui, dapat ditemukan pada semua usia. Dua puluh persen kasus SLE mulai pada masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun. Samanta dkk pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 8:1, dan umumnya pada kelompok usia produktif (Sukmana,2004; Kadang,1995). Mengingat pentingnya manfaat pengetahuan mengenai penyakit SLE, maka pada makalah ini akan dipaparkan semua hal yang berkenaan dengan SLE, dengan tujuan untuk memudahkan memahami patofisiologi penyakit, diagnosis, dan tatalaksana yang tepat.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (Lupus Eritematosus Disseminata, Lupus) adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. 2.2 Etiologi Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan faktor mana yang manjadi penyebab utama sehingga masih menjadi fokus utama penelitian. Genetik Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya seperti arthritis reomathoid atau Sjorgens Syndrome. Pada kembar identik, risiko lupus meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang menyandang lupus. Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan

DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP. Defisiensi komplemen Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama. Hormon Penyandang lupus wanita:pria adalah 8:1. Dan sebagian besar penyandang wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya lupus dalam penelitian hewan baik secara invitro maupun invivo. Sehinggan harus benar-

benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan alat kontrasepsi yang mengandung estrogen pada Odapus. Lingkungan Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus, diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II. o Infeksi Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar (mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan dengan penyebab lupus. o Zat kimia dan racun Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika. o Merokok Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun lainnya seperti arthritis reumathoid dan multiple sclerosis. o Sinar matahari Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan perburukan manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit dan munculnya gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar matahari dan menggunaka tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak mudah namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat bermanfaat. Stres Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti

usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktorfaktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B 2.3 Patogenesis Lupus eritematosus sistemik (LES) ditandai oleh gangguan sistem imun yang melibatkan sel B, sel T, dan sel kelompok monosit, yang menyebabkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergammaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Sel T yang berlebihan dan tidak terkontrol akan mengakibatkan diferensiasi sel B dan aktivasinya untuk menghasilkan autoantibodi. Aktivasi sel B dan sel T membutuhkan stimulasi oleh antigen spesifik. Bahan kimia iritan, seperti pristin, DNA dan fosfolipid dinding sel bakteri, dan antigen virus dapat menginduksi antibodi anti-DNA pada tikus. Self-antigen (antigen diri), seperti protein DNA dan kompleks protein- RNA dapat menginduksi produksi autoantibodi. Antigen lingkungan dan antigen diri akan ditangkap oleh APC atau diikat oleh antibodi pada permukaan sel B. Antigen presenting cell (APC) dan sel B memroses antigen menjadi peptida kemudian menyajikannya kepada sel T melalui molekul human leucocyte antigen (HLA) permukaan sel. Sel T aktif ini akan merangsang sel B untuk memroduksi autoantibodi yang patogenik. Selain stimulasi kontak, interaksi APC, sel T, dan sel B difasilitasi oleh berbagai sitokin, dan membutuhkan molekul tambahan seperti sistem CD40/CD40L dan B7/CD28/CTLA4 untuk menginisiasi sinyal kedua. Pada penderita LES aktif terjadi peningkatan jumlah sel B pada semua tingkat aktivasi dalam darah perifer. Sel B penderita lupus mempunyai respons kalsium intrasitoplasmik yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu normal. Akibatnya, didapatkan bukti bahwa sel B penderita LES lebih sensitif terhadap pengaruh stimulasi sitokin, seperti IL-6, dibandingkan dengan sel B pada individu normal. Sel B penderita LES lebih mudah mengalami aktivasi poliklonal oleh antigen, sitokin, dan perangsang lain. Penderita LES juga mengalami kelainan pada fungsi sel T berupa pergeseran respons imun Th1 ke Th2 yang menyebabkan hiperaktivitas sel B dan produksi autoantibodi yang patogenik. Mekanisme yang mendasari gangguan respons Th1

