Вы находитесь на странице: 1из 132

GEOLOGI , STUDI MIKROFASIES DAN FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN KECAMATAN SAMIGALUH, KECAMTAN KALIBAWANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN

KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Oleh : FERY ANDIKA CAHYO 111 070 134

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011

GEOLOGI , STUDI MIKROFASIES DAN FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN KECAMATAN SAMIGALUH, KECAMTAN KALIBAWANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI
Oleh : FERY ANDIKA CAHYO 111 070 134

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Geologi

Yogyakarta,

September 2011

Menyetujui,

Pembimbing 1

Pembimbing 2

Ir. Sugeng Widada, M.Sc NIP. 19631002 199103 1 001

Dr. Ir. Premonowati, M.T NIP. 19610218 198703 001

Mengetahui, Ketua Jurusan

Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T NIP. 19581208 199203 1 001

HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: 1. Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus, dan Roh Kudus, aku tidak tahu jawaban atas segala pertanyaan hidup ini tapi aku tahu Siapa yang memegang jawabannya, terima kasih Tuhan. 2. Bapakku tercinta, atas segala jerih payah dan pengorbanannya, suatu hari nanti aku akan membuatmu bangga. 3. Ibuku terkasih, atas segala perhatian, tenaga, dan kasih sayangnya, suatu hari nanti aku akan membuatmu bangga. 4. Kakakku Prita, kakakku Hagni, dan adikku Sagara, atas dukungan, canda tawa, kasih, yang membuatku tetap semangat dalam pengerjaan skripsi ini. 5. Saudara-saudariku Michael Hadylaya, Nata Anggoro, Stephanie Hadylaya, Debie Naomi, Adhyaksa Bagaskara, dan Bayu Aji, kalian pelipur lara di saat hidup terasa perih, terima kasih atas kebersamaan dan kehangatannya. 6. Sedimentology brotherhood terdiri atas Iqbal Fardyansyah, Oktavika Malda, Ardy Suryadi, Reiner Freidrick, Adrean Novadhani, Sutrio Wibowo, Graniko Rezza, Syamsi Maslamah, Anita, Arif Swastika, Angga Beny, Saddam, Rezza, Farah, dan Hargi, untuk inspirasi, pelajaran, kekeluargaan, dan persahabatannya. Kalian mengguratkan warna yang unik dalam kisah hidupku. 7. Geopangea research team terdiri atas bapak Dr. Ir. C. Prasetyadi, MT., Zaenal Fanani, Aldis, Iis, Gilang, Hanif, Harmin, Ryan, Popo, Yuda, Daniar, atas waktu berkualitas yang kita luangkan bersama. 8. Sahabat-sahabatku Ninez, Rani, Puput, Sales, Pose, Vian, Maruli, Ewa, Jose, Ardo, kalian semua luar biasa, senang mengenal kalian. 9. Adinda Marsita Putri, kamu datang di saat yang tepat, terima kasih untuk semua pelajaran hidup, terima kasih untuk seberkas cahaya yang akan selalu menghangatkan jiwa, memang tidak ada yang namanya kebetulan.

iii

HALAMAN MOTO

Tuhan itu baik

Theres nothing you can do that cant be done. Theres nothing you can sing that cant be sung. Theres nothing you can make that cant be made. No one you can save that cant be saved. Theres nothing you can know that isnt known. Nothing you can see that isnt shown. Nowhere you can be that isnt where you are meant to be. All you need is love.

iv

UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas segala berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul Geologi, Studi Mikrofasies Dan Fase Diagenesis Formasi Jonggrangan Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Kalibawang dan Sekitarnya Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat diselesaikan dengan baik. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari peran serta orang-orang yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Ir. Sugeng Rahardjo, M.T, selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi, yang memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi di Jurusan. 2. Bapak Ir. Sugeng Widada, M.Sc selaku dosen pembimbing 1 dan Ibu

Dr. Ir. Premonowati, M.T. selaku dosen pembimbing 2 yang telah banyak memberikan masukan, kritik, dan saran-saran dalam penulisan skripsi. 3. Bapak, Ibu, kedua Kakak dan Adik penulis yang telah memberikan banyak dukungan selama pengerjaan skripsi hingga selesai. 4. Saudara-saudara teknik geologi, Iqbal Fardyansah, Octavika Malda, Zaenal Fanani, Francisco Carmo Da Costa Tilman, Sutrio Wibowo, Adrean Novadhani, Jose Sarmento, Edward Ontorael, Graniko Reza Pratama, Anita, Rahmad Indra, Gilang, Isnianto, Adi Pulung yang telah membantu pemetaan, analisis laboraterium dan memberi inspirasi penulis untuk menyelesaikan skripsi. 5. Semua pihak yang telah banyak membantu. Kesempurnaan dan kebenaran hanyalah milik Tuhan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, September 2011 Penulis

SARI
GEOLOGI, STUDI MIKROFASIES & FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN, KECAMATAN SAMIGALUH, KECAMATAN KALIBAWANG & SEKITARNYA, KABUPATEN KULON PROGO, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Oleh: Fery Andika Cahyo
111.070.134 Daerah penelitian meliputi wilayah Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I Yogyakarta. Daerah penelitian Secara Geografis terletak pada koordinat 411660 416760 dan 9147625 9152625 UTM Zona 49. Aspek geologi, mikrofasies, dan fase diagenesis akan menjadi objek telitian yang diangkat pada skripsi ini.Geomorfologi daearah penelitian dibedakan menjadi dua satuan bentuk asal, yaitu bentuk asal fluvial dengan bentuk lahan berupa dataran aluvial (F1), dan tubuh sungai(F2) serta bentuk asal struktural dengan bentuk lahan berupa perbukitan homoklin (S1), dan lembah homoklin(S2). Stratigrafi yang ada di daerah penelitian dibagi menjadi enam satuan batuan dengan urutan dari yang paling tua adalah Satuan breksi-monomik Kaligesing(Oligosen akhir Miosenawal), Satuan breksi-polimik Dukuh(Oliogesen akhir-Miosen awal), Satuan batugampingterumbu Jonggrangan(Miosen tengah), Satuan batugamping-pasiran Sentolo(Miosen tengah, dan Satuan endapan alluvial(Holosen). Terdapat juga satuan litodem andesit intrusi-Tetes. Berdasarkan analisis mikrofasies terhadap satuan batugamping-terumbu Jonggrangan jenis mikrofasies yang muncul di daerah telitian adalah coral floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite and microspar matrix 1, Boundstone 1, lepidocyclina wackestone to packstone with micirite matrix, Boundstone 2(Coral framestone with

wackestone matrix), dan wackestone with micirite and microspar matrix 2. Perkembangan Fase diagenesis berupa fase eogenesis, mesogenesis, dan telogenesis terekam dalam kenampakan mikrofasies yang ada sehingga dapat diintrepertasikan perkembangannya. Intensitas dari proses diagenesis ini dikontrol oleh beberapa faktor salah satunya adalah aspek fasies. Kata kunci: Jonggrangan, Mikrofasies, Fase Diagenesis

vi

ABSTRACT GEOLOGY, MICROFACIES & DIAGENETIC PHASE OF JONGGRANGAN FORMATION, SAMIGALUH & KALIBAWANG SUB-DISTRICT, KULON PROGO REGENCY, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PROVINCE
By: Fery Andika Cahyo 111.070.134 The studied area encompasses the region of Samigaluh and Kalibawang district, Kulon Progo residence, Daerah Istimewa Yogyakarta Province. Its precisely located on X:411660 416760 and Y: 9147625 9152625 coordinate based on UTM 49 Zone. The thesis emphasizes the effort to understanding geological aspect, microfacies aspect, diagenetic phase aspect of the object which become the main concern of it.Based on geomorphic consideration the studied are is distinguished into two basic form, the fluvial basic form which is subdivided into alluvial plain(F1) and the river body(F2), and the structural basic form which is subdivided into homoclinal ridges(S1), and homoclinal valley(S2).The stratigraphy of the studied area is subdivided litostratigraphically into five different rock units based on litology similiarity supported by comparing its against previous research which conducted on the same area. From oldest to youngest respectively are Satuan breksi-monomik Kaligesing(Late Oligocene-Early Miocene), Satuan breksi-polimik Dukuh(Late Oligocene-Early Miocene), Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan(Middle Miocene), Satuan batugamping-pasiran Sentolo(Middle Miocene), and finally Satuan endapan alluvial(Holocene). Litodemic andesite intrusion unit occurred as well.Based on micofacies analysis on Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan this area is typified by the occurrence of coral floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite and microspar matrix 1, Boundstone 1( consist of coral framestone with packstone matrix , platy coral bindstone 1, coraline framestone with diverse organism packstone, algae bindstone, dasycladaceae algae bafflestone, coral framestone with red algae packstone, dan platy coral bindstone 2), lepidocyclina wackestone to packstone with micirite matrix,

Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix), and wackestone with micirite and microspar matrix 2.The diagenetic phase of on Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan is merely complex and depict the relict of eogenetic phase, mesogenetic phase, and telogenetic phase. Probably it is controlled by several aspect, just to mention the facies. Key word: Jonggrangan, Microfacies, Diagenetic

vii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ HALAMAN MOTO .............................................................................................. UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................. SARI....................................................................................................................... ABSTRACT............................................................................................................. DAFTAR ISI ........................................................................................................ DAFTAR TABEL ............................................................................................... DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... i ii iii iv v vi vii viii xv xvi

DAFTAR FOTO .................................................................................................. xviii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1.1. Latar Belakang Penelitian .............................................................................. 1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1.3. Batasan Masalah ............................................................................................ 1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian ...................................................................... 1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 1.6. Hasil Yang Diharapkan . 1.7. Manfaat Penelitian BAB 2. METODOLOGI PENELITIAN . 2.1. Tahap Pendahuluan ... 2.1.1. 2.1.2. Penyusunan Proposal dan Kelengkapan Administrasi .. Kajian Pustaka ... xxiv 1 1 2 2 2 2 3 3 5 5 5 5 6 7 8 8 8

2.2. Bahan dan Alat .. 2.3. Tahap Pelaksanaan ............ 2.3.1. 2.3.2. 2.3.3. Observasi Lapangan .. Pemetaan Lintasan Pembuatan Penampang Stratigrafi Terukur ..

viii

2.3.4.

Pengambilan Sampel Batuan dan Dokumentasi Lapangan ..

8 8 8 9 9 9 9

2.4. Tahap Analisis ... 2.4.1. 2.4.2. 2.4.3. 2.4.4. 2.4.5. 2.4.6. 2.4.7. 2.4.8. Petrografi Batuan ...... Analisa Geomorfologi ... Analisa Struktur Analisa Sayatan Tipis Analisa Kalsimetri

Analisa Etsa (Etching Method) . 10 Analisa Mikropaleontologi ... 10 Analisa Studio ... 10

2.5. Penyusunan Laporan . 10 BAB 3. DASAR TEORI .. 12 3.1. Pengertian Batuan Karbonat . 12 3.2. Klasifikasi Batuan Karbonat . 12 3.2.1. Klasifikasi Batuan Karbonat Menurut Folk (1959) .. 12 Tipe I (Sparry Allochemical Rock) . Tipe II (Microcrystalline Allochemical Rock) 12 13

3.2.1.1. 3.2.1.2. 3.2.1.3. 3.2.1.4. 3.2.2.

Tipe III (Microcrystalline Rock) .. 13 Tipe IV . 14

Klasifikasi Batuan Karbonat Menurut Dunham (1962) 15 Butiran didukung oleh lumpur . 15 Butiran saling menyangga 15 Komponen yang saling terikat pada waktu pengendapan, dicirikan dengan adanya struktur tumbuh ... 15

3.2.2.1. 3.2.2.2. 3.2.2.3.

3.2.2.4.

Tekstur pengendapan yang tidak teramati dengan jelas karena rekristalisasi sangat lanjut 15

3.3. Lingkungan Pengendapan ..... 16 3.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengendapan batuan karbonat ... 16 Pengaruh sedimen klastik asal darat. 16 Pengaruh iklim dan suhu.. 17

3.3.1.1. 3.3.1.2. 3.3.1.3. 3.3.1.4.

Pengaruh kedalaman. 17 Faktor mekanik. 17

ix

3.4. Model Pengendapan Patch Reef................. 18 3.4.1. 3.4.2. 3.4.3. 3.4.4. Fase stabilization................................................................................. 19 Fase colonization ............................................................................... 19 Fase diversification ........................................................................... 19 Fase domination ................................................................................. 19

3.5. Studi Fase Diagenesis Batuan Karbonat........ 22 3.5.1. 3.5.2. Proses diagenesis batuan karbonat.................................................... Lingkungan diagenesis dari lingkungan modifikasi porositas.......... 22 24

3.5.2.1. 3.5.2.2. 3.5.2.3. 3.5.2.4. 3.5.2.5. 3.5.2.6. 3.5.2.7. 3.5.3.

Lingkungan laut.... 25 Lingkungan meteorik.... 25 Lingkungan bawah permukaan. 26 Diagenesis meteorik.. 27 Lingkungan zona campuran dan zona vadose laut... 28 Diagenesis laut...... 29 Diagenesis penimbunan...... 29

Petrografi morfologi semen................................................................ 34

3.6. Intrepertasi lingkungan pengendapan dengan analisis litofasies................... 37 BAB 4. GEOLOGI REGIONAL ....................................................................... 4.1. Fisiografi Regional ....................................................................................... 4.2. Stratigrafi Regional ...................................................................................... 4.3. Struktur Geologi Regional ........................................................................... 4.3.1. 4.3.2. 4.3.3. Periode Akhir Kapur Awal Tersier (70 35 Ma) .................... Periode Oligosen Miosen Awal (35 20 Ma)............ Periode Miosen Tengah Miosen Akhir (20 5 Ma)............... 40 40 41 48 49 51 52 54 54 56 56 57 58 58

BAB 5. GEOLOGI DAERAH PENELITIAN ................................................. 5.1. Geomorfologi Daerah Penelitian ................................................................. 5.1.1. Bentuk Asal Fluvial ......................................................................... Dataran Aluvial (F1) ............................................................... Tubuh Sungai (F2) ..................................................................

5.1.1.1. 5.1.1.2. 5.1.2.

Bentuk Asal Struktural .................................................................... Perbukitan Homoklin (S1) ......................................................

5.1.2.1.

5.1.2.2.

Lembah Homoklin (S2) ......................................................

59

5.1.3.

Pola Pengaliran ................................................................................. 60 Pola pengaliran daerah penelitian ........................................... 62

5.1.3.1.

5.2. Stratigrafi Daerah Penelitian ......................................................................... 63 5.2.1. Satuan breksi-monomik Kaligesing.................................................. 63 Litologi penyusun .................................................................... 64 Penyebaran dan ketebalan ....................................................... Lingkungan pengendapan dan umur ...................................... Hubungan stratigrafis .............................................................. 66 67 76

5.2.1.1. 5.2.1.2. 5.2.1.3. 5.2.1.4. 5.2.2.

Satuan breksi-polimik Dukuh ........................................................... 77 Litologi penyusun .................................................................... 77 Penyebaran dan ketebalan ....................................................... Lingkungan pengendapan dan umur ....................................... Hubungan stratigrafis .............................................................. 78 78 84 85

5.2.2.1. 5.2.2.2. 5.2.2.3. 5.2.2.4. 5.2.3.

Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan......................................

5.2.2.1. 5.2.2.2. 5.2.2.3. 5.2.2.4. 5.2.4.

Litologi penyusun .................................................................... 85 Penyebaran dan ketebalan ....................................................... Lingkungan pengendapan dan umur ....................................... Hubungan stratigrafis .............................................................. 86 86 88 90

Satuan batugamping-pasiran Sentolo................................................

5.2.4.1. 5.2.4.2. 5.2.4.3. 5.2.4.4. 5.2.5.

Litologi penyusun .................................................................... 90 Penyebaran dan ketebalan ....................................................... Lingkungan pengendapan dan umur ....................................... Hubungan stratigrafis .............................................................. 90 91 92 93

Satuan Endapan Aluvial .................................................................

5.2.5.1. 5.2.5.2. 5.2.5.3. 5.2.5.4. 5.2.6.

Litologi penyusun .................................................................... 93 Penyebaran dan ketebalan ....................................................... Umur dan Lingkungan pengendapan ...................................... Hubungan stratigrafis .............................................................. 94 94 94 95

Satuan litodemik intrusi andesit........................................................

5.2.6.1.

Litologi penyusun .................................................................... 95

xi

5.2.5.2. 5.2.5.3. 5.2.5.4.

Penyebaran ............................................................................... 96 Umur dan jenis intrusi ............................................................... 96 Hubungan stratigrafis ................................................................ 96

5.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian .............................................................. 98 5.3.1. 5.3.2. Sesar mendatar Tetes.......................................................................... 98 Sesar mendatar Ngaren...................................................................... 100 102 102

5.4. Sejarah Geologi ......................................................................................... BAB 6. Studi Mikrofasies & Fase Diagenesis Formasi Jonggrangan................

6.1. Studi Mikrofasies Formasi Jonggrangan...................................................... 104 6.1.1. 6.1.2. 6.1.3. Mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix....... 100 Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix........... 100 Asosiasi mikrofasies Boundstone 1................................................... 107 Mikrofasies coral framestone with packstone matrix of Boundstone 1........................................................................... 108 6.1.3.2. 6.1.3.3. Mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1.............. 109 Mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone of boundstone 1....................................................... 110 6.1.3.4. 6.1.3.5. Mikrofasies algae bindstone of boundstone 1......................... 111 Mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1........................................................................ 112 6.1.3.6. Mikrofasies coral framestone with red algae packstone of boundstone 1....................................................... 114 6.1.3.7. Mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1........................................................................ 115 6.1.4. Mikrofasies lepidocyclina wackestone to packstone with micirite matrix................................................................................... 117 6.1.5. Mikrofasies Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix)...................................................................... 118 6.1.6. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix 2....................................................................... 120 6.2. Studi fase diagenesis Formasi Jonggrangan................................................. 121

6.1.3.1.

xii

6.2.1.

Fase diagenesis mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix..................................................... 121 6.2.1.1. Sampel LP 8A.................................................................... 121

6.2.2.

Fase diagenesis mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix........................................................ 122 6.2.2.1. Sampel LP 8B..................................................................... 123

6.2.3.

Fase diagenesis mikrofasies coral framestone with packstone matrix of boundstone 1........................................... 124 6.2.3.1. Sampel LP 8C..................................................................... 124

6.2.4.

Fase diagenesis mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1............................................................... 125 6.2.4.1. 6.2.4.2. Sampel LP 8D..................................................................... 125 Sampel LP 8E..................................................................... 126

6.2.5.

Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone of boundstone 1............................. 127 6.2.5.1. Sampel LP 10A................................................................... 128

6.2.6.

Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies algae bindstone of boundstone 1.................................................................. 129 6.2.6.1. Sampel LP 10B................................................................... 128

6.2.7.

Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1...................................................... 130 6.2.7.1. Sampel LP 10C................................................................... 130

6.2.8.

Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coral framestone with red algae packstone of boundstone 1.......................................... 131 6.2.8.1. Sampel LP 10D................................................................... 132

6.2.9.

Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1.............................................................. 132 6.2.8.1. Sampel LP 13A................................................................... 133

BAB 7. POTENSI GEOLOGI ............................................................................ 134 7.1. Potensi Geologi Bersifat Positif..................................................................... 132 7.1.1. 7.1.2. Batugamping pasiran.......................................................................... 134 Objek wisata gua............................................................................. 135

xiii

7.1. Potensi Geologi Bersifat Negatif........................................................... 136 7.2.1. Longsor............................................................................... 136

BAB 8. KESIMPULAN ...................................................................................... 136 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 138 LAMPIRAN ........................................................................................................... 140

xiv

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Karakteristik Lingkungan Pengendapan.... Tabel 3.2. Lingkungan diagenesa beserta proses yang berperan.. Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... Tabel 5.1. Pembagian unit relief (Van Zuidam, 1983) ........................................ Tabel 5.2. Satuan geomorfik daerah penelitian .................................................. Tabel 5.3. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi Dusun Ngaren............ Tabel 5.4. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi di dekat Dusun Dukuh. Tabel 5.5. Intrepertasi litofasies batugamping-terumbu Jonggrangan.. 21 24 31 31 56 60 68 79 87

Tabel 5.6. Stratigrafi daerah telitian(penulis,2011)............................................... 97

xv

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Karakteristik Lingkungan Pengendapan.... Tabel 3.2. Lingkungan diagenesa beserta proses yang berperan.. Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... Tabel 5.1. Pembagian unit relief (Van Zuidam, 1983) ........................................ Tabel 5.2. Satuan geomorfik daerah penelitian .................................................. Tabel 5.3. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi Dusun Ngaren............ Tabel 5.4. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi di dekat Dusun Dukuh. Tabel 5.5. Intrepertasi litofasies batugamping-terumbu Jonggrangan.. 21 24 31 31 56 60 68 79 87

Tabel 5.6. Stratigrafi daerah telitian(penulis,2011)............................................... 97

xv

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Gambar 2.1. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Lokasi penelitian ........................................................................... Diagram alir penelitian ................................................................ Klasifikasi batuan karbonat (Folk, 1959) .................................... 3 11 14

Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan tekstur pengendapannya (Dunham, 1962) ............................................................................ 15

Gambar 3.3.

Klasifikasi batugamping terumbu berdasarkan bentuk dan lokasi pengendapan(Tucker, 2003)........................................................... 18

Gambar 3.4.

Model suksesi biologis dari suatu patch reef(James, 1984b, vide Tucker,2003)................................................................................... 20

Gambar 3.5. Gambar 3.6.

Lingkungan diagenesa utama (Flugel, 2004).................................. 27 Hubungan antara lingkungan diagenesa utama pada area bawah permukaan dangkal dari suatu tubuh pasir karbonat dengan permeabilitas ideal (Flugel,2004(modifikasi Longman, 1980))..... 28

Gambar 3.7.

Morfologi dari kristal kalsit yang dikontrol oleh Mg-poisoning(Folk, 1974)................................................................................................. 35

Gambar 3.8. Gambar 3.9.

Sifat pertumbuhan kristal kalsit sebagai fungsi rasio Mg/Ca............ 35 Diagram skematik yang menunjukkan perkiraan sifat pertumbuhan dari semen kalsit pengisi pori pada lingkungan diagenesis. Sifat ini dikontrol rasio kation aktif permukaan(SAC) terhadap anion aktif permukaan(SAA).............................................................................. 37

Gambar 3.10. Kode Litofasies menurut Maurice Tucker(2003).............................. 39 Gambar 4.1. Pembagian fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949) modifikasi oleh penulis ................................................................................... Gambar 4.2. 40

Stratigrafi pegunungan Kulon Progo (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987) .............................................................................................. 44

Gambar 4.3. Gambar 4.4.

Stratigrafi pegunungan Kulon Progo menurut beberapa peneliti .. 48 Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan Van Bemmelen (1945, hal.596) .............................. 49

xvi

Gambar 4.5.

Kerangka tektonik dari South East Asia sebelum 70 M.A hingga 5 M.A. (Prasetyadi, 2003)................................................................. 49

Gambar 4.6.

Kerangka tektonik pulau Jawa dan

penampang elemen tektonik

selama 35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003).......................................... 51 Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan tektonik(Prasetyadi, 2003).............................................................. 51 Gambar 5.1. Gambar 5.2. Gambar 5.3. Gambar 5.4. Diagram alur klasifikasi geomorfologi (Van Zuidam, 1983) ....... Klasifikasi pola dasar pengaliaran oleh (A.D. Howard,1967) ..... 55 61

Peta pola pengaliran daerah penelitian .. 62 Analisis stereonet dari sesar Tetes, bidang sesar memilki kedudukan N 1650E/650 dan gores garis 210, N 1750 E, rake= 220, berdasarkan analisis dan klasifkasi sesar ini termasuk kategori normal right slip fault(Rickard, 1972)......................................................................... 94

Gambar 5.5. Gambar 5.6. Gambar 5.7. Gambar 5.8.

Diagram kontur kedudukan umum gash fracture Sesar Ngaren..... 95 Analisis stereonet dari sesar Ngaren................................................ 96 Aktivitas vulkanisme dimulai.......................................................... 97 Pasokan sedimen mengisi cekungan................................................ 98

Gambar 5.9. Pembentukan Satuan breksi monomik Kaligesing dan Satuan breksipolimik Dukuh................................................................................. Gambar 5.10. Terjadi intrusi dan kenaikan sea level kemudian terbentuk Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan............................................... Gambar 5.11. Terjadi intrusi dan kenaikan sea level kemudian terbentuk Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan. Hasil rework Jonggrangan membentuk Satuan batugamping-pasiran Sentolo. Terbentuk sesar mendatar kanan.............................................................................. 100 Gambar 5.11. Pembentukan Satuan endapan alluvial ........................................ 101 99 98

xvii

DAFTAR FOTO
Foto 5.1. Kenampakan bentuk lahan tubuh sungai dan dataran alluvial pada daerah telitian. Gambar diambil dari LP 7 kamera menghadap ke N 1950E................................................................................................... daerah telitian. kamera menghadap ke N 0820E................................. pada bagian utara daerah telitian. kamera menghadap ke N 0110E..... arah kamera N 2650 E......................................................................... 57

Foto 5.2. Kenampakan bentuk lahan perbukitan homoklin dan dataran alluvial pada 58

Foto 5.3. Kenampakan bentuk lahan perbukitan homoklin dan lembah homoklin 59

Foto 5.4. Singkapan breksi laharik yang sangat tebal. Terletak pada LP 76 dengan 64

Foto 5.5. Singkapan breksi dengan sisipan batupasir tuffan, breksi pada bagian bawah menunjukkan struktur graded bedding, batupasir tuffan sebagai sisipan menunjukkan struktur laminasi sejajar, sedangkan breksi di bagian atas menggerus bagian bawah . sehingga menunjukkan struktur flutecast. Terletak pada LP 21 dengan arah kamera N 0650 E....... 65

Foto 5.6. Singkapan sisipan breksi gampingan pada satuan breksi-monomik Dukuh yang menunjukkan struktur sedimen slump. pada inset (A) dapat terlihat kenampakan breksi polimik dengan fragmen pecahan andesit dan pecahan coral. Pada inset (B) dapat terlihat kenampakan batupasir kerikilan gampingan yang mengandung mineral galukonit. Terletak pada LP 72 dengan arah kamera N 3500 E.. 66

Foto 5.7. Kenampakan struktur sedimen syn-sedimentary fault dan syn-sedimentary fold. Terletak pada LP 74 dengan arah kamera N 3560 E........ 71 Foto 5.8. Kenampakan kontak beda fasies antara satuan breksi monomik Kaligesing dan satuan breksi polimik Dukuh. Terletak pada LP 3 dengan arah kamera N 0320 E 76 Foto 5.9. Kenampakan kontak tidak selaras antara satuan breksi-monomik Kaligesing dan satuan batugamping-terumbu Jonggrangan. Terletak pada LP 6 dengan arah kamera N 1020 E. 77

xviii

Foto 5.10. Kenampakan struktur sedimen bioturbasi vertical(skolithos). Terletak pada LP 2 dengan arah kamera N 0320 E. 83 Foto 5.11. Kenampakan struktur sedimen hummocky cross bedding . Kehadiran gutter cast pada bagian bawah mengindikasikan penggerusan oleh mekanisme strom(strorm scouring)Terletak pada LP 2 dengan arah kamera N 0340 E 84 Foto 5.12. Hubungan selaras satuan breksi-polimik Dukuh dengan satuan

batugamping-terumbu Jonggrangan. Pada inset (A) terlihat struktur geopetal . Pada inset (B) terlihat kenampakan floatstone. Terletak pada LP 5 dengan arah kamera N 0120 E.. 85 Foto 5.13. Kenampakan struktur mega cross bedding pada litologi batugamping pasiran Sentolo.Terletak pada LP 100 dengan arah kamera N 1460 E... 92 Foto 5.14. Kenampakan kontak tidak selaras satuan batugamping-pasiran Sentolo dengan satuan breksi-monomik Kaligesing.Terletak pada LP 103 dengan arah kamera N 1420 E. Foto 5.15. Endapan Alluvial di tepi sungai.Terletak pada LP 78
0

93

dengan arah

kamera N 346 E. 94 Foto 5.16. Kenampakan intrusi andesit yang menunjukkan struktur columnar joint. Pada inset (A) dapat dilihat kenampakan baking effect dari intrusi ini. Pada inset (B) dapat dilihat ciri intrusi berupa pembentukan kristal yang semakin sempurna ke bagian dalam dari batuan. Terletak pada LP 55 dengan arah kamera N 043 E. 95 Foto 5.17. a. Kenampakan bidang sesar Tetes dengan kedudukan N165oE/65o Azimuth foto N192oE b. Gores garis pada hanging wall dengan kedudukan 21o, N335oE rake 22o. c. Kenampakan Step Gash pada hanging wall yang menunjukkan pergerakan kekanan. Diambil dari foto LP 41 arah kamera N210oE... 95 Foto 5.18. Kenampakan bidang sesar Ngaren.Terletak pada LP 75 dengan arah kamera N 1120 E................................................................................ Foto 6.1. (A)Kenampakan bioclast coral yang telah termikritisasi (B)Kenampakan tekstur wackestone ditunjukkan dengan karbonat(dilingkar merah) yang mengambang pada masa dasar, (C)Kenampakan microspardiambil dari 100 butir

xix

foto sayatan tipis LP 8A tanpa skala....................................................... 106 Foto 6.2. (A) Kenampakan bioclast yang telah termikritisasi. (B) Kenampakan tekstur wackestone dicirikan oleh mud supported. (C) Kenampakan porositas fracture. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8B tanpa skala.............................. 107 Foto6.3. Kenampakan matriks pengisi mikrofasies coral framestone berupa packstone yang terdiri atas bioclast(algae?) yang telah terneomorfisme. Foto berasal dari sayatan tipis sampel LP 8C...................................... 109 Foto 6.4. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah tergantikan oleh sparit berbentuk blocky. (B) Kenampakan porositas vuggy. (C) Kenampakan fracture yang telah diisi oleh sparite. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8D tanpa skala............................... 110 Foto 6.5. (A) Kenampakan benthic foram yang dikelilingi oleh sparite berbentuk bladed. (B) kenampakan bryozoa yang struktur dalamnya sudah agak sulit dikenali. (C) Kenampakan red algae yang diseklilingnya juga terdapat sparite berbentuk bladed. (D) Kenampakan dari terumbu yang membentuk struktur framework. (E) Kenampakan porositas intraparticle. (F) Kenampakan bioclast jenis molusca. Diambil dari foto sayatan tipis LP 10A tanpa skala............................ 111 Foto 6.6. (A)Kenampakan porositas vuggy, (B) kenampakan jalinan algae yang mengikat lumpur karbonat, (C) kenampakan dari lumpur karbonat yang diikat oleh algae sebagian telah mengalami neomorfisme, diambil dari foto sayatan tipis LP 10B tanpa skala............................. 112 Foto 6.7. (A)Kenampakan dasycladaceae algae dapat terlihat juga porositas intraparticle, (B)kenampakan bioclast yang telah mengalami inversi pada matriks pengisi bafflestone, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C tanpa skala............................. 114 Foto 6.8. (A)Kenampakan bioclast jenis lepidocyclina yang sebagian telah mengalami inversi, (B)kenampakan bioclast jenis red algae, keduanya merupakan matriks pengisi framestone, diambil dari foto sayatan tipis LP 10D tanpa skala........................................................ 115

xx

Foto 6.9.

(A)Kenampakan kerangka dari platy coral yang telah mengalami mikritisasi, (B)kenampakan material sedimen yang diikat oleh bindstone berupa lumpur karbonat, (C)kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah mengalami neomorfisme, diambil dari foto sayatan tipis LP 13A tanpa skala........................... 116

Foto 6.10 (A)Kenampakan bioclast jenis bryozoa, (B)kenampakan bioclast jenis lepidocyclina, diambil dari foto sayatan tipis LP 49A tanpa skala............................ 118 Foto 6.11 Kenampakan singkapan batugamping terumbu framestone pada LP 53 arah kamera N240E......................................................................... 119

Foto 6.12 (A)Kenampakan kerangka koral yang diisi oleh sparite berbentuk drusy, (B)kenampakan cangkang Lepidocyclina yang sebagian telah terneomorfisme menjadi sparite pada matriks pengisi framestone, diambil dari foto sayatan LP 47A.................................................... Foto 6.13 (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, (B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase mesogenesis hingga telogenesis, (C)kenampakan porositas vuggy akibat pelarutan pada fase telogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 8A .............................................. 122 120

Foto 6.14 (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, bagian tepi dari bioclast berbentuk sutured akibat kompaksi pada fase mesogenesis, (B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase mesogenesis hingga telogenesis, (C)kenampakan porositas channel akibat pelarutan pada fase telogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 8B ............................ 123 Foto 6.15 (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga antar kerangka coral(garis putus-putus merah),

xxi

(B)terlihat juga porositas growth framework yang telah tereduksi akibat proses presipitasi spar ini(garis putus-putus hijau), diambil dari foto sayatan tipis LP 8C................................................. 124 Foto 6.16 (A) Kenampakan kerangka platy coral yang memiliki micrite envelope pada bagian tepi, (B) terbentuk pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga hasil pelarutan kerangka platy coral, (C) kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis , diambil dari foto sayatan tipis LP 8D ................................................. 126 Foto 6.17 (A)Kenampakan kerangka platy coral yang telah termikritisasi dan sebagian mengalami neomorfisme parsial, terbnetuk pada fase eogenesis, (B)kekar akibat pengaruh kompaksi yang kemudian terisi oleh spar berbentuk drusy mosaic, terjadi fase mesogenesis, (C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis , diambil dari foto sayatan tipis LP 8E................................................... 127 Foto 6.18 (A) Kenampakan sparite dengan bentuk fibrous pada bagian tepi red algae, terbentuk pada fase eogenesis, (B) foraminifera yang termikritisasi pada fase eogenesis(garis putusputus merah), kemudian terbentuk sparite bladed rims pada fase mesogenesis(garis putus-putus hijau), kemudian pada fase telogenesis terpresipitasi spar dengan bentuk blocky(garis putus-putus kuning), (C) kenampakan porositas intraparticle yang telah tereduksi akibat presipitasi spar pada fase telogenesis , diambil dari foto sayatan tipis LP 10A ............................................... 129 Foto 6.19 (A)Kenampakan kerangka algae yang telah termikritisasi sebagian terbentuk pada fase eogenesis, (B) kenampakan microspar hasil neomorfisme agrading coalescive, terjadi fase mesogenesis, (C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,

xxii

diambil dari foto sayatan tipis LP 10B................................................ 130 Foto 6.20 Kenampakan kerangka dasycladaceae algae yang mengalami boring oleh organisme endolithic pada fase eogenesis, kenampakan kerangka dasycladaceae algae ini juga telah tedeformasi akibat kompaksi pada fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C................... 131 Foto 6.21 (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis, (B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, porositas growth framework yang telah tereduksi akibat presipitasi spar pada rongga antar kerangka coral, diambil dari foto sayatan tipis LP 10D ............................................... 132 Foto 6.22 (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis, (B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, neomorfisme agrading coalescive bersifat parsial pada kerangka coral yang telah termikritisasi, terjadi pada fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 13A................................................ 133 Foto 7.1. Lokasi tambang batugamping pasiran yang dikelola oleh masyarakat sekitar. Foto diambil di dekat LP 99 dengan arah kamera N 0560 E......135 Foto 7.2. Lokasi Gua Sriti yang dijadikan objek wisata oleh warga setempat. Foto diambil pada LP 22 dengan arah kamera N 0500 E............................... 136 Foto 7.3. kenampakan pergerakan tanah berupa rock fall di pinggir jalan. Foto diambil pada LP 35 dengan arah kamera N 0780 E............................... 137

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.1. Lampiran 1.2. Lampiran 1.3. Lampiran 1.4. Lampiran 1.5. Lampiran 1.6. Lampiran 1.7. Lampiran 1.8. Lampiran 1.9. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.A ................................... 141 Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.B .................................... 142 Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.C .................................... 143 Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.D .................................... 144 Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.E .................................... 145 Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10A .................................. 146 Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10B.................................... 147 Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10C .................................. 148 Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10D .................................. 149

Lampiran 1.10. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10E.................................. 150 Lampiran 1.11. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 17 ............................... 151

Lampiran 1.12. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 25 .................................... 152 Lampiran 1.13. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 30.................................. 153

Lampiran 1.14. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 49A .................................. 154 Lampiran 1.15. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 49B ................................... 155 Lampiran 1.16. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 101 .................................... 156 Lampiran 1.17. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 47A................................... 157 Lampiran 1.18. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 47B................................... 158 Lampiran 1.19. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 55...................................... 159 Lampiran 2.1. Lampiran 2.2. Lampiran 3.1. Lampiran 4.1. Lampiran 4.2. Lampiran 4.3. Lampiran 4.4. Lampiran 5.1. Lampiran 5.2. Hasil Analisa Etsa LP 10D.......................................................... 160 Hasil Analisa Etsa LP 8D........................................................... 161 Hasil Analisa Kalsimetri LP 100 ............................................... 162 Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan Peta Geomorfologi Peta Geologi Peta Mikrofasies Profil Banjarsari MS Kedungrong

xxiv

Lampiran 5.3. Lampiran 5.4. Lampiran 6.1. Lampiran 6.2. Lampiran 6.3. Lampiran 6.4. Lampiran 6.5. Lampiran 6.6. Lampiran 6.7. Lampiran 6.8. Lampiran 6.9. Lampiran 7.1. Lampiran 7.2. Lampiran 7.3. Lampiran 7.4. Lampiran 7.5.

Profil Ngaren MS Puthuk Hasil Analisa Porositas pada LP 8A .......................................... 163 Hasil Analisa Porositas pada LP 8B .......................................... 164 Hasil Analisa Porositas pada LP 8C .......................................... 165 Hasil Analisa Porositas pada LP 8D(1)...................................... 166 Hasil Analisa Porositas pada LP 8D(2)...................................... 167 Hasil Analisa Porositas pada LP 10A........................................ . 168 Hasil Analisa Porositas pada LP 10B.......................................... 169 Hasil Analisa Porositas pada LP 10C......................................... 170 Hasil Analisa Porositas pada LP 10D......................................... 171 Hasil Analisa Mikropaleontologi D21 ....................................... 172 Hasil Analisa Mikropaleontologi D3 ......................................... 173 Hasil Analisa Mikropaleontologi S23 ........................................ 174 Hasil Analisa Mikropaleontologi S27 ........................................ 175 Hasil Analisa Mikropaleontologi S23 ........................................ 176

xxv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Formasi Jonggrangan merupakan salah satu Formasi yang tersingkap dengan cukup baik di sekitar wilayah Yogyakarta dan menarik untuk diteliti. Para peneliti sebelumnya menggambarkan Formasi Jonggrangan sebagai suatu formasi berumur Miosen Tengah yang disusun oleh litologi konglomerat yang ditumpangi oleh napal tuffan, batupasir gampingan dengan sisipan lignit, lalu bagian atas dari Formasi ini didominasi oleh kehadiran batugamping koral(Wartono Rahardjo, dkk,1977). Keberadaan litologi batuan karbonat berupa batugamping koral merupakan suatu fenomena geologi yang khas dan menarik sehingga dijadikan sebagai objek penelitian dalam tugas akhir ini. Perkembangan batugamping koral yang sangat sensitif terhadap perubahan keadaan geologi akan memberikan informasi yang sangat baik mengenai sejarah geologi yang terjadi di kubah Kulon Progo. Penyebaran fasies dari suatu batuan karbonat akan memberikan gambaran mengenai keadaan paleogeografi dari suatu wilayah. Data fasies karbonat ini akan semakin detil dan informatif jika didukung oleh pengamatan mikroskopis dari fasies tersebut sehingga sering disebut sebagai mikrofasies. Pemetaan yang mendetil mengenai penyebaran fasies batugamping dari Formasi Jonggrangan akan memberikan wawasan baru sekaligus melengkapi data penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peniliti sebelumnya. Selain aspek keilmuan batugamping juga menarik untuk diteliti aspek ekonomisnya. Aspek ekonomis ini berhubungan erat dengan keberadaan pori dari batuan karbonat yang memungkinkan terakumulasinya hidrokarbon di dalamnya. Keberadaan dari pori ini sangat dikontrol oleh proses-proses sekunder seperti diagenesis. Dengan mempelajari fase diagenesis dari batugamping yang menyusun Formasi Jonggrangan ini dan penyebarannya maka dapat dibuat suatu analog model reservoir batuan karbonat yang dapat dimanfaatkan untuk eksplorasi hidrokarbon ke depannya.

1.2. Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dibahas adalah penyebaran batugamping pada daerah telitian, mengetahui jenis dan pola penyebaran fasies batugamping pada daerah telitian, mengetahui lingkungan pengendapan batugamping, dan fase

diagenesis batugamping pada daerah telitian dengan cara memetakan daerah telitian secara detil dan lebih terperinci. Permasalahan geologi lain yang akan dibahas adalah kondisi geologi daerah telitian karena selama ini informasi yang digunakan adalah informasi yang sifatnya regional.

1.3. Batasan Masalah Penelitian mengenai mikrofasies dan fase diagenesis akan dibatasi hanya pada Formasi Jonggrangan, kendari terdapat formasi lain yang disusun oleh batuan karbonat yaitu Formasi Sentolo yang juga tersingkap pada daerah telitian. Secara lebih detail aspek fase diagenesis hanya akan difokuskan pada singkapan batuan karbonat yang menunjukkan suksesi perubahan fasies karbonat yang paling baik.

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian tugas akhir ini adalah untuk mengaplikasikan teori dan materi yang didapatkan di bangku perkuliahan pada aplikasi di lapangan maupun di dunia kerja. Penelitian bertujuan untuk mengetahui penyebaran batugamping pada daerah telitian, mengetahui jenis dan pola penyebaran fasies batugamping pada daerah telitian serta untuk mengetahui fase diagenesis dari fasies Formasi

Jonggrangan yang tersingkap di daerah telitian

1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian Daerah penelitian meliputi wilayah Kecamatan Kalibawang dan Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I Yogyakarta. Daerah penelitian Secara Geografis terletak pada koordinat 411660 416760 dan 9147625 9152625 UTM Zona 49. Luas daerah penelitian adalah kurang lebih 25km2 dengan panjang dari selatan ke utara 5 km dan lebar dari arah barat ke timur kurang lebih 5 km. Lokasi daerah penelitian berada pada Propinsi D.I Yogyakarta bagian barat, berjarak sekitar 3 km dari Jalan Godean (jalur utama), dapat dicapai dengan kendaraan roda

dua dan roda empat melalui jalan beraspal, dan jalan bersemen. Untuk mencapai lokasi pengamatan dan melakukan pengambilan contoh batuan, pada beberapa lokasi harus berjalan kaki melalui jalan setapak. Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat pada gambar 1.1. Adapun waktu penelitian (pengambilan data di lokasi penelitian) yaitu selama satu setengah bulan yang dilakukan mulai pada pertengahan bulan April 2011 hingga akhir bulan Mei 2011. Selanjutnya melakukan tahap analisa laboratorium dan melengkapi data selama 1 bulan (Juni 2011). Sedangkan tahap pengerjaan peta, penempang stratigrafi, draft dan konsultasi memakan waktu 1 bulan (Juli 2011).

Gambar 1.1.

Lokasi Penelitian (Sumber Peta Geologi Regional Lembar

Yogyakarta)

1.6.

Hasil Yang Diharapkan Hasil yang diharapkan berupa diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang

keilmuan khususnya geologi dan dapat menjadi bahan masukan bagi eksplorasi Sumber Daya Alam dalam bentuk laporan tugas akhir atau skripsi berupa : Peta lintasan dan lokasi pengamatan Peta geomorfologi atau bentuk lahan Peta geologi dan penampang geologi lokal Peta penyebaran fasies karbonat Penampang stratigrafi terukur

Draft / laporan

1.7. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan dari penelitian, dapat diketahui manfaat dari penelitian ini, antara lain : Bagi Keilmuan : Penelitian ini merupakan hasil koleksi data, hasil analisis, dan sintesa khususnya tentang fasies karbonat dan pengaplikasiannya tentang perubahan muka air laut. Bagi Penulis : Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam melakukan pemetaan geologi detil. Meningkatkan pengetahuan dalam bidang fasies karbonat terutama dalam menyusun paleogeografi suatu daerah karbonat. Sebagai skripsi untuk menyelesaikan program strata satu (S1) dan memperoleh gelar sarjana teknik.

