Вы находитесь на странице: 1из 5

Hasil Diskusi Medium Teori Politik Internasional Hugo Grotius (1583-1645)

Pemantik Diskusi: Bagyani Widi Kurniasari (09/282756/SP/23567) Medium Raflesia 1. Valentino Samuel Fredrick 2. Diah Nikmahayati 3. Ernis Cahyaningtyas 4. Bondan Dewanto 5. Alifa Alwan Azra 6. Afifah Ramadinda Kiswaya 7. Aldo Marchiano 8. Virgina Maulita Putri

Diskusi medium Raflesia dilangsungkan pada hari Selasa, tanggal 13 November 2012 pukul 07.30 hingga pukul 09.15. Pemantik diskusi memberikan tiga buah pertanyaan untuk didiskusikan anggota medium, yang berkaitan dengan Hugo Grotius serta pemikiran-pemikirannya. Setiap pertanyaan akan memiliki waktu jawab 35 menit, sehingga batas waktu menjawab pertanyaan pertama yang diberikan pada 07.30 adalah pukul 08.05, kemudian batas jawab pertanyaan kedua adalah 08.40, dan batas jawaban ketiga adalah pukul 09.15.

Pertanyaan pemantik 1. Grotius tidak ragu untuk merujuk pada "petunjuk Tuhan" dari elemen-elemen Kekristenan ketika menurutnya norma sekuler dan natural law dan law of nations sudah tidak mampu lagi mempengaruhi pemimpin negara untuk menghindari langkah perang atau kekerasan. Dia menyadari bahwa perang dan kekerasan tidak dapat

dihindari hanya dengan menggunakan hukum sekuler, padahal ia pernah menegaskan bahwa natural law tidak boleh terpengaruh oleh agama agar dapat berlaku bagi semua manusia, tanpa memandang kepercayaan mereka. Menurut teman-teman apakah

'keraguan' Grotius dalam sisi normatif ini menunjukkan kelemahan dari natural law sebagai landasan dari law of nations? Bagaimana pendapat teman-teman, apakah pada saat ini atmosfir kekerasan internasional baik struktural maupun fisik masih mampu dipengaruhi oleh pandangan normatif dari sisi agama? Mengingat bagaimana

kebanyakan negara saat ini telah menekankan sekulerisme, apakan pendekatan Grotius yang menggunakan struktur berlapis dari norma ini masih relevan? Hasil diskusi Konsep dari natural law dan ketuhanan bersifat fatalistik dan sangat idealis. masyarakat menganggap relasi-relasi politik, yuridis, serta moral sebagai suatu formasi hubungan yang religius. Secara bertahap, tiap hubungan yang dominan diartikan sebaga hubungan agama dan ditransformasikan menjadi sebuah sekte: sekte hukum, sekte negara, dan lain-lain. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa dominasi agama dan hukum alam ditelan secara bulat-bulat. Kemudian, konsep tersebut memiliki potensi melahirkan paradigma yang fatalistik karena masyarakat

menganggap segala kondisi disekitar mereka serta pola perilaku yang menjadi basis interaksi mereka selama ini bersifat 'given' (sudah nasib) dan tidak dapat dirubah. Padahal kondisi yang terjadi di dunia ini bersifat socially constructed. Karena itu, prinsip ketuhanan seharusnya menjadi komplementer dari natural law, sebab sesempurna apa pun manusia, masih ada persoalan-persoalan yang jawabannya ada di luar nalar dan kemampuan mereka. Dalam hal ini Grotius sendiri pun memandang dari sisi keilmuan bahwa perang dan kekerasan tidak akan dapat dihilangkan dari kehidupan manusia. Petunjuk Tuhan melengkapi moralitas manusia untuk

menghindari kekerasan serta perang yang merupakan pelanggaran atas moral manusia yang telah dibekali Tuhan. Di era kontemporer, pendekatan moral Grotius sudah tidak sepenuhnya relevan. Walaupun manusia secara individu masih memegang moral sesuai dengan standar pribadinya, pada saat ini sebagian besar negara lebih menekankan kepentingan nasional mereka, baik itu politik maupun ekonomi, dengan pandangan sekuler untuk mencapai tujuan, meskipun mengabaikan moral dan menggunakan kekerasan, baik struktural maupun fisik.

2.

Selama dipekerjakan oleh pemerintah untuk melindungi kepentingan Dutch East India Companie (lebih kita kenal sebagai VOC) dalam melaksanakan politik monopoli di kawasan jajahan baru, Grotius menulis De Jure Praedeae (DJP), yang kemudian tidak pernah diterbitkan semasa Grotius hidup (ditemukan terabaikan dan

dipublikasikan tahun 1864) kecuali bab 12 yang diberi judul Mare Liberum (The Freedom of Seas). Mare Liberum mengemukakan bahwa laut merupakan hak setiap manusia, seperti halnya udara, sehingga semua manusia bebas memanfaatkannya. Dalam konteks dari VOC: bebas berdagang dengan mengarungi lautan, pada siapa pun, serta menjalankan prinsip monopoli perdagangan. Lebih lanjut, DJP banyak mengulas sentimen-sentimen propaganda untuk menyudutkan rival VOC di perdagangan kawasan Asia saat itu, Portugal dan Spanyol. Menurut teman-teman, apakah karya serta pandangan hukum yang tidak terpublikasi tepat waktu ini kemudian memiliki pengaruh bagi hukum internasional, mengingat esensi dari karya ini sendiri yang mungkin lebih bersifat subjektif, bukannya objektif? Kemudian

bagaimana pandangan teman-teman terhadap esensi dari Mare Liberum sendiri, apakah masih relevan untuk diterapkan di era kontemporer? Hasil diskusi: Belanda (VOC) pada saat itu dapat disebut sebagai hegemon, dengan ekspansinya yang meluas hingga ke Afrika dan Asia, terutama Asia Tenggara. Rival-rivalnya seperti Inggris, Spanyol, dan Portugis terus berusaha mendesak kekuatan dan kekuasaan mereka sehingga mereka mencoba untuk menetapkan hukum bagi pihak-pihak lain yang menjadi rival dengan kekuasaan mereka yang besar. Hukum yang ditetapkan oleh hegemon, dengan tujuan untuk mengakomodasi

kepentingan-kepentingan subjektif tentu akan mendapat perlawanan dari rival dengan kekuatan setara. Inggris, dengan bantuan praktisi hukum Skotlandia William

Welwod, membantah pendapat Grotius dalam buku An Abridgement of All Sea-Lawes. Kekurangan dari Mare Liberum, menurut kelompok kami, adalah tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai batasan-batasan laut yang dimiliki oleh Negara maritim/negara yang berbatasan langsung dengan laut. Namun kehadiran DJP dan Mare Liberum mampu mempengaruhi hukum internasional, sebab memicu timbulnya

pemikiran-pemikiran kritis yang akan mengatur lebih jauh bagaimana laut dapat dieksploitasi dan dimanfaatkan secara benar oleh aktor-aktor internasional, terlebih laut dikatakan merupakan hak yang bebas untuk dimanfaatkan serta sentimen propaganda terhadap pesaing VOC saat itu, yaitu Spanyol dan Portugis, sehingga sudah pasti ada pengaruh bagi hukum internasional untuk menciptakan hukum yang

bersifat objektif dan unbiased pada satu pihak tertentu, dan juga berpengaruh untuk membentuk konstruksi hukum internasional sebagai landasan yang kuat sebagai hukum yang universal dan diakui serta dapat mengatur tatanan masyarakat secara moral pada berbagai sudut pandang. Di era kontemporer sendiri, hukum laut telah menjadi bagian integral dalam politik antar bangsa. Hal tersebut dimanifestasikan di dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). UNCLOS, pada sejarahnya, menggantikan posisi konsep kebebasan laut yang diperkenalkan sejak abad ke-17. Pada abad ke-20, setiap negara memiliki kepentingan untuk memperluas teritori nasional mereka, tidak terkecuali wilayah laut. Hal tersebut ditujukan demi menambah kekayaan sumber daya mineral, melindungi ketersediaan ikan dan biota laut yang dapat dikonsumsi, serta mereduksi polusi laut. Mare Liberum sudah menjadi sesuatu yang tidak relevan lagi bila diaplikasikan pada era kontemporer karena konflik mengenai laut ini justru menunjukkan bagaimana laut bukanlah hak yang umum bagi siapapun, namun menjadi hak bagi pihak-pihak yang memiliki power dan sumber daya yang paling kuat untuk mengelolanya, seperti pada kasus perebutan beberapa blok tertentu di Laut China Selatan antara China dengan beberapa negara Asia Tenggara yang belum menemui resolusi. Hal ini tidak lepas dari faktor kepentingan aktor serta faktor tujuan serta alasan dari suatu aktor untuk menguasai laut tersebut karena merupakan langkah penting untuk mempertahankan jalur ekonomi strategis maupun ekspansi pengaruh dan kekuasaannya yang kemudian mendapat pertentangan dari negara-negara lain yang berkonflik karena tidak sesuai dengan kepentingan mereka.

3. Hugo Grotius dijuluki "Bapak Hukum Internasional" karena dianggap merupakan orang yang memberikan standar moral internasional pertama yaitu law of nations. Namun ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa sebenarnya jauh sebelum law of nations dari Grotius dicetuskan, peradaban-peradaban lain telah lebih dulu memiliki standar yang mengatur pola interaksi antarbangsa dalam hubungan internasional, sebut saja peradaban Islam dan kekaisaran China, yang kemudian kejayaannya 'tertutupi' oleh peradaban Eropa dalam ekspansinya ke seluruh dunia terutama Asia. Apakah teman-teman setuju pada pendapat bahwa Grotius 'hanya' merupakan "Bapak Hukum

Internasional Eropa"? Hasil diskusi: Medium Raflesia tidak menyetujui pendapat bahwa Grotius 'hanya' merupakan "Bapak Hukum Internasional Eropa", sebab meskipun peradaban-peradaban pendahulu seperti Islam dan kekaisaran China telah memiliki pola relasi antarbangsa dalam hubungan internasional, tidak ada hukum yang menjadi landasan perilaku aktor internasional yang sesuai dengan moral. Grotius merupakan tokoh pertama yang mampu

memberikan suatu karya ilmiah yang cukup sistematis untuk dapat dikatakan sebagai teori, yang kemudian diakui sebagai hukum. Selain itu, pemikiran Grotius dianggap memiliki tingkat validitas dan relevansi yang tinggi, sehingga karyanya kemudian dapat diakui oleh masyarakat internasional. Walaupun hidup di era di mana

imperialisme Eropa sedang amat berjaya dan ia merupakan bagian dari pembangkit pikiran kritis Eropa, pemikiran Grotius tidak seluruhnya bersifat Eropa-sentris, sebab nilai-nilai di dalam beberapa prinsipnya, seperti Just War, dapat dikatakan universal. Pemikiran tersebut dapat diterapkan di segala situasi sebab tidak bertentangan dengan moral yang lazim dianut di berbagai negara di dunia, dan dari masa ke masa masih dinilai relevan dan rasional sehingga masih dipelajari hingga kini. Dengan demikian, menurut medium kami, Grotius memang merupakan "Bapak Hukum Internasional" bukan sekedar "Bapak Hukum Internasional Eropa".

Вам также может понравиться