pada LES diduga adalah akibat sitokin yang diproduksi oleh Th2 secara berlebihan, gangguan interaksi antara APC dan sel T, efek supresi oleh sel T CD8+ dan NK, inhibitor IL-2, dan penurunan jumlah reseptor IL-2. Bersihan kompleks imun oleh sel fagosit juga mengalami gangguan pada penderita LES. Hal ini terjadi akibat berkurangnya jumlah reseptor CR1 untuk komplemen dan gangguan fungsi reseptor pada permukaan sel. Gangguan bersihan ini juga timbul sebagai akibat dari tidak adekuatnya fagositosis IgG2 dan IgG3 yang mengandung kompleks imun. Gangguan bersihan kompleks imun oleh fagositosis merupakan suatu mekanisme patogenesis penting pada LES. Peranan Sel T pada LES Limfosit T berperanan yang sangat penting dalam patogenesis lupus. Setiap sel T membawa molekul reseptor permukaan yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan antigen tertentu jika disajikan ke reseptor sel T dalam bentuk kompleks dengan molekul MHC pada permukaan APC seperti telah dikemukakan di atas, dibutuhkan interaksi molekuler kedua dengan limfosit T melalui kostimulasi, antara lain dengan pasangan molekul CD40-CD40 ligan dan CD28-B7, sehingga aktivasi sel T dapat terjadi. Jika kostimulasi dapat dihambat, begitu pula respons imun yang diperantai oleh sel T. Sel B dan sel T berinteraksi dan saling memberikan stimulasi. Sitokin yang dilepaskan sel T mempengaruhi sel B untuk berproliferasi, untuk mengalihkan produksi antibodi dari IgM menjadi IgG, dan untuk meningkatkan perubahan molekuler antibodi yang disekresikan sehingga berikatan lebih kuat dengan antigen. Akibatnya Sel T membantu produksi autoantibodi IgG yang punya afinitas tinggi dan sangat berkaitan dengan kerusakan jaringan pada lupus. Sel T regulator menekan aktivasi sel T helper dan sel B. Beberapa peneliti melaporkan bahwa terjadi pengurangan jumlah dan/atau fungsi sel T regulator pada penderita lupus. Pada penderita lupus aktif, kemampuan sel T regulator untuk menekan proliferasi sel T helper lebih rendah jika dibandingkan dengan sel T regulator dari penderita lupus inaktif atau kontrol sehat. Kang et al menemukan bahwa beberapa peptida histon imunogenik (pembentuk inti protein nukleosom), terutama peptida H471-94, meningkatkan perkembangan sel T regulator dan menghambat terjadinya nefritis. Lu et al11

menunjukkan bahwa peptida yang berasal dari histon H2B10-33, H416-39, H47194, H391-105, H2A34-48, dan H449-63 merangsang sel T penderita lupus untuk menghasilkan sitokin. Diduga bahwa sel T helper yang terstimulasi akan membantu sel B yang juga berespons dengan epitop antigen yang berasal dari nukleosom. Jadi, interaksi limfosit B dan limfosit T akan menyebabkan produksi autoantibodi patogenik berafinitas tinggi. Nukleosom membawa kedua epitop sel T dan sel B, dan nyatanya didapatkan antibodi antinukleosom yang patogenik pada penderita lupus Akibat dari produksi autoantibodi yang terus menerus pada penderita LES akan membentuk kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Selain itu, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya. (Hahn et al,2005) Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang memiliki respons antibodi yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki peningkatan risiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel ini, sehingga menunjang respons imun yang memanjang (Hahn et al,2005). Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1). Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70% pasien, kemungkinan terjadi akibat peningkatan apoptosis pada sel kulit atau adanya perubahan DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenik. Sepertinya, beberapa infeksi memicu respons imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang mengenal self-antigen; pada SLE, selsel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi autobodi kemudian terjadi.

Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T yang patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetik. Anak dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam beberapa dekade; Ia juga mengandung sekuens asam amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang dikenali oleh autoantibodi pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara predisposisi genetik, lingkungan, jenis kelamin, dan respons imun abnormal akan mengakibatkan autoimunitas (Hahn et al,2005).

Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respons imun abnormal yang menghasilkan autoantibodi patogen dan deposisi kompleks imun pada jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan kerusakan organ irreversible. Keterangan: Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus; HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin; MBL, mannosebinding ligand; MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN, phosphotyrosine phosphatase; UV, ultraviolet 2.4 Gejala

Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. Otot dan kerangka tubuh Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut. Kulit Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari. Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal. Sistem saraf Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi. Darah

Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun. Jantung Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut. Paru-paru Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas. Gejala dari penyakit lupus: - demam - lelah - merasa tidak enak badan - penurunan berat badan - ruam kulit - ruam kupu-kupu - ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari - sensitif terhadap sinar matahari - pembengkakan dan nyeri persendian - pembengkakan kelenjar - nyeri otot - mual dan muntah - nyeri dada pleuritik - kejang - psikosa. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:

- hematuria (air kemih mengandung darah) - batuk darah - mimisan - gangguan menelan - bercak kulit - bintik merah di kulit - perubahan warna jari tangan bila ditekan - mati rasa dan kesemutan - luka di mulut - kerontokan rambut - nyeri perut - gangguan penglihatan. 2.5 Diagnosa dan Pemeriksaan Diagnosis lupus ditegakkan berdasarkan ditemukannya 4 dari 11 gejala lupus yang khas, yaitu: 1. 2. 3. 4. Ruam kupu-kupu pada wajah (pipi dan pangkal hidung) Ruam pada kulit Luka pada mulut (biasanya tidak menimbulkan nyeri) Cairan di sekitar paru-paru, jantung, dan organ lainnya
5.

Artritis (artritis non-erosif yang melibatkan 2 atau beberapa sendi perifer, dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami kerusakan)

6.

Kelainan fungsi ginjal kadar protein dalam air kemih >0,5 mg/hari atau +++ - adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah merah/putih maupuan sel tubulus ginjal
7.

Fotosensitivitas (peka terhadap sinar matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit)

8.
9.

Kelainan fungsi saraf atau otak (kejang atau psikosa) Hasil pemeriksaan darah positif untuk antibodi antinuklear 10. Kelainan imunologis (hasil positif pada tes anti-DNA rantai ganda, tes antiSm, tes antibodi antifosfolipid; hasil positif palsu untuk tes sifilis)

11.

Kelainan darah -Anemia hemolitik atau -Leukopenia (jumlah leukosit <4000 sel/mm?) atau -Limfopenia (jumlah limfosit < 1500 sel/mm?) atau -Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm?).

Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya: 1. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
2.

Ruam kulit atau lesi yang khas Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
4. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan

3.

pleura atau jantung 5. 6.


7.

Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah Biopsi ginjal Pemeriksaan saraf. 2.6 Pengobatan

8.

1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs) NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin 2. Kortikosteroid Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan setelah penghentian bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini

tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik. 3. Antimalaria Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan. 4. Immunosupresan Azathioprine Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh. Mual adalah efek samping yang umum terjadi, sedangkan leukopenia dan trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4% kasus. Pemantauan efek obat bisa menjadi masalah jika odapus sudah memiliki gejala klinis tersebut. Azathioprine dianggap aman digunakan selama kehamilan. Mycophenolate mofetil Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur bila disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangnya waktu paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum konsepsi yang direncanakan.

Methotrexate Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada selsel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi, leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama kehamilan dan harus dihentikan penggunaannya tiga bulan sebelum konsepsi. Cyclosporin Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini dianggap aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif terendah dengan memonitor secara seksama tekanan darah dan fungsi ginjal. Cyclophosphamide Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti meningkatkan efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek samping utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi, kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu fungsi organ reproduksi baik pada pria maupun wanita. Sehingga penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan sebelum konsepsi. Rituximab Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi

dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus.

DAFTAR PUSTAKA

BIBLIOGRAPHY K.Abbas, A. Cellular&Molecular Immunology 6th. Philadelphia: Saunders, Elsevier. Gill JM, Quisel AM, Rocca PV, Walters DT. Diagnosis of Systemic Lupus Eythematosus.American Family Physician.2003. Lupus-Diagnosis and Treatment, Lupus UK,www.medical.lupusuk.org.uk. Roitt, I. (2003). Essential Immunology. Jakarta: Widya Medika. Sack, K. E. (1997). Medical Immunology 10th Edition. San Francisco: Lange McGraw-Hill.

Вам также может понравиться