BAB 2 METODOLOGI PENELITIAN


Pemetaan geologi yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui observasi lapangan yang menggunakan jalur lintasan tertentu. Observasi yang dilakukan di lapangan meliputi orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan singkapan dan batuan, pengukuran, dan pengambilan sampel batuan. Sebelum melakukan observasi ke lapangan, terlebih dahulu melakukan analisis data sekunder yang didapatkan dari pustaka dan sumber yang lain yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan secara detil. Dalam mencapai tujuan yang diharapkan, penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan (Gambar 2.1) yaitu :

2.1. Tahap Pendahuluan Pada tahap ini dilakukan persiapan berupa kelengkapan administrasi, studi pustaka, pemilihan judul dan diskusi dengan dosen pembimbing. Tahap ini dilakukan di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

2.1.1.

Penyusunan Proposal Penelitian dan Kelengkapan Administrasi Tahap ini dilakukan untuk menguji kelayakan proposal di depan dosen

pembimbing dan mengurus surat ijin jalan dan penelitian dari Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta kepada pemerintah daerah setempat di lokasi penelitian lapangan. Ini dilakukan sebelum berangkat ke daerah Kedungrong, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I.Y.

2.1.2.

Kajian Pustaka Kajian pustaka dilakukan guna menunjang penelitian mengenai geologi

daerah penelitian dan Regional Lembar Yogyakarta. Kajian pustaka ini nantinya diharapkan dapat membantu kelancaran penelitian yaitu dapat digunakan sebagai

bahan acuan guna untuk mempelajari geologi daerah penelitian baik geologi regional, stratigrafi regional, fisiografi regional dan struktur geologi pada daerah penelitian. Kajian pustaka dilakukan untuk menggali beberapa informasi dari beberapa referensi yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu di daerah yang sama. Kajian pustaka juga dilakukan pada beberapa referensi yang mendukung penelitian ini secara keilmuan sehingga dalam pembahasannya akan ditunjang dengan latar belakang serta teori yang kuat. Kajian pustaka pada daerah penelitian dilakukan secara regional dan secara lokal meliputi regional Yogyakarta bagian selatan dan lingkungan pengendapan pada daerah penelitian, maupun teori-teori dasar geologi lainnya.

2.2. Bahan dan Alat Beberapa peralatan dan bahan yang dipergunakan untuk kelancaran penelitian geologi ini adalah sebagai berikut : Peta topografi skala 1 : 25.000 Digunakan sebagai peta dasar untuk melakukan orientasi medan dan pengeplotan titik pengamatan di lapangan. Peta geologi lembar Yogyakarta, Jawa. Berskala 1 : 100.000 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1995). Palu geologi Digunakan untuk mengambil sampel batuan yang ada di titik pengamatan. Lup Digunakan untuk mengamati sampel batuan yang diambil serta untuk mengamati komposisi penyusun batuan tersebut. Kompartorkomparator litologi, ukuran butir serta klasifikasi penamaan batuan. Kantong sampel Digunakan sebagai tempat sampel untuk digunakan pada saat analisa laboratorium dan dilapangan.

Kompas geologi Digunakan untuk melakukan orientasi medan/pengeplotan titik pengamatan, mengukur kelerengan morfologi dan untuk mengukur data struktur baik struktur primer maupun sekunder.

Buku catatan lapangan Digunakan untuk mencatat data-data yang ada pada saat melakukan observasi lapangan. Serta kertas milimeter untuk membuat profil di lapangan.

Clipboard Digunakan untuk tempat alas peta topografi dan sebagai alat Bantu dalam melakukan pengukuran data-data di lapangan.

Alat tulis Digunakan sebagai alat untuk tulis-menulis di lapangan.

Penggaris dalam berbagai bentuk Digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan.

Busur derajat Digunakan untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan pada peta topografi dan untuk mengukur besar sudut data struktur yang ada di lapangan.

Kamera Digunakan untuk mengambil data berupa gambar yang ada di lapangan.

HCl 0,1 M Digunakan untuk mengetes ada tidaknya kandungan karbonat dalam suatu batuan

Tas/ransel/backpack. Digunakan sebagai tempat untuk menyimpan semua peralatan yang digunakan di lapangan.

2.3. Tahap Pelaksanaan Tahap pelaksanaan ini merupakan langkah kerja pengambilan data lapangan pada lokasi penelitian sebagai data utama, penunjang, dan pelengkap data yang sudah ada.

2.3.1.

Observasi Lapangan Dilakukan untuk mengenal kondisi lapangan pada daerah penelitian dan

untuk mengetahui gambaran dari bentuk geomorfologi dan keadaan geologi secara umum, guna menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian selanjutnya.

2.3.2.

Pemetaan Lintasan Tujuannya untuk mengetahui penyebaran litologi secara horisontal

maupun vertikal dari setiap satuan batuan dan mengetahui keadaan geomorfologi, dimana hasil pengamatan direkam dalam buku, kamera dan peta topografi. Adapun isi dari peta lintasan adalah semua hasil yang kita peroleh selama melakukan pengamatan lapangan, baik berupa lokasi pengamatan, penyebaran batuan dan struktur geologi.

2.3.3. Pembuatan Penampang Stratigrafi Terukur Pembuatan penampang stratigrafi terukur berguna untuk memudahkan dalam pemerian litologi dilihat dari tekstur maupun komposisi penyusun lainnya, penentuan pengambilan contoh batuan yang berguna untuk keperluan analisis, penentuan batas setiap satuan batuan dan pada akhirnya dapat menentukan satuan litostratigrafi secara urut dari tua ke muda.

2.3.4.

Pengambilan Sampel Batuan dan Dokumentasi Lapangan Pengambilan sampel dilakukan pada beberapa titik lokasi pengamatan

yang kemudian akan dilakukan analisis petrografi, analisis kalsimetri, analisis etsa, analisa mikropaleontologi. Dalam pencatatan semua data yang terdapat di lapangan seperti posisi lokasi pengamatan, struktur sedimen yang berkembang, struktur geologi serta pengambilan foto lapangan yang bersifat informatif di daerah telitian.

2.4. Tahap Analisis Tahap analisa dan interpretasi melewati beberapa tahapan untuk dapat mencapai tujuan penelitian yang meliputi beberapa hal yaitu :

2.4.1.

Petrografi Batuan Secara megaskopis dilakukan melalui pengamatan secara langsung di

lapangan untuk mengetahui jenis litologi yang menyusun daerah penelitian, mengetahui penyebaran batuannya serta untuk pengambilan contoh batuan untuk analisa petrografi dan geokimia batuan. Secara mikroskopis dilakukan dengan pengamatan sayatan tipis batuan, sehingga dapat diketahui komposisi penyusun batuan dan nama batuan.

2.4.2.

Analisis Geomorfologi Analisa geomorfologi ini menurut klasifikasi Van Zuidam (1979 dan

1983), didapatkan melalui pengamatan secara visual di lapangan dan didukung dengan cara mengkaji peta topografi berdasarkan pola pengaliran, pola kontur, sehingga dapat diinterpretasikan bentuk geomorfologi pada daerah penelitian. Pembagian bentuk lahan dalam analisa geomorfologi lebih didasarkan pada kelerengan dan proses yang bekerja secara lebih dominan pada daerah penelitian.

2.4.3.

Analisis Struktur Analisa struktur dilakukan dengan mengkaji data struktur geologi yang

diperoleh di lapangan seperti perlapisan batuan, kekar-kekar, dan sesar.

2.4.4.

Analisis Sayatan Tipis Analisa ini menurut klasifikasi Dunham (1954) yang bertujuan untuk

dapat mengetahui nama batuan dan diagenesanya dari prosentase fosil yang terkandung dalam contoh batuan maupun jenis butirannya di dalam massa dasar. Contoh batuan diamati di bawah mikroskop polarisator dengan mewakili tekstur batuan secara keseluruhan (komposisi butiran serta lumpur, hubungan antar butir).

2.4.5.

Analisis Kalsimetri Analisa ini menurut klasifikasi campuran lempung gamping. Pettijohn

(1975) yang bertujuan untuk memperlihatkan kandungan prosentase CaCO3.

2.4.6.

Analisis Etsa (Etching Method) Analisa ini menurut beberapa klasifikasi yaitu porositas menurut

Choquette dan Pray (1970), indeks energi menurut Plumley (1962) dan nama batuan menurut Dunham (1962) dan Folk (1959), untuk meneliti dan mempelajari tekstur pada batuan karbonat serta kandungan fosil dan tujuannya untuk mengetahui lingkungan pengendapan dan penampang batuan menurut beberapa klasifikasi. Contoh batuan yang telah dibersihkan dan sudah diuji kandungan kalsium karbonat dengan larutan asam chloride (HCl) seingga komponen pengotor terlarutkan lalu diamati di bawah mikroskop binokuler.

2.4.7.

Analisa Mikropaleontologi Analisa ini menurut klasifikasi Blow (1969) bertujuan untuk penentuan

umur batuan dan menurut klasifikasi Barker (1960) untuk penentuan lingkungan bathimetri.

2.4.8.

Analisa Studio

Hasil analisis dan interpretasi data dari setiap tahapan dievaluasi lagi untuk mendapatkan hasil akhir yang maksimum.

2.5. Penyusunan Laporan Dari hasil analisa yang diperoleh, kemudian hasil tersebut disajikan dalam bentuk laporan skripsi. Hasil analisa yang telah dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut kemudian dipresentasikan dalam bentuk kolokium dan sidang sarjana.

10

Tahap Pendahuluan

Studi pustaka, persiapan peta topografi, perijinan tempat, persiapan perlengkapan lapangan

Tahap Penelitian

Observasi Lapangan, pemetaan lintasan, pemerian litologi, pengambilan contoh dan foto batuan, identifikasi struktur geologi, pengukuran penampang Stratigrafi

Analisa Laboratorium : Sayatan Tipis, Kalsimetri, Etsa, Mikropaleontologi

Analisa Studio : Struktur Geologi, Pembuatan Peta, Pembuatan Penampang Stratigrafi Terukur (MS), Klasifikasi Fasies Karbonat.

Hasil Yang diharapkan : Peta Lintasan, Peta Geomorfologi, Peta Geologi, Penampang Stratigrafi Terukur (MS), Peta Fasies Karbonat

Penyusunan Laporan
Gambar 2.1. Diagram alir penelitian

11

BAB 3 DASAR TEORI


3.1. Pengertian Batuan Karbonat Batuan karbonat adalah batuan sedimen yang berkomposisi mineral karbonatnya sangat dominan yaitu lebih dari 50%. Proses pembentukannya dapat terjadi secara insitu, yang berasal dari larutan yang mengalami proses kimiawi maupun biokimia, dimana dalam proses tersebut organisme laut berperan dan dapat pula terjadi dari butiran rombakan yang telah mengalami transportasi secara mekanik yang kemudian diendapkan pada tempat lain. Selain itu pembentukannya dapat pula terjadi akibat proses dari batuan karbonat yang lain (sebagai contoh yang sangat umum adalah proses dolominitasi, dimana kalsit berubah menjadi dolomite. Proses pembentukan batuan karbonat ini terjadi pada lingkungan laut yang dipengaruhi oleh beberapa faktor penting antara lain pengaruh sedimen klastik asal darat, pengaruh iklim dan suhu serta pengaruh kedalaman dan faktor mekanik.

3.2. Klasifikasi Batuan Karbonat Untuk menunjang penelitian penulis menggunakan karbonat menurut Folk (1959) dan Dunham (1962). klasifikasi batuan

3.2.1.

Klasifikasi batuan barbonat menurut Folk (1959) Klasifikasi batuan karbonat yang dikemukakan oleh Folk didasarkan pada

tiga komponen utama penyusun batuan karbonat, yaitu butiran (allochems), sparite, dan micrite. Allochems, Merupakan butiran karbonat yang berukuran pasir kerikil, yang berasal dari sedimen klastik. Termasuk di dalamnya adalah oolit, pisolit, onkolit, pellet, Fosil, dan lain-lain.

12

Microcrystalline calcite ooze atau micrite Merupakan agregat halus yang berukuran 1 4 mikron, sebagai pembentuk mineral kalsit, terjadi secara biokimia dari presipitasi air laut, terbentuk dalam lingkungan pengendapan dan menunjukkan sedikit atau tidak adanya transportasi yang berarti. Hal ini dinyatakan bahwa mikrit (sensu Folk) adalah tidak sama dengan lumpur karbonat (sensu Dunham). Folk memberikan penamaan secara deskriptif untuk penyusunan batuan, sedangkan Dunham lebih menjurus pada untuk menafsirkan penyusun batuan itu.

Sparry calcite cements atau sparite Merupakan semen yang mengisi ruang antar butir dan rekahan, berukuran butir halus (0,02 1mm). Dapat terbentuk langsung dari sedmien secara insitu ataupun dari rekristalisasi mikrit. Dengan didasarkan pada ketiga komponen utama tersebut, penamaan batuan karbonat dapat dibagi menjadi beberapa tipe utama.

3.2.1.1.

Tipe I (sparry allochemical rock) Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe ini sebagian besar

konstitusi allochem yang disemen oleh sparit. Tipe ini pada umumnya terbentuk pada daerah-daerah yang berenergi gelombang yang rendah tanpa dipengaruhi oleh adanya lumpur karbonat (mikrit). Jenis batuan karbonat ini adalah Oosparit, Biosparit, dan Pelsparit.

3.2.1.2.

Tipe II ( microcrystalline allochemical rock) Batuan karbonat yang termasuk ke dalan tipe ini, sebagian besar

terdiri dari konstitusi Allochem dan Microcrystalin Calcite Ooze sebagai matrik nya. Terbentuk pada lingkungan pengendapan yang berenergi

gelombang lemah. Jenis batuan karbonat ini adalah Intramikrit, Oomikrit, Biomikrit, dan Pelmikrit.

3.2.1.3.

Tipe III ( microcystalline rock) Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe III ini, merupakan

kebalikan dari tipe I, dimana hampir seluruhnya terdiri dari mikrit dan

13

terbentuk pada lingkungan pengendapan yang mempunyai kondisi air laut yang tenang. Jenis batuan karbonatnya adalah Mikrit dan Dismikrit.

3.2.1.4.

Tipe IV(biolithite) Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe IV ini merupakan

pembagian khusus, karena mengingat proses atau cara pembentkannya yang sangat khas. Batugamping ini terdiri dari struktur organik yang terbentuk pada tempat dimana ia tumbuh di daerah asalnya (insitu). Struktur organiknya bersifat saling mengikat dan resisten dalam pertumbuhannya. Batuan karbonat ini disebut Biolitit.

Gambar 3.1. Klasifikasi batuan karbonat (Folk, 1959)

14

3.2.2.

Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962) Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962) adalah dengan

berdasarkan pada tekstur pengendapannya. 3.2.2.1. Butiran didukung oleh lumpur

Jika jumlah butiran kurang dari 10% : Mudstone Jika jumlah butiran lebih banyak dari 10% : Wackstone Butiran saling menyangga

3.2.2.2.

Dengan matriks : Packstone Sedikit atau tanpa matriks : Grainstone Komponen yang Saling Terikat Pada Waktu Pengendapan, Dicirikan dengan Adanya Struktur Tumbuh

3.2.2.3.

Boundstone Tekstur Pengendapan yang Tidak Teramati dengan Jelas Karena Rekristalisasi Sangat Lanjut

3.2.2.4.

Batugamping kristalin

Gambar 3.2.

Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan tekstur pengendapannya (Dunham, 1962)

15

3.3. Lingkungan Pengendapan Lingkungan pengendapan dan perkembangan batuan karbonat dikontrol oleh cekungan dan aspek-aspek cekungannya, yang meliputi kondisi cekungan, pertumbuhan organisme penyusunnya, ukuran dan bentuk cekungan tersebut. Pembagian dan penentuan lingkungan pengendapan batuan karbonat sangat tergantung pada lokasi dan aspek-aspeknya, yang antara lain aspek-aspek tersebut meliputi tingkat pertumbuhan dari organisme penyusunnya, ukuran, dan kondisi dari lingkungan tempat batuan karbonat tersebut diendapkan. Dengan demikian beberapa ahli dalam memberikan penamaan model lingkungan pengendapan batuan karbonat sering mempergunakan istilah-istilah yang berbeda.

3.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengendapan batuan karbonat Sistem pengendapan batuan karbonat berbeda dengan sistem pengendapan sedimen klastik lainnya. Pada proses pengendapan batuan karbonat diperlukan suatu kondisi lingkungan tertentu yang memenuhi persyaratan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan kehidupan organisme dengan baik. Berikut ini merupakan beberapa faktor yang penting, yang sangat

mempengaruhi pengendapan batuan karbonat, yaitu :

3.3.1.1. Pengaruh sedimen klastik asal darat Pengendapan karbonat memerlukan lingkungan yang praktis bebas dari sedimen klastik asal darat. Adanya partikel-partikel lempung dan lanau (asal darat), akan menyebabkan terhalangnya proses fotosintesis, sehingga hal ini akan menghalangi pertumbuhan ganggang gampingan, dimana ganggang gampingan ini merupakan pembentuk CaCO3, sehingga pembentukan CaCO3 terhambat. Dengan terhambatnya pembentukan CaCO3, maka secara tidak langsung akan menghambat mekanisme kehidupan dan pertumbuhan binatang-binatang bentonik, yang mana cangkang-cangkang binatang bentonik ini kebanyakan terbentuk dari unsure CaCO3. Sehingga untuk dapat terjadinya pengendapan karbonat dengan cepat, maka dibutuhkan kondisi aliran air yang jernih, daerah yang relatif stabil dan daratan sekitarnya yang hampir datar. Bila pada suatu daerah

16

terjadi sedimentasi asal darat, maka akan membentuk napal atau batupasir gampingan.

3.3.1.2. Pengaruh iklim dan suhu Pada proses pengendapan batuan karbonat, diperlukan suatu kondisi lingkungan geografis tertentu yang memenuhi persyaratan untuk proses pertumbuhan perkembangan kehidupan organisme. Lingkungan geografis yang baik untuk proses pertumbuhan dan perkembangan organisme adalah lingkungan yang beriklim tropis sampai subtropics, dimana pada daerahdaerah tersebut akan cukup mendapat sinar matahari dengan baik, sehingga dapat memperlancar proses fotosintesis dan akan mempunyai kondisi lingkungan yang bertemperatur hangat. Sehingga untuk lingkunganlingkungan yang berada pada garis lintang di atas 400 tidak akan dijumpai pengendapan batuan karbonat yang melimpah kecuali terbatas pada daerahdaerah yang beraliran air hangat, seperti pengendapan karbonat pada Gulf Stream.

3.3.1.3. Pengaruh kedalaman Pengendapan karbonat memerlukan penguapan yang kelewat jenuh dari air laut di daerah yang mempunyai kandungan unsur CaCO3, dimana pada keadaan yang demikian ini hanya dijumpai pada lingkungan laut yang dangkal. Apabila pada lingkungan laut yang dalam maka akan menyebabkan sebagian tekanan CO2 akan sangat tinggi, dimana pada keadaan yang demikian menyebabkan unsur CaCO3 akan terlarut kembali. 3.3.1.4. Faktor mekanik Faktor mekanik yang mempengaruhi kecepatan pengendapan karbonat antara lain adalah adanya aliran laut yang bertekanan tinggi menuju ke daerah-daerah yang bertekanan rendah, adanya percampuran air dengan kandungan CaCO3 yang berkadar tinggi, penguraian oleh bakteri, proses pembuatan organik pada larutan, serta adanya kenaikan pH air laut sehingga

17

pada kondisi yang demikian dapat menyebabkan penambahan konsentrasi karbonat.

3.4. Model Pengendapan Patch Reef Berdasarkan atas locus pengendapan dan aspek lain seperti morfologi dan organisme yang berperan suatu batugamping terumbu dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Fringing reef, faro reef, patch reef, barrier reef, knoll, atoll dan table adalah jenis-jenis batugamping terumbu yang dikenal berdasarkan aspek klasifikasi yang telah dijabarkan sebelumnya(lihat gambar). Patch reef sendiri memiliki ciri terisolasi pada daerah shelves dengan pelamparan vertikal baik, namun secara horizontal tidak begitu luas dibandingkan dengan barrier reef. Kenampakan fasies karbonat dari patch reef seringkali menyerupai kenampakan yang dijumpai pada barrier reef.

Gambar 3.3.

Klasifikasi batugamping terumbu berdasarkan bentuk dan lokasi pengendapan(Tucker, 2003)

Model pengendapan dari suatu patch reef dapat dianalisis dengan melihat perkembangan zonasi biologis dari patch reef tersebut. Saat pengaruh gradien fisika terjadi suatu zonasi biologis yang signifikan dapat terjadi. Zonasi ini merefleksikan perbedaan morfologi coral, keanekaragaman, dan komposisi organisme. 4 fase pertumbuhan yang menunjukkan zonasi biologis ini telah dikenal.

18

3.4.1. Fase stabilization Fase ini dicirikan oleh pengendapan akumulasi skeletal atau sering juga disebut endapan shoal. Pada masa Paleozoikum organisme crinoid berperan sebagai organisme pembentuk shoal sama halnya dengan green algae di masa Kenozoikum. Secara keseluruhan asosiasi organismenya dapat mencakup sponge, coral, bryozoan, dan red algae. Fase ini juga dikenal sebagai fase reef-mound.

3.4.2. Fase colonization Fase ini dicirikan oleh kemunculan metazoa yang berperan sebagai reefbuilder, namun diversitas organisme masih cenderung rendah. Bentuk struktur tumbuh mencakup branching dan encrusting. Fase ini cenderung berlangsung lebih singkat daripada fase lain sehingga endapannyapun relatif lebih tipis.

3.4.2. Fase diversification Fase ini dicirikan dengan meningkatnya diversitas organisme, yang mengindikasikan keadaan dimana keadaan lingkungan pengendapan telah mendukung pembentukan batugamping terumbu. Fase ini biasanya

direpresentasikan oleh endapan yang tebal.

3.4.2. Fase domination Fase ini merupakan fase klimaks dari perkembangan suatu batugamping terumbu dan dicirikan oleh bentuk struktur tumbuh lamellar(encruster). Fasies bindstone atau framestone akan dominan dan berada di bagian puncak dari batugamping terumbu. Diversitas organisme menjadi rendah kembali karena organisme-organisme tertentu menjadi dominan dan menjadi predator bagi organisme lain.

19

Gambar 3.4.

Model suksesi biologis dari suatu patch reef(James, 1984b, vide Tucker,2003)

Pada penelitian ini untuk membantu intrepertasi lingkungan pengendapan dari patch reef dipakai model pendekatan berdasarkan beberapa aspek. Patch reef dapat tumbuh mulai dari daerah lagoon hingga open marine yang berdekatan dengan shelve margin. Dalam kondisi tertentu bahkan patch reef juga dapat tumbuh di daerah laut dalam, terutama pada daerah dengan kondisi iklim dingin. Perbedaan lokasi pengendapan ini direfleksikan oleh perbedaan jenis organisme, struktur sedimen, jenis fasies, dll. Model karakteristik lingkungan pengendapan

karbonat(Friedman dan Rieekman, 1985) dirasa merupakan model yang paling dapat mengakomodasi intrepertasi lingkungan pengendapan dari patch reef. Model ini dapat dilihat pada tabel 3.1.

20

Tabel 3.1. Karakteristik lingkungan pengendapan karbonat(Friedman dan Reeckmann, 1982)

21

3.5.

Studi Fase Diagenesis Batuan Karbonat Diagenesis merupakan keseluruhan proses kolektif yang menyebabkan

perubahan pada sedimen selama proses penimbunan dan litifikasi berlangsung. Diagenesa berlangsung pada keadaan temperatur dan tekanan yang ada di atas keadaan lingkungan pelapukan namun berada di bawah keadaan lingkungan dimana metamorfisme terjadi. Fase diagenesa memainkan peran yang penting dalam menentukan karakteristik final dari suatu batuan sedimen, tak terkecuali batuan karbonat. Selain itu dengan mempelajari fase diagenesa pada batuan karbonat maka dapat memberikan pendekatan terhadap studi mengenai porositas yang bermanfaat dalam berbagai bidang.

3.5.1. Proses diagenesis batuan karbonat Proses-proses diagenesa utama yang mempengaruhi batuan karbonat adalah mikritisasi, dissolusi dan sementasi, kompaksi, neomorfisme, dolomitisasi dan penggantian dari matriks dan butiran karbonat oleh mineral non-karbonat. Dissolusi merupakan proses pelarutan fluida pori batuan karbonat sehingga menyebabkan peluruhan butiran dan semen karbonat yang bersifat tidak stabil. Proses dissolusi pada umumnya efektif pada lingkungan air meteorik yang dekat dengan permukaan, di lingkungan penimbunan dalam dengan kehadiran air bersuhu rendah(Steinsund dan Hald, 1994), dan juga di laut dalam(Berelson dkk., 1994), dimana air laut menjadi bersifat tidak jenuh terhadap aragonite dan MgKalsit. Efek disolusi dapat dihitung berdasarkan pengamatan terhadap fosil yang terkandung dalam batuan. Banyak fosil(Moluska, koral, dan ganggang gampingan) memiliki mineralogi cangkang dan struktur mikro yang memberikan indikasi proses dissolusi. Dengan mengamati alterasi atau perubahan dari kriteriakriteria tersebut maka tingkat proses dissolusi dapat diungkapkan. Kompaksi terdiri dari berbagai proses yang menyebabkan presipitasi mineral di dalam pori primer dan sekunder dan membutuhkan keadaan fluida pori yang sangat jenuh. Kompaksi dan tekanan solusi(stilolisasi) merujuk pada proses

kimia dan fisika, yang dipicu oleh meningkatnya pembebanan sedimen selama penimbunan dan meningkatnya kondisi temperatur serta tekanan.

22

Neomorfisme(Folk, 1965) adalah terminologi yang memiliki pengertian seluruh transformasi yang terjadi dalam pengaruh kehadiran air melaui proses dissolusirepresipitasi antara mineral satu dengan yang lain atau dengan mineral polimorfnya. Rekristalisasi merujuk pada proses perubahan ukuran kristal, bentuk kristal, dan orientasi kisi Kristal tanpa adanya perubahan dalam aspek mineralogi. Dolomitisasi adalah proses dimana batugamping atau material sedimen sebelumnya secara sepenuhnya atau sebagian berubah menjadi dolomite melalui penggantian CaCO3 oleh magenesium karbonat, melalui asosiasi dengan air pembawa magnesium. Kontrol utama dalam diagenesa batuan karbonat adalah mineralogi dan sifat kimia Kristal, sifat kimia dari air pori, pergerakan air, tingkat dissolusi dan presipitasi, ukuran butir, dan interaksi dengan substansi organik. Perkembangan dan arah reaksi diagenesa ditentukan oleh stabilitas thermodinamik dari mineral karbonat yang mengalami pelarutan atau presipitasi(MacInnys dan Brantley, 1992), keadaan saturasi fluida diagenetik dan kesediaan area permukaan untuk memungkinkan terjadinya reaksi. Berdasarkan hasil eksperimen menunjukkan perbedaan area permukaan(berkorespondensi dengan struktur mikro dari butiran sedimen) kelihatannya lebih signifikan dalam mengontrol tingkat dissolusi dibandingkan stabilitas mineralogi(Walter, 1985). Efek dari parameter-parameter yang dijelaskan barusan tergantung pada fase saturasi dan tingkat aliran dari fluida diagenetik(Gonzales dkk. 1992; Lighty 1985).

23

Tabel 3.2. Lingkungan diagenesa beserta proses yang berperan(Flugel,2004).

Lingkungan Diagenesa Lingkungan vadose meteorik

Lokasi

Pengisian Pori

Proses

Waktu yang diperlukan

Di atas water table, diantara permukaan dan zona phreatic meteorik Di bawa water table hingga 100 m ke bawah

Pori diisi oleh air tawar dan/atau udara Pori diisi oleh air tawar

Zona solusi: solusi dengan intensitas tinggi, pelepasan aragonite, pembentukan vug. Zona presipitasi: sementasi minor Zona solusi: solusi, pembentukan mold dan vug. Zona aktif(bagian atas): dissolusi aragonite dan kalsit, sementasi tinggi, presipitasi kalsit, pembentukan mold dan vug. Zona stagnan(bagian lebih dalam dan biasanya pada iklim kering): sedikit sementasi, stabilisai aragonite dan kalsit Lingkungan laut dangkal: air sangat jenuh CaCO3, sementasi aragonite dan kalsit intensitas tinggi, jenis semen beragam. Lingkungan laut dalam: air dengan kadar CaCO3 rendah, disolusi aragonite dan kalsit pada dua level dissolusi Penimbunan dangkal(beberapa meter hingga puluhan meter) dan penimbunan dalam(beban sedimen hingga ratusan bahkan ribuan meter): kompaksi fisikal, kompaksi kimia(solusi tekanan), sementasi, reduksi porositas

103-105 tahun

Lingkungan phreatic meteorik

103-105 tahun sampai 106107 tahun

Lingkungan phreatic laut

Pada laut dangkal atau lantai bawah samudera

Pori diisi oleh air laut

101-104 tahun

Lingkungan penimbunan

Bawah permukaan dibawah area yang dapat dicapai oleh proses permukaan , sampai area dengan metamorfisme tingkat rendah. Dapat mencapat kedalaman 1000 m ke bawah.

Pori diisi oleh air asin dengan salinitas beragam, dari payau hingga alkalinitas tinggi.

106-108 tahun

3.5.2. Lingkungan diagenesa dari modifikasi porositas Terdapat tiga lingkungan diagenetik utama dimana porositas terbentuk atau termodifikasi. Tiga lingkungan itu adalah: meteoric, marine, dan bawah permukaan. Dua lingkungan yang termasuk lingkungan permukaan atau dekat permukaan, meteorik dan marin(zona eogentik dan telogenetik berdasarkan klasifikasi Choquette dan Pray, 1970), ditandai oleh kehadiran fluida pori yang berbeda satu sama lain. Lingkungan diagenesa bawah permukaan dicirikan oleh

24

campuran air meteorik dan marin atau air asin dari cekungan yang bersifat kompleks.

3.5.2.1. Lingkungan laut Lingkungan marin yang dimana hampir semua sedimen karbonat berasal dicirikan oleh fluida pori normal atau termodifikasi. Fluida pori ini bersifat supersaturasi terhadap hampir semua spesies mineral

karbonat(Bathurst 1975, vide C.H. Moore 1989 hal. 44). Oleh karena itu lingkungan diagenesa marin potensial sebagai area destrukturisasi porositas oleh semen laut. Lingkungan ini mempunyai potensi yang kecil untuk pembentukan porositas sekunder oleh pelarutan, kecuali pada lingkungan laut dalam dimana air permukaan yang bersifat supersaturasi menjadi semakin berkurang sifat supersaturasinya seiring dengan perubahan kedalaman. Distribusi sementasi marin secara umum dikontrol oleh tingkat pergerakan fluida melalui sistem pori sedimen. Oleh karena itu hal ini secara dramatis dipengaruhi oleh kondisu pengendapan seperti level energi, porositas dan permeabilitas sedimen, dan tingkat sedimentasi. Sementasi, oleh karena itu, tidak begitu banyak dijumpai pada lingkungan marin, namun hadir pada beberapa area yang memunngkinkan. Area ini antara lain shelf margin reef dan zona intertidal. Perkembangan porositas sekunder melalui proses dolomitisasi umum dijumpai pada asosiasi dengan air laut bersifat evaporatif. Hal ini juga dapat terjadi saat air marin nornal mengalir melalui sekuen batugamping oleh proses konveksi termal.

3.5.2.2. Lingkungan meteorik Lingkungan meteorik dicirikan oleh proses penyingkapan pada kondisi permukaan dan kehadiran air yang relatif encer yang menunjukkan sifat saturasi yang beragam(mulai dari tidak tersaturasi sampai supersaturasi). Sifat supersaturasi merujuk pada spesies mineral karbonat yang bersifat stabil, kalsit dan dolomit. Pada kenyataannya air meteorik secara umum bersifat sangat tidak jenuh terhadapa mineral karbonat yang bersifat

25

metastabil (aragonit dan magnesian kalsit). Ketersediaan tanah yang mengandung karbon dioksida dan fluida meteorik pada zona vadose memberi pengaruh yang sangat besar pada tingkat kejenuhan dari air ini relatif terhadap fase mineral karbonat. Lingkungan meteorik, oleh karena itu, memiliki potensi besar sebagai lingkungan dimana porositas sekunder dapat terjadi melalui adanya pelarutan. Pengurangan porositas juga dapat terjadi melalui sementasi pasif. Potensi untuk terjadinya modifikasi porositas pada lingkungan meteorik sering kali diperbesar oleh aliran fluida bersifat rapid yang mengalir melalui sistem zona phreatic(Hanshaw, 1971,vide C.H. More, 1989 ).

3.5.2.3. Lingkungan bawah permukaan Lingkungan bawah permukaan dicirikan oleh fluida pori yang dapat berupa campuran dari air meteorik dan air laut, atau air asin dengan komposisi kimia kompleks yang dihasilkan oleh interaksi batuan-air dalam keadaan temperatur dan suhu tinggi jangka panjang. Karena interaksi yang bersifat intensif ini, fluida tersebut secara umum bersifat sangat jenuh

terhadap spesies mineral karbonat yang paling stabil yaitu kalsit dan dolomit. Kendati demikian dalam keadaan tempeatur dan suhu tinggi di bawah permukaan, pressure solution merupakan proses pemusnah porositas yang sangat penting. Proses ini sering kali disertai oleh proses presipitasi semen pada pori yang berdampingan dikarenakan oleh sifat sangat jenuh dari fluida pori. Area lokal bersifat tidak jenuh yang berhubungan dengan degradasi termal hidrokarbon dapat menghasilkan porositas sekunder oleh proses pelarutan. Kebanyakan proses diagenesis berlangsung secara lambat di lingkungan bawah permukaan dikarenakan oleh pergerakan fluida yang lambat pada keadaan deep burial(Choquette dan James, 1987, vide C.H. More, 1989). Proses ini, kendati demikian, memiliki jangka waktu geologi yang panjang untuk dapat mencapai proses yang dapat terjadi.

26

Gambar 3.5. Lingkungan diagenesa utama (Flugel, 2004)

3.5.2.4. Diagenesis meteorik Meteorik merupakan kata dalam bahasa Yunani yang memiliki arti air tawar yang berasal dari atmosfer bumi. Diagenesa air tawar terjadi pada area continental, disepanjang margin paparan, di atas platform daratan, dan pada atol atau platform terisolir dimana sedimen terakumulasi di atas muka air laut. Banyak pengetahuan mengenai diagenesa meteorik karbonat didasarkan atas studi batugamping plistosen yang telah tersingkap Diagenesa air tawar terjadi pada zona vadose meteorik dan zona phreatic meteorik yang dicirikan oleh proses pencampuran air tawar dan air laut. Pada zona vadose air terkonsentrasi pada kapilaritas kontak antar butir, pada zona phreatic air memenuhi semua pori. Kedua zona terdiri dari sublingkungan yang dibedakan oleh perbedaan pada pergerakan air(sirkulasi aktif atau kondisi stagnan), proses solusi dan presipitasi dan jenis semen dan porositas yang dihasilkan(Longman, 1980).

27

Gambar 3.6.

Hubungan antara lingkungan diagenesa utama pada area bawah permukaan dangkal dari suatu tubuh pasir karbonat dengan permeabilitas ideal (Flugel,2004(modifikasi Longman, 1980))

3.5.2.5. Lingkungan zona campuran dan zona vadose laut Pencampuran air dengan kandungan unsur kimia yang berbeda

memiliki kemungkinan untuk terjadinya proses-proses geokimia. Keadaan diagenesa spesifik yang dicirikan oleh pencampuran air tawar dan air laut dapat terjadi pada area bawah permukaan dangkal yang dekat dengan tatanan daerah pesisir, dan pada area pantai(khususnya foreshore), dicirikan oleh perubahan kondisi secara terus menerus. Proses pencampran air pada zona campuran memiliki peranan dalam proses presipitasi semen aragonit dan dolomit di dalan vug, dolomitisasi, dan chertifikasi. Pencampuran air tawar dan air laut berkontribusi dalam proses disolusi batuan karbonat pada daerah pesisir. Kriteria diagenetik dari zona vadose laut hampir sama dengan zona vadose meteorik, namun sementasi yang terjadi lebih tinggi intensitasnya. Jenis batuan yang terbentuk pada tatanan seperti ini sering disebut sebagai beachrock.

28

3.5.2.6. Diagenesis laut Diagenesis phreatic laut biasa terjadi pada lantai samudra dangkal dan dalam, dan juga pada dataran pasang surut(tidal flat). Tekanan hidrostatik yang tinggi, temperature air yang rendah, dan tekanan CO2 parsial yang tinggi pada laut dalam menyebabkan disolusi dan perbedaan signifikan pada tingkat preservasi dari kalsium karbonat dari sedimen laut dalam. Perbedaan ini digunakan sebagai dasar untuk membedakan dua level disolusi yaitu lisoklin dan CCD(calcite compensation depth).

3.5.2.7. Diagenesa penimbunan Batuan karbonat yang telah mengalami diagenesa akibat penimbunan dapat diidentifikasi oleh kenampakan kriteria-kriteria mikrofasies berupa jenis spesifik semen dan tekstur diagenetik. Studi mengenai diagenesa penimbunan bersifat signifikan dalam rekonstruksi sejarah batuan dan evaluasi propert dan porositas batuan. Pembahasan mengenai diagenesa penimbunan telah dipublikasikan oleh Wanless(1983) dan Hutcheon(1989). Lingkungan penimbunan secara konvensional dibagi menjadi penimbunan dangkal dan penimbunan dalam, namun batasan antara keduanya tidak begitu jelas didefinisikan. Zona penimbunan dangkal mencakup beberapa meter hingga puluhan meter di bawah permukaan. Diagenesa di dekat permukaan akibat penimbunan dangkal dipengaruhi oleh perubahan keadaan kimia air pori pada zona campuran, temperature dan proses tekanan. Diagenesa pada zona penimbunan dalam dikontrol oleh beberapa aspek. Komposisi air pori pada lingkungan penimbunan dalam berbeda secara substansial dengan yang ada pada zona penimbunan dangkal, dimana sementasi biasanya terjadi pada air meteorik encer yang bersifat oxsik dan sedikit bersifat reduksi. Air pori yang ada di zona penimbunan dalam memiliki salinitas tinggi dan bersifat reduksi. Sebagai konsekuensinya elemen yang memiliki sifat redoks sensitive termobilisasikan dan unsure Mn dan Fe cenderung berinkorporasi dengam semen kalsit atau dolomite. Semen-semen ini ditandai oleh bentuk-bentuk morfologi tertentu. Proses-proses yang terjadi pada lingkungan penimbunan dalam mencakup:

29

Kompaksi fisika yang diakibatkan overbureden sedimen: dapat ketebalan, porositas, permeabilitas dan mengakibatkan

mengurangi

perombakan butiran yang terdistorsi dan menghasilkan kemas yang tertekan. Kompaksi kimia: dimulai pada kedalaman meter), tertentu dari

overburden(umumnya

ratusan

hingga

ribuan

meyebabkan

berkurangnya ketebalan, porositas, dan permeabilitas. Menghasilkan struktur stilolit dan tekanan solusi. Sementasi: menghasilkan semen kalsit spar kasar. Semen ini kaya

akan unsure mangan dan besi, namun miskin akan unsure stronsium. Inklusi fluida banyak dijumpai. Morfologi yang dijumpai berupa kalsit poikilotopik, drusi, dll. Solusi porositas minor: disebabkan oleh disolusi dari karbonat dan

kalsium sulfat mineral. Dolomitisasi penimbunan: menghasilkan kemas Kristal anhedral, dan

cenderung berukuran kasar.

30

Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi yang bisa diambil dari kehadirannya(Flugel,2004). Morfologi Semen Sparit Keterangan Acicular: Kristal berbentuk jarum, tumbuh secara normal pada substrat. Kristal berbentuk elongate dan pararel terhadap axis-c, menunjukkan pemadaman lurus. Terminasi ditunjukkan berupa bentuk seperti chisel. Lebar < 10 m, panjang sekitar 100m atau lebih. Pada umumnya berupa aragonite, namun tidak menutup kemungkinan Mgkalsit. Mengindikasikan zona phreatic laut. Fibrous: Kristal fibrous, tumbuh normal pada substrat. Kristal menunjukkan elongasi panjang yang signifikan, biasanya pararel terhadap sumbu-c. bentuk Kristal seperti jarum atau kolumnar(rasio panjang dan lebar > 6:1, lebar > 10m). Ukurannya pada umumnya halus sampai sedang. Sering dijumpai pada pori inter-partikel dan intrapartikel. Aragonit atau high-Mg-kalsit. Pada umumnya terbentuk pada zona phreatic laut, namun terkadang dijumpai pada zona vadose meteorik dan laut(berbentuk lebih kolumnar). Botryoidal:semen pengisi pori yang dibentuk oleh mamelon yang saling menyatu dan menunjukkan horizon yang tidak kontiniu. Semen ini terdiri atas kipas individual maupun berkelompok, yang akhirnya menyebabkan karakteristik pemadaman sweeping pada nikol silang. Aragonit. Pada umumnya terbentuk di laut(umum dijumpai di gua pada terumbu dan slope terjal ke arah laut), namun kadang juga dijumpai pada lingkungan penimbunan. Disebut juga spherulitik Radiaxial fibrous:berukuran besar, keruh dan kadang turbid, banyak dijumpai inklusi Kristal kalsit dengan pemadaman bergelombang. Ukuran kritalnya antara sedang hingga kasar. Terkadang memanjang hingga beberapa millimeter, biasanya hingga 30m-300m. Rasio panjang/lebar 1:3 -1:10. Kristal menunjukkan pola unit subkristal. Terbentuk pada zona phreatic laut atau zona

31

penimbunan. Dog tooth:Kristal kalsit yang menajam pada satu titik dengan bentuk scalenohedral atau rhombohedral, tumbuh secara normal dan subnormal pada substrat.sering dijumpai pada zona meteorik dan penimbunan dangkal namun juga dijumpai pada zona phreatic laut dan hidrotermal.

Bladed: Kristal yang non-equidimensional dan non-fibrous. Berkorespodensi dengan Kristal elongate yang lebih lebar dari Kristal fibrous(rasio panjang/lebar 1.5:1-6:1) menunjukkan terminasi seperti pyramid. Ukuran Kristal mencapai lebih dari 10m untuk lebar dan panjang kurang dari 20m hingga 100m. Kristal bertambanh lebar seiring dengan bertambahnya panjang. Berupa high-Mg-kalsit namun juga aragonite. Terbentuk pada zona phreatic(banyak ditemukan pada laut dangkal) laut dan vadose laut. Dripstone: semen yang dicirikan perbedaan tebal dari crust semen di bawah butir atau di bawah atap dari void intergranular.pada umumnya berupa kalsit. Terbentuk di bawah zona kapilaritas dan di atas water table di dalam zona vadose meteorik(sering berasosiasi dengan semen meniscus), namun juga pada zona phreatic meteorik dan secara sporadic pada zona vadose laut diagenentik. Meniscus: semen kalsit yang terpresipitasi dengan pola meniscus pada atau dekat kontak antar butir dalam pori yang mengandung baik udara dan air. Menunjukkan permukaan seperti kurva di bawah butir. Menghasilkan pori intergranular yang memiliki kenampakan membundar akibat efek meniscus. Biasa terbentuk pada zona vadose meteorik namun juga hadir pada zona phreatic meteorik dan vadose laut.

32

Drusy: semen pengisi pori pada pori intergranular dan interkristal, mold dan kekar, dicirikan oleh bentuk equan sampai elongate, anhedral hingga subhedral Kristal kalsit nonferoan. Ukurannya >10m. Ukuran bertambah kea rah pusat pori. Terbentuk di dekat permukaan meteorik dan juga lingkungan penimbunan. Granular: semen kalsit terdiri dari Kristalkristal kecil equidimensional yang mengisi pori. Umum dijumpai pada pori interpartikel, pada umumnya tanpa kontrol substrat. Terbentuk pada zona vadose meteorik, phreatic meteorik dan lingkungan penimbunan. Dapat juga terbentuk sebagai hasil reksristalisasi dari semen yang ada sebelumnya. Blocky: Semen kalsit yang terdiri dari Kristal sedang hingga kasar tanpa menunjukkan adanya orientasi tertentu. Dicirikan oleh ukuran Kristal yang bervariasi(puluhan micron hingga beberapa millimeter), sering menunjukkan perbedaan bentuk batas Kristal. Berupa high-Mg kalsit dan low-Mg kalsit. Pada umumnya terbentuk pada zona meteorik(vadose dan phreatic) dan lingkungan penimbunan, sangat jarang ditemui di terumbu. Terpresipitasi setelah disolusi semen aragonite atau butiran karbonat. Dapat juga terbentuk sebagai hasil rekristlaisasi semen yang sudah ada sebelumnya. Syntaxial calcite overgrowth: pertumbuhan Kristal yang dikontrol oleh substrat di sekitar butiran induk oleh satu Kristal(biasanya fragmen echinoderm bersifat high-Mg kalsit). Perbedaan warna antara butiran skeletal dan semen overgrowth terkadang sulit diidentifikasikan. Semen overgrowth yang biasa terbentuk di dekat permukaan laut kaya akan inklusi dan keabu-abuan, kontras dengan semen overgrowth yang terbentuk pada lingkungan penimbunan dalam.

33

Peloidal microcrystalline: Dicirikan oleh kemas peloidal yang terdiri dari peloid-peloid mini(ukuran <100m) di dalam matrix mikrokristalin. Terbentuk di laut dangkal. Diintrepertasikan sebagai presipitasi akibat aktivitas kimia atau mikrobial

Microcrystaline: kristal rhombic dengan ukuran micron. Membentuk semacam selimut tipis di sekitar butir, mengisi pori secara penuh atau membangun semacam jembatan antar butir(berkontribusi dalam pembentukan semen meniscus). Mg-kalsit. Seringkali berasosiasi dengan semen peloidal.

3.5.3. Petrografi morfologi semen Beberapa penulis telah memberikan komentarnya masing-masing pada keberagaman morfologi dari kalsit dan aragonit sebagai semen pengisi pori. Para penulis tersebut telah mencoba untuk menghubungkan morfologi kristal dengan lingkungan kimia presipitasi(Lippmann, 1973; Folk, 1974; Lahann, 1978; Lahan dan Seibert, 1982; Given dan Wilkinson, 1985, vide C.H. More, 1989). Pengetahuan konvensional pada tahun 1960-1970 adalah hampir semua semen kalsit air tawar cenderung berbentuk equant, sementara semen kalsit dan aragonit air laut cenderung berbentuk fibrous. Folk(1974) mengembangkan model yang menghubungkan secara langsung morfologi semen kalsit dengan rasio Mg/Ca dari fluida presipitasi. Model Folk didasarkan pada konsep sidewise poisoining dari pertumbuhan kristal kalsit oleh penggantian ion Mg dengan Ca. Radius ion Mg yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ion Ca, menyebabkan distorsi bidang pada bagian tepi kristal yang bertumbuh. Ini menyebabkan berhentinya pertumbuhan pada bagian tepi, dan akhirnya menyebabkan elongation kristal pada arah sumbu C(lihat gambar). Berdasarkan skema Folk ini, air meteorik yang

34

memiliki rasio Mg/Ca rendah, akan cenderung membentuk bentuk kristal equant, sementara air laut yang memiliki rasio Mg/Ca akan menghasilkan kristal kalsit berbentuk elongate.

Gambar 3.7. Morfologi dari kristal kalsit yang dikontrol oleh Mg-poisoning(Folk, 1974). (A) Sebuah ion Mg ditambahkan pada bagian akhir dari kristal yang tumbuh maka kehadirannya dapat dengan mudah di overstepped oleh lapisan CO3 selanjutnya tanpa mengganggu pertumbuhan kristal. (B) Mg ion yang kecil ditambahkan pada bagian tepi dari kristal, lapisan CO3 yang berdampingan akan terdistorsi untuk mengakomodasi bidang kristal, menghalangi pertumbuhan bagian tepi selanjutnya, menghasilkan kristal fibrous.

Gambar 3.8. Sifat pertumbuhan kristal kalsit sebagai fungsi rasio Mg/Ca.

Lahann(1978), sementara setuju dengan pendapat Folk bahwa ion Mg dapat menghambat pertumbuhan kalsit akibat distorsi bidang, berpendapat bahwa efek poisoning dari Mg tidak dapat dipakai untuk menjelaskan perbedaan morfologi pada kristal kalsit, karena proses poisoning Mg seharusnya akan mempengaruhi semua bidang termasuk arah sumbu C. Lahann berpendapat perbedaan potensi permukaan yang berkembang pada bagian muka kristal kalsit akibat kristalografi kalsit merupakan penyebab perbedaan morfologi yang dapat

35

diamati pada pembentukan kalsit alami. Sebagai contoh, bagian tepi yang pararel dengan sumbu C akan mengekspos baik Ca dan CO3 terhadap fluida yang terpresipitasi, sementara bagian muka yang tumbuh normal terhadap sumbu C akan mengekspos Ca atau CO3 terhadap fluida yang terpresipitasi, namun tidak dalam waktu yang bersamaan. Pada air laut, dimana terdapat ekses besar atas kation permukaan-aktif dibandingkan dengan anion permukaan-aktif, bagian muka sumbu C akan secara normal dijenuhi oleh kation, menimbulkan potensial positif yang lebih kuat pada bagian muka sumbu C, dimana ini lebih besar dibandingkan bagian tepi yang pararel dengan sumbu C, karena baik CO3 dan Ca akan terekspos terhadap fluida. Potensial positif ini akan memastikan pengkonsentrasian ion CO3 pada bagian muka sumbu C yang lebih besar. Ini menyebabkan elongation dari kristal kalsit pararel terhadap sumbu C dalam keadaan kondisi laut normal. Model Lahann ini dapat secara memuaskan menjelaskan kehadiran dari kristal kalsit equant pada kondisi air meteorik. Pada kasus ini, baik CO3 dan Ca memiliki konsentrasi rendah, saturasi terhadap hampir semua fase karbonat ada pada keadaan seimbang atau tidak jenuh. Perbedaan potensial antar bagian muka kristal juga minimal, menghasilkan morfologi kalsit equant. Pengecualian utama terjadi pada zona vadose meteorik dimana outgassing CO2 yang berlangsung cepat akan menyebabkan meningkatnya kondisi saturasi. Hal ini dapat menyebabkan presipitasi kristal kalsit elongate seperti yang umum ditemukan di speleothem, dan semen kristal berbentuk whisker pada zona soil(Given dan Wilkinson, 1985, vide C.H. More, 1989). Hampir semua semen kalsit di lingkungan bawah permukaan juga berbentuk equant, dan sementara konsentrasi ion Ca dapat menjadi rendah, ketersediaan CO3 yang rendah menghasilkan pertumbuhan krital equant yang lambat. Situasi yang pararel terjadi pada lingkungan laut dalam, dengan dengan lysocline kalsit, dimana konsentrasi ion Ca mendekati keadaan di air permukaan. Ketersediaan CO3 juga terbatas, oleh karenanya kalsit yang terbentuk memiliki morfologi equant(Schlager dan James, 1978; Given dan Wilkinson, 1985, C.H. More, 1989).

36

Gambar 3.9.

Diagram skematik yang menunjukkan perkiraan sifat pertumbuhan dari semen kalsit pengisi pori pada lingkungan diagenesis. Sifat ini dikontrol rasio kation aktif permukaan(SAC) terhadap anion aktif permukaan(SAA).

3.6. Intrepertasi lingkungan pengendapan dengan analisis litofasies Lingkungan pengendapan didefinisikan sebagai lokasi pengendapan dan kondisi fisika, kimia, dan biologinya yang memberikan karakteristik khusus dari tatanan pengendapan(Gould,1972, vide Sam Boggs Jr, 1987). Dalam melakukan analisa lingkungan pengendapan dapat diasumsikan bahwa suatu lingkungan pengendapan dengan keadaan fisika, kimia, dan biologinya yang spesifik akan menghasilkan endapan sedimen yang berbeda dengan lingkungan pengendapan lain. Endapan sedimen yang berbeda ini diwujudkan dalam asosiasi fasies yang memberikan gambaran dari situasi saat suatu endapan sedimen diendapkan. Karena satu fasies pengendapan tidak dapat menjadi indikator dari suatu lingkungan pengendapan maka analisa asosiasi fasies dilakukan untuk mengetahui lingkungan pengendapan dari satuan breksi monomik Kaligesing ini. Dalam penelitian ini aspek fasies yang lebih ditonjolkan adalah litofasies yang merupakan aspek fisika dan kimia dari sautu tubuh batuan sedimen. Dalam penelitian ini penulis memakai penamaan litofasies menurut Maurice Tucker(2003) untuk memberikan penamaan litofasies yang sistematik. Kode litofasies yang dikembangkan oleh Maurice Tucker teridiri dari 3 bagian yaitu

37

Lithologies, Qualifiers, dan Prefixes(lihat gambar 5.3). Lithologies untuk kode litofasies batuan sedimen silisiklastik memberikan penjelasan mengenai ukuran butir fragmen yang menyusun batuan(misal S untuk sand), sedangkan untuk kode litofasies batuan sedimen karbonat Lithologies menjelaskan penamaan batuan menurut Dunham(1962) atau Embry & Klovan(1971). Kode untuk Lithologies ditulis dengan huruf besar. Qualifiers memberikan penjelasan mengenai struktur sedimen baik untuk batuan sedimen silisiklastik dan karbonat. Kode untuk Qualifiers ditulis dengan huruf kecil. Prefixes memberikan penjelasan mengenai sifat kimia, sifat minor dari batuan namun cukup signifikan, atau memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai ukuran butir. Penulisan kode untuk Prefixes juga dengan huruf kecil. Jadi semisal terdapat kode litofasies tmSs maka litofasies yang dimaksuda adalah stratified tuffaceous medium Sandstone.

38

(a)

(b)
Gambar 3.10. (a) Kode Litofasies menurut Maurice Tucker(2003) untuk batuan sedimen silisiklastik (b) Kode Litofasies menurut Maurice Tucker(2003) untuk batuan sedimen karbonat.

Setelah melakukan penamaan litofasies menurut Maurice Tucker(2003) maka akan dilakukan intrepertasi mengenai proses yang membentuk litofasies yang dimaksud. Setelah itu hasil intrepertasi akan dibandingkan dengan model fasies yang paling sesuai. Model fasies sendiri didefinisikan sebagai suatu gambaran asosiasi fasies ideal yang dihasilkan dari ekstraksi kenampakan asosiasi-asosiasi fasies baik dari batuan sedimen yang bersifat ancient maupun yang modern(Walker, 1984). Dengan membandingkan kenampakan litofasies daerah telitian dengan model fasies yang telah banyak diterima maka diharapkan dapat menghasilkan intrepertasi lingkungan pengendapan yang tepat.

39

BAB 4 GEOLOGI REGIONAL


4.1. Fisiografi Regional Secara fisiografi Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949), membagi Jawa Tengah menjadi 4 (empat) jalur fisiografi dari utara ke selatan, yaitu : 1. Dataran Pantai Utara Jawa, 2. Jalur Pegunungan Serayu Utara. 3. Jalur Pegunungan Serayu Selatan, 4. Jalur Pegunungan Selatan

Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Jalur Pegunungan Selatan. Pegunungan Selatan ini secara umum disusun oleh dua kelompok besar batuan yaitu batuan vulkanok dan batuan karbonat, dengan jurus perlapisan relatif barat timur dengan kemiringan ke selatan (lihat gambar 4.1).

Gambar 4.1.

Pembagian Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)

40

4.2. Stratigrafi Regional Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo sudah seringkali diteliti oleh para ahli geologi, dimana masing-masing secara umum mempunyai argumentasi yang berbeda-beda tetapi saling melengkapi mengenai stratigrafinya (gambar 4.2 dan 4.3). Beberapa ahli tersebut antara lain : Bemmelen (1949), dengan urutan stratigrafinya dari tua ke muda : Eosen of Nanggulan, Old Andesite Formation yang berfasies volkanik, tidak selaras diatasnya diendapkan Djonggrangan Beds pada Miosen Awal dan Sentolo Beds pada Miosen Akhir. Marks (1957), mengusulkan perubahan Beds menjadi Formasi pada Djonggrangan Beds dan Sentolo Beds menjadi Formasi Djonggrangan dan Formasi Sentolo, dimana kedua formasi tersebut tidak selaras terhadap Formasi Andesit Tua. Sujanto dan Roskamil (1975), dengan urutan Formasi Nanggulan berumur Eosen, tidak selaras diatasnya Formasi Andesit Tua berumur Oligosen Akhir, menerus diendapkan Formasi Sentolo pada Miosen Pliosen dan Formasi Sambipitu pada Miosen Awal, tidak selaras Formasi Jonggrangan pada Miosen Awal Miosen Akhir. Diatas Formasi Sentolo tidak selaras diendapkan Formasi Wonosari pada Pliosen dan termuda berupa Endapan Volkanik Muda. Pringgoprawiro dan Purnamaningsih (1981), menambahkan Anggota Seputih pada Formasi Nanggulan yang disusun napal berumur Eosen Akhir Oligosen Akhir, Formasi Andesit Tua tidak selaras diatasnya. Diatas Formasi Andesit Tua tidak selaras diendapkan Formasi Sentolo yang bersilang-jari dengan Formasi Jonggrangan. Kadar (1986), mengsulkan pada Formasi Sentolo dibagi menjadi tiga anggota, yaitu Anggota Kanyar-anyar, Anggota Genung, dan Anggota Tanjunggunung yang selaras diatas Formasi Andesit Tua. Pringgoprawiro dan Riyanto (1987), melakukan revisi Formasi Andeit Tua menjadi dua formasi baru, yaitu Formasi Kaligesing berfasies darat dan Formasi Dukuh berfasies laut dalam, umur Oligosen Akhir Miosen Awal. Formasi Kaligesing disusun oleh perselingan breksi volkanik, lava, batupasir tufaan, dan endapan lahar, sedang Formasi Dukuh disusun oleh perselingan

41

breksi volkanik, lava, batupasir tufaan, batulempung dan sisipan karbonat, dimana hubungan keduanya saling menjari atau kontak sesar. Uraian tentang stratigrafi daerah telitian, penulis menggunakan acuan dari stratigrafi yang dikemukakan oleh Pringgoprawiro dan Riyanto (1987). Adapun uruturutan stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut Pringgoprawiro dan Riyanto (1987) dari tua ke muda sebagai berikut : a) Formasi Nanggulan Formasi Nanggulan bagian bawah tersusun atas batupasir kuarsa dengan sisipan lignit, mengandung fosil Axinea dengan lingkungan pengendapannya litoral, bagian tengah disusun oleh napal pasiran selang-seling dengan batupasir dan batulempung, dijumpai fosil Nummulites djojakartae dengan lingkungan pengendapan litoral sublitoral pinggir, sedang bagian atas disusun oleh napal dan batugamping berselingan denganbatupasir, fosil Discocylina omphalus dengan lingkungan pengendapan sublitoral pinggir. Umurnya Eosen Tengah Eosen Akhir, tebal 400 meter. Bagian atasnya merupakan Anggota Seputih dengan litologi napal pelagis, mengandung fosil foram yaitu Gt.opima, Gt.cerroazualensis, dan Gt.mexicana yang menunjukkan umur Eosen Akhir Oligosen Akhir, diendapkan dilingkungan pengendapan sublitoral- laut terbuka, tebal 100 m (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987). Penyusun batuan dari Formasi Nanggulan menurut Wartono Raharjo dkk (1977) terdiri dari batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran, Batulempung dengan konkresi limonit, sisipan napal dan batugamping, batupasir dan tuff serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska. Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter. Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi yang dilakukan olh Martin (1915 dan 31 ), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928), maka Formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari bawah ke atas adalah sebagai berikut : Anggota (Axinea Berds), marupakan bagian yang paling bawah dari formasi Nanggulan. Ini terdiri dari batupasir dengan interkalasi lignit, kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil

42

Pelcypoda, dengan Axineadunkeri boetgetter yang dominan. Ketebalan anggota Axinea ini mencapai 40 m. Anggota Djogjakartae (Djokjakarta). Batuan penyususn dari bagian ini adalah napal pasiran, batuan dan lempung dengan banyak konkresi yang bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera besar dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae MARTIN, bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m. Anggota Discocyclina (Discocylina Beds), Batuan penyususn dari bagian ini adalah napal pasiran, batupasir arkose sebagi sisipan yang semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil penciri dari bagian ini. Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 m. Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).

b) Formasi Kaligesing atau Formasi Andesit Tua Formasi ini dicirikan oleh adanya batuan volkanik klastik tebal, yang teridiri dari breksi volkanik (laharik), dengan sisipan lava andesit dan batupasir tuffan. Lokasi tipenya di Desa Ulusobo, Kaligesing, 10 km timur Kota Purworejo dengan koordinatnya 110o05 BT dan 7o4410 LS. Bagian bawah dicirikan perselingan breksi andesit dan lava andesit, tebal 275 m, bagian tengah berupa brekasi andesit dengan sisipan batupasir tuffan, tebal 2 20 m, bagian atas tersusun oleh breksi andesit pirosen sisipan batupasir kerikilan, tebal 2,5 18 dan 0,5 2,5 m, sedang tebal keseluruhan mencapai 830 meter. Umur formasi ini ditentukan berdasarkan atas hubungan stratigrafi dengan dua satua batuan yang mengapitnya, karena tidak mengandung fosil penunjuk umur, sehingga diperkirakan berumur Oligosen Akhir Miosen Awal, diendapkan pada lingkungan darat, berupa endapan lahar yang terpilah buruk dalam matrik relatif halus dan kadang-kadang nampak perlapisan berangsur dan perlapisan sejajar.

43

PENAMPANG STRATIGRAFI KULON PROGO (Pringgoprawiro & Riyanto, 1987)


KRONO STRATIGRAFI LITOSTRATIGRAFI DISKRIPSI TEBAL LINGKUNGAN PENGENDAPAN darat Laut terbuka dangkal tidak < Bagian atas dominan batulempung 1100 m Laut terbuka dalam

PLEISTOSEN PLIOSEN

Volkanik Kuater Formasi Sentolo

Breksi, lava, lahar Bagian bawah dominan napal pelagis sisipan batugamping

MIOSEN

TENGAH

AKHI

Batugamping terumbu Coral,

Formasi Jonggrangan

moluska, foraminifera besar, & sisipan napal tipis Perselingan breksi

150 m

Litoral

AWAL

Laut terbuka

Formasi Dukuh
Breksi darat, lahar, breksi berselingan

pasir kerikilan, gampingan dgn lempung Gs. Primordius Ga. Dissimilis Darat + Kegiatan > 660 m volkanik

AKHIR

Formasi Kaligesing

dengan lava Endapan kipas bawah laut Ga. Sellii Ga. Tripartita Kipas laut dalam Laut terbuka

OLIGOSEN

AWAL

Anggota Seputih Formasi Nanggulan

Napal pelagis Ga. Opima Ga. Mexicana Gr. Cerroazullensis Napal dan batugamping berselingan dengan batupasir Discocyclina omphalus Sublitoral pinggir 100 m Sublitoral luar

E O S E N

AKHIR

Formasi Nanggulan

Napal pasir selang-seling dengan batupasir dan batulempung Nummulites djogjakarta Batupasir kuarsa dgn sisipan Lignit Axinea Litoral 400 m

TENGAH

Gambar 4.2.

Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987)

Menurut Van Bemmelen (1949) formasi ini disebut Formasi Andesit Tua dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah Pegunungan Kulon Progo yang disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian

44

utara Pegunungan Kulon Progo. Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic. Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon Progo, yang menghasilkan andesit piroksen basaltic, kemudian andesit augit hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi dasit. Setelah denudasi yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara, Gunung Menoreh ini menghasilkan batuan breksi andesit augithornblende, yang disusul oleh intrusi dasit dan trakhiandesit. Purnamaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977)

menyebutkan telah menemukan kepingan tuff napalan yang merupakan fragmen Breksi. Kepingan tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki Gunung Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis BOLLI, Globigerina geguaensis WEINZREL; dan applin serta Globigerina praebulloides BLOW. Fosil-fosil ini menunjukkan umur Oligosen Atas. Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2) menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen. Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah. Menurut Purbaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur Formasi Andesit Tua ini adalah Oligosen.

c) Formasi Dukuh Formasi Dukuh disusun oleh selang-seling batugamping bioklastik, batupasir sedang sampai kerikilan, batulempung, breksi dan konglomerat, mengandung banyak koral, bryozoa, pelecypoda, gastropoda, dan foraminifera.

45

Lokasi tipe berada di Desa Dukuh, Samigaluh, Kulon Progo, 17 km ke Utara dari Sentolo dengan koordinat 110o1022 BT dan 7o4036 LS, dimana ketebalan pada stratotipenya mencapai 535 meter. Umur dari formasi ini Oligosen Akhir bagian atas (N3) dengan hadirnya fosil Ga.selli, Ga.senilis, Ga.nana, Ga.tripartita, dan Miosen Awal Bagian Bawah (N4 N5) dan dijumpainya fosil Ga.binaensis, Grt.dissimillis, Gs.primordius, Gt.kugleri. Lingkungan pengendapannya adalah kipas bawah laut dalam, hal ditunjukkan dengan dijumpainya fosil laut, glaukonit, struktur sedimen graded bedding, stratifikasi sejajar, diselingi batuan pelitik yang memperihatkan laminasi sejajar. Formasi ini selaras di atas Anggota Seputih Formasi Nanggulan, bersilang jari atau kontak sesar dengan formasi selaras diatasnya Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo.

d) Formasi Jonggrangan Lokasi tipe formasi berada di desa Jonggrangan, dicirikan oleh batugamping terumbu dengan hadirnya koral, moluska, foram besar, batugamping klastik dan sisipan napal tipis yang mengandung foram plankton dan bentos, ketebalan 150 meter, berumur Miosen Awal Miosen Tengah dan diendapkan pada lingkungan litoral. Formasi ini tidak selaras dengan Formasi Kaligesing/ Formasi Andesit Tua, selaras dengan Formasi Dukuh, dan bersilang jari dengan Formasi Sentolo. Bagian bawah dari Formasi Jonggrangan ini terdiri dari konglomerat yang ditumpangi oleh napal tufan dan batupasir gampingan dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral (Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi Kaligesing/Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598). Koolhoven (vide van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (Westopo Beds) ini diduga berumur Miosen Tengah.

46

e) Formasi Sentolo Formasi ini pada bagian bawah berupa napal pelagis dan sisipan batugamping, sedang bagian atas dominan batulempung banyak mengandung foram plankton, bentos, dan foram besar, berumur Miosen Awal Pliosen dan merupakan endapan laut dangkal hingga laut terbuka dalam. Lokasi tipe dari formasi ini di daerah Sentolo dan sekitarnya dengan ketebalan 1100 meter. Formasi ini mempunyai hubungan tidak selaras dengan Formasi Kaligesing, selaras dengan Formasi Dukuh, dan bersilang jari dengan Formasi Jonggrangan. Menurut Harsono Pringgoprawiro litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari aglomerat dan napal, semakin ke atas berubah menjadi batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan Formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9). Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin Kadar (1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan penelitian terhadap fosil foraminifera plantonik, adalah berkisar antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono Rahardjo, dkk, 1977).

f) Endapan Volkanik Kuarter Satuan ini tersusun atas tufa, abu, breksi, aglomerat dan lelehan lava tak terpisahkan yang berumur Pleistosen Holosen dan merupakan endapan darat, Raharjo (1974) menamakan Formasi Yogyakarta yang disusun oleh endapan volkanik Merapi, terletak tidak selaras diatas semua formasi yang lebih tua, dan penyebaran pada sisi timur Kubah Kulon Progo mempunyai ketebalan lebih dari 20 meter.

47

STRATIGRAFI KULON PROGO MENURUT BEBERAPA PENELITI


UMUR MARKS (1957) PRINGGOPRAWIRO 1968 SUYANTO & ROSKAMIL (1975)
Gunungapi Kuarter

PURNAMANINGSIH & PRINGGOPRAWIRO 1981


Alluvial

KADAR (1986)

PRINGGOPRAWIRO & RIYANTO (1987)

KUARTER PLIOSEN
Sentolo Fm.

Alluvial

Gunungapi Kuarter Wonosari Fm

Sentolo Fm

Wonosari Fm

Sentolo Fm

Sentolo Fm Sentolo

AKHIR ?
MIOSEN
Jong-

Sentolo Fm

Ang.Tanjunggunung Angg. Genung Jonggrangan Fm Angg. Kanyaranyar Jonggrangan Fm Kaligesing Fm Old Andesite Fm Jonggrangan Fm

Fm

TENGAH

Jonggrangan Beds

Jonggrangan Fm

grangan Fm Sambi pitu Fm

AWAL

Dukuh Fm Old Andesite Fm

OLIGOSEN

AKHIR

Old Andesite Fm Old Andesite Fm

Old Andesite Fm

Anggota Seputih

Anggota Seputih

AWAL

EOSEN

AKHIR

Nanggulan Group Nanggulan

Nanggulan Group

Anggota Seputih

Nanggulan Fm

TENGAH

Nanggulan Fm

Gambar 4.3.

Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut beberapa peneliti

Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi, maupun perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena sebagian ahli mempergunakan fosil moluska dan foraminifera besar sebagai dasar penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan foraminifera kecil plantonik sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya perbedaan tersebut.

4.3. Struktur Geologi Regional Pegunungan Kulon Progo oleh Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan sebagai kubah besar memanjang ke arah barat daya-timur laut, sepanjang 32 km, dan melebar kearah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-kaki pegunungan di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk pola radial.

48

Gambar 4.4.

Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan Van Bemmelen (1945, hal.596)

Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang. Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.

4.3.1. Periode Akhir Kapur Awal Tersier (70 35 Ma) Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk. Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan. Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana (kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik

sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur. Kapur Atas Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah

subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta

49

pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.

Gambar 4.5.

Kerangka tektonik dari South East Asia sebelum 70 M.A hingga 5 M.A. (Prasetyadi, 2003)

50

4.3.2. Periode Oligosen Miosen Awal (35 20 Ma) Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm / tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2). Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah depan busur Sumatra dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan

Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 6 cm / tahun (Hall,2002).

Gambar 4.6.

Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama 35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)

51

4.3.3. Periode Miosen Tengah Miosen Akhir (20 5 Ma) Pergerakan ke arah Selatan dari lempeng Hindia Australia mengambil alih, seiring dengan berkembangnya aktivitas magmatisme yang melingkupi hampir di seluruh dataran pulau Jawa. Pada bagian Utara, berkembang cekungan belakang busur, yang dibagi lagi menjadi beberapa sub sub cekungan, dan dipisahkan oleh tinsggian basement, dikontrol oleh blok blok sesar pada basement. Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling Timur Jawa Timur, basement dominan berarah Timur - Barat, sebagaimana dapat diamati dengan baik Madura. yang mengontrol Palung Kendeng dan juga Palung

Bagian basement berarah Timur Barat merupakan bagian dari

fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari Selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik kompresi yang diakibatkan subduksi ke arah Utara telah mengubah sesar basement Barat Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam periode yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan

sedimen klastik didaerah rendahan, dan carbonate build up pada tinggian yang membatasi. Kompresi kedua mulai selama Akhir-Awal Miosen, terbentuk hingga puncak pada Awal-Tengah Miosen. Tegangan menjadi lebih kuat selama peristiwa ini, menghasilkan inversi graben-graben Paleogen. Pengangkatan dari tinggian yang mengapit meningkatkan pasokan sedimen klastik berasal dari inti basement, dengan pasokannya yang menutup sembulan karbonat reef. Efek penurunan muka air laut eustasi selama Miosen Tengah hingga Akhir

meningkatkan erosi dan pasokan rombakan klastika asal darat menjadi tersebar luas di seluruh Laut Jawa Timur. Pada Miosen Akhir rift yang awalnya berarah Barat-Timur mengalami rotasi menjadi orientasi Timurlaut Baratdaya sebagai sesar mendatar, oleh adanya

52

pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang ada sekarang ini (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)

Gambar 4.7.

Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan tektonik(Prasetyadi, 2003)

53

BAB 4 GEOLOGI REGIONAL


4.1. Fisiografi Regional Secara fisiografi Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949), membagi Jawa Tengah menjadi 4 (empat) jalur fisiografi dari utara ke selatan, yaitu : 1. Dataran Pantai Utara Jawa, 2. Jalur Pegunungan Serayu Utara. 3. Jalur Pegunungan Serayu Selatan, 4. Jalur Pegunungan Selatan

Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Jalur Pegunungan Selatan. Pegunungan Selatan ini secara umum disusun oleh dua kelompok besar batuan yaitu batuan vulkanok dan batuan karbonat, dengan jurus perlapisan relatif barat timur dengan kemiringan ke selatan (lihat gambar 4.1).

Gambar 4.1.

Pembagian Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)

40

4.2. Stratigrafi Regional Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo sudah seringkali diteliti oleh para ahli geologi, dimana masing-masing secara umum mempunyai argumentasi yang berbeda-beda tetapi saling melengkapi mengenai stratigrafinya (gambar 4.2 dan 4.3). Beberapa ahli tersebut antara lain : Bemmelen (1949), dengan urutan stratigrafinya dari tua ke muda : Eosen of Nanggulan, Old Andesite Formation yang berfasies volkanik, tidak selaras diatasnya diendapkan Djonggrangan Beds pada Miosen Awal dan Sentolo Beds pada Miosen Akhir. Marks (1957), mengusulkan perubahan Beds menjadi Formasi pada Djonggrangan Beds dan Sentolo Beds menjadi Formasi Djonggrangan dan Formasi Sentolo, dimana kedua formasi tersebut tidak selaras terhadap Formasi Andesit Tua. Sujanto dan Roskamil (1975), dengan urutan Formasi Nanggulan berumur Eosen, tidak selaras diatasnya Formasi Andesit Tua berumur Oligosen Akhir, menerus diendapkan Formasi Sentolo pada Miosen Pliosen dan Formasi Sambipitu pada Miosen Awal, tidak selaras Formasi Jonggrangan pada Miosen Awal Miosen Akhir. Diatas Formasi Sentolo tidak selaras diendapkan Formasi Wonosari pada Pliosen dan termuda berupa Endapan Volkanik Muda. Pringgoprawiro dan Purnamaningsih (1981), menambahkan Anggota Seputih pada Formasi Nanggulan yang disusun napal berumur Eosen Akhir Oligosen Akhir, Formasi Andesit Tua tidak selaras diatasnya. Diatas Formasi Andesit Tua tidak selaras diendapkan Formasi Sentolo yang bersilang-jari dengan Formasi Jonggrangan. Kadar (1986), mengsulkan pada Formasi Sentolo dibagi menjadi tiga anggota, yaitu Anggota Kanyar-anyar, Anggota Genung, dan Anggota Tanjunggunung yang selaras diatas Formasi Andesit Tua. Pringgoprawiro dan Riyanto (1987), melakukan revisi Formasi Andeit Tua menjadi dua formasi baru, yaitu Formasi Kaligesing berfasies darat dan Formasi Dukuh berfasies laut dalam, umur Oligosen Akhir Miosen Awal. Formasi Kaligesing disusun oleh perselingan breksi volkanik, lava, batupasir tufaan, dan endapan lahar, sedang Formasi Dukuh disusun oleh perselingan

41

breksi volkanik, lava, batupasir tufaan, batulempung dan sisipan karbonat, dimana hubungan keduanya saling menjari atau kontak sesar. Uraian tentang stratigrafi daerah telitian, penulis menggunakan acuan dari stratigrafi yang dikemukakan oleh Pringgoprawiro dan Riyanto (1987). Adapun uruturutan stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut Pringgoprawiro dan Riyanto (1987) dari tua ke muda sebagai berikut : a) Formasi Nanggulan Formasi Nanggulan bagian bawah tersusun atas batupasir kuarsa dengan sisipan lignit, mengandung fosil Axinea dengan lingkungan pengendapannya litoral, bagian tengah disusun oleh napal pasiran selang-seling dengan batupasir dan batulempung, dijumpai fosil Nummulites djojakartae dengan lingkungan pengendapan litoral sublitoral pinggir, sedang bagian atas disusun oleh napal dan batugamping berselingan denganbatupasir, fosil Discocylina omphalus dengan lingkungan pengendapan sublitoral pinggir. Umurnya Eosen Tengah Eosen Akhir, tebal 400 meter. Bagian atasnya merupakan Anggota Seputih dengan litologi napal pelagis, mengandung fosil foram yaitu Gt.opima, Gt.cerroazualensis, dan Gt.mexicana yang menunjukkan umur Eosen Akhir Oligosen Akhir, diendapkan dilingkungan pengendapan sublitoral- laut terbuka, tebal 100 m (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987). Penyusun batuan dari Formasi Nanggulan menurut Wartono Raharjo dkk (1977) terdiri dari batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran, Batulempung dengan konkresi limonit, sisipan napal dan batugamping, batupasir dan tuff serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska. Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter. Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi yang dilakukan olh Martin (1915 dan 31 ), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928), maka Formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari bawah ke atas adalah sebagai berikut : Anggota (Axinea Berds), marupakan bagian yang paling bawah dari formasi Nanggulan. Ini terdiri dari batupasir dengan interkalasi lignit, kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil

42

Pelcypoda, dengan Axineadunkeri boetgetter yang dominan. Ketebalan anggota Axinea ini mencapai 40 m. Anggota Djogjakartae (Djokjakarta). Batuan penyususn dari bagian ini adalah napal pasiran, batuan dan lempung dengan banyak konkresi yang bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera besar dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae MARTIN, bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m. Anggota Discocyclina (Discocylina Beds), Batuan penyususn dari bagian ini adalah napal pasiran, batupasir arkose sebagi sisipan yang semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil penciri dari bagian ini. Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 m. Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).

b) Formasi Kaligesing atau Formasi Andesit Tua Formasi ini dicirikan oleh adanya batuan volkanik klastik tebal, yang teridiri dari breksi volkanik (laharik), dengan sisipan lava andesit dan batupasir tuffan. Lokasi tipenya di Desa Ulusobo, Kaligesing, 10 km timur Kota Purworejo dengan koordinatnya 110o05 BT dan 7o4410 LS. Bagian bawah dicirikan perselingan breksi andesit dan lava andesit, tebal 275 m, bagian tengah berupa brekasi andesit dengan sisipan batupasir tuffan, tebal 2 20 m, bagian atas tersusun oleh breksi andesit pirosen sisipan batupasir kerikilan, tebal 2,5 18 dan 0,5 2,5 m, sedang tebal keseluruhan mencapai 830 meter. Umur formasi ini ditentukan berdasarkan atas hubungan stratigrafi dengan dua satua batuan yang mengapitnya, karena tidak mengandung fosil penunjuk umur, sehingga diperkirakan berumur Oligosen Akhir Miosen Awal, diendapkan pada lingkungan darat, berupa endapan lahar yang terpilah buruk dalam matrik relatif halus dan kadang-kadang nampak perlapisan berangsur dan perlapisan sejajar.

43

PENAMPANG STRATIGRAFI KULON PROGO (Pringgoprawiro & Riyanto, 1987)


KRONO STRATIGRAFI LITOSTRATIGRAFI DISKRIPSI TEBAL LINGKUNGAN PENGENDAPAN darat Laut terbuka dangkal tidak < Bagian atas dominan batulempung 1100 m Laut terbuka dalam

PLEISTOSEN PLIOSEN

Volkanik Kuater Formasi Sentolo

Breksi, lava, lahar Bagian bawah dominan napal pelagis sisipan batugamping

MIOSEN

TENGAH

AKHI

Batugamping terumbu Coral,

Formasi Jonggrangan

moluska, foraminifera besar, & sisipan napal tipis Perselingan breksi

150 m

Litoral

AWAL

Laut terbuka

Formasi Dukuh
Breksi darat, lahar, breksi berselingan

pasir kerikilan, gampingan dgn lempung Gs. Primordius Ga. Dissimilis Darat + Kegiatan > 660 m volkanik

AKHIR

Formasi Kaligesing

dengan lava Endapan kipas bawah laut Ga. Sellii Ga. Tripartita Kipas laut dalam Laut terbuka

OLIGOSEN

AWAL

Anggota Seputih Formasi Nanggulan

Napal pelagis Ga. Opima Ga. Mexicana Gr. Cerroazullensis Napal dan batugamping berselingan dengan batupasir Discocyclina omphalus Sublitoral pinggir 100 m Sublitoral luar

E O S E N

AKHIR

Formasi Nanggulan

Napal pasir selang-seling dengan batupasir dan batulempung Nummulites djogjakarta Batupasir kuarsa dgn sisipan Lignit Axinea Litoral 400 m

TENGAH

Gambar 4.2.

Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987)

Menurut Van Bemmelen (1949) formasi ini disebut Formasi Andesit Tua dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah Pegunungan Kulon Progo yang disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian

44

utara Pegunungan Kulon Progo. Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic. Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon Progo, yang menghasilkan andesit piroksen basaltic, kemudian andesit augit hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi dasit. Setelah denudasi yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara, Gunung Menoreh ini menghasilkan batuan breksi andesit augithornblende, yang disusul oleh intrusi dasit dan trakhiandesit. Purnamaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977)

menyebutkan telah menemukan kepingan tuff napalan yang merupakan fragmen Breksi. Kepingan tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki Gunung Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis BOLLI, Globigerina geguaensis WEINZREL; dan applin serta Globigerina praebulloides BLOW. Fosil-fosil ini menunjukkan umur Oligosen Atas. Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2) menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen. Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah. Menurut Purbaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur Formasi Andesit Tua ini adalah Oligosen.

c) Formasi Dukuh Formasi Dukuh disusun oleh selang-seling batugamping bioklastik, batupasir sedang sampai kerikilan, batulempung, breksi dan konglomerat, mengandung banyak koral, bryozoa, pelecypoda, gastropoda, dan foraminifera.

45

Lokasi tipe berada di Desa Dukuh, Samigaluh, Kulon Progo, 17 km ke Utara dari Sentolo dengan koordinat 110o1022 BT dan 7o4036 LS, dimana ketebalan pada stratotipenya mencapai 535 meter. Umur dari formasi ini Oligosen Akhir bagian atas (N3) dengan hadirnya fosil Ga.selli, Ga.senilis, Ga.nana, Ga.tripartita, dan Miosen Awal Bagian Bawah (N4 N5) dan dijumpainya fosil Ga.binaensis, Grt.dissimillis, Gs.primordius, Gt.kugleri. Lingkungan pengendapannya adalah kipas bawah laut dalam, hal ditunjukkan dengan dijumpainya fosil laut, glaukonit, struktur sedimen graded bedding, stratifikasi sejajar, diselingi batuan pelitik yang memperihatkan laminasi sejajar. Formasi ini selaras di atas Anggota Seputih Formasi Nanggulan, bersilang jari atau kontak sesar dengan formasi selaras diatasnya Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo.

d) Formasi Jonggrangan Lokasi tipe formasi berada di desa Jonggrangan, dicirikan oleh batugamping terumbu dengan hadirnya koral, moluska, foram besar, batugamping klastik dan sisipan napal tipis yang mengandung foram plankton dan bentos, ketebalan 150 meter, berumur Miosen Awal Miosen Tengah dan diendapkan pada lingkungan litoral. Formasi ini tidak selaras dengan Formasi Kaligesing/ Formasi Andesit Tua, selaras dengan Formasi Dukuh, dan bersilang jari dengan Formasi Sentolo. Bagian bawah dari Formasi Jonggrangan ini terdiri dari konglomerat yang ditumpangi oleh napal tufan dan batupasir gampingan dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral (Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi Kaligesing/Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598). Koolhoven (vide van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (Westopo Beds) ini diduga berumur Miosen Tengah.

46

e) Formasi Sentolo Formasi ini pada bagian bawah berupa napal pelagis dan sisipan batugamping, sedang bagian atas dominan batulempung banyak mengandung foram plankton, bentos, dan foram besar, berumur Miosen Awal Pliosen dan merupakan endapan laut dangkal hingga laut terbuka dalam. Lokasi tipe dari formasi ini di daerah Sentolo dan sekitarnya dengan ketebalan 1100 meter. Formasi ini mempunyai hubungan tidak selaras dengan Formasi Kaligesing, selaras dengan Formasi Dukuh, dan bersilang jari dengan Formasi Jonggrangan. Menurut Harsono Pringgoprawiro litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari aglomerat dan napal, semakin ke atas berubah menjadi batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan Formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9). Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin Kadar (1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan penelitian terhadap fosil foraminifera plantonik, adalah berkisar antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono Rahardjo, dkk, 1977).

f) Endapan Volkanik Kuarter Satuan ini tersusun atas tufa, abu, breksi, aglomerat dan lelehan lava tak terpisahkan yang berumur Pleistosen Holosen dan merupakan endapan darat, Raharjo (1974) menamakan Formasi Yogyakarta yang disusun oleh endapan volkanik Merapi, terletak tidak selaras diatas semua formasi yang lebih tua, dan penyebaran pada sisi timur Kubah Kulon Progo mempunyai ketebalan lebih dari 20 meter.

47

STRATIGRAFI KULON PROGO MENURUT BEBERAPA PENELITI


UMUR MARKS (1957) PRINGGOPRAWIRO 1968 SUYANTO & ROSKAMIL (1975)
Gunungapi Kuarter

PURNAMANINGSIH & PRINGGOPRAWIRO 1981


Alluvial

KADAR (1986)

PRINGGOPRAWIRO & RIYANTO (1987)

KUARTER PLIOSEN
Sentolo Fm.

Alluvial

Gunungapi Kuarter Wonosari Fm

Sentolo Fm

Wonosari Fm

Sentolo Fm

Sentolo Fm Sentolo

AKHIR ?
MIOSEN
Jong-

Sentolo Fm

Ang.Tanjunggunung Angg. Genung Jonggrangan Fm Angg. Kanyaranyar Jonggrangan Fm Kaligesing Fm Old Andesite Fm Jonggrangan Fm

Fm

TENGAH

Jonggrangan Beds

Jonggrangan Fm

grangan Fm Sambi pitu Fm

AWAL

Dukuh Fm Old Andesite Fm

OLIGOSEN

AKHIR

Old Andesite Fm Old Andesite Fm

Old Andesite Fm

Anggota Seputih

Anggota Seputih

AWAL

EOSEN

AKHIR

Nanggulan Group Nanggulan

Nanggulan Group

Anggota Seputih

Nanggulan Fm

TENGAH

Nanggulan Fm

Gambar 4.3.

Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut beberapa peneliti

Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi, maupun perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena sebagian ahli mempergunakan fosil moluska dan foraminifera besar sebagai dasar penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan foraminifera kecil plantonik sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya perbedaan tersebut.

4.3. Struktur Geologi Regional Pegunungan Kulon Progo oleh Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan sebagai kubah besar memanjang ke arah barat daya-timur laut, sepanjang 32 km, dan melebar kearah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-kaki pegunungan di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk pola radial.

48

Gambar 4.4.

Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan Van Bemmelen (1945, hal.596)

Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang. Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.

4.3.1. Periode Akhir Kapur Awal Tersier (70 35 Ma) Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk. Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan. Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana (kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik

sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur. Kapur Atas Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah

subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta

49

pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.

Gambar 4.5.

Kerangka tektonik dari South East Asia sebelum 70 M.A hingga 5 M.A. (Prasetyadi, 2003)

50

4.3.2. Periode Oligosen Miosen Awal (35 20 Ma) Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm / tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2). Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah depan busur Sumatra dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan

Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 6 cm / tahun (Hall,2002).

Gambar 4.6.

Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama 35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)

51

4.3.3. Periode Miosen Tengah Miosen Akhir (20 5 Ma) Pergerakan ke arah Selatan dari lempeng Hindia Australia mengambil alih, seiring dengan berkembangnya aktivitas magmatisme yang melingkupi hampir di seluruh dataran pulau Jawa. Pada bagian Utara, berkembang cekungan belakang busur, yang dibagi lagi menjadi beberapa sub sub cekungan, dan dipisahkan oleh tinsggian basement, dikontrol oleh blok blok sesar pada basement. Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling Timur Jawa Timur, basement dominan berarah Timur - Barat, sebagaimana dapat diamati dengan baik Madura. yang mengontrol Palung Kendeng dan juga Palung

Bagian basement berarah Timur Barat merupakan bagian dari

fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari Selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik kompresi yang diakibatkan subduksi ke arah Utara telah mengubah sesar basement Barat Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam periode yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan

sedimen klastik didaerah rendahan, dan carbonate build up pada tinggian yang membatasi. Kompresi kedua mulai selama Akhir-Awal Miosen, terbentuk hingga puncak pada Awal-Tengah Miosen. Tegangan menjadi lebih kuat selama peristiwa ini, menghasilkan inversi graben-graben Paleogen. Pengangkatan dari tinggian yang mengapit meningkatkan pasokan sedimen klastik berasal dari inti basement, dengan pasokannya yang menutup sembulan karbonat reef. Efek penurunan muka air laut eustasi selama Miosen Tengah hingga Akhir

meningkatkan erosi dan pasokan rombakan klastika asal darat menjadi tersebar luas di seluruh Laut Jawa Timur. Pada Miosen Akhir rift yang awalnya berarah Barat-Timur mengalami rotasi menjadi orientasi Timurlaut Baratdaya sebagai sesar mendatar, oleh adanya

52

pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang ada sekarang ini (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)

Gambar 4.7.

Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan tektonik(Prasetyadi, 2003)

53

BAB 6 STUDI MIKROFASIES & FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN


6.1. Studi Mikrofasies Formasi Jonggrangan Mikrofasies didefinisikan sebagai keseluruhan aspek sedimentologi dan paleontologi yang dapat dideskripsikan dan diklasifikasikan dari sayatan tipis, peels, etsa atau sampel batuan(Flugel, 2004). Dalam mendeskripsikan suatu tipe mikrofasies maka dilakukan kompilasi aspek-aspek mikrofasies. Aspek-aspek yang dimaksud adalah aspek yang memberikan informasi paling signifikan dibandingkan aspek mikrofasies lainnya. Pemilihan aspek yang tepat akan memberikan gambaran yang paling jelas mengenai lingkungan pengendapan dan aspek diagenesis dari fasies karbonat yang berkembang di suatu daerah telitian. Aspek mikrofasies yang diperhatikan tergantung pada jenis batuan karbonat itu sendiri. Flugel(2004) telah menyusun aspek-aspek mikrofasies baik untuk batuan karbonat allochthonous dan autochthonous. Aspek mikrofasies yang penting dalam mendeskripsikan batuan karbonat allochthonous antara lain adalah tekstur pengendapan, jenis matriks(micrite, microspar, calcsiltite), jenis butiran karbonat penyusun, jenis organisme dari bioclast(jika mendominasi), biofabric, dll. Batuan karbonat autochthonous khususnya batugamping terumbu dibedakan berdasarkan tipe fosil yang membangun struktur terumbu, tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping terumbu tersebut.

6.1.1. Mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix Mikrofasies ini didapatkan pada bagian selatan daerah telitian tersingkap dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 1,09 meter. Penamaan mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis organisme penyusun bioclast, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan

102

aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya

maka mikrofasiesnya

diidentifikasikan sebagai coral floatstone with microspar dominated matrix. Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud suppoted, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast berupa koral dengan persentase 21%, matriks terdiri atas micrite 30% dan microspar 49%(berbentuk biomicirite(Tipe blocky 2), mosaic), menurut penamaan menurut coral

Folk(1959,1962)

Dunham(1962)

wackestone, menurut Embry dan Klovan(1971) floatstone. Porositas yang dijumapi adalah vuggy dan channel. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization. Fase ini menandakan mulai aktifnya carbonate factory yang bisa diakibatkan oleh berkurangnya pasokan sedimen, sehingga terjadi transgresi yang mendukung organisme-organisme untuk tumbuh dan berkembang. Pada zona subtidal keaadan seperti ini mendukung tumbuhnya patch reef yang memiliki geomoteri dengan pelamparan horizontal tidak luar namun secara vertikal cukup tebal. Hal ini didukung dengan kehadiran bioclast yang telah mengalami mikritisasi(lihat foto 6.1) dan berkembangnya microspar sebagai matriks yang mendominasi.

103

(A)

(B)

(C)

Foto 6.1. (A) Kenampakan bioclast coral yang telah termikritisasi (B) Kenampakan tekstur wackestone ditunjukkan dengan butir karbonat(dilingkar merah) yang mengambang pada masa dasar, (C) Kenampakan microspardiambil dari foto sayatan tipis LP 8A tanpa skala(lihat lampiran 1.1).

6.1.2. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya

diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix. Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud suppoted, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast yang tidak jelas jenisnya akibat telah mengalami mikritisasi sebesar 30%, matriks terdiri atas micrite 30% dan microspar 38%(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone. Porositas yang dijumapi adalah vuggy dan fracture. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization.

104

Mikrofasies ini merupakan perkembangan dari fase stabilization yang telah dimulai saat mikrofasies sebelumnya mulai diendapkan. Bioclast juga telah mengalami mikritisasi dan mengalami diagenesis ditunjukkan dengan micrite envelope yang bentuknya menjadi irregular(lihat foto 6.2). Faktor-faktor ini menyulitkan identifikasi jenis organisme dari bioclast ini. Lingkungan pengendapan dari mikrofasies ini diintrepertasi tidak jauh berbeda dengan mikrofasies sebelumnya karena masih memiliki terkstur yang serupa dan ciriciri yang serupa.

(A)

(B)

(C)

Foto 6.2. (A) Kenampakan bioclast yang telah termikritisasi. (B) Kenampakan tekstur wackestone dicirikan oleh mud supported. (C) Kenampakan porositas fracture. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8B tanpa skala(lihat lampiran 1.2).

6.1.3. Asosiasi Mikrofasies Boundstone 1 Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian mulai dari Dusun Dukuh memanjang sampai Dusun Bangunrejo. Asosiasi mikrofasies ini disusun oleh beberapa mikrofasies yang saling berhubungan secara genetis dengan total ketebalan mencapai 21,38 meter. Batuan karbonat yang menyusun asosiasi mikrofasies Boundstone 1 ini merupakan batuan karbonat

autochthonous yaitu batugamping terumbu. Didukung oleh fakta ini maka aspek mikrofasies yang dipilih untuk menyusun suatu penamaan mikrofasies yang memiliki makna adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur terumbu, tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau

boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping

105

terumbu tersebut. Selanjutnya akan dijelaskan mikrofasies yang menyusun asosiasi mikrofasies boundstone 1 ini.

6.1.3.1.Mikrofasies coral framestone with packstone matrix of boundstone 1. Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka koral, tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen sekitar saat membentuk struktur framework. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, grain suppoted, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast koral dengan persentase 56%, matriks terdiri atas micrite 26% dan microspar 18%(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut

Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) packstone. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang tumbuh di zona sub-tidal. Kemunculan mikrofasies ini mengindikasikan bahwa fase stabilization telah berakhir dan masuk ke fase colonization. Ini ditandai dengan munculnya coral framestone dengan keanekaragaman organisme rendah baik itu dari kerangka penyusun batugamping terumbu, maupun matriks pengisinya. Kegiatan ditunjukkan dengan terjadinya encrusting oleh organisme pada bioclast juga

mikritisasi

mengindikasikan fase colonization di zona sub-tidal.

106

Foto 6.3. Kenampakan matriks pengisi mikrofasies coral framestone berupa packstone yang terdiri atas bioclast(algae?) yang telah terneomorfisme. Foto berasal dari sayatan tipis sampel LP 8C(lihat lampiran 1.3).

6.1.3.2. Mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1. Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy coral, tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen sekitar saat melakukan aktivitas traping dan binding. Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971). Pada mikrofasies ini platy coral melakukan aktivitas binding terhadap lumpur yang bersifat non karbonat maupun terhadapa material sedimen rombakan yang bersifat karbonat. Sebagian besar kerangka platy coral pada mikrofasies ini telah mengalami pelarutan dan pengisian kembali oleh sparite yang berbentuk blocky mosaic. Tipe porositas yang berkembang adalah intraparticle, dan vuggy. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih berada pada fase colonization dari suatu patch reef. Hal ini dapat dilihat dari jenis mikrofasiesnya dan masih belum terlalu tingginya tingkat diversifikasi dari organisme. Kehadiran lumpur non karbonat yang diikat oleh platy coral mengindikasikan bahwa masih ada pasokan sedimen asal darat bersifat silisiklastik yang masih sedikit menghambat perkembangan organismeorganisme lain selain platy coral. Untuk melihat kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.4.

107

(A)

(B)

(C)
oleh sparit

Foto 6.4. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah tergantikan berbentuk blocky. (B) Kenampakan porositas vuggy. (C) Kenampakan fracture yang telah diisi oleh sparite. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8D tanpa skala(lihat lampiran 1.4).

6.1.3.3. Mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone of boundstone 1. Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral, tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971) framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, grain suppoted, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=8%, algae=3%, benthic foraminifera=15%, moluska= 9%, bryozoa=5%) dengan persentase 40%, allochem intraclast dengan persentase 30%, allochem pellet dengan persentase 10%, sparite dengan persentase 15%(berbentuk bladed), micrite dengan persentase 2%, dan microspar dengan persentase 3% (berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)

biosparite(Tipe 1), menurut Dunham(1962) berkembang adalah biomoldic, dan intrapaticle.

grainstone.porositas yang

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

108

diversification yang merupakan fase selanjutnya setelah fase colonization. Hal ini dapat dilihat dari matriks pengisi rongga framestone yang terdiri atas berbagai macam organisme berbeda dengan mikrofasies sebelumnya. Ini menandakan lingkungan dimana mikrofasies ini diendapkan telah cukup ideal bagi perkembangan organisme baik itu dari segi salinitas, intensitas cahaya matahari, kekeruhan air, kekuatan arus, dll. Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.5.

(A)

(B)

(C)

(D)

(E)

(F)

Foto 6.5. (A) Kenampakan benthic foram yang dikelilingi oleh sparite berbentuk bladed. (B) kenampakan bryozoa yang struktur dalamnya sudah agak sulit dikenali. (C) Kenampakan red algae yang diseklilingnya juga terdapat sparite berbentuk bladed. (D) Kenampakan dari terumbu yang membentuk struktur framework. (E) Kenampakan porositas intraparticle. (F) Kenampakan bioclast jenis molusca. Diambil dari foto sayatan tipis LP 10A tanpa skala(lihat lampiran 1.5).

6.1.3.4. Mikrofasies algae bindstone of boundstone 1. Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka dasycladaceae algae , tekstur pengendapan berupa organisme algae yang mengikat sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding. Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan

109

menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971) bindstone. Algae ini mengikat material halus seperti lumpur karbonat karena bertujuan untuk mencari nutrisi dan proses metabolisme. Setelah satu set algae mengikat material sedimen berukuran halus dan mati maka di atas material sedimen halus itu akan tumbuh algae baru yang akan melakukan aktivitas serupa sehingga membentuk satu kesatuan bindstone. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih sebagai fase diversification . perubahan dari framestone menjadi bindstone mengindikasikan bahwa terjadi sedikit perubahan sea level menjadi lebih dangkal sehingga terjadi perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini mendukung pertumbuhan algar yang membentuk bindstone ini.

Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.6.

Foto 6.6. (A)Kenampakan porositas vuggy, (B) kenampakan jalinan algae yang mengikat lumpur karbonat, (C) kenampakan dari lumpur karbonat yang diikat oleh algae sebagian telah mengalami neomorfisme, diambil dari foto sayatan tipis LP 10B tanpa skala(lihat lampiran 1.6).

6.1.3.5. Mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1. Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka

110

dasycladaceae

algae

tekstur

pengendapan

berupa

organisme

dasycladaceae algae yang mengikat sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas baffling. Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971)

bafflestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa wackestone yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 74,1% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=13%, algae=5%, benthic foraminifera=5%) dengan persentase 23%, allochem pellet dengan

persentase 8%, micrite dengan persentase 65%, dan microspar dengan persentase 4% (berbentuk blocky mosaic), 2), penamaan menurut

Folk(1959,1962)

biomicrite(Tipe

menurut

Dunham(1962)

wackestone.porositas yang berkembang adalah vugy, dan intrapaticle. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase diversification kelanjutan sebelumnya. Perubahan dari framestone menjadi bafflestone mengindikasikan 2 hal yang cukup signifikan. Pertama terjadi perubahan keadaan hidrodinamika pada lingkungan dimana patch reef ini diendapkan dari keadaan dengan arus sedang menjadi sedikit lebih tenang, karena lingkungan dimana bafflestone dapat berkembang ada di bawah zona dimana framestone bisa berkembang. Keberadaan matriks pengisi berupa wackestone juga menguatkan intrepertasi ini. Yang kedua adalah munculnya bafflestone menunjukkan diversifikasi dari jenis batugamping terumbu pada fase diversification. Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.7.

111

(A)

(B)

Foto 6.7. (A)Kenampakan dasycladaceae algae dapat terlihat juga porositas intraparticle, (B)kenampakan bioclast yang telah mengalami inversi pada matriks pengisi bafflestone, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C tanpa skala(lihat lampiran 1.7).

6.1.3.6. Mikrofasies boundstone 1.

coral framestone with red algae packstone of

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral, tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang ada sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan

Klovan(1971) framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, grain supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir93,5% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=10%, red algae=25%, benthic foraminifera=10%, lepidocyclina=13%) dengan persentase 58%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan persentase 20%, dan microspar dengan persentase 13% (berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) packstone.porositas yang berkembang adalah vugy, dan fracture. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase diversification dalam tahap terakhir sebelum menuju fase domination. Kehadiran matriks pengisi batugamping terumbu yang memiliki

112

keanekaragaman organisme yang cukup tinggi mengindikasikan hal ini. Kehadiran red algae mengindikasikan bahwa simbiosis antara coral dengan organisme lain berjalan baik, karena red algae ini hidup dari hasil metabolism coral, sebaliknya kehadiran red algae juga menguntungkan bagi coral karena red algae selain memberikan nutrisi juga menjaga kestabilan bioekologi di sekitar coral. Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.8.

(A)

(B)

Foto 6.8. (A)Kenampakan bioclast jenis lepidocyclina yang sebagian telah mengalami inversi, (B)kenampakan bioclast jenis red algae, keduanya merupakan matriks pengisi framestone, diambil dari foto sayatan tipis LP 10D tanpa skala(lihat lampiran 1.8).

6.1.3.7. Mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1. Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy coral, tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding. Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971) bindstone. Platy coral ini mengikat material sedimen berupa lumpur karbonat. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase domination dari suatu patch reef. hal ini dapat dilihat dari tebalnya pelamparan vertikal dari mikrofasies ini hingga mencapai 14,98 meter. Ini menandakan bahwa pertumbuhan dari batugamping terumbu telah mencapai puncaknya sehingga dapat benar-benar mengikuti perubahan

113

muka air laut(keep up). Ketidakhadiran mikrofasies lain menandakan bahwa pada fase ini keadaan lingkungan dimana batugamping terumbu sudah sangat stabil sehingga organisme yang tidak dapat beradaptasi benar-benar tidak dapat hidup lagi di sini. Berbeda dengan mikrofasies bindstone yang muncul sebelumnya, mikrofasies ini murni mengikat material sedimen karbonat. Hal ini juga menandakan bahwa pasokan sedimen asal darat sedang dalam internsitas rendah. Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat dari foto 6.9.

(A)

(B)

(C)

Foto 6.9. (A)Kenampakan kerangka dari platy coral yang telah mengalami mikritisasi, (B)kenampakan material sedimen yang diikat oleh bindstone berupa lumpur karbonat, kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah mengalami neomorfisme, diambil dari foto sayatan tipis LP 13A tanpa skala(lihat lampiran1.9).

Secara keseluruhan asosiasi mikrofasies boundstone 1

ini

menunjukkan suatu perkembangan suksesi biologis dari suatu patch reef(lihat model Tucker, 2003, pada gambar 6.1). dimulai dengan fase stabilization dimana carbonate factory baru saja mulai aktif yang diwakili oleh mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan Wackestone with micirite and microspar matrix. Setelah itu dilanjutkan dengan fase colonization dimana organisme coral yang akan berperan sangat penting dalam pembentukan batugamping terumbu mulai dapat berkembang yang diwakili oleh mikrofasies packstone matrix of boundstone 1 coral framestone with

dan platy coral bindstone 1 of

boundstone 1. Setelah fase ini selesai dilanjutkan dengan fase diversification dimana berbagai macam organisme dapat hidup dan berkembang dengan baik karena dapat saling melakukan simbiosis satu

114

sama lain diwakili oleh mikrofasies corraline framestone with diverse organism packstone of boundstone 1, algae bindstone of boundstone 1, dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1, dan coral framestone with red algae packstone of boundstone 1. Setelah itu sempat terjadi pasokan sedimen asal darat yang cukup intensif sehingga dijumpai sisipan konglomerat dan batupasir tuffan, namun karena patch reef telah

berkembang sampai fase diversification hal ini tidak mengganggu perkembangan batugamping terumbu selanjutnya. Di fase akhir dijumpai mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1 dengan pelamparan vertikal tebal yang merupakan fase domination.

6.1.4. Mikrofasies lepidocyclina wackestone to packstone with micirite matrix Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap dengan baik di dekat Dusun Munggang Wetan, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,5 meter. Penamaan mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka

mikrofasiesnya diidentifikasikan sebagai lepidocyclina packstone with micrite matrix. Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95,7% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(lepidocyclina=15%, algae=5%) dengan persentase 20%, allochem pellet dengan persentase 23%,matriks terdiri atas micrite 45% dan microspar 12%(berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) pelmicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone. Porositas yang

dijumapi adalah vuggy. Pada sayatan lain yang diambil di tempat yang sama dengan sayatan pertama didapatkan ciri-ciri bewarna abu-abu kekuningan, grain supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast (Lepidocyclina=32%,

115

Foraminifera= 20%, red algae=10%, Bryzoa=5%) dengan persentase 67%, allochem pellet dengan persentase 3%, masa dasar berupa sparite(berbentuk drusy), micrite dengan persentase 20%, dan microspar dengan persentase 5%, penamaan berdasarkan Folk(1959,1962) adalah packed biomicrite(Tipe 2), sedangkan penamaan berdasarkan Dunham(1962) adalah packstone. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization menyerupai mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan wackestone with micirite and microspar matrix. Packstone dan wackestone cenderung diendapkan pada daerah dengan kondisi arus tenang sehingga lumpur karbonat bisa dendapkan bersamaan dengan allochem, sedangkan sparite tidak begitu berkembang. Keberadaan mikrofasies ini menandakan mulai aktifnya carbonate factory yang dapat disebabkan oleh berkurangnya pasokan sedimen asal darat, salinitas yang mendukung, dll.

(A)

(B)

Foto 6.10. (A)Kenampakan bioclast jenis bryozoa, (B)kenampakan bioclast jenis lepidocyclina, diambil dari foto sayatan tipis LP 49A tanpa skala(lihat lampiran 1.10).

6.1.5. Mikrofasies Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix) Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian di dekat Dusun Munggang Wetan, Kecamatan Samigaluh. Keadaan singkapan sudah agak lapuk(lihat foto 6.8) diakibatkan proses pelapukan oleh cuaca, dll. Tebal dari mikrofasies ini adalah 4 meter. Aspek mikrofasies yang dipertimbangkan

116

untuk penamaan adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur terumbu, tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping terumbu tersebut.

Foto 6.11. Kenampakan singkapan batugamping terumbu framestone pada LP 53 arah kamera N240E.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral, tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang ada sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971) framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa wackestone yang memiliki karakteristik bewarna kuning abu-abu kekuningan, mud supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 89% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(red algae=11%, Lepidocyclina=22%) dengan persentase 33%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan persentase 55%, dan microspar dengan persentase 8% (berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) sparse wackestone. Porositas yang berkembang adalah vuggy. Kenampakan aspek mikrofasies dari coral framestone with wackestone matrix of boundstone 2 ini dapat dilihat pada foto 6.12.

117

(A)

(B)

Foto 6.12. (A)Kenampakan kerangka koral yang diisi oleh sparite berbentuk drusy, (B)kenampakan cangkang Lepidocyclina yang sebagian telah terneomorfisme menjadi sparite pada matriks pengisi framestone, diambil dari foto sayatan LP 47A(lihat lampiran 1.11).

6.1.6. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix 2 Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya

diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix. Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95,7% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(lepidocyclina=23%, algae=8%) dengan persentase 31%, allochem pellet dengan persentase 10%,matriks terdiri atas micrite 50% dan microspar 9%(berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biolmicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone.

118

6.2.

Studi fase diagenesis Formasi Jonggrangan Studi fase diagenesis yang dilakukan akan difokuskan pada patch reef yang

tersingkap paling baik di daerah dusun Dukuh yang terdiri dari mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite and microspar matrix, dan Boundstone 1 (terdiri dari asosiasi coral framestone with packstone matrix, platy coral bindstone 1, corraline framestone with diverse organism packstone, algae bindstone, dasycladaceae algae bafflestone, coral framestone with red algae packstone, dan platy coral bindstone 2). Hal ini dilakukan untuk memfokuskan pembahasan dan juga dikarenankan mikrofasies-mikrofasies tersebut merupakan mikrofasies yang didukung oleh data sampel yang paling mendukung. Ketebalan dan variasi mikrofasies yang ada juga dapat memberikan gambaran perkembangan fase diagenesis batuan karbonat yang menjadi objek studi khusus ini. Berikut akan dijelaskan fase diagenesis dari masing-masing mikrofasies yang menyusun patch reef dusun Dukuh ini mulai dari yang paling tua ke muda.

6.2.1 Fase diagenesis mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix Mikrofasies ini dicirikan oleh dominasi allochem coral yang mengambang pada masa dasar lumpur karbonat. Untuk menjelaskan fase diagenesis dari mikrofasies ini dilakukan analisa terhadap 2 sampel. Berikut akan dijelaskan perkembangan fase diagenesis dari 2 sampel terebut mulai dari yang paling tua.

6.2.1.1.Sampel LP 8A Pada sayatan tipis sampel LP 8 A ini dapat dilihat kenampakan allochem bioclast berupa coral yang telah mengalami mikritisasi. Ini merupakan indikasi bahwa batuan karbonat ini sempat menglami fase eogenesis dimana terjadi modifikasi tekstur akibat aktivitas organisme. Aktivitas ini berupa aktivitas boring yang sangat intensif oleh endolithic organism pada lingkungan dimana batuan karbonat ini awalnya diendapkan yaitu marine. Setelah itu pada fase mesogenesis marine terjadi perubahan diagenetik berupa pembentukan microspar dan pseudospar yang merupakan hasil neomorfisme agrading coalescive dari lumpur

119

karbonat atau micrite. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang menjadi masa dasar padahal lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara rongga butir sebagai semen. Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan yang diakibatkan oleh berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan batuan karbonat yang ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas vuggy. Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas sebesar 6,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.13.

(A)
pada fase eogenesis,

(B)

(C)

Foto 6.13. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi

(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase mesogenesis hingga telogenesis, (C)kenampakan porositas vuggy akibat pelarutan pada fase telogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 8A(lihat lampiran 1.1).

6.2.2. Fase diagenesis mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix Mikrofasies ini dicirikan oleh allochem bioclast yang tidak begitu jelas yang mengambang pada masa dasar berupa micrite dan microspar. Fase diagenesis dari mikrofasies dapat dilihat pada sayatan sampel 8B.

6.2.2.1. Sampel LP 8B Pada sayatan tipis sampel LP 8 B ini dapat dilihat kenampakan allochem bioclast yang telah mengalami mikritisasi. Ini merupakan

120

indikasi bahwa batuan karbonat ini sempat menglami fase eogenesis dimana terjadi modifikasi tekstur akibat aktivitas organisme sama halnya dengan sampel LP 8A. Namun pada sampel ini jenis bioclast yang ada sulit diidentifikasi akibat pengaruh kompaksi yang terjadi pada fase mesogenesis marine. Ini dapat dilihat dari bentuk tepi bioclast yang berbentuk sutured. Perubahan diagenetik berupa pembentukan microspar dan pseudospar yang merupakan hasil neomorfisme agrading coalescive dari lumpur karbonat atau micrite juga terjadi pada fase mesogenesis. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang menjadi masa dasar padahal lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara rongga butir sebagai semen. Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan yang diakibatkan oleh berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan batuan karbonat yang ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas vuggy dan channel. Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas sebesar 13,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.14.

(A)

(B)

(C)

Foto 6.14. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, bagian tepi dari bioclast berbentuk sutured akibat kompaksi pada fase mesogenesis, (B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase mesogenesis hingga telogenesis, (C)kenampakan porositas channel akibat pelarutan pada fase telogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 8B(lihat lampiran 1.2).

121

6.2.3. Fase diagenesis mikrofasies coral framestone with packstone matrix of boundstone 1 Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

membentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis terhadap sampel LP 8C akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

6.2.3.1. Sampel LP 8C Pada sampel ini dapat dilihat kenampakan kerangka coral yang mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic. Ini

mencirikan fase diagenesis eogenesis marine dimana biodegradasi terjadi akibat pengaruh aktivitas organisme. Setelah itu pada saat fase mesogenesis berupa marine burial terjadi pelarutan dan represipitasi kalsit terhadap kerangka coral yang tidak mengalami mikritisasi. Ini dapat dilihat dari kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga bekas pelarutan kerangka coral. Pada saat fase telogenesis terjadi pelarutan mulai dari zona fresh phreatic hingga fresh vadose. Hal ini menyebabkan terbentuknya porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa kualitatif didapatkan porositas sebesar 11%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.15.

(A)

(B)

Foto 6.15. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga antar kerangka coral(garis putus-putus merah),

122

(B)terlihat juga porositas growth framework yang telah tereduksi akibat proses presipitasi spar ini(garis putus-putus hijau), diambil dari foto sayatan tipis LP 8C(lihat lampiran 1.3).

6.2.4. Fase diagenesis mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1 Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan platy coral yang mengikat atau melakukan aktivitas binding terhadap material sedimen bersamaan dengan proses pengendapan. Untuk menjelaskan fase diagenesis dari mikrofasies ini dilakukan analisa terhadap 2 sampel. Berikut akan dijelaskan perkembangan fase diagenesis dari 2 sampel terebut mulai dari yang paling tua.

6.2.4.1. Sampel LP 8D Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis terjadi aktivitas organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast. Perkembangan dari aktivitas organisme ini kemudian membentuk micrite envelope. Selanjutnya pada fase mesogenesis terjadi kompaksi sehingga kerangka dari platy coral mulai terdeformasi. Pelarutan juga mulai terjadi pada kerangka organisme dan juga lumpur karbonat. Hasil pelarutan ini kemudain terpresipitasi kembali sehingga membentuk microspar atau sering juga disebut sebagai proses neomorfisme agrading coalescive. Pelarutan terhadap kerangka terus terjadi hingga fase telogenesis, kendati demikian micrite envelope bisa tetap terpreservasi akibat mineraloginya yang cenderung lebih stabil. Pada fase telogenesis yaitu pada zona phreatic terjadi presipitasi sparite pada rongga hasil pelarutan terhadap kerangka organisme platy coral. Hal ini dapat dilihat dari bentuk sparite yang berbentuk blocky dan berukuran relatif besar. Ini mencirikan Kristal kalsit yang dipresipitasikan oleh air tawar yang memiliki rasio Mg/Ca rendah. Lalu pada zona vadose terjadi pelarutan akibat interaksi dengan air yang kaya dengan CO2 sehingga membentuk porositas vuggy.

Berdasarkan hasil analisa kuantitatif didapatkan nilai porositas sebesar 5,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.16.

123

(A)

(B)

(C)

Foto 6.16. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang memiliki micrite envelope pada bagian tepi, (B) terbentuk pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga hasil pelarutan kerangka platy coral, (C) kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis , diambil dari foto sayatan tipis LP 8D(lihat lampiran 1.4).

6.2.4.2. Sampel LP 8E Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis terjadi aktivitas organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast. Perkembangan dari aktivitas organisme ini kemudian membentuk micrite envelope. Pada kebanyakan kerangka bahkan akitivitas boring ini sangat intensif sehingga seluruh tubuh kerangka digantikan oleh micrite. Selanjutnya pada fase mesogenesis terjadi kompaksi sehingga kerangka dari platy coral mulai terdeformasi. Hal ini dapat dilihat dari kenampakan fracture pada sayatan. Fracture ini kemudian terisi oleh sparite yang dipresipitasikan masih pada fase mesogenesis. Pelarutan juga mulai terjadi pada kerangka organisme dan juga lumpur karbonat. Hasil pelarutan ini kemudain terpresipitasi kembali sehingga membentuk microspar atau sering juga disebut sebagai proses neomorfisme agrading coalescive. Pelarutan terhadap kerangka terus terjadi hingga fase telogenesis, kendati demikian micrite envelope bisa tetap terpreservasi akibat mineraloginya yang cenderung lebih stabil. Sedangkan kerangka yang sepenuhnya mengalami mikritisasi mengalami pelarutan parsial. Pada fase telogenesis yaitu pada zona phreatic terjadi presipitasi sparite pada rongga hasil

124

pelarutan terhadap kerangka organisme platy coral. Hal ini dapat dilihat dari bentuk sparite yang berbentuk blocky dan berukuran relatif besar. Ini mencirikan Kristal kalsit yang dipresipitasikan oleh air tawar yang memiliki rasio Mg/Ca rendah. Lalu pada zona vadose terjadi pelarutan akibat interaksi dengan air yang kaya dengan CO2 sehingga membentuk porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa kuantitatif didapatkan nilai porositas sebesar 8,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.17.

Foto 6.17. (A)Kenampakan kerangka platy coral yang telah termikritisasi dan sebagian mengalami neomorfisme parsial, terbnetuk pada fase eogenesis, (B)kekar akibat pengaruh kompaksi yang kemudian terisi oleh spar berbentuk drusy mosaic, terjadi fase mesogenesis, (C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis , diambil dari foto sayatan tipis LP 8E(lihat lampiran 1.5).

6.2.5. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone of boundstone 1. Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis terhadap sampel LP 11A akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

125

6.2.5.1. Sampel LP 10A Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast. Akibat aktivitas organisme ini terbentuk micritic envelope yang nantinya akan bersifat resistan terhadap pelarutan. Pada saat fase mesogenesis berupa burial terjadi kompaksi dan presipitasi sparite berbentuk drusy mosaic pada rongga kerangka coral. Hal ini menyebabkan berkurang bahkan hilangnya porositas growth framework dari batuan ini. Pada saat fase telogenesis pada zona fresh vadose zone terjadi pelarutan dan represipitasi kalsit sehingga kerangka coral digantikan oleh kalsit yang berbentuk blocky mosaic. Pada sayatan dari sampel yang diambil dari matriks pengisi coral framestone yaitu berupa red algae packstone sejarah perkembangan diagenesis juga dapat teramati dengan cukup baik. Pada fase eogenesis marine terjadi mikritisasi terhadap allochem bioclast seperti foraminifera akibat pengaruh aktivitas organisme endolithic. Selain itu juga terjadi pembentukan sparite dengan morfologi fibrous rims yang dapat diamati pada beberapa bioclast algae. Setelah itu pada fase mesogenesis berupa marine burial terjadi kompaksi sehingga beberapa butiran karbonat terdeformasi dan tidak utuh lagi. Selain itu terjadi juga pembentukan sparite berbentuk bladed rims yang dapat diamati dengan baik pada bioclast foraminifera. Pada fase ini proses neomorfisme juga mulai terjadi sehingga sebagian micrite terubahkan menjadi microspar. Pada fase telogenesis yaitu pada zona phreatic dan zona vadose terjadi pelarutan sehingga terbentuk porositas vuggy. Dari perhitungan kualitatif didapatkan porositas sebesar 31,2%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.18

126

Foto 6.18. (A) Kenampakan sparite dengan bentuk fibrous pada bagian tepi red algae, terbentuk pada fase eogenesis, (B) foraminifera yang termikritisasi pada fase eogenesis(garis putus-putus merah), kemudian terbentuk sparite bladed rims pada fase mesogenesis(garis putus-putus hijau), kemudian pada fase telogenesis terpresipitasi spar dengan bentuk blocky(garis putus-putus kuning), (C) kenampakan porositas intraparticle yang telah tereduksi akibat presipitasi spar pada fase telogenesis , diambil dari foto sayatan tipis LP 10A(lihat lampiran 1.6)

6.2.6. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies algae bindstone of boundstone 1 Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan algae yang

melakukan aktivitas binding terhadap lumpur karbonat secara terus menerus. Analisis terhadap sampel LP 10B akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

6.2.6.1. Sampel LP 10B Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme yang intensif ini terjadi mikritisasi terhadap kerangka algae. Selanjutnya pada fase mesogenesis akibat perubahan keadaan kimia fluida air yang berinteraksi dengan batuan karbonat maka memicu terjadinya neomorfisme agrading coalescive. Proses ini menyebabkan lumpur karbonat sebagian terubahkan menjadi microspar. Kemudian pada saat fase telogenesis pada zona fresh phreatic

127

dan fresh vadose terjadi pelarutan sehingga terbentuk porositas vuggy. Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 14,2%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.19.

Foto 6.19. (A)Kenampakan kerangka algae yang telah termikritisasi sebagian terbentuk pada fase eogenesis, (B) kenampakan microspar hasil neomorfisme agrading coalescive, terjadi fase mesogenesis, (C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis , diambil dari foto sayatan tipis LP 10B(lihat lampiran 1.6).

6.2.7.Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1. Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan dasycladaceae algae yang melakukan aktivitas baffling sehingga material sedimen berupa lumpur karbonat di traping dan terendapkan secara bersamaan. Analisis terhadap sampel LP 10C akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

6.2.7.1. Sampel LP 10C Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme ini terbentuk micritic envelope di sekitar bagian tepi dari pecahan cangkang organisme.

128

Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial terjadi kompaksi sehingga kerangka dari algae mengalami deformasi bahkan sampai ada yang terkekarkan. Pada fase ini juga terjadi pelarutan dari beberapa kerangka organisme yang bersifat tidak resistan dan dilanjutkan oleh presipitasi spar berbentuk drusy mosaic. Kemudian pada fase telogenesis baik di zona fresh vadose dan fresh phreatic terjadi pelarutan sehingga terbentuk porositas vuggy. Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 8,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.20.

Foto 6.20. Kenampakan kerangka dasycladaceae algae yang mengalami boring oleh organisme endolithic pada fase eogenesis, kenampakan kerangka dasycladaceae algae ini juga telah tedeformasi akibat kompaksi pada fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C(lihat lampiran 1.7).

6.2.8. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coral framestone with red algae packstone of boundstone 1. Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat material sedimen karbonat bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis terhadap sampel LP 10D akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

129

6.2.8.1. Sampel LP 10D Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka coral yang terlihat pada sayatan. Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial proses presipitasi spar berbentuk drusy mosaic pada rongga coral. Hingga fase telogenesis proses presipitasi ini terus berlangsung didukung oleh pelarutan dan represipitasi dari fluida hasil pelarutan. Akibatnya selain spar berbentuk drusy juga ditemukan spar berbentuk blocky. Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 7,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.21.

(A)

(B)

Foto 6.21. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis, (B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, porositas growth framework yang telah tereduksi akibat presipitasi spar pada rongga antar kerangka coral, diambil dari foto sayatan tipis LP 10D(lihat lampiran 1.8).

6.2.9. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies platy coral bindstone 2 boundstone 1.

of

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan platy coral yang mengikat atau melakukan aktivitas binding terhadap material sedimen

130

bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis terhadap sampel LP 13A akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

6.2.9.1. Sampel LP 13A Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka platy coral. Pada saat fase mesogenesis berupa marine burial terjadi presipitasi spar berbentuk drusy mosaic. Kerangka coral yang tidak sepenuhnya termikritisasi mengalami neomorfisme agrading coalescive. Pada saat fase telogenesis baik pada zona fresh vadose dan fresh phreatic presipitasi spar terus berlangsung sehingga dijumpai spar dengan morfologi blocky mosaic. Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 11,4 %. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.22.

Foto 6.22. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis, (B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, neomorfisme agrading coalescive bersifat parsial pada kerangka coral yang telah termikritisasi, terjadi pada fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 13A(lihat lampiran 1.9).

131

BAB 7 POTENSI GEOLOGI


Potensi Geologi yang ditemukan di daerah telitian mencakup potensi positif dan potensi negatif. Potensi geologi bersifat positif memiliki pengertian segala bentuk manfaat dari produk hasil proses-proses geologi yang dijumpai di alam. Potensi geologi bersifat negatif sendiri memiliki pengertian segala bentuk permasalahan yang ditimbulkan oleh segala bentuk gejala atau proses geologi yang dijumpai di alam. Penjabaran potensi geologi positif dan negatif ini bertujuan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat sehingga dapat mengantisipasi sekaligus memanfaatkan aspek-aspek di alam yang merupakan hasil dari suatu rangkaian proses geologi.

7.1. Potensi Geologi Bersifat Positif

7.1.1. Batugamping pasiran Bahan galian batugamping pasiran ini mempunyai penyebaran yang cukup luas mencapai 11% dari seluruh luas daerah penelitian yang merupakan salah satu jenis batugamping pada Formasi Sentolo. Batugamping pasiran ini dapat digunakan sebagai bahan pondasi rumah, alas rumah, bahan pengganti batubata dan juga perabotan rumah tangga. Secara ekonomis bahan galian tersebut kurang menguntungkan sehingga tidak dijumpai penambangan dalam skala besar, tetapi merupakan penambangan rakyat dalam skala industri rumah tangga.

132

Foto 7.1.

Lokasi tambang batugamping pasiran yang dikelola oleh masyarakat sekitar. Foto diambil di dekat LP 99 dengan arah kamera N 0560 E

7.1.2.

Objek wisata gua

Gua memiliki pengertian ruang bawah tanah bersifat alamiah yang memiliki ukuran cukup besar sehingga dapat dimasuki oleh manusia. Keberadaan gua di daerah telitian berkaitan erat dengan proses-proses geologi. Gua yang terdapat di daerah telitian dinamakan Gua Sriti oleh warga setempat. Gua ini memiliki panorama yang indah dank has dengan keberadaan stalaktit, stalakmit, dan pilar di dalam gua. Gua ini sendiri terbentuk proses geologi berupa pelarutan pada batu gamping akibat pengaruh berubahnya lingkungan diagenesis dari suatu batu gamping. Proses pelarutan yang dapat menghasilkan ruang begitu besar ini biasanya didukun oleh proses-proses geologi lain seperti pengkekaran. Di dalam gua saat terjadi sirkulasi air yang baik maka akan terjadi presipitasi karbonat berupa travertin yang membentuk stalaktit, stalakmit, dan pilar.

133

Foto 7.2. Lokasi Gua Sriti yang dijadikan objek wisata oleh warga setempat. Foto diambil pada LP 22 dengan arah kamera N 0500 E.

7.2. Potensi Geologi Bersifat Negatif

7.2.1. Longsor Longsor merupakan pertistiwa yang terjadi saat pergerakan masa batuan atau tanah berimplikasi pada kerusakan atau kerugian bagi manusia yang ada di sekitarnya. Mass transport process dapat dibagi berdasarkan sifat mekanikal dari material yang tertransport dan mekanisme transport serta material sedimen pendukung. Material dengan sifat mekanikal elastik cenderung akan mengalami rock fall, glide, atau slump. Pada LP 36 dijumpai longsor dengan tipe pergerakan masa rock fall dimana material yang mengalami rock fall adalah breksi monomik. Dominasi material berukuran kasar dan tidak hadirnya indikasi bidang gelincir menguatkan intrepertasi bahwa gerakan masa batuannya bertipe rock fall. Diperkirakan hal ini disebabkan oleh faktor iklim dengan curah hujan tinggi sehingga menyebabkan daya kohesivitas matriks yang mengikat fragmen-fragmen batuan menjadi berkurang sehingaa memicu terjadinya rock fall.

134

Foto 7.2. kenampakan pergerakan tanah berupa rock fall di pinggir jalan. Foto diambil pada LP 35 dengan arah kamera N 0780 E.

135

BAB 8 KESIMPULAN
1) Geomorfologi daearah penelitian dibedakan menjadi dua satuan bentuk asal, yaitu bentuk asal fluvial dengan bentuk lahan berupa dataran aluvial (F1), dan tubuh sungai(F2) serta bentuk asal struktural dengan bentuk lahan berupa perbukitan homoklin (S1), dan lembah homoklin(S2). 2) Stratigrafi yang ada di daerah penelitian dibagi menjadi lima satuan batuan berdasarkan kesamaan ciri fisik batuan penyusun dan umur, serta dalam penamaannya di sebandingkan berdasarkan peneliti terdahulu, dengan urutan dari yang paling tua adalah Satuan breksi-monomik Kaligesing, Satuan breksipolimik Dukuh, Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan, Satuan

batugamping-pasiran Sentolo, dan Satuan endapan alluvial. Juga terdapat satu satuan litodemik berupa Satuan litodemik andesit intrusi-Tetes. 3) Struktur geologi yang dijumpai di daerah telitian adalah sesar mendatar kanan dengan nama normal right slip fault(Rickard, 1972). Selain itu juga dijumpai kekar-kekar.. 4) Berdasarkan analisis mikrofasies terhadap satuan batugamping-terumbu

Jonggrangan jenis mikrofasies yang muncul di daerah telitian adalah coral floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite and microspar matrix 1, Boundstone 1( terdiri atas coral framestone with packstone matrix , platy coral bindstone 1, coraline framestone with diverse organism packstone, algae bindstone, dasycladaceae algae bafflestone, coral framestone with red algae packstone, dan platy coral bindstone 2), lepidocyclina wackestone to packstone with micirite matrix, Boundstone 2(Coral framestone with

wackestone matrix), dan wackestone with micirite and microspar matrix 2. 5) Fase Stabilization diwakili oleh mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite and microspar matrix 1. Fase Colonization diwakili oleh mikrofasies coral framestone with packstone matrix of boundstone 1 , platy coral bindstone 1 of boundstone 1. Fase Diversification diwakili oleh mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone

136

of boundstone 1, algae bindstone, dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1, dan coral framestone with red algae packstone of boundstone 1. Sedangkan fase Domination diwakili oleh mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1. 6) Fase diagenesis dari satuan batugamping-terumbu Jonggrangan cukup kompleks dan mencakup fase eogenesis, mesogenesis, dan telogenesis. Intensitas dari proses diagenesis ini dikontrol oleh beberapa faktor salah satunya adalah aspek fasies. 7) Potensi geologi daerah telitian yang bersifat yaitu berupa bahan galian golongan C, berupa batugamping pasiran yang biasa digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pondasi rumah, alas rumah, bahan pengganti batubata dan juga perabotan rumah tangga. Selain itu potensi positif juga dapat dijumpai melalui pemanfaatan gua hasil pelarutan batugamping sebagai objek wisata. Sedangkan potensi geologi bersifat negatif adalah dijumpainya gerakan tanah berupa rock fall.

137

DAFTAR PUSTAKA
Boggs Jr., S., 2006, Principle of Sedimentology and Stratigraphy 4th edition, Pearson Education, Inc, New Jersey, 335-342 Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent Planctonic Foraminifera Biostratigraphy, Proc.First Int. Conf. Planctonic Micro Fossilles, E.J. BrillLeiden. Flugel, E., 2004, Microfacies of Carbonate Rock, Springer, inc, New York, 575583 Friedman, G. M., Reeckmann, A.(1982), Exploration for Carbonate Reservoir, John Wiley & Sons, New York, 85-89 Koesoemadinata, R. P, 1981, Prinsip-prinsip Sedimentasi Departemen Teknik Geologi, ITB, Bandung, 65-100 Lobeck, A.K,. 1939. Geomorphologi. New York : Grw Hill. Disadur dari blog derizkadewantoro, 28 Agustus 2011. Moore, C.H., 1997, Carbonate Diagenesis and Porosity, El Sevier, Amsterdam, 161-175 Raharjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala 1 : 100.000, Puslitbang Geologi. Laporan Terbuka. Rickard, M.J., 1972, Fault classification -- discussion: Geological Society of America Bulletin, v. 83, 2545-2546. Sasangka, A., 2003 (Wartono Rahardjo dkk, 1977), Geologi Regional Kulon Progo, ITB (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9), http://rovicky.wordpress.com Schole, P. A., Schole-Umer, D.S., 2003, A Color Guide to the Petrography of Carbonate Rock: Grains, Texture, Porosity, and Diagenesis, AAPG Memoir 77, Tulsa, 303-308 Shanmugam, G., 2004, Deepwater Process and Facies Model, El Sevier, Amsterdam, 283 Tipsword, H.I., 1966, Interpretation of Depositional Environment in Gulf Coast Pteroleum Exploration From Paleoecology and Related Stratigraphy, Gulf Coast Assoc. Geo. Soc. Trans., V.16.

138

Tucker, M.E., 2003, Sedimentary Rock In the Field 3rd edition, John Willey & Son, New York, 16 Tucker, M.E., Wright, V.P., & Dickson, J.A., 2003, Carbonate Sedimentology. Blackwell Publishing Company, UK, 214-216 Walker, R.G., James, N.P., 1992, Facies Model Response to Sea Level Change, Geological Association of Canada, 239-251

139

LAMPIRAN

140

Вам также может понравиться