Вы находитесь на странице: 1из 135

BAB II ANATOMI TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER

2.1 ANATOMI dan FISIOLOGI TELINGA Anatomi telinga dibagi atas telinga luar,telinga tengah,telinga dalam: 1,2,3,5 2.1.1 Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran tympani. Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi.

Gambar 2.1 : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal Telinga 1,2,3 2.1.2 Telinga Tengah Telinga tengah berbentuk kubus dengan : Batas luar Batas depan Batas Bawah Batas belakang Batas atas Batas dalam : Membran timpani : Tuba eustachius : Vena jugularis (bulbus jugularis) : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis. : Tegmen timpani (meningen / otak ) : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval window),tingkap bundar (round window) dan promontorium. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi

ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut umbo. Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani. Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling berhubungan . Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara. maleus, inkus, dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.

Gambar 2.2 : Membran Timpani 1,2,3

Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius (tuba auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran tympani. 2.1.3 Telinga Dalam Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.

Gambar 2.3 : Gambar labirin bagian membrane labirin bagian tulang, Telinga Dalam Koklea

1,2,3,5

bagian koklea labirin adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia panjangnya 35mm. koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang mengelilingi sumbunya. Sumbu ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam koklea bagian tulang dibagi dua oleh dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri dari lamina spiralis ossea. Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung, lamina spiralis membranasea. Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi menjadi : skala vestibule (bagian atas) dan skala timpani (bagian bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea. Tempat ini dinamakan helicotrema. Skala vestibule bermula pada fenestra ovale dan skala timpani berakhir pada fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan antara lamina spiralis membranasea kearah perifer atas, terdapat membrane yang dinamakan membrane reissner. Pada pertemuan kedua lamina ini, terbentuk saluran yang dibatasi oleh: 1. membrane reissner bagian atas 2. lamina spiralis membranasea bagian bawah 3. dinding luar koklea

saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian membrane yang berisi endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan ligamentum spiralis.disini, terdapat stria vaskularis, tempat terbentuknya endolimf.

Gambar 2.4 : Koklea 2,3 Didalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada membarana basilaris (lamina spiralis membranasea) terdapat alat korti. Lebarnya membrane basilaris dari basis koklea sampai keatas bertambah dan lamina spiralis ossea berkurang. Nada dengan frekuensi tinggi berpengaruh pada basis koklea. Sebaliknya nada rendah berpengaruh dibagian atas (ujung) dari koklea.

GAMBAR 2.5 : Organ korti 2,3 Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membrane, yaitu membrane tektoria.

Membrane ini berpangkal pada Krista spiralis dan berhubungan dengan alat persepsi pada alat korti. Pada alat korti dapat ditemukan sel-sel penunjang, sel-sel persepsi yang mengandung rambut. Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan (saluran) yang berisi kortilimf. Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus reunions. Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial cavum timpani menimbulkan penonjolan pada dinding ini kearah cavum timpani. Tonjolan ini dinamakan promontorium.

Vestibulum Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang juga berisi perilimf. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen ovale) yang berhubungan dengan membrane timpani, tempat melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Di dalam vestibulum, terdapat gelembung-gelembung bagian membrane sakkulus dan utrikulus. Gelembunggelembung sakkulus dan utrikulus berhubungan satu sama lain dengan perantaraan duktus utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus yang berakhir pada suatu lilpatan dari duramater, yang terletak pada bagian belakang os piramidalis. Lipatan ini dinamakan sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu. Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-sel penunjang yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula sakkuli. Sedangkan pada utrikulus, dinamakan macula utrikuli. Kanalis semisirkularisanlis Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak lurus satu sama lain. didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian membran yang terbenam dalam perilimf. Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan antrum mastoideum dan tampak sebagai tonjolan, tonjolan kanalis semisirkularis horizontalis (lateralis). Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa crania media dan tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan, eminentia arkuata. Kanalis semisirkularis posterior tegak lurus dengan kanalis semi sirkularis superior. Kedua ujung yang tidak melebar dari kedua kanalis semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan bermuara pada vestibulum sebagai krus komunis. Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis semisirkularis ossea. Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf. Didalam kanalis semisirkularis membranasea terdapat endolimf. Pada tempat melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat selsel persepsi. Bagian ini dinamakan ampulla. Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya pada Krista ampularis yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-rambut dari sel persepsi ini mengenai organ yang dinamakan kupula, suatu organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla sehingga dapat menutup seluruh ampulla.

2.1.4 Fisiologi pendengaran 1,2,3,4,5 Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

Gambar 2.6 : Fisiologi Pendengaran 1,4

2.2 Anatomi dan fisiologi hidung 2.2.1 Anatomi hidung

Gambar 2.7 : Anatomi hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.6 Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.6

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.6 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.6 Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.6 Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar

diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla. Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap cavum nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.6 Perdarahan hidung Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:6 1. Arteri Etmoidalis anterior 2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika 3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna.

Gambar 2.8 : Sistem Vaskularisasi Hidung Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus

kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus. Persyarafan hidung

Gambar 2.9 :PersarafanHidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut

parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 2.2.2 Fisiologi hidung Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS. Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantuproses bicara,(7) Reflek nasal.7 2.2.3 Sistem Mukosiliar 2.2.3.1. Histologi mukosa6 Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.

Gambar2.10 :gambaranhistologimukosahidung

2.2.3.2 Epitel Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi. Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3 m. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masingmasing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama. Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya.

Sedangkan antarapasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin. Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 m dan diameternya 0,1 m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng. 2.2.3.3. Palut lendir Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya. Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap. Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura 1994).

2.2.3.4. Membrana basalis Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin. 2.2.3.5. Lamina propria Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf. Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi. 2.2.3.6 Transportasi mukosiliar Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar. Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi

mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresifsaat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit. Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan. 2.2.3.7 Pemeriksaan fungsi mukosiliar Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon, bismuth trioxide. Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin. Uji ini telah dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974dan sampai sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin. Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai

sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai waktu transportasi mukosiliar atau waktu sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna dapat dilihat di orofaring. Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi. Mahakit (1994) mendapatkan waktu transportasi mukosiliar normal adalah 12 menit. Sedangkan pada penderita sinusitis, waktu transportasi mukosiliar adalah 16,6 7 menit. Waguespack (1995) mendapatkan nilai rata-rata adalah 12-15 menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian mendapatkan nilai normal pada kontrol adalah 7,61 menit untuk wanita dan 9,08 menit untuk pria. 2.3 Anatomi dan fisiologi tenggorokan 2.3.1 Anatomi Tenggorokan8 Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan menuju esophagus. Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole, dibentuk olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan. Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus lingualis dengan cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan sarafsaraf penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada kelenjar parotis.

Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggivertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan esophagus.Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih empat belas centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring). Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudianbagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka kearah depan hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustachius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yangdisebut fosa rosenmuller. Otot tensor velipalatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini. Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arcus faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semua dipersarafi oleh pleksus faringeus. 2.3.1.1 Vaskularisasi.8 Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal daricabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna yakni cabang palatine superior. 2.3.1.2 Persarafan8 Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glossofaringeus.

2.3.1.3 Kelenjar Getah Bening8 Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu superior,media dan inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik dan kelenjar getah bening servikal dalam atas, sedangkan saluran limfe inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah. Berdasarkan letak, faring dibagi atas: 2.3.1.4. Nasofaring Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius. 9

Gambar 2.11. Anatomi faring dan struktur sekitarnya 2.3.1.5 Orofaring Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.9

a. Dinding Posterior Faring Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.9 b. Fosa tonsil Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.9 c. Tonsil Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.9 Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.9 Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.9 Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.9 Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang

menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.9 Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.9 2.3.1.6 Laringofaring (hipofaring)9 Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadangkadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.2 Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung. 2.3.2 Fisiologi Tenggorokan Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan untuk artikulasi.8

Proses menelan Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.9

Proses Berbicara Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.9 Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.9

ANATOMI LEHER M.sternocleidomastoid membagi daerah leher menjadi 2 segitiga besar, yaitu : 1. Trigonum colli anterior, yang terdiri dari : Tigonum sub mental Trigonum digastrikus Trigonum Karotis Trigonum Muskulari

Batas-batas trigonum colli anterior adalah, anterior: garis tengah leher, superior: symphisis mandibula dan posterior : sisi anterior m.sternocleidomastoid. trigonum ini tertutup oleh kulit, fascia superfisialis, platysma dan fascia intermedia. 2. Trigonum colli posterior, yang terdiri dari : Trigonum oksipitalis. Trigonum supraklavikularis.

Batas-batas trigonum colli posterior yaitu anterior : sisi posterior m.sternocleidomastoi , inferior : Klavicula dan posterior: sisi anterior M. Trapezius. Lantai dari trigonum tertutup oleh lapisan prevertebra yang terdiri dari semispinalis capitis, levator scapula dan scalenus medius. Trigonum ini berisi a.subklavia, v.jugularis eksterna, pleksus brakialis dan cabang-cabang pleksus servikalis.

Persarafan daerah leher Terdapat 4 saraf superfisial yang berhubungan dengan tepi posterior m.sternocleidomastoid. Saraf-saraf tersebut mempersarafi kulit di daerah yang bersangkutan. Saraf superfisial yang dimaksud adalah : 1. N. Oksipitalis minor (C2) 2. N. Auricularis magnus (C2 dan C3) 3. N.Cutaneus anterior (cutaneus colli, C2 dan C3). 4. N.Supraklavikularis (C3 dan C4). Keempat saraf ini berasal dari Nn Servikalis II, III dan IV dan terlindung di bawah otot. Dalam perjalanan ekstra kranialnya, 4 nervi kranial terletak di daerah M. Digastricus. Saraf-saraf cranial yang dimaksud: 1. N. Vagus, keluar melalui For. Jugularis, mensarafi : saluran pernafasan dan saluran pencernaan . 2. N. Glossopharyngeus, keluar bersama N. Vagus , terletak diantara karotis interna dan

jugularis interna. Merupakan saraf motorik untuk M. Stylopharyngeus. 3. N. Asesorius, berasal dari cranial dan C5 atau C6. Merupakan motorik untuk M. SCM dan M. Trapezius, sedangkan cabang cervicalnya merupakan sensorik. 4. N. Hypoglosus, keluar melalui cranial hypoglosus, merupakan motorik untuk lidah.

PEMBULUH DARAH 1. A. Karotis komunis. Pembuluh darah yang sebelah kanan berasal dari A. Inominata sedangkan yang kiri berasal dari Arkus Aorta, berjalan di belakang M. m.sternocleidomastoid. Pada level Thyroid Notch melebar, disebut Bulbus Karotis, kemudian bercabang dua menjadi A. Karotis eksterna dan A.Karotis interna . Setelah percabangannya, arteri ini berjalan ke dalan kanalis karotikus ossis temporalis. Memperdarahi otak dan mata. Di daerah leher tidak memberikan percabangan. Di bawah M. Digastricus tertutup oleh m.sternocleidomastoid 2. A.Karotis eksterna. Berjalan menuju collum mandibula. Memberikan 8 percabangan yang berdasarkan letaknya terhadap M. Digastricus, adalah sbb : diatas M. Digastricus memberi 3 percabangan : 1. A. Temporalis superfisialis. 2. A. Maxillaris interna. 3. A. Auricularis posterior. dibawah M. Digastricus memberi 5 percabangan : 1. A. Thyroidea superior. 2. A. Linguaalis. 3. A. Pharyngealis ascendens. 4. A. Facialis. 5. Ramus Oksipitalis.

3. V. Jugularis eksterna. Dimulai dari bawah telinga dan berasal dari gabungan V. Aurikularis posterior dan V. Facialis posterior, terletak diantara platysma dan fascia superfisialis colli. Di daerah bawah leher bergabung dengan V. Jugularis anterior dan V. Subklavia tranversa. 4. V. Jugularis interna. Merupakan kelanjutan dari sinus tranversus, di sebelah atasnya terletak dibawah Gld. Parotis dan sebagian besar dari vena ini terletak dibawah bagian bawah terletak M. Infrahyoid. Menerima/menampung darah dari : Sinus petrosus inferior. V.pharyngealis. V. facialis. V. Lingualis. V. Thyroidea superior dan media. m.sternocleidomastoid. Di

OTOT-OTOT LEHER BAGIAN DEPAN Otot-otot di bagian ventral leher terdiri dari : 1. M. Digastricus, terdiri dari venter anterior dan posterior. Berjalan dari os temporal ke arkus mandibula, merupakan landmark yang penting di bagian atas leher. Kedua venternya dipisahkan oleh tendon intermedius. 2. Mm infrahyoid, disebut juga sebagai STRAP muscles Terdiri dari : a. M. Sterno hyoid : Origo pada manubrium sterni dan berinsersi di os. hyoid. Dekat origo terpisah, makin ke atas makin bersatu dan didekat insersi bergabung dengan M. Omohyoid. b. M. Omohyoid Terdiri dari 2 venter (superior dan inferior). Mulai dari skapula dan lig. supraskapula berjalan ke atas dan berakhir sebagai tendo intermedius. c. M. Sternothyroid, Merupakan landmark penting dalam pembedahan thyroid untuk menemukan

cleavage plane. Origo terletak di manubrium sterni dan berinsersi di lamina kartilago thyroid, berjalan menutupi sebagian Gld. Thyroid. Kontraksinya menyebabkan laryng bergerak ke bawah.

d. M. Thyrohyoid, Berorigo di kartilago thyroid dan berinsersi di os hyoid. Menutupi membrana thyrohyoid, kontraksinya menarik hyoid ke bawah, tetapi bila hyoid difiksir oleh otot suprahyoid, kontraksinya akan mengangkat laryng.

KELENJAR ENDOKRIN KELENJAR THYROID. Merupakan kelenjar endokrin yang tidak mempunyai saluran keluar, sangat vaskuler, melekat ke laryng oleh lig. suspensorium sehingga turut bergerak waktu menelan. Terdiri dari dua lobus yang dihubungkan dengan isthmus, kadang-kadang pada isthmus terdapat lobus pyramidalis. Masing-masing lobus terletak setinggi kartilago thyroid sampai cincin trachea ke-6. Ukuran normal lebih kurang 2 x 2,5 x 0,75 in. Diperdarahi oleh A. Thyroidea superior dan inferior, kadang-kadang terdapat A. Thyroidea ima di daerah inferior kelenjar. Terdapat N. Recurrens yang terletak di sebelah dorso medial lobus, saraf ini perlu mendapat perhatian khusus pada saat operasi kel. thyroid.

KELENJAR PARATHYROID. Merupakan massa berwarna coklat kekuningan yang jumlahnya bervariasi antara 2-4 pasang, terletak di posterior lobus lateralis thyroid dengan 3 kemungkinan posisi, yaitu : di bawah A. Thyroidea inferior, anterior dari fascia pretrachea. di atas arteri dan di dalam fascia pretrachea. di dalam kelenjar thyroid.

Jaringan di leher dibungkus oleh 3 fasia, yaitu: 1. Fasia koli superfisialis membungkus: m. sternokleidomastoidues dan berlanjut ke garis tengah leher untuk bertemu dengan fasia sisi lain. 2. Fasia koli media membungkus otot pretrakeal dan bertemu pula dengan fasia sisi yang lain di garis tengah yang juga merupakan pertemuan dengan fasia koli superfisialis. Ke dorsal fasia koli media membungkus a. karotis komunis, v. jugularis interna dan n. vagus menjadi satu.

3. Fasia koli profunda membungkus m. prevertebralis dan bertemu ke lateral dengan fasia koli media. Perlukaan sebelah dalam fasia koli media berbahaya karena bila terjadi infeksi hubungan langsung ke mediastinum.

3. Kelenjar getah bening( KGB ) Sistim aliran limfe leher penting untuk dipelajari, karena hampir semua bentuk radang atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfe regional. Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di seluruh tubuh. Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman kuman / bakteri bakteri yang masuk kedalam badan dan barier pula untuk sel sel tumor ganas (kanker). Disamping itu bertugas pula untuk membentuk sel sel limfosit darah tepi. Ukuran normal dari kelenjar getah bening adalah < 1cm. Berdasarkan letaknya kelenjar limfa dileher terdiri atas kelenjar preaurikuler, retroaurikuler, submandibula, submental, juguler atas, juguler tengah, juguler bawah, segitiga leher dorsal, dan supraklavikula. Sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan pada rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfe yang selalau terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian juguler interna, yang terbentang antara klavikula sampai dasar tengkorak. Rangkaian juguler interna ini dibagi dalam kelompok superior, media dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain adalah submental, submandibula, servikalis superfisial, retrofaring, paratrakela, spinal asesorius, sklaneus anterior dan supraklavikula.

Gambar 5.Anatomi limfa pada leher

Kelenjar limfe jugularis interna superior menerima aliran limfe yang berasal dari palatum mole tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe retro faring, spinal asesorius, parotis, servikalis superfisial dan kelenjar limfe submandibula. Kelenjar jugularis interna media menerima aliran limfe yang berasal langsung dari subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah krikoid posterior. Juga menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe jugularis interna superior dan kelenjar limfe retrofaring bagian bawah. Kelenjar jugularis interna inferior menerima aliran limfe yang berasal langsung dari glandula tiroid, trakea, esofagus, baguan servikal,. Juga menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe jugularis interna superior dan media dan kelenjar limfe paratrakeal. Kelenjar limfe submental, terletak pada segitiga submental diantara platisma dan m.omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran limfe yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa submandibula sisi homolateral atau kontralateral, kadang-kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna. Kelenjar limfa submandibula, terletak disekitar kelenjar liur submandibula dan didalam kelenjar ludahnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal kelenjar liur submandibula,bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata, palatum mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa kekelenjar jugularis interna superior.

Gambar 6.Regio kelenjar limfa leher

Kelenjar limfa servikalis superfisial, terletak disepanjang vena jugularis eksterna, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar parotis, daerah retroaurikula, kelenjar parotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna superior. Kelenjar limfa retrofaring, terletak diantara faring dan fasia prevertebra, mulai dari dasar tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran limfe dari nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinal asesorius bagian superior. Kelenjar limfa paratrakeal menerima aliran limfa yang berasal dari laring bagian bawah, hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau kelenjar limfa mediastinum superior. Kelenjar limfa spinal asesorius, terletak disepanjang saraf spinal asesorius, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit kepala bagian parietal, dan bagian belakang leher. Kelenjar limfa parafaring menerima aliran limfa dari nasofaring, orofaring, dan sinus paranasal. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa supraklavikula. Rangkaian kelenjar limfa jugularis interna mengalirkan limfa ke trunktus jugularis dan selanjutnya masuk keduktus torasikus untuk sisi sebelah kiri, dan untuk sisi sebelah kanan masuk ke duktus limfatikus kanan atau langsung kesistim vena pada pertemuan vena jugularis interna dan vena subklavia. Juga duktus torasikus dan duktus limfatikus kanan menerima aliran limfe dari kelenjar limfa supraklavikula.

Gambar 7.Sistim limfa pada leher dan insidensi metastasenya Pembesaran kelenjar getah bening dengan konsistensi keras seperti batu mengarah kepada keganasan, padat seperti karet mengarah kepada limfoma, lunak megarah kepada proses infeksi, fluktuatif mengarah telah terjadi abses. Pembesaran kelenjar getah bening leher bagian posterior terdapat pada infeksi rubel dan mononukleosis. Supraklavikula atau kelenjar getah bening leher bagian belakang memiliki resiko keganasan lebih besar dari pada pembesaran kelenjar getah bening bagian anterior.1 Pada pembesaran kelenjar getah bening oleh infeksi virus, KGB umumnya bilateral, lunak dan dapat digerakkan. Bila infeksi oleh bakteri kelenjar biasanya nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan oleh keganasan maka tanda-tanda peradangan tidak ada, konsistensi keras dan tidak dapat digerakkan. 1

BAB III KEGANASAN DALAM THT-KL Tumor Ganas Telinga


Epidemiologi Tumor ganas telinga jarang ditemukan dengan perbandingan antara 1 : 5000 sampai 1 : 20000 dari pasien dengan kelainan telinga. Lodge dan kawan kawan memperkirakan 0,006% dari populasi. Mattick menemukan 10 kasus tumor ganas telinga dari 35000 kasus tumor yang diselidikinya.1,2

Etiologi Penyebab yang pasti belum jelas benar. Tersebut sebagai faktor penyebab antara lain iritasi kronik seperti sinar matahari, infeksi kronik dan sebagainya. Faktor herediter dan usia juga berperan penting.1,2

Patologi Lewis mengelompokkan jenis tumor telinga berdasarkan asalnya sebagai berikut:1,2 A. Tumor epitel 1. Tumor ganas epitel permukaan a. Karsinoma sel skuamosa Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor telinga yang paling sering ditemukan. Predileksi utamanya adalah di liang telinga.Lewis mendapatkan 11 % dari tumor ini telah bermetastasis ke kelenjar leher pada saat pertama kali pasien datang. b. Karsinoma sel basal c. Karsinoma sel basal merupakan karsinoma yang paling sering ditemukan di daun telinga. Tumor ini bisa meluas dari daun telinga ke telinga tengah, mastoid dan bagian skuamosa tulang temporal. 2. Tumor ganas epitel kelenjar Adenokarsinoma

Adenokarsinoma dapat berasal dari kelenjar sebasea atau kelenjar serumen di liang telinga ataupun merupakan penyebaran dari tumor parotis.

B. Tumor mesenkim Sarkoma Sarkoma merupakan tumor telinga yang jarang sekali terjadi, lebih sering ditemukan pada usia muda. Tumor ini bersifat invasifsecara local, cepat membesar, metastasis jauh melalui aliran darah dan aliran limfe, tetapi tidak mengenai kelenjar limfe regional. 1,2

C. Tumor ganas yang asalnya susah diketahui Melanoma maligna Tumor ini bisa merupakan tumor primer di daun telinga, liang telinga ataupun di telinga tengah. Pada kebanyakan pasien sudah ditemukan pembesaran kelenjar limfe regional walaupun tumornya masih kecil.1,2

Pola Penyebaran a. Telinga luar3,4 Karsinoma sel basal liang telinga luar biasanya mulai dari 1/3 luar liang telinga, kemudian berkembang secara cepat ke perikondrium, akhirnya merusak kartilago menyebar kea rah telinga tengah dan mastoid.Karsinoma sel skuamosa liang telinga luar dapat tampak seperti massa polipoid berwarna merah. Tumor bisa berinvasi ke tulang rawan atau tulang atau menembus membrane timpani ke telinga tengah, mastoid dan kanalis fasialis.

Gambar 2.3

Massa berukuran 3,5 x 2,5 cm di daun telinga; secara histopatologi adalah karsinoma sel basal5

b. Telinga tengah ( kavum timpani, mastoid dan tuba Eustachius )6,7,8 Berbagai jenis tumor jinak dan ganas, dapat berasal dari telinga tengah mastoid dan daerah sekitarnya, terutama pada liang telinga. Tumor ini dapat dianggap primer, menunujukkan asalnya dari tulang temporal, atau sekunder yang menunjukkan metastase ke tulang temporal dari suatu tempat yang jauh, atau menginvasi telinga dari daerah sekitarnya, biasanya kelenjar parotis.

Tumor Primer Dari jenis tumor primer, tumor glomus jugularis timpanikum merupakan yang paling lazim dan paling penting. Tumor berasal dari badan glomus dekat bulbus jugularis pada dasar telinga tengah atau berasal dari penyebaran saraf di manapun dalam telinga tengah. Secara histologist tumor serupa dengan tumor korpus karotis atau kemodektoma. Suatu varian ganas telah dilaporkan namun sangat jarang. Dengan ekspansinya tumor dapat merusak jaringan di sekitarnya dan menyebabkan gangguan pendengaran dan rasa penuh pada telinga dan pada beberapa kasus dapat meluas ke basis cranium, menimbulkan komplikasi saraf kranialis dan intrakranialis. Tumor ini sangat vascular, dan seringkali dapat terlihat sebagai suatu massa keunguan di dasar telinga tengah lewat membrane timpani yang semitransparan. Kepucatan yang timbul pada penekanan dengan

otoskop pnemotik di sebut tanda Brown. Tumor jinak lain termasuk neurofibroma saraf fasialis, hemangioma dan osteoma. Tumor ganas primer pada rongga telinga tengah antara lain : karsinoma sel skuamosa, rabdomiosarkoma, karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma.Tumor dapat pula meluas ke anterior lewat fisura fisura menuju kelenjar parotis dan fossa pterigomaxillaris.Tumor ganas telinga tengah yang paling umum pada dewasa adalah karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma. Tumor ganas yang paling sering meluas dari liang telinga ke telinga tengah adalah karsinoma sel skuamosa. Tumor lain yang berasal dari liang telnga dan meluas ke telinga tengah (lebih jarang) adalah karsinoma kistik adenoid, melanoma maligna dan sel basal karsinoma yang ditelantarkan.

Tumor sekunder Tumor yang berasal dari focus primer yang jauh dan bermetastasis ke telinga tengah, mastoid dan tulang temporal termasuk adenokarsinoma prostat, karsinoma payudara, hipernefroma atau karsinoma ginjal, karsinoma bronkus, saluran cerna dan melanoma. Disamping itu, telinga tengah dan mastoid dapat diinvasi oleh tumor dari daerah sekitar seperti meningioma, neuroma akustik, glioma, neurilemoma, karsinoma kistik adenoid dan mukoepidermoid dari kelenjar parotis dan kanker nasofaring yang meluas hingga ke tuba Eustachius. Keganasan hematologis seperti limfoma maligna dan leukemia sering menyebabkan tulang temporal hamper selalu memperlihatkan sumsum tulang apeks petrosa dan juga menginfiltrasi telinga tengah dan tuba Eustachius, menimbulkan gangguan pendengaran konduktif dan terbentuknya efusi. Pada leukemia berat atau terminal dapat terjadi perdarahan telinga dalam yang menyebabkan tuli berat mendadak dan gejala gejala vestibular.

Gejala Klinis Gejala klinis berupa nyeri, rasa penuh dalam telinga, gangguan pendengaran, dan vertigo bila labirin vestibular terlibat. Saraf fasialis menjadi lumpuh bila tumor mengerosi dinding kanalis posterior dan melibatkan saraf tersebut, namun dalam hal ini biasanya terjadi pada akhir perjalanan penyakit.1,2

Tumor ganas daun telinga dapat berupa tumor superficial dengan atau tanpa ulserasi tergantung jenis tumornya, sehingga mudah dideteksi secara dini. Tumor ganas liang telinga dan telinga tengah sering terlambat diketahui oleh karena tidak cepat dapat terlihat dan gejalanya seringkali hanya menyerupai penyakit infeksi oleh karena biasanya penyakit ini timbul pada telinga yang sebelumnya telah menderita otitis media supuratif kronik. 1,2

Pada keadaan ini otorea yang biasanya purulen berubah menjadi hemorhargik. Nyeri yang hebat bisa disebabkan oleh otitis eksterna atau otitis media, tetapi bila tumor ganas telinga disertai nyeri hebat, sangat mungkin disebabkan oelh invasi tumor ke tulang. Paresis fasial perifer sering terjadi di samping gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan. Terkenanya n. IX, X, XI dan XII menandakan penyebaran ke basis fosa kranii media dan menandakan penyakit yang incurable. c. Telinga dalam9,10 Tumor terpenting dari sistem vestibular adalah schwannoma (acoustic neuroma). Tumor ini tidak selalu menginvasi vestibulum, tapi dapat juga terjadi pada kasus neurofibromatosis. Vestibular schwannoma sebagian besar berasal dari glial-

neurilemmal junction dari saraf kranial ke delapan, yang umumnya terletak di antara meatus auditorius interna.Metastase tumor dapat terjadi ke telinga tengah, namun hal tersebut jarang terjadi.

Klasifikasi Klasifikasi tumor ganas telinga tidak ditemukan di dalam klasifikasi TNM dari UICC tahun 1987. Goodwin membagi pasien berdasarkan penyebaran ke arah medial menjadi 3 golongan yang kelihatannya praktis untuk penggunaan klinik:1,2 1 .Golongan 1: tumor yang mengenai konka daun telinga dan / atau bagian tulang rawan liang telinga. 2 .Golongan 2: tumor mengenai bagian superfisial tulang temporal yaitu bagian tulang dari liang telinga dan korteks mastoid.

2. Golongan 3: tumor sudah mengenai struktur dalam tulang temporal, telinga tengah, kanalis fasial, basis kranii atau sel mastoid. Ada atau tidaknya pembesaran kelenjar limfe regional harus diperhatikan secara terpisah.

Gambar 2. 4 Berbagai macam lesi telinga11

Diagnosis Bila mungkin secepatnya dilakukan biopsi dari liang telingaatau dari leher. Otitis eksterna kronik yang menetap merupakan indikasi pasti untuk biopsi liang telinga.

Gambar 2.5

Morphea type dari karsinoma sel basal daun telinga12

Gambar 2.6 Adenoma telinga tengah12

Gambar 2.7 Vestibular Schwannoma12

Pemeriksaan radiologik memegang peranan yang sangat penting untuk melihat lokasi tumor dan perluasannya dengan tepat. Tanpa bantuan gambaran radiologi rencana pembedahan

dan radioterapi tidak dapat dibuat dengan baik. Politomografi dan CT scan dengan bidang aksial dan koronal akan dapat membantu diagnosis yang lebih dini dan lebih memperlihatkan perluasan tumor. Tomogram lateral penting untuk memperlihatkan erosi dinding liang telinga.

Erosi di dinding tulang yang membatasi telinga tengah dapat dilihat pada potongan koronal tomogram.

Lokasi dan perluasan tumor ( jaringan lunak ) ke fosa infra temporal dapat dilihat dengan CT Scan. Venojugulogram dan arteriografi a. karotis kadang kadang diperlukan untuk melihat apakah ada infiltrasi tumor ke sinus lateralis dan bulbus jugularis atau ke a. karotis interna.Ada kalanya terutama bila ada infeksi penunjang, tumor dapat menimbulkan gejala pengeluaran secret, khususnya secret berdarah.

CT scan CT scan dengan kontras merupakan uji diagnostik yang paling bermanfaat.

Angiografi dan Venografi Pada beberapa kasus perlu dilakukan angiografi dan venografi jugular retrograde untuk menegakkan diagnosis dan menentukan suplai darah dan derajat tumor.

Pengobatan Beberapa penulis menganjurkan terapi radiasi untuk tumor ganas telinga, tetapi kondritis yang disebabkan oleh radiasi dan nekrosis tulang yang terkena radiasi sering kali merupakan komplikasi yang serius yang sukar untuk diatasi. Disamping itu radiasi juga akan menimbulkan kesulitan untuk menentukan batas perluasan tumor. Cara pengobatan terbaik menurut kebanyakan ahli adalah terapi operatif dengan eksisi luas secara lengkap dan utuh (intoto). Bila perlu dapat diiringi radioterapi.

Bila tumor ditemukan dini, pasien memiliki lebih banyak kesempatan untuk sembuh dibandingkan bila tumor telah lanjut sehingga memerlukan reseksi tulang temporal, dengan kemungkinan kelangsungan hidup lebih sempit. Rabdomiosarkoma menyerang anak anak

kecil. Penyakit ini pernah dianggap fatal namun dalam tahun tahun terakhir telah dilaporkan kesembuhan dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi.

Tindakan Operasi Suatu diagnosis jaringan sudah tentu memerlukan eksplorasi bedah pada tempat tersebut dan pembedahan merupakan bentuk pengobatan yang lebih disukai pada kebanyakan kasus. Bila tumor luas sering terdapat indikasi gabungan pembedahan dan radioterapi.

Oleh karena kompleksnya teknik operasi dan letak tumor, serta sulitnya melakukan rekonstruksi luka operasi, kadang kadang reseksi yang adekuat dari luas operasi harus dikompromikan.

1.

Tumor ganas daun telinga Tumor ganas yang masih terbatas pada daun telinga dapat diangkat dengan berbagai

macam cara insisi dilanjutkan dengan operasi rekonstruksi daun telinga.

2.

Tumor ganas liang telinga Tindakan operasi tumor ganas liang telinga lebih rumit oleh karena letak anatominya yang

berdekatan dengan koklea dan labirin, n. VII serta kaput mandibula.

Tumor ganas liang telinga yang masih terbatas pada bagian membrane (1/3 luar) memerlukan eksisi luas jaringan lunak diikuti dengan tandur kulit.Tumor ganas yang mengenai bagian tulang liang telinga (2/3 dalam) memerlukan ekstirpasi luas mencakup seluruh liang telinga beserta membrane timpani dengan memperhatikan usaha untuk mencegah trauma n. VII. Teknik operasinya disebut reseksi partial tulang temporal.

Cara reseksi partial tulang temporal ialah dengan melakukan mastoidektomi simple untuk mengidentifikasi n. VII. Kemudian mengangkat seluruh liang telinga dan membrane timpani secara utuh. Untuk tindakan ini pendekatan dilakukan dari dua arah. Yang pertama di sebelah atas liang telinga melalui epitimpanum dan ramus zigoma kearah rongga sendi temporomandibula. Pendekatan kedua dilakukan dengan membuat lubang lubang kecil di

sebelah depan kanalis fasialis dengan bor kecil ke arah resesus fasialis di kavum timpani untuk mencegah paresis fasial waktu pengangkatan seluruh liang telinga secara luas. Sisa perlekatan setelah kedua pendekatan operasi itu dilakukan dilepaskan dengan bantuan osteotom.

Jika pneumatisasi mastoid buruk maka dilakukan pengangkatan liang telinga sedikit demi sedikit (piecemeal removal). Pasca operasi diberikan radiasi, terutama bila diduga ada sisa sisa tumor yang tertinggal.

3.

Tumor ganas telinga tengah dan mastoid Bila tumor ganas sudah mengenai telinga tengah dan tulang temporal maka dilakukan

reseksi tulang temporal subtotal. Pada operasi ini dilakukan pengangkatan seluruh tulang temporal di sebeah lateral dari meatus akustikus internus, sehingga hanya apeks petrosus yang tertinggal. Pendekatan dilakukan melalui tiga arah. Pendekatan dari arah superior dengan membuang sebagian besar tulang skuamosa sehingga tampak dura di daerah itu, kemudian tulang petrosus dicapai.1,2

Pendekatan dari arah posterior dengan melakukan insisi tulang pada garis vertical tepat di belakang tulang mastoid untuk membebaskan sinus sigmoid dan sinus lateral. Pendekatan dari arah anterior dilakukan dengan melakukan insisi pada prosessus zigomatikus, prosessus kondiloideus mandibula, kemudian ke fosa glenoidea sehingga hampir mencapai a. karotis dan tampak tuba Eustachius. Kemudian basis prosessus stiloideus dipotong. Jaringan dapat dilepaskan dengan menempatkan pahat di sebelah medial alur digastrik lalu memotong tulang ke arah atas.1,2

Bila tumor telah mencapai apeks petrosus, maka dapat dilakukan reseksi total tulang temporal. Untuk membuang apeks petrosus diperlukan diseksi a. karotis dan melepaskan apeks petrosus dari dasar tengkorak. Tindakan ini penuh risiko terjadinya trauma a. karotis dan kebocoran cairan otak yang akan lebih sukar diatasi. Oleh karena tindakan ini mempunyai komplikasi berbahaya yang tinggi sekali dan prognosisnya tidak lebih baik dari reseksi subtotal, hanya sedikit ahli yang melakukannya. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa bila tumor telah mengenai apeks petrosus maka tumor sudah tidak mungkin di operasi lagi.1,2

Radioterapi Para radioterapis pada umumnya sependapat bahwa segala jenis radioterapi untuk karsinoma yang telah menginvasi tulang sedikit sekali gunanya. Radioterapi pre operatif diindikasikan untuk tumor yang telah menyebar luas dimana telah terjadi penyebaran ke dura. Dosis radiasi pre operatif tidak melebihi 4000 rad.1,2

Radioterapi pasca operatif diindikasikan untuk pasien yang telah menjalani operasi sebelum tindakan reseksi tulang temporal. Juga untuk kasus yang pada saat operasi tidak jelas batas tumornya sehingga tidak bisa terangkat semuanya ataupun pada tumor yang besar walaupun tepi operasi dianggap bebas tumor. Pemberian radiasi dianjurkan 4 6 minggu setelah tindakan operasi dengan dosis yang tidak melebihi 4500 rad.1,2

Radioterapi paliatif diberikan pada kasus yang sangat lanjut atau kasus yang kambuh setelah tindakan operasi dengan tujuan untuk mengatasi otore yang banyak, nyeri dan perdarahan. Tumor yang tidak lagi dapat direseksi memperlihatkan respon dengan radioterapi.1,2

Komplikasi Operasi Tindakan operasi sering kali harus meninggalkan defek yang luas yang memerlukan tindakan rekonstruksi yang sulit. Nervus fasial dan telinga sering kali harus dikorbankan sehingga pasca operasi terjadi paresis fasial dan tuli saraf yang menetap serta vertigo untuk beberapa minggu.Komplikasi operasi yang paling serius adalah kebocoran cairan otak yang dapat berlanjut ke arah terjadinya meningitis dan abses otak.6,8,11 Operasi tulang temporal banyak menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang hebat dapat terjadi bila terdapat trauma pada sinus otak ataupun dari a. karotis interna. Bila terjadi thrombosis a. karotis interna dapat terjadi hemiplegia.Infeksi pasca operasi sering kali terjadi terutama akibat lamanya tindakan operasi.Tindakan operasi yang berat ini juga dapat menimbulkan kematian. Conley mendapatkan angka kematian 27 % akibat tindakan operasi dan komplikasi pasca operasi.6,8,11

Prognosis Prognosis tumor ganas telinga masih buruk. Kemajuan dalam teknik operasi dan radioterapi belum banyak memperbaiki prognosis.Angka bertahan hidup 5 tahun yang dilaporkan oleh kebanyakan penyelidik ternyata masih rendah, Lewis 27 %, Conley dan Goodwin 41 %, John 18 % serta Wang 48 %.1,2

Tumor Ganas Hidung dan Sinus

Pendahuluan Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan 1,76% dari seluruh keganasan organ manusia atau 10% dari seluruh keganasan Telinga, Hidung dan Tenggorok dimana nasofaring merupakan keganasan terbanyak dengan 57%. Dari kelompok keganasan hidung dan sinus paranasal ini 20% merupakan keganasan sinus maksila (di Jepang lebih tinggi lagi yaitu 91,4%)), 24% keganasan hidung dan sinus etmoid, sedangkan keganasan sinus sfenoid dan frontal hanya 1%.
(4)

Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering

ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Faktor resiko, yang jika muncul, dapat meningkatkan resiko antara lain: tembakau, infeksi, imunitas rendah, riwayat kanker, terhirup sebuk gergaji. Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul didaerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus. Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip, sehingga seringkali hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya. Gejala dan tanda yang paling umum adalah: obstruksi hidung, masalah pernafasan, nyeri lokal, pembengkakan leher dan wajah, masalah persarafan, dan tanda metastasis.

Langkah umum dalam evaluasi dugaan kanker rongga hidung termasuk: pemeriksaan fisik, pemeriksaan endoskopi, tes urin dan darah, tes pencitraan, dan biopsi. Etiologi Adenokarsinoma rongga hidung dan sinus dikenal umum diantara tukang kayu (Acheson dkk, 1962). Barton (1977) mendiskusikan peranan nikel sebagai karsinogen pada karsinoma sel skuamosa pada pekerja nikel. Di Norwegia, modifikasi proses industri dan program penyaringan diantara pekerja menghasilkan penurunan insiden. Di Inggris karsinoma sel skuamosa sinus paranasal pada pekerja nikel juga penyakit yang menentukan. Pekerja nikel memiliki peningkatan 100-870 kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Kanker ini mungkin akan berkembang setelah 10 tahun atau lebih setelah pemaparan dan setelah 20 tahun masa laten. Serbuk kayu, kimiawi penyamak-kulit dan pembuat perabot secara khusus berhubungan dengan adenokarsinoma. Inhalan lain yang berhubungan dengan malignansi termasuk pigmen krom, radium, gas mustar dan hidrokarbon. Tembakau tidak memperlihatkan hubungan dengan kanker hidung dan sinus paranasal. Histopatologi Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh karsinoma yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar. Metastase ke nodus servikal atau retrofaringeal. Insiden metastase servikal pada presentasi berkisar 10%, meskipun hingga 44% kasus akan secara nyata bermetatase ke area servikal. Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang terkena. Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus sangat miskin dengan sistem limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan sistem limfatik. Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru.

Karsinoma Sel Skuamosa

Merupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal yang mengenai sinus maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada daerah ini. Sel skuamosa merupakan

sel datar yang membuat lapisan permukaan pipih struktur kepala dan leher. Sinus maksila terlibat 70% diikuti keterlibatan rongga hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer yang berasal dari sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini terutama mengenai lakilaki dan muncul paling sering pada dekade keenam. Menyebar keluar dari sinus hampir merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika ditemukan lebih dari 90% akan menginvasi ke setidaknya satu dinding sinus yang terlibat. Jika terdapat metastase, drainase nodus tingkat pertama adalah melalui pleksus pra-tube kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam nodus subdigastrik. Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T3/T4). Reseksi bedah diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-kasus yang dapat direseksi.

Adenokarsinoma

Dimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga hidung dan sinus paranasal pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20% kasus. Lesi ini cenderung lebih berlokasi superior dengan sinus etmoid yang paling banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan dengan pemaparan pekerjaan. Lesi ini muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dibagi secara hisologis menjadi tingkat tinggi dan rendah.

Melanoma maligna

Berkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada kulit, merupakan kanker yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di area tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh melanoma dikatakan berasal dari rongga hidung dan sinus paranasal, dimana merupakan 3,5% keseluruhan neoplasma sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade kelima sampai kedelapan. Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior merupakan lokasi tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada lokasi sinus. Biasanya terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya beragam. Pengobatan utamanya reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini tidak direkomendasikan disebabkan insiden rendah metastase leher tersembunyi. Untuk lesi rekuren, penyelamatan pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi mungkin diperlukan. Keseluruhan prognosisnya buruk.

Estesioneuroblastoma

Estesioneuroblastoma adalah tumor ganas elemen penunjang epitel olfaktorius yang jarang terjadi. Tumor ini tumbuhnya lambat dan mampu bermetastasis ke paru-paru dan servikal. Gejala-gejala dini adalah epistaksis dan obstruksi hidung. CT-scan penting untuk menetapkan apakah terdapat perluasan pada intrakranial. Gambaran Klinis Gambaran klinis masing-masing pasien tertentu bergantung pada lokasi primer dan arah dan perluasan penyebaran. Tumor rongga hidung muncul dengan gejala hidung berupa obstruksi dan epistaksis. Tumor etmoid juga muncul dengan gejala hidung, namun juga bisa memiliki gejala orbita seperti proptosis dan epifora, dengan diplopia menjadi gejala akhir. Tumor sinus frontalis cenderung muncul semata-mata dengam gejala orbita. Tumor sinus sfenoid umumnya muncul terlambat pada spesialis neurologi dengan gejala neurologis. Merupakan sebuah instruktif untuk melihat presentasi potensial tumor antrum. Tumor didalam rongga antrum tidak mungkin muncul dini kecuali secara kebetulan melibatkan nervus infraorbita memberi perubahan pada sensasi wajah, atau perdarahan secara alternatif menimbulkan epistaksis. Epistaksis apapun pada pasien dewasa yang tidak hipertensif membutuhkan investigasi radiologis, namun radiografi sinus terbaik ditunda selama 7-14 hari untuk memberi resolusi inflamasi apapun sehubungan dengan pembungkusan hidung atau masih lebih baik CT-scan harus diperoleh. Ketika tumor melanggar dinding antral, tanda-tanda dan gejala pasti menjadi lebih jelas, sifat sebenarnya bergantung pada dinding tertentu yang terkikis. Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi hidung dan epistaksis dan tumor selalu terlihat jelas. Jarang, tumor menyebabkan poliposis etmoid dan tampaknya polip nasal normal terlihat; dengan demikian penting untuk memeriksa secara histologis semua bahan yang diangkat dari hidung. Penyebaran inferior melibatkan palatum dan alveolus dapat mengakibatkan presentasi ke dokter gigi baik dengan gigi tiruan atau gigi ompong. Ulserasi palatum frank merupakan gejala akhir. Penyebaran anterolateral kedalam jaringan lunak wajah dapat mengakibatkan epifora dengan melibatkan sakus lakrimalis. Pembengkakan wajah, gangguan sensasi dan nyeri lebih sering. Penyebaran anterior lebih mungkin mengakibatkan limfadenopati servikal teraba.

Penyebaran posterior kedalam fossa infratemporal dan basis cranii bisa menyebabkan simtomatologi kurang jelas, hilangnya fungsi trigeminal dan trismus terjadi akibat keterlibatan otot pterigoid. Penyebaran ke nasofaring dapat mengkibatkan tuli sebagai akibat dari disfungsi tuba eustachius. Penyebaran superior ke orbita menyebabkan proptosis dini dengan meningkatkan volume isi orbita, keterlibatan langsung saraf dan otot terjadi lambat. Diagnosis Jarangnya tumor ini, yang merupakan < 1% dari keseluruhan malignansi (3% tumor kepalaleher), berarti bahwa banyak dokter umum yang tidak akan melihat pasien dengan penyakit ini sepanjang karir profesional ini. Ketidaksadaran mereka akan kondisi dan kemiripan gejala dengan kondisi peradangan yang lebih umum lainnya pada saluran pernafasan atas mengakibatkan kegagalan dalam menentukan diagnosis yang tepat sebelum tumor meluas melebihi batas tulang sinus. Rata-rata penundaan antara gejala yang pertama kali terlihat dan diagnosisnya adalah 6 bulan. Harapan terbaik untuk diagnosis awal terletak pada penggunaan besar-besaran pencitraan CT untuk penilaian rinosinusitis kronis dimana gambaran radiologis akan menunjukkan diagnosis yang benar. Penggunaan pencitraan CT dan MRI memungkinkan penggambaran yang tepat dari perluasan tumor, dan perencanaan terinci radioterapi dan reseksi bedah selanjutnya. Diagnosis suatu tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi biopsi tumor. Klasifikasi dan cara menentukan stadium tumor ganas Untuk membuat suatu sistem klasifikasi tumor ganas yang dapat diterima oleh seluruh negara di dunia, rupanya agak sukar bagi tumor ganas hidung dan sinus paranasal karena susunan anatominya yang rumit dan penyakitnya seringkali ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Pembuatan sistem klasifikasi gunanya adalah pertama, untuk merencanakan terapi. Kedua, untuk meramalkan prognosisnya. Ketiga, untuk mengevaluasi hasil pengobatan. Keempat, untuk keseragaman informasi antra sentra sedunia. Kelima, untuk membantu penelitian mengenai tumor ganas.

Biasanya klasifikasi untuk menentukan stadium tumor ganas dipakai sistem TNM, yaitu T = Tumor, sampai dimana perluasannya, N = Nodul, kelenjar limfe regional yang terkena dan M = Metastasis. Sudah banyak pakar dari berbagai sentra yang mengajukan usul sistem TNM, tetapi selama ini belum ada yang diterima secara menyeluruh. Sub bagian onkologi di bagian THT FK-UI/RSCM biasanya mengikuti penentuan stadium TNM yang dibuat oleh Sakai dari Jepang. Sistem TNM ini pernah diajukan pada rapat gabungan UICC dan AJCC pada tahun 1925 dan rupanya usulan tersebut dapat diterima karena pada tahun 1927 UICC dan AJCC telah sepakat akan meresmikan satu sistem yang dapat diterima semua pihak dan sistem ini sama dengan yang diajukan oleh Sakai. Sistem TNM yang dibuat ini hanya berlaku untuk karsinoma sel skuamosa dan baru ada untuk tumor sinus maksila saja. Untuk hidung dan sinus etmoid masih harus dipelajari lagi sedangkan untuk sinus frontal dan sinus sfenoid tidak perlu, karena sangat jarang. GARIS OHNGREN Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang imaginer yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi rahang atas menjadi struktur superoposterior (= suprastruktur) dan struktur infero-anterior (= infrastruktur). Yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus maksila bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang jauh lebih baik daripada tumor di suprastruktur.

Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila: Kategori T untuk karsinoma sinus maksila T1 T2 : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi tulang. : Tumor dengan erosi atau destruksi pada infrastruktur, termasuk palatum durum dan/atau

meatus medius. T3 : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar orbita atau

sinus etmoid anterior. T4 : Tumor mengenai isi orbita dan/atau invasi ke suprastruktur, salah satu dari: lamina

kribriformis, sinus etmoid posterior atau sfenoid, nasofaring, palatum mole, fosa pterigomaksila atau temporal, dasar tengkorak. Kategori N untuk karsinoma sinus maksila N0 N1 : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional. : Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter terbesar 3 cm atau

kurang.

N2a

: Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih dari 3 cm

tetapi tidak lebih dari 6 cm. N2b cm. N2c : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan diameter terbesar : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6

tidak lebih dari 6 cm. N3 : Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.

Kategori M untuk karsinoma sinus maksila Mx M0 M1 : Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai. : Tidak ada metastasis jauh. : Ada metastasis jauh.

Penentuan stadium karsinoma sinus maksila Stadium I Stadium II : T1, N0, M0 : T2, N0, M0

Stadium III : T3, N0, M0 atau T1, T2 atau T3, N1, M0 Stadium IV : T4, N0 atau N1, M0 atau semua T, N2 atau N3, M0 atau semua T, semua N, M1

Penatalaksanaan Yang penting dalam penatalaksanaan tumor ialah, pertama menegakkan diagnosis. Kedua menentukan batas-batas tumor. Ketiga merencanakan terapi.

Menegakkan diagnosis dengan biopsi dan pemeriksaan histopatologi, sedangkan untuk menentukan batas tumor dengan pemeriksaan radiologis. Rencana terapi dibuat berdasarkan diagnosis histopatologi dan stadium tumor. Rencana pengobatan dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dan stadium tumor bila tumor ganas. Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Hal ini antara lain karena kasusnya jarang sehingga belum ada yang berpengalaman untuk dapat membuat ketentuan yang dapat diikuti, juga karena standar klasifikasi dan penentuan stadium belum resmi ada. Untuk membuat rencana pengobatan harus dinilai kasus demi kasus karena respon tiap jenis tumor tidak sama terhadap suatu cara pengobatan dan juga harus dilihat sampai dimana perluasan tumornya. Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja hasilnya buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan kemoterapi. Di bagian THT FK-UI/RSCM pengobatan tumor ganas hidung dan sinus paranasal adalah kombinasi operasi dan radiasi, kecuali untuk pasien yang sudah inoperable atau menolak tindakan operasi. Untuk pasien ini diberikan radioterapi sesudah dibuatkan antrostomi. Radioterapi dapat dilakukan sebelum atau sesudah operasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Untuk tumor yang sangat besar, radioterapi dilakukan lebih dulu untuk mengecilkan tumornya dan mengurangi pembuluh darah sehingga operasi akan lebih mudah. Tetapi bila telah dilakukan radiasi dulu, sesudah selesai banyak pasien yang kemudian tidak kembali untuk operasi karena merasa tumornya sudah mengecil atau ada yang tidak mau operasi karena efek samping radioterapi yang berkepanjangan. Sekarang lebih disukai radiasi paska operasi, karena sekaligus dimaksudkan untuk memberantas mikro-metastasis yang terjadi atau bila masih ada sisa tumor yang tidak terangkat pada waktu operasi. Luasnya operasi tergantung pada sampai dimana batas tumornya. Bila tumor di sinus maksila dan infrastruktur dilakukan maksilektomi parsial. Bila tumor sudah memenuhi maksila dilakukan maksilektomi radikal, yaitu mengangkat seluruh isi rongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris dan palatum durum. Bila tumor sudah sampai ke mata dilakukan eksenterasi orbita. Bila sinus

sfenoid terkena dilakukan operasi kranio-fasial dengan bantuan ahli bedah saraf. Bila tumor sudah meluas ke nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap sudah inoperable dan hanya diberikan penyinaran saja. Operasi maksilektomi memerlukan prostesis untuk mengganti kedudukan maksila yang dibuang. Protesis ini dikerjakan oleh dokter gigi dan harus dipersiapkan sebelum operasi dan langsung dipasang pada waktu operasi karena kalau tidak, akan terjadi kontraksi jaringan yang akan sulit diperbaiki kemudian. Pada eksenterasi orbita, juga diperlukan protesis bola mata. Pada kebanyakan operasi tumor hidung dan sinus, sesudah operasi sering diperlukan perbaikan wajah dengan bedah plastik.

Jadi, untuk penanganan tumor ganas hidung dan sinus, diperlukan kerja sama yang baik antar berbagai disiplin ilmu, yaitu ahli bedah THT, ahli radiologi, ahli patologi, ahli bedah mata, ahli bedah saraf, ahli bedah plastik dan dokter gigi.

KEGANASAN PADA TENGGOROKAN I. KARSINOMA NASOFARING

EPIDEMIOLOGI Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500 kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma Nasofaring, sehinggga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang di duga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet Nitrosamin. Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUDPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka yang di dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poloklinik tumor THT RSCM, pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang belum berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini.

Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring. Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah : 1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland . Juga pada Quadid yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina. 2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumahrumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF. 3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis Hidrokarbon dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak tumbuhan- tumbuhan. 4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma nasofaring. 5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.

MANIFESTASI KLINIK Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring. A. Gejala Dini : Gejala telinga : 1. Kataralis/sumbatan tuba eutachius

Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. 2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.

Gambar 3. Tumor nasofaring yang menutupi tuba Eusthachius, yang bertanda panah adalah tumor

Gejala Hidung : 1. Mimisan Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulangulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu. Epistaksis ini juga dapat disebabkan oleh penjalaran tumor ke selaput lendir hidung yang dapat mencederai dinding pembuluh darah daerah ini. 2. Sumbatan hidung Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadangkadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.

Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.

B. Gejala Lanjut : 1. Pembesaran kelenjar limfe leher Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. Kadang pembesaran kelenjar di leher ini salah didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar. 2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan gejala akibat kelumpuhan syaraf otak. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga yang sering ditemukan ialah penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan tampak bola mata juling. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramane jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Hal ini akan menimbulkan rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, bahu, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman.

Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh. 3. Gejala akibat metastasis Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

PATOFISIOLOGI Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah fossa Rosenmulleri dan tempat bermuara tuba eustachius. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu: 1. adanya infeksi EBV, 2. Faktor lingkungan

3. Genetik

1) Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal. 2) Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki

agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen 3) Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

HISTOPATOLOGI Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosit, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosit ini sangat erat, sehingga sering disebut Limfoepitel. Bloom dan Fawcett (1965) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel : 1. Epitel selapis thorax bersilia Simple Columnar Cilated Epithelium 2. Epitel thorax berlapis Stratified Columnar Epithelium 3. Epitel thorax berlapis bersilia Stratified Columnar Ciliated Epithelium 4. Epitel thorax berlapis semu bersilia Pseudo-Stratified Columnar Ciliated Epithelium 60% dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan 80% dari dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan thorax bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan 2 macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma. Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk. 2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas. 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.(7) Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif dan mempinyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus EpsteinBarr.

STADIUM KANKER Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On Cancer (AJCC 2002) T = Tumor primer T0 - Tidak tampak tumor. Tis Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan. T1 - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain- lain). T2 - Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan. T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb). T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak. TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap. N = Nodule N - Pembesaran kelenjar getah bening regional . NX - Pembesaran kelenjar regional tidak dapat dinilai N0 - Tidak ada pembesaran. N1 - Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe berukuran 6 cm atau lebih kecil.

N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6 cm atau lebih kecil. N3 - Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau tumor telah ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio segitiga leher N3A Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm. N3B Tumor ditemukan diluar segitiga leher M = Metastasis M = Metastesis jauh M0 - Tidak ada metastesis jauh. M1 Terdapat Metastesis jauh . Stadium 0 : Tis dengan N0 dan M0

Stadium I : T1 dan N0 dan M0

Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0

Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0

Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0

Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0

Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0

Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

DIAGNOSIS Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor: I. Anamnesis / pemeriksaan fisik Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)

II.

Pemeriksaan nasofaring Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop

III.

Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.

IV.

Pemeriksaan Patologi Anatomi Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu : Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu : Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

V.

Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah: Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

a) Foto polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu: Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks Tomogram Lateral daerah nasofaring Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

b) C.T.Scan Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam

mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapatdinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.

VI.

Pemeriksaan neuro-oftalmologi Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.

VII.

Pemeriksaan serologi. Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

PENATALAKSANAAN 1. Radioterapi(8) Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Definisi Terapi Radiasi : Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.

Persyaratan Terapi Radiasi Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi Tipe tumor yang radiosensitif Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya Dosis yang optimal. Jangka waktu radiasi tepat Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping radiasi. Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar 5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu. Alat yang biasanya dipakai ialah cobalt 60, megavoltageorthovoltage.

Sifat Terapi Radiasi Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah :

Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor

Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor. Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya..

Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya. Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat mengakibatkan defek imun secara general.

Jenis Pemberian Terapi Radiasi Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai : 1. Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi. 2. Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa permanen implan atau intracavitary barchytherapy. 1. Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai : - pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening - pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening - Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi - Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection 3. Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk : - Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi. - Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor - Pengobatan kasus kambuh.

2.

Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.

Definisi Kemoterapi Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.

Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala Leher Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher.

Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk. Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ). Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA

sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M). Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda. Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut : 1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis timidin. 2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA. 3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine, menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis. Cara Pemberian Kemoterapi Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu : 1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi. 2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut. 3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi

4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan limfoma). Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata : kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi : o neoadjuvant atau induction chemotherapy o concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy o post definitive chemotherapy.

3. Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.(5) Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.(1)

4. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

PROSEDUR FOLLOW UP

PROGNOSIS Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula. Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti : Stadium yang lebih lanjut. Usia lebih dari 40 tahun Laki-laki dari pada perempuan Ras Cina dari pada ras kulit putih Adanya pembesaran kelenjar leher Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak Adanya metastasis jauh

Tidak seperti keganasan kepala leher lainnya, KNF mempunyai resiko terjadinya rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal follow up yang dianjurkan sebagai berikut : Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup

PENCEGAHAN

Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.

Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

II.

TUMOR HIPOFARING

EPIDEMIOLOGI Di Belanda tiap tahun terdapat sekitar 100 kasus baru karsinoma hipofaring. Dan 75% kasus terjadi di sinus piriformis dan terutama pada laki-laki diatas 60 tahun. Di Swedia dan Inggris lebih menonjol karsinoma postericoidal dan terutama pada wanita usia pertengahan.2 FAKTOR RESIKO Tumor Hipofaring seringkali ditemukan bersamaan dengan tumor lainnya pada mulut dan tenggorokan dan biasa dikenal dengan kanker kepala dan leher. Tumor-tumor tersebut memiliki beberapa faktor resiko yang sama, yang diantaranya adalah sebagai berikut : a. Tembakau and alkohol

Merokok adalah faktor resiko terpenting untuk kanker kepala dan leher (termasuk kanker pada hipofaring). Penggunaan produk berbahan dasar tembakau akan membuat perubahan pada sel yang terpapar.3 Resiko meningkat pada area dimana terdapat lebih banyak perokok daripada non perokoknya. Kanker tersebut jarang ditemukan pada orang yang tidak pernah merokok.4 Konsumsi alkohol juga meningkatkan resiko terkena kanker. Peminum berat memiliki resiko yang lebih tinggi beberapa kali daripada yang bukan peminum. Orang yang mengkonsumsi keduanya, tembakau dan alkohol memiliki resiko yang paling tinggi. Mengkombinasikan kedua kebiasaan tersebut bukan menambah resiko, tetapi malah melipat gandakannya.4 b. Nutrisi Nutrisi yang kurang dapat meningkatkan resiko untuk mengalami kanker kepala dan leher. Tidak mengkonsumsi cukup makanan yang mengandung vitamin B dan vitamin A retinoids mengambil peranan dalam perkembangan tumor. 4 c. Lemahnya sistem imun Tumor hipofaring kebanyakan ditemukan pada orang-orang yang memiliki sistem imun yang lemah. Sistem imun yang lemah dapat disebabkan oleh beberapa penyakit yang muncul setelah kelahiran, seperti acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), dan beberapa pengobatan (seperti pengobatan yang diberikan setelah transplantasi sumsum tulang dan transplantasi organ).4 d. Paparan di tempat kerja Paparan yang lama dan sering terhadap debu kayu, uap cat, dan beberapa bahan kimia yang digunakan pada pembuatan logam, minyak tanah, plastik, dan industri tekstil juga dapat meningkatkan resiko terkena tumor hipofaring.4 e. Jenis kelamin Tumor pada hipofaring empat kali lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Hal ini karena dua faktor resiko utama, alkohol dan merokok, lebih sering dilakukan oleh pria. Dalam beberapa tahun terakhir, kebiasaan tersebut juga menjadi biasa dikalangan wanita, sehingga resikonya pun menjadi meningkat.4 f. Usia

Tumor pada hipofaring biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun untuk berkembang, sehingga sangat jarang ditemukan pada orang muda. Lebih dari setengah pasien dengan kanker tersebut, usianya lebih dari 65 tahun ketika tumor tersebut pertama kali ditemukan.4 g. Ras Tumor pada hipofaring lebih sering ditemukan diantara ras Afro-Amerika dan kulit putih daripada Asia dan latin.4 MANIFESTASI KLINIS Nyeri di tenggorok waktu menelan yang menyebar ke telinga homolateral, kenaikan produksi lender di tenggorok dan suara serak. Metastasis homogen kadang-kadang terjadi tetapi jarang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan pertama. Penderita ini biasanya berada dalam keadaan umum buruk, akibat intake makanan yang kurang.2 Gejala yang umum yang diperlihatkan untuk pasien kanker hipofaring adalah odinophagia, disfagia, dan otalgia. Disfagia pada pasien ini biasanya progresif dan kesulitan menelan cairan yang padat menunjukkan suatu lesi yang lebih lanjut. Pasien juga mengeluhkan harus berulang kali membersihkan tenggorokan atau sensasi seperti ada benda bulat yang menghalangi. Otalgia persisten unilateral yang pada pemeriksaan otoskopi normal dilanjutkan dengan pemeriksaan endoskopik dari hipofaring tersebut. Dyspnea dan suara serak, ditemukan pada stadium akhir dari penyakit, mungkin disebabkan oleh invasi laring langsung atau keterlibatan yang berulang dari saraf laring tersebut.2 Untuk karsinoma hipofaring paling sering ditemukan di sinus pisiformis. Tumor yang terletak dibelakang krikoid sering mengitari lumen sehingga menimbulkan keluhan disfagia. Pada umumnya tanda utama berupa trias yang terdiri atas nyeri, disfagia, dan penurunan berat badan. Nyeri dapat ditemukan pada lokalisasi tumornya atau sebagai nyeri alih, yakni otalgia ipsilateral. Tumor lanjut menyusup ke laring dan dapat menimbulkan kelumpuhan pita suara yang mengakibatkan suara parau.8 Detil riwayat penyakit, ditinjau dari sistem yang menyeluruh, dan peninjauan kembali dari riwayat merokok dan minum sangat penting dalam memutuskan rencana perawatan yang tepat. Banyak pasien dengan kanker hipofaring akan memiliki komorbiditas paru atau jantung, yang dapat mempengaruhi terapi mereka. Kekurangan gizi yang signifikan juga dapat terjadi karena diet yang tidak memadai atau konsumsi alkohol yang berlebihan.2

Sebelum melakukan pemeriksaan kepala dan leher dengan rinci, banyak informasi dapat diperoleh dari menilai status umum pasien. Adanya suara serak, dispnea ringan, atau adanya tanda dari stridor laring memberikan informasi mengenai keadaan jalan napas. Status gizi yang buruk dapat dilihat dari pakaian longgar, kulit pucat, kehilangan turgor, dan kondisi umum pada kulit dan kuku.2 Pemeriksaan kepala dan leher yang menyeluruh wajib bagi semua pasien. Pemeriksaan rongga mulut meliputi evaluasi gigi, karena banyak pasien membutuhkan perawatan gigi definitif sebelum terapi radiasi. Rongga mulut juga harus diperiksa misalkan adanya leukoplakia atau lesi primer. Evaluasi laring dan hipofaring dan kemudian dapat dilakukan dengan pemeriksaan cermin tidak langsung(indirect mirror examination). Sinus piriformis atas, flip aryepiglottic, dan arytenoids dapat dilihat juga. Puncak sinus pyriform, mungkin tertutup oleh sekresi. Adanya edema dan eritema pada struktur ini menunjukkan keterlibatan tumor.2 DIAGNOSIS Jika telah ditemukan gejala dan tanda yang mengarahkan diagnose ke tumor hipofaring, maka untuk menegakkan diagnosis perlu untuk melengkapi beberapa pemeriksaan berikut :

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap Langkah pertama yang paling penting adalah mengumpulkan semua informasi yang lengkap seperti keluhan, faktor resiko, riwayat keluarga, dan kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan.4 Pemeriksaan fisik bertujuan untuk menemukan tanda yang membuktikan adanya kanker dan penyakit penyerta lainnya. Selain itu juga dapat menentukan apakah sudah terjadi penyebaran atau metastase melalui pemeriksaan kelenjar limfe pada leher.4

Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah tidak begitu membantu untuk mendiagnosa tumor hipofaring. Namun hal ini berguna untuk menilai fungsi hati dan ginjal, selain itu juga dapat menilai kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan.4

Pemeriksaan leher dan kepala Siapapun yang dicurigai memiliki tumor hipofaring, maka perlu untuk melakukan pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada area kepala dan leher. Dalam hal ini, untuk memeriksa laring dan hipofaring diperlukan cermin laring atau fiber-optik laryngoscope.4

Gambar 3. Tumor hipofaring Dikutip dari kepustakaan 9

Gambar 4. Tumor Hipofaring yang disertai obstruksi jalan nafas Dikutip dari kepustakaan 3

Pasien dengan tumor hipofaring memiliki resiko tinggi untuk memiliki tumor lain di region kepala dan leher, sehingga nasofaring, mulut, lidah dan leher harus diperhatikan secara seksama untuk menemukan adanya bukti tumor.4 Panendoscopy

Panendoskopi adalah prosedur yang mengkombinasikan laryngoscopy, esophagoscopy, and bronchoscopy secara bersamaan. Pemeriksaan ini memungkinkan dokter untuk memeriksa keseluruhan area yang meliputi laring dan hipofaring, termasuk esophagus dan trakea. Prosedur ini biasanya dilakukan di ruang operasi dengan pasien dalam kondisi anastesi umum.4 Jika tumor yang ditemukan cukup besar atau tampak seperti menyebar, maka perlu untuk melihat kedalam esophagus dan trakea penitng untuk menentukan ukuran tumornya dan seberapa jauh penyebarannya ke daerah sekitar. Dapat pula dilakukan pengambilan sebagian jaringan tumor (biopsy) untuk pemeriksaan histopatologis.4 Pemeriksaan Radiologis Ketika tumor terdeteksi melaui pemeriksaan, maka pemeriksaan radiologis sangat berguna untuk menentukan ada tidaknya penyebaran tumor. o Computed tomography scan (CT-Scan) Tes ini dapat membantu untuk menetukan ukuran tumor, apakah tumor tumbuh kedalam jaringan terdekat, dan apakah tumor tersebut telah menyebar ke kelenjar limfe di leher.4 o Magnetic resonance imaging Magnetic resonance imaging (MRI) scans berbeda dengan X-ray, dimana MRI menggunakan gelombang radio dan medan magnet yang kuat. Energi dari gelombang radio diserap dan kemudian dilepaskan berdasarkan pola tertentu berdasarkan jaringan dan penyakit tertentu. Komputer kemudian menerjemahkan pola tersebut menjadi gambar bagian tubuh yang sangat detail. Tidak seperti CT-Scan yang hanya mampu melakukan potongan cross-sectional, MRI mampu memproduksi potongan yang parallel dengan panjang tubuh.4 MRI sering kali digunakan untuk memeriksa daerah leher. MRI sangat membantu untuk menghasilkan gambar otak dan spinal cord dengan jelas. MRI kadang lebih membantu ketimbang Ct-scan.4

Gambar 4. Tumor Hipofaring tampak pada T1-weighted MRI Dikutip dari kepustakaan 9 o Barium swallow Adalah rangkaian pemeriksaan x-ray yang diambil ketika pasien meneguk cairan berisi kontras. Barium dapat terlihat pada x-ray sebagai sesuatu yang lemapisi tenggorokan. Hal ini berguna untuk melihat penampilan tenggorokan ketika menelan sesuatu. Hal itu juga dapat menunjukkan bagaimana penampakan hipofaring dan serta fungsinya dalam proses menelan.4 o Positron emission tomography Tes ini berguna untuk melihat kelompok sel tumor yang masih kecil. Juga dapat membantu menentukan apakah tumor tersebut benign atau malignant. Seringkali digunakan untuk melihat apakah sudah ada penyebaran ke kelenjar limfe atau kejaringan lainnya.4 KLASIFIKASI TUMOR Klasifikasi ini didasarkan atas pembagian yang disebutkan dalam tiga lokalisasi (sinus piriformis, daerah post krikoid, dan dinding belakang). Klasifikasi TNM 1992 dari UICC adalah : 1,2,11,12 Tis T1 : Tumor in situ : tumor terbatas pada salah satu bagian dari hipofaring dan ukurannya

kurang dari 2 cm pada sisi terbesarnya T2 : tumor menginvasi lebih dari satu bagian dari satu bagian dari hipofaring atau menginvasi daerah yang berdekatan dengannya, atau berukuran 2 - 4 cm, tanpa terfiksir pada hemilaring. T3 T4a : ukuran tumor melebihi 4 cm, dengan atau tanpa fiksasi dari hemilaring : tumor menginvasi salah satu dari : kartilago tiroid atau krikoid, tulang hyoid, kelenjar tiroid, esophagus, kompartement pusat jaringan lunak. T4b : tumor menginvasi fasia prevertebral, pembungkus arteri karotis, atau menginvasi struktur mediastinum. N0 N1 N2a N2b N2c N3 Mx M0 M1 : tidak ada kelenjar yang mencurigakan yang palpable : satu metastasis ipsilateral < 3 cm : satu metastasis ipsilateral > 3 cm dan < 6 cm : metastasis ipsilateral multiple < 6 cm : metas2tasis bilateral atau kontralateral < 6 cm : Metastasis > 6 cm : metastasis jauh belum dapatg ditentukan : tidak ada metastasis jauh : ada metastasis jauh

Staging Tumor Hipofaring11 Stage 0 Stage I Stage II Stage III Tis T1 T2 T1, T2 T3 Stage IV A T1, T2, T3 T4a Stage IV B T4b Semua T Stage IV C Semua T N0 N0 N0 N1 N0,N1 N2 N0, N1, N2 Semua N N3 Semua N M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1

Penemuan kanker hipofaring berdasarkan lokasi : 2 Lokasi Sinus pysiformis Dinding posterior faring Area post krikoid NO 63 30 4 I 11 5 II 10 15 III 24 8 3 IV 18 2 1

PENGOBATAN Sejak tahun 1980 terapi tumor ganas orofaring dan hipofaring telah berkembang dengan baik. Selain terapi penyinaran juga sudah dimulai terapi bedah dan jika diperlukan dilakukan tindakan rekontruksi.10 Pengobatan pasien dengan kanker hipofaring sangat kompleks dan memerlukan pertimbangan beberapa faktor. Beberapa faktor, termasuk sejauh mana penyakit primer dan status kelenjar getah bening leher serta status generalis pasien, pemeriksaan paru, dan komorbiditas, harus dipertimbangkan. Pengobatan untuk stadium awal (T1 dan T2) dari semua subsites dari hipofaring, terapi radiasi definitif adalah pilihan pengobatan yang utama. Operasi laring juga dapat dipertimbangkan untuk pasien yang mempunyai indikasi untuk dilakukan operasi . Reseksi tumor yang adekuat, bagaimanapun, tidak boleh terganggu oleh prosedur yang mencoba untuk mempertahankan laring. Untuk kanker hipofaring stadium lanjut (T3 dan T4), reseksi pembedahan diikuti dengan terapi radiasi pascaoperasi tetap menjadi pilihan terapi standar. 2 Terapi bedah dilakukan terhadap tumor-tumor pada semua stadium yang belum mempunyai metastasis ke leher atau metastasis jauh. Pada tumor yang telah memberikan metastasis ke leher, sebelum tindakan operasi tumor primer dilakukan tindakan diseksi leher radikal dan dilanjutkan dengan penyinaran. Untuk tumor yang sudah bermetastasis jauh hanya diberikan terapi sitostatika.10

Tumor T1 T2 T3

N0 M0 Operasi + sinar Operasi + sinar Operasi + sinar

N+ M0 RND+operasi+sinar(+sitostatika) RND+operasi+sinar(+sitostatika) RND+operasi+sinar(+sitostatika)

N+ M+ Sinar+sitostatika Sinar+sitostatika Sinar+sitostatika

(+sitostatika) T4 Operasi + sinar (+rekonstruksi) RND+operasi+sinar(+rekontruksi) Sinar+sitostatika

PROGNOSIS Sebagai kelompok, tingkat kelangsungan hidup keseluruhan penderita kanker hipofaring berkisar dari 35% menjadi 40% Kraus dkk. secara retrospektif ditinjau 132 pasien yang menjalani operasi dan terapi pasca operasi untuk kanker hipofaring dan dilaporkan kelangsungan hidup secara keseluruhan dan bebas penyakit 5 tahun 30% dan 41%, masing-masing. Kim dkk. menemukan suatu perbandingan dari 5 tahun kelangsungan hidup penyakit dan bebas dari penyakit tersebut sebanyak 46,8% dan 47,4% masing-masing, dalam tinjauan retrospektif mereka dari 73 pasien dengan kanker hipofaring. Adanya metastasis kelenjar getah bening regional, bagaimanapun, akan memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap angka-angka ini. Kraus et al. melaporkan bahwa kelangsungan hidup pasien selama 5 tahun adalah 54% pada pasien dengan N1 N0 atau penyakit, tetapi menurun menjadi 20% pada pasien dengan penyakit N2 atau N3.2 KOMPLIKASI Secara umum, komplikasi yang terkait dengan operasi besar di bagian lain dari kanker kepala dan leher juga berlaku untuk pasca operasi laryngopharyngectomy. Kebanyakan

komplikasi awal reseksi tumor hipofaring adalah hasil dari kebocoran di lokasi penutupan faring. Status gizi preoperatif pasien, riwayat terapi radiasi sebelumnya, serta jenis pilihan rekonstruksi semua dapat mempengaruhi perkembangan fistula faring. Faktor lain seperti penutupan yang ketat yang disebabkan oleh mukosa yang tersedia tidak memadai atau adanya tumor di margin reseksi juga akan mengarah pada pengembangan fistula faring. Infeksi, perdarahan, serta tidak terhentinya luka kulit juga umum pada pasien ini berisiko tinggi.2 Obstruksi airway biasanya menjadi perhatian di awal periode pasca operasi pasien yang trakeostomi. Perawatan yang baik dan suction yang rajin di tabung trakeostomi dapat mencegah masalah ini. Komplikasi berikutnya yang dapat terjadi setelah operasi kanker hipofaring adalah aspirasi, yang jika parah, dapat menyebabkan pneumonia. Rehabilitasi menelan di bawah

pengawasan fisioterapi adalah wajib bagi pasien. Kesulitan menelan juga dapat disebabkan dari

stenosis setelah rekonstruksi circumferential dan mungkin memerlukan pelebaran ulang pada saat rawat jalan.2

III.

TUMOR LARING

EPIDEMIOLOGI (1) Kekerapan tumor ganas laring di beberapa tempat di dunia ini berbeda-beda. Di Amerika Serikat pada tahun 1973 1976 dilaporkan 8,5 kasus karsinoma laring per 100.000 penduduk laki-laki dan 1.3 kasus karsinoma laring per 100.000 penduduk perempuan. Pada akhir-akhir ini tercatat insiden tumor ganas laring pada wanita meningkat. Ini dihubungkan dengan meningkatnya jumlah wanita yang merokok. Di RSUP H. Adam Malik Medan, Februari 1995 Juni 2003 dijumpai 97 kasus karsinoma laring dengan perbandingan laki dan perempuan 8 : 1. Usia penderita berkisar antara 30 sampai 79 tahun. Dari Februari 1995 Februari 2000, 28 orang diantaranya telah dilakukan operasi laringektomi total. ETIOLOGI (1) Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa hal yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok, alkohol, sinar radio aktif, polusi udara, radiasi leher dan asbestosis. Ada peningkatan resiko terjadinya tumor ganas laring pada pekerja-pekerja yang terpapar dengan debu kayu. HISTOPATOLOGI (1) Karsinoma sel skuamosa meliputi 95 98% dari semua tumor ganas laring, dengan derajat difrensiasi yang berbeda-beda. Jenis lain yang jarang kita jumpai adalah karsinoma anaplastik, pseudosarkoma, adenokarsinoma dan sarkoma. Karsinoma Verukosa. Adalah satu tumor yang secara histologis kelihatannya jinak, akan tetapi klinis ganas. Insidennya 1 2% dari seluruh tumor ganas laring, lebih banyak mengenai pria dari wanita dengan perbandingan 3 : 1. Tumor tumbuh lambat tetapi dapat membesar sehingga dapat menimbulkan kerusakan lokal yang luas. Tidak terjadi metastase regional atau jauh. Pengobatannya dengan operasi, radioterapi tidak efektif dan merupakan kontraindikasi. Prognosanya sangat baik. Adenokarsinoma. Angka insidennya 1% dari seluruh tumor ganas laring. Sering dari kelenjar mukus supraglotis dan subglotis dan tidak pernah dari glottis. Sering bermetastase ke

paru-paru dan hepar. two years survival rate-nya sangat rendah. Terapi yang dianjurkan adalah reseksi radikal dengan diseksi kelenjar limfe regional dan radiasi pasca operasi.12 Kondrosarkoma. Adalah tumor ganas yang berasal dari tulang rawan krikoid 70%, tiroid 20% dan aritenoid 10%. Sering pada laki-laki 40-60 tahun. Terapi yang dianjurkan adalah laringektomi total. KLASIFIKASI (1) Berdasarkan Union International Centre le Cancer (UICC) 1982, klasifikasi dan stadium tumor ganas laring terbagi atas : 1. Supraglotis (30-35%) 2. Glotis (60-65%) 3. Subglotis (1%) Yang termasuk supraglotis adalah : permukaan posterior epiglotis yang terletak di sekitar os hioid, lipatan ariepiglotik, aritenoid, epiglotis yang terletak di bawah os hioid, pita suara palsu, ventrikel. Yang termasuk glottis adalah : pita suara asli, komisura anterior dan komisura posterior. Yang termasuk subglotis adalah : dinding subglotis. Klasifikasi dan stadium tumor berdasarkan UICC : 1. Tumor primer (T) Supra glottis : T is: tumor insitu T 0 : tidak jelas adanya tumor primer l T 1 : tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal T 1a : tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika ariepiglotika, ventrikel atau pita suara palsu satu sisi. T 1b : tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau pita suara palsu T 2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi T 3 : tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke daerah krikoid bagian belakang, dinding medial dari sinus piriformis, dan arah rongga preepiglotis. T 4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring. Menginfiltrasi orofaring jaringan lunak pada leher atau sudah merusak tulang rawan tiroid.

Glotis : T is : tumor insitu T 0 : tak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan posterior) dengan pergerakan normal T 1a : tumor terbatas pada satu pita suara asli T 1b : tumor mengenai kedua pita suara T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis maupun subglotis dengan pergerakan pita suara normal atau terganggu. T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau ke dua pita suara T 4 : tumor dengan perluasan ke luar laring Sub glotis : T is : tumor insitu T 0 : tak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas pada subglotis T 1a : tumor terbatas pada satu sisi T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita suara asli dengan pergerakan normal atau terganggu T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara T 4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan/atau meluas keluar laring. 2. Pembesaran kelenjar getah bening leher (N) Nx : kelenjar limfe tidak teraba N0 : secara klinis kelenjar tidak teraba N1 : secara klinis teraba satu kelenjar limfa dengan ukuran diameter 3cm homolateral N2 : Teraba kelenjar limfa tunggal, ipsilateral dengan ukuran diameter 3-6cm N2a N2b N2c : satu kelenjar limfa ipsilateral, diameter lebih dari 3cm tapi tidak lebih dari 6cm : multipel kelenjar limfa ipsilateral, diameter tidak lebih dari 6cm : metastasisbilateral atau kontralateral, diameter tidak lebih dari 6cm

N3 : metastasis kelenjar limfa lebih dari 6 cm 3. Metastasis jauh (M)

Mx M0 M1 4. Stadium STADIUM Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3

: tidak terdapat/terdeteksi : tidak ada metastasis jauh : terdapat metastasis jauh

TUMOR PRIMER T1 T2 T3 T1/T2/T3

KEL.LIMFA N0 N0 N0 N1 N0/N1 N2/N3 N1/N2/N3

METASTASIS N0 N0 M0 M0 M0

Stadium 4

T4 T1/T2/T3/T4 T1/T2//T3/T4

M1

GEJALA DAN TANDA (1)(4) Gejala dan tanda yang sering dijumpai adalah : Suara serak Gejala utama karsinoma laring. Merupakan gejala paling dini tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena ganguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya celah glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita suara, kecepatan getaran, dan ketegangan pita suara. Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligamen krikoaritenoid, dan kadang-kadang menyerang saraf. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi kasar, menganggu,

sumbang, dan nadanya lebih rendah dari biasanya. Kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan nafas, atau paralisis komplit. Hubungan antara suara serak dengan tumor laring tergantung dari letak tumornya. Apabila tumbuh di pita suara asli, maka serak merupakan gejala dini dan menetap. Pada tumor subglotik dan supraglotik, serak dapat merupakan gejala akhir atau tidak muncul sama sekali. Sesak nafas dan stridor

Terjadi karena adanya sumbatan jalan nafas oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau sekret, maupun fiksasi pita suara. Adanya stridor dan dispnea adalah tanda prognosis kurang baik. Rasa nyeri di tenggorok Keluhan bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang tajam. Disfagia Merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring, hipofaring, dan sinus piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada tumor ganas postkrikoid. Adanya odinofagi menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring. Batuk dan haemoptisis Batuk jarang pada tumor ganas glotik, biasanya timbul dengan tertekannya hipofaring disertai sekret yang mengalir ke dalam laring. Sedangkan haemoptisis sering pada tumor ganas glotik dan supraglotik. Pembengkakan pada leher Biasanya dipertimbangkan sebagai metastasis tumor ganas yang menu jukan tumor pada stadium lanjut. Nyeri alih telinga ipsilateral, halitosis, penurunan berat badan Perluasan tumor ke luar laring atau metastasis jauh. Nyeri tekan laring Gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang menyerang kartilago tiroid dan perikondrium DIAGNOSIS (1)(10) Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan THT rutin 3. lanringoskopi indirek dengan kaca laring 4. Laringoskopi direk dengan menggunakan laringoskop 5. Radiologi foto polos leher dan dada 6. Pemeriksaan radiologi khusus : politomografi, CT-Scan, MRI 7. Pemeriksaan hispatologi dari biopsi laring sebagai diagnosa pasti

DIAGNOSA BANDING 1. TBC laring 2. Sifilis laring 3. Tumor jinak laring. 4. Penyakit kronis laring PENGOBATAN (1)(10)(11) Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan, radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi. I. PEMBEDAHAN Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari : A. LARINGEKTOMI 1. Laringektomi parsial Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II. 2. Laringektomi total Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas (epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.

B. DISEKSI LEHER RADIKAL Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 T2) karena kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor supraglotis, subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali mengadakan metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher. Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.

II. RADIOTERAPI Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara ini adalah laring tidak

cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total 6000 7000 rad. Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som, Wang, dkk, untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan pada jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan 45005000 rad selama 46 minggu diikuti dengan laringektomi total.

III. KEMOTERAPI Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun paliativ. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80120 mg/m2 dan 5 FU 8001000 mg/m2.

IV. REHABILITASI Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik. rehabilitasi mencakup : Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social Rehabilitation. Laringektomi yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring menyebabkan cacat pada pasien. Dengan dilakukannya pengangkatan laring beserta pita suara yang berada di dalamnya, maka pasien menjadi afonia dan bernafas melalui stoma permanen di leher. Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan pertolongan alat bantu suara, yakni semacam vibrator yang ditempelkan di daerah submandibula, ataupun dengan suara yang dihasilkan dari esofagus melalui proses belajar. Banyak faktor yang mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara ini. Tetapi faktor fisik dan psiko-sosial merupakan 2 faktor utama. Mungkin dengan adanya wadah perkumpulan guna menghimpun pasien-pasien tuna laring guna menyokong aspek psikis dalam lingkup yang luas dari pasien, baik sebelum maupun sesudah operasi. (5)

PROGNOSIS Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma laring stadium I 90 98% stadium II 75 85%, stadium III 60 70% dan stadium IV 40 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year survival rate sebesar 50%.

IV. TUMOR TONSIL


a. Epidemiologi Keganasan tonsil merupakan keganasan di Amerika Serikat dengan angka lebih dari 0,5% dari semua jenis keganasan setiap tahunnya. Lebih dari 8000 karsinoma orofaringeal didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya.Sebuah badan patologi di Amerika mempunyai data dari tahun 1945 1976 ada sekitar 70% lebih dari keganasan di wilayah ini adalah karsinoma sel skuamosa.Karsinoma sel skuamosa menyerang 3 4 kali lebih sering pada laki laki dibandingkan wanita dan sebagian besar berkembang dalam dekade kelima kehidupan. Limfoma tonsil adalah keganasan yang paling sering terjadi nomer dua.2

b. Etiologi Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru baru ini ada indikasi bahwa etiologi virus juga harus dipertimbangkan. Meskipun virus Epstein Barr( EBV ) merupakan pertimbangan utama pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah terbukti sebagai ancaman. Beberapa studi telah mengidentifikasi indikasi kehadiran HPV pada sekitar 60% dari karsinoma tonsil. Bila tonsil termasuk dalam studi wilayah orofaring, maka faktor risiko meliputi : Diet rendah buah dan sayuran Infeksi HPV Merokok Alkohol2 HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel sel basal epitel dan dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring.Meskipun lebih dari 100 strain yang telah diisolasi, HPV tipe 16 dan 18 paling sering dikaitkan dengan kanker. Kode genom virus untuk oncoproteins E6 dan E7, yang telah meningkatkan aktivitas di strain yang bersifat onkogenik.Oncoprotein E6 menyebabkan degradasi suppressor p53. Oncoprotein E7 merupakan tumor

tumor suppressor retinoblastoma ( Rb ).

Hilangnya pRB menyebakan akumulasi p16, yang biasanya akan menghambat

perkembangan siklus sel melalui siklin D1 dan CDK4 / CDK6. Karena akumulasi ini, p16 dapat digunakan sebagai penanda aktivitas HPV.6

c.

Patofisiologi Karsinoma sel skuamosa tonsil mungkin terbatas pada fosa tonsil, tetapi perluasan

pada ke struktur yang berdekatan sering terjadi.Karsinoma umumnya menyebar sepanjang sulkus glosotonsilar melibatkan dasar lidah.Selain itu, penyebaran sering melibatkan palatum mole atau nasofaring.Fosa tonsil dibatasi oleh otot superior konstriktor yang mungkin berisi penyebaran karsinoma. Namun ketika otot konstriktor dilampaui, ini menjadi keuntungan tumor untuk mengakses ke ruang parafaring.Ini melibatkan otot otot pterigoid atau

mandibular.Penyebaran ke arah superior dari ruang parafaring bisa melibatkan dasar tengkorak dan penyebaran ke arah inferior bisa melibatkan leher bagian lateral.Akhirnya keterlibatan yang luas dalam ruang parafaring mungkin melibatkan arteri karotis. Metastase ke daerah limfatik sering terjadi.Metastase ke leher sebanyak kurang lebih 65%.Karsinoma sel skuamosa tonsil juga dapat bermetastase ke kelenjar getah beningretrofaring.Metastase jauh dari karsinoma sel skuamosa tonsil terjadi sekitar 15 30%. Lokasi yang paling umum adalah paru paru, diikuti oleh hati dan kemudian tulang.7

b. Tumor Tonsil Ganas 1) Karsinoma Sel Skuamosa Tonsil Karsinoma sel skuamosa tonsil menunjukkan pembesaran dan ulserasi dari tonsil, tapi bisa juga tidak selalu disertai dengan ulserasi. Tampilannya hampir sama dengan limfoma dan hanya dapat dibedakan dengan pemeriksaan histologis. Sekitar 90% kanker tonsil adalah karsinoma sel skuamosa. Tumor ini relatif sering terjadi terutama pada usia 50 dan 70. Perbandingan laki laki dan perempuan adalah 3 4 : 1 dan sering dikaitkan dengan perokok dan peminum alcohol. 60% pasien datang dengan metastase ke serviks bilateral sebanyak 15%, sedangkan metastase jauh ditemukan sekitar 7%.2

Gambar 11.Karsinoma Sel Skuamosa

a) Etiologi Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru baru ini ada indikasi bahwa etiologi virus juga harus dipertimbangkan. Meskipun virus Epstein Barr( EBV ) merupakan pertimbangan utama pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah terbukti sebagai ancaman.2 HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel sel basal epitel dan dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring.9

b) Gambaran histologis Karsinoma sel skuamosa tonsil palatina adalah sel dengan diferensiasi buruk. Varian berikut meskipun pada dasarnya adalah karsinoma sel skuamosa, di daerah ini telah dijelaskan yaitu carcinomabasosquamos Nonkeratinizing carcinoma ( sel

transisional atau tipe sinonasal ), dan yang lainnya yaitu undifferentiated atau lymphoepithelioma type.

c) Manifestasi klinis Pasien dengan karsinoma tonsil mungkin tampak dengan massa pada leher. Hal ini karena karsinoma muncul jauh di dalam kriptus.Sebuah karsinoma sel skuamosa mungkin berasal dari 1 atau lebih lokasi dari tonsil itu sendiri.Selain itu tonsil juga dapat membesar dan menonjol ke dalam rongga mulut yang menjadikan tanda pada penderita. Tonsil kaya akan kelenjar limfoid berlimpah yang membantu akses neoplasma dan bermetastase ke kelenjar leher. Semua faktor itu menjelaskan mengapa pasien datang dengan massa leher. Pembesaran kelenjar getah bening dengan tumor primer yang tersembunyi harus segera diperiksa lebih lanjut pada tonsilnya. Karsinoma sel skuamosa primer tersembunyi yang bermanifestasi sebagai limfadenopati leher adalah masalah umum yang dihadapi oleh ahli THT. Sakit tenggorokan, sakit telinga, sensasi benda asing di tenggorokan dan perdarahan semuanya mungkin terjadi. trismus adalah sebuah tanda yang mengindikasikan keterlibatan parafaring. Jika massa leher tidak jelas pada pemeriksaan biasa, palpasi mungkin diarahkan ke bagian belakang yang dapat menunjukkan adanya limfadenopati servikal. Jika tumor telah melibatkan dasar lidah, kelenjar kontra lateral mungkin sudah terlibat. Tumor tonsil primer dapat tumbuh sepenuhnya di bawah permukaan. Oleh karena itu, dokter harus dapat melihat apapun yang mencurigakan atau mungkin hanya melihat sedikit peningkatan ukuran tonsil . Tanda dan gejala berupa penurunan berat badan dan kelelahan bukan merupakan hal yang umum pada tumor ini.2 d) Pemeriksaan penunjang a. Laboratorium Tes fungsi hati, diperlukan pengetahuan tentang fungsi hati karena untuk mengetahui riwayat diet pasien dan penyalahgunaan etanol yang sering menyebabkan fungsi hati. Selain itu untuk mengetahui metabolisme hepar terhadap pemakaian agen kemoterapi atau obat lain sebelumnya dan terakhir metastase ke hati yang selalu mungkin terjadi.

Tes fungsi paru diperlukan pada setiap bedah kepala dan leher yang dapat membawa risiko tambahan komplikasi pernapasan perioperative dan pasca operatif. Tes fungsi ginjal ketika akan memulai kemoterapi, tes fungsi ginjal diperlukan untuk memastikan apakah pasien dapat menghilangkan agen yang ditangani oleh ginjal. Pembekuan dan koagulasi ( termasuk jumlah trombosit dan lain lain ). Kepala dan leher adalah salah satu daerah yang paling kaya akan vaskularisasi dalam tubuh manusia. Perdarahan adalah salah satu masalah besar dalam operasi tonsil

b. Radiologi CT scan leher dengan atau tanpa kontras diperlukan untuk mengevaluasi metastasis dan untuk menilai sejauh mana perkembangan tumor.Hal ini penting dalam staging tumor tonsil. MRI juga sangat berguna untuk menilai ukuran tumor dan invasi jaringan lunak. CT scan dada adalah yang paling sensitive untuk mengungkapkan metastasi ke paru paru dan karenanya harus menjadi modalitas pilihan, setidaknya pada pasien berisiko tinggi ( stadium 4, T4, N2 atau N3 ataupun tumor yang timbul dari orofaring, laring, hipofaring, atau supraglotis.12

e) Prosedur diagnostik Biopsi adalahsatu satunya alat untuk mendiagnosis keganasan tonsil berupa limfoma, karena itu hali patologi dan timnya harus segera siap untuk menangani jaringan dengan tapat. Beberapa jaringan segar mungkin diperlukan untuk studi, yang tergantung waktu dan memerlukan penanganan segera. Beberapa jaringan harus dibekukan dalam nitrogen cair. Pertimbangan lain yang sangat penting adalah kenyataan bahwa karsinoma sel skuamosa biasanya timbul jauh di dalam kripta. Hal ini memerlukan ahli bedah untuk mengambil biopsy yang mendalam sehingga neoplasma tidak meleset.Mengingat kecenderungan lesi ini bisa menimbulkan

perdarahan yang merupakan prosedur yang rumit maka ahli bedah harus siap untuk yang hal yang tak terduga. Panendoskopi, endoskopi operatif memungkinkan ahli bedah untuk menilai sepenuhnya tentang tumor.Hal ini sangat membantu ketika memilih antara pendekatan bedah terbuka dan endoskopi.Bronkoskopi dan esofagoskopi digunakan untuk menilai tumor primer yang mungkin hadir pada saat diagnosis. Tes HPV merupakan rekomendasi National Comprehensive Cancer Network ( NCCN ) sebagai faktor prognosis. Quantitative reverse transcriptase pcr ( QRT PCR ) memungkinkan perhitungan jumlah relatif dari mRNA yang ada pada sampel. HPV 16 ini paling sering digunakan untuk memeriksa karsinoma orofaring.Hal ini bersifar sensitif dan spesifik. P-16 dapat diuji sebagai biomarker untuk aktivitas HPV E7.2

f) Staging Klasifikasi tumor ganas leher dan kepala pertama kali disampaikan oleh pierre denoy dari prancis tahun 1953, terdapat kesepakatan pertama kalinya pada Internatinal Congress of Radiology tetang perluasan tumor, dalam sistim TNM dan disetujui sebagai sistim dari Union International Centre le Cancer (UICC). Sehingga pada tahun 1954, terbentuklah TNM Commite untuk pertama kalinya. Disamping itu di Amerika sendiri diterima suatu sistim TNM lain yang disebut The AmaricanJoint Committee On Cancer (AJCC) yang dikeluarkan pertama kali tahun 1959. Sistem TNM ini digunakan untuk menentukan stadium tumor ganas sebelum dilakukan terapi. Sistim TNM ini ditujukan untuk mengetahui perluasan tumor secara anatomi dengan pengertian : T N : Perluasan untuk tumor primer : Status terdapatnya kelenjar limfe regional

M : Ada atau tidak adanya metastasis jauh Klasifikasi UICC dan AJCC ini pada umumnya bersifat sama untuk seluruh keganasan, kecuali untuk tumor ganas kelenjar liur dan tiroid. Klasifikasi stadium terdapat sedikit kelemahan bagi tumor ganas asalnya, misalnya perluasan tumor ganas

dari rongga mulut ke orofaring atau sebaliknya, juga tumor ganas laring yang meluas ke hipofaring atau sebaliknya.1

Tabel 4. Klasifikasi klinis TNM (1992) T (tumor primer) Tx To Tis T1,T2,T3,T4 N (kelenjar limfa regional) Nx No N1,N2,N3 M (metastasi jauh) Mx Mo M1 Tidak ditemukan metastasis jauh Tidak ada metastasis jauh Terdapat metastasis jauh Tidak menemukan kelenjar limfe regional Tidak ada metastasis kelenjar lemfe regional Besarnya kelenjarlimfe regional Tumor primer tidak dapat ditemukan Tidak ada tumor primer Karsinoma in situ Besarnya tumor primer

Tabel 5. Klasifikasi kelenjar limfe regional (UICC) Nx No N1 N2 Kelenjar limfe regional tidak ditemukan Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran < 3 cm Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukran >3cm - < 6cm, multipel, pada satu sisi dan tidak >6cm atau bilateral /kontralateral juga tidak lebih dari 6cm. N2a N2b N2c N3 Metastasis pada satu sisi, tunggal, >3cm - <6cm Metastasis pada satu sisi, multipel tidak lebih dari 6 cm Metastasis bilateral/kontralateral, tidak lebih dari 6cm Metastasis ukuran lebih dari 6cm

Tabel 6.Stadium tumor ganas leher dan kepala (UICC & AJCC) kecuali tumor kelenjar liur dan tiroid. Stadium I Stadium II Stadium III T1 N0 M0 T2 N0 M0 T3 N0 M0 T1 atau T2 atau T3 N1 M0 Stadium IV T4 N0 atau N1 M0 Tiap T N2 atau N3 M0 Tiap T tiap N M1

2) Limfoma Tonsil Limfoma sulit dibedakan dengan undifferentiated karsinoma dan limfoma marker diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Studi tersebut memerlukan sejumlah besar jaringan yang dikirim dalam keadaan segar ( dalamnormal saline, bukan dalam larutan formaldehida ) kepada ahli patologi. Ini merupakan alasan mengapa setelah tonsilektomi lebih baik di periksa jaringannya. Limfoma merupakan jenis yang paling umum kedua pada keganasan tonsil. Limfoma tonsil biasanya ditandai dengan massa submukosa dan pembesaran asimetris pada salah satu tonsil. Bila terdapat limfadenopati , maka pembesaran kelenjar getah bening diamati pada sisi yang sama.

a) Definisi Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan proliferasi atau akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan prasel dan derivatnya).

b) Epidemiologi Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker yang ada.Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini

merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit. Limfoma hodgkin sering pada Usia 20-40 tahun dan sesudah 50 tahun sedangkan limfoma nonhodgin sering pada usia tua dengan puncak di atas 60 tahun.

c) Etiologi Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif.Penyebabnya tidak diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma Burkitt.Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV.

d) Klasifikasi Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe yang terlibat.Kategori tersebut adalah limfoma Hodgkin dan nonHodgkin.

e) Gejala Klinis (1) Pembengkakan kelenjar getah bening Pada limfoma Hodgkin, 80% terdapat pada kelenjar getah bening leher, kelenjar ini multiple, tidak nyeri dan bebas. Pada limfoma non-Hodgkin, dapat tumbuh pada kelompok kelenjar getah bening lain misalnya pada traktus digestivus atau pada organ-organ parenkim. (2)Demam (3)Gatal-gatal (4) Keringat malam (5) Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui penyebabnya. (6) Nafsu makan menurun. (7) Daya kerja menurun (8) Terkadang disertai sesak nafas (9) Nyeri setelah mendapat intake alkohol (15-20%)

(10)

Pola

perluasan

limfoma

Hodgkin

sistematis

secara

sentripetal dan relatif lebih lambat, sedangkan pola perluasan pada limfoma non-Hodgkin tidak sistematis dan relatif lebih cepat bermetastasis ke tempat yang jauh.

f) Diagnosis Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikuler, aksila dan inguinal.Mungkin lien dan hati teraba membesar.Pemeriksaan

laboratorium.Pemeriksaan darah yaitu hemogram dan trombosit. LED sering meninggi dan kemungkinan ada kaitannya dengan prognosis.Keterlibatan hati dapat diketahui dari meningkatnya alkali fosfatase, SGOT, dan SGPT.

Gambar 12. Sel Reed Sternberg

Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH/ FNAB), Ciri khas sitologi biopsi aspirasi limfoma Hodgkin yaitu populasi limfosit, pleomorfik dan adanya sel ReedSternberg.Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan adanya sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan sebagai parameter sitologi Limfoma Hodgkin.

Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-Hodgkin adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin folikel dan difus.Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis definitif. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi. Histopatologi biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtipe histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas limfoma Hodgkin ataupun limfoma non-Hodgkin.

(1) Limfoma Hodgkin (a) Limfositik, berdifrensiasi baik (b) Limfositik, berdiferensiasi buruk (c) Sternberg Reed cell (d) Limfositik histiositik (e) Mixed cell (2) Limfoma Non Hodgkin (a) Limfositik predominan (b) Mixed cell (c) Limphositic deplecion (d) Nodular sklerotik

g. Stadium I Bila tumor terdapat pada satu kelompok KGBatau pada organ ekstrlimfatik selama masih soliter

II

Bila tumor didapat pada 2/> kelompok KGB pada pihak yang sama dari pihak diagfragma/ bila terdapat pada 1 / lebih kelompok KGB disertai tumor soliter ekstralimfatik, namun masih dalam suatu pihak diagfragma

III

Bila terkena KGB pada 2 pihak diagfragma, dan apabila ada organ ekstraimfatik terkena, masih soliter

IV

Bila penyakit ditemukan difuse pada 1 organ atau > dengan/tanpa terserangnya KGB

h. Radiologi 1) 2) 3) 4) Foto thoraks Limfangiografi USG CT scan

i. Terapi Akhir-akhir ini angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Peranan pembedahan pada penatalaksanaan limfoma maligna terutama hanya untuk diagnosis biopsi dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi.10, 11

1) Radiasi a) Untuk stadium I dan II secara mantel radikal b) Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi c) Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation d) Untuk stadium IV secara total body irradiation

2) Kemoterapi untuk stadium III dan IV

Untuk stadium I dan II dapat pula diberi kemoterapi pre radiasi atau pasca radiasi.Kemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi.

COP (Untuk limfoma non Hodgkin) C :Cyclophosphamide 800 mg/m2 hari I O : Oncovin 1,4 mg/m2 IV hari I P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d VII lalu tappering off

MOPP (untuk Limfoma Hodgkin) M :Nitrogen Mustrad 6 mg/m2 hari 1 dan 8 O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari I dan VIII P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d XIV P : Procarbazin 100 mg/m2 hari I s/d XIV.10,11

1. Bagaimana penatalaksanaannya?

Karsinoma biasanya mengenai daerah tonsil.Daerah ini meluas dari trigonum retromolar termasuk arkus tonsila posterior dan anterior demikian juga dengan fosa tonsilanya sendiri.Tumor yang meluas ke daerah inferior ke dasar lidah dan ke superior pada palatum mole. Jika tumor kecil ( T1, T2, N0 ) mungkin diatasi dengan penyinaran, sedangkan tumor yang besar ( T3 T4 ) memerlukan reseksi pembedahan, seringkali disertai terapi radiasi sebelum dan pasca operasi. Lesi lesi yang kecil dengan metastasis yang dapat dipalpasi biasanya diatasi dengan reseksi pembedahan dan penutupan primer.Reseksi ini dianggap sebagai tindakan gabungan. Flap lidah lateral, dahi, otot kulit, atau servikal dapat menutup cacat yang besar.

Gambar 13. Lokasi radioterapi

Karsinoma tonsil seringkali bermetastasis ke segitiga digastrik atau kelenjar getah bening jugular bagian atas yang dikenal sebagai kelenjar getah bening tonsil. Karena metastasis dini dari lesi yang berukuran sedang, pembedahan leher biasanya termasuk dalam tindakan bedah.5

Tabel 4. Penatalaksanaan

DAFTAR PUSTAKA KEGANASAN PADA TONSIL


1. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher edisi 6.2007. FKUI 2. http://emedicine.medscape.com/article/848034-overviewdiunduh tanggal 27 januari 2012 pkl.22.08 wib 3. http://www.mayoclinic.org/tonsil-cancer/diunduh tanggal 27 Maret 2012 pkl.22.08 wib 4. http://www.wikipedia.org/tonsil/ diunduh tanggal 27 Maret 2012 pkl.22.08 wib 5. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta 1997 6. Kreimer AR, Clifford GM, Boyle P, Franceschi S. Human papillomavirus types in head and neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic review. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. Feb 2005;14(2):467-75 7. Chung TS, Stefani S. Distant metastases of carcinoma of tonsillar region: a study of 475 patients. J Surg Oncol. 1980;14(1):5-9 8. http://www.ghorayeb.com/TonsillarMassesBenign.htmldiunduh tanggal 29 januari 2012 pkl. 21.39 9. Kreimer AR, Clifford GM, Boyle P, Franceschi S. Human papillomavirus types in head and neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic review. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. Feb 2005;14(2):467-75 10. Staf pengajar FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 2002. Jakarta : BINARUPA AKSARA 11. De jong, Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. 2002. Jakarta: EGC 12. Loh KS, Brown DH, Baker JT, Gilbert RW, Gullane PJ, Irish JC. A rational approach to pulmonary screening in newly diagnosed head and neck cancer. Head Neck. Nov 2005;27(11):990-4. 13. Moore EJ, Henstrom DK, Olsen KD, Kasperbauer JL, McGree ME. Transoral resection of tonsillar squamous cell carcinoma. Laryngoscope. Mar 2009;119(3):508-15

DAFTAR PUSTAKA KARSINOMA NASOFARING


1. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 1998.h. 120. 2. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13th Ed. Jilid 1. Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.h. 391-6. 3. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill Livingstone, 1989. h. 495-507. 4. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1989.

5. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar (ed).Tumor telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,1989.h. 71- 84. 6. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed. Philadelphia : Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36. 7. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25. 8. Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20 9. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga. Jakarta : FK UI, 1997. h. 149-53. 10. Davidson. Neck Masses : Differential Diagnosis and Evaluation. San Diego : University of California. Available at : http://drdavidson.ucsd.edu/Portals/0/CMO/CMO_05.htm. Accessed July 31, 2009.

DAFTAR PUSTAKA TUMOR HIPOFARING

1. Gede s. Onkologi klinik. Surabaya : Airlangga University. 2000 2. Baylei. Hipopharigeal cancer : Head and Neck Surgery. London : Singular Thomson Learning. 2006 3. Oral cancer. [internet] 2010 cited 2011 june 13]. Available from :

http://www.tobaccofacts.info/oral_cancer.htm 4. Laryngeal and hipofaring cancer. [Internet]. 2010 [cited 2011 june 13]. Available from : http://www.cancer.orgacsgroupsciddocuments/003108-pdf.html

5. Faiz O. At a glance anatomi . Jakarta : Balai penerbit erlangga. 2002 6. Hypopharynx. [internet]. 2006 July 31 [cited 2011 june 13]. Available from : http://www.advancedonc.com/hypopharnyx.htm 7. Adams G.L, Boies L.R, Higler P.A. BOIES:Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:EGC. 1997. 8. Sjamsuhidajat R., Jong W.M,. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2005 9. Kimura et all. Basaloid Squamous Carcinoma of the Hypopharynx. Arch Pathol Lab Med, 2005 April. Vol 129 : e94-3 10. Soepardi EA, dkk. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 11. Wiley. TNM Classification of Malignant Tumours. Sixth Edition. New York : A John Wiley & Sons. 2002 12. Rosen ST. Head and Neck Cancer. New York : Kluwer Academic Publisher. 2004

DAFTAR PUSTAKA

1. Hermani B. Abdurrahman H. Tumor laring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007. h. 194-198. 2. Roezin A. Sistem Aliran Limfa Leher. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007. h. 174-177. 3. Cohen James I. Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. h. 369-376. 4. Weisman Robert A. Moe Kris S. Orloff Lisa A. Neoplasms Of The Larynx & Laryngopharynx. Ballengers Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi-16. Spain. BC Decker inc. 2003. h. 1255-1292. 5. Charous Steven J. Early Stage Head & Neck Cancer Surgery. Head and Neck Cancer. United States of America. Kluwer Academic Publishers. 2004. h. 85-114.

6. Diunduh dari http://nursingbegin.com/anatomi-fisiologi-saluran-pernafasan. Pada tanggal 22 November 2010. 7. Diunduh dari http://drsyahidamd.blogspot.com/2010/09/tumor-laring-anatomi-laring-

laring.html. Pada tanggal 22 November 2010. 8. Diunduh dari http://www.gbmc.org/home_voicecenter.cfm?id=1552 . Pada tanggal 22 November 2010. 9. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/34308617/anatomi-Fisiologi-Faring-Laring-

Esofagus. Pada tanggal 22 November 2010. 10. Robin P E. Olofsson Jan. Tumourof The Larynx. Scott-Browns Otolaryngology. Edisi-5. Britain. Penerbit Butterworths. 1987. h. 186-230. 11. Adams George L. Tumor-tumor Ganas Kepala dan Leher. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. h. 446-447.

Keganasan pada Leher


Setiap benjolan yang terdapat di leher harus dipikirkan akan kemungkinan suatu keganasan atau metastasis dari tumor primer di tempat lain. Tumor leher dibagi atas tumor

leher medial yang dapat bersifat solid dan kistik; dan tumor leher lateral yang juga bersifat solid dan bersifat kistik. Tumor leher --------------------------------------- 15% tiroid

85% Tumor non tiroid ---------------------------------- 15% radang/bawaan

85% Neoplasma ------------------------------------------- 15% benigna

85% Maligna --------------------------------------------- 15% primer: - kelenjar liur - limfoma

85% Metastasis ------------------------------------------ 15% retroklavikula

85%

Leher

NEOPLASMA
Neoplasma dapat juga jinak atau ganas, sedangkan yang ganas dapat primer atau sekunder (metastatik). Masa tumor metastatik dapat dibedakan antara yang terletak di daerah yang berasal dari supraklavikuler atau retrokalvikuler.

1. NEOPLASMA PRIMER GANAS (LIMFOMA MALIGNUM) a. MORBUS HODGKIN Morbus Hodgkin merupakan limfoma ganas yang bersifat sistemik dan dapat muncul sebagai limfoma di leher. Kelenjar biasanya membesar, kenyal, umumnya berpaket, dan tidak nyeri. Bisa ada gejala umum seperti rasa lelah dan demam malam. Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan patologi jaringan melalui biopsi dan pemeriksan histolipatologik. Limfoma Non-Hodgkin (NHL) adalah kelompok penyakit limfoma ganas yang heterogen yang juga mungkin muncul pertama sebagai limfoma leher.

2. NEOPLASMA SEKUNDER (TUMOR METASTATIK) Mungkin karena sangat vaskularitas, metastasis timbul dalam thyroidea dan dalam kebanyakan kasus timbul dari hipernefroma. Melanoma, karsinoma pankreas serta tumor bronchus dan gastrointestinalis kadang-kadang bermetastasis ke thyroidea.

Gejala dari metastasis ini biasanya ditutupi oleh tumor primer dan timbunan sekunder lain serta penyakit primer dan timbunan sekunder lain serta penyakit thyroidea biasanya mempunyai akibat yang kecil. Metastasis tumor di kelenjar limf leher barasal dari karsinoma di kepala atau leher seperti karsinoma nasofaring, tiroid, tonsil, lidah, sinus maksilaris, dan kulit kepala. Kelenjar supraklavikular menerima metastasis melalui duktus torasikus, terutama dari karsinoma lambung, ovarium, dan bronkus. Kelenjar teraba keras, tidak nyeri, mulanya soliter, kemudian dapat multiple unilateral atau bilateral, dan bila berlanjut akan melekat dengan jaringan sekitar. Bila saling melekat akan terjadi massa yang massif dan sulit digerakan dengan tanda penekanan ke sekitarnya, misalnya sesak nafas, disfagia, bendungan vena, dan paresis pleksus serviobrakialis. Diagnosis ditegakkan melalui biopsi kelenjar dan dengan mencari tumor primernya yang kadang tersembunyi atau tidak diketahui (MUP syindrome: m matastatic of unknown primary syndrome). WINEGAR & GRAFFIN (1973) menyimpulkan bahwa kebanyakan kasus dari tumor metastasis di leher, yang tumor primernya tersembunyi maka terapi yang terbanyak adalah operatif sebagai permulaan suatu management yang terbaik. Kesimpulan ini juga dibuat oleh MARCHENTA dkk (1963) dengan indikasi : 1. Tumor masih operable 2. Tumor terletak didaerah leher 3. Secara histology, tumor termasuk dalam grade I-II dan sebagai kontraindikasi operasi adalah 1. Tumor besar dan fixed 2. Tumor di daerah mastoid 3. Carcinoma jenis anaplastik 4. Terletak supraclavicular dan fixed Terhadap tumor leher ini terapi dibagi atas 3 golongan besar, yaitu: Operasi Radioterapi Terapi kombinasi

LIMFOMA MALIGNA

2.1 Definisi Limfoma Maligna adalah keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat. Penyakit ini dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu penyakit Hodgkin dan limfoma non Hodgkin (LNH).1 2.2 Etiologi Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi sering dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma Burkitt. Terdapat kaitan jelas antara limfoma Hodgkin dan infeksi virus Epstein Barr. Pada kelompok terinfeksi HIV, insiden limfoma Hodgkin agak meningkat dibanding masyarakat umum, selain itu manifestasi klinis limfoma Hodgkin yang terkait HIV sangat kompleks, sering kali terjadi pada stadium lanjut penyakit, mengenai regio yang jarang ditemukan, seperti sumsum tulang, kulit, meningen, dll.5,6 Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya limfoma non Hodgkin, bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Virus RNA, HTLV-1 berkaitan dengan leukemia sel T dewasa, virus imunodefisiensi humanus (HIV) yang menyebabkan AIDS, defek imunitas yang diakibatkan berkaitan dengan timbulnya keganasan limfoma sel B yang tinggi, virus hepatitis C (HCV) berkaitan dengan timbulnya limfoma sel B indolen. Gen dari virus DNA, virus Epstein Barr (EBV) telah ditemukan terdapat di dalam genom sel limfoma Burkitt Afrika. Infeksi kronis Helicobacter pylori berkaitan jelas dengan timbulnya limfoma lambung, terapi eliminasi H. Pylori dapat menghasilkan remisi pada 1/3 lebih kasus limfoma lambung. Defek imunitas dan menurunnya regulasi imunitas berkaitan dengan timbulnya limfoma non Hodgkin, termasuk AIDS, reseptor cangkok organ, sindrom defek imunitas kronis, penyakit autoimun.5,6 Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang kurang jelas dalam bidang ini.

LIMFOMA NON HODGKIN 3.1 Definisi Limfoma malignum non Hodgkin atau limfoma non Hodgkin adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat. Limfoma non Hodgkin merupakan penyakit yang

heterogen, tergantung dari gambaran klinik, imunofenotiping dan respons terhadap terapi. Gambaran penyakit yang progresif lebih sering didapatkan pada anak dibanding dewasa. Demikian pula gambaran histopatologik difus sering didapatkan pada anak (90%) daripada gambaran noduler atau fotikuler pada dewasa.1 Lebih dari 45.000 pasien didiagnosis sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat. Limfoma non Hodgkin, khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan pada pasien dengan keadaan defisiensi imun dan yang mendapat obat-obat imunosupresif, seperti pada pasien dengan transplantasi ginjal dan jantung.1,3,6 3.2 Epidemiologi Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada anak, hampir sepertiga dari keganasan pada anak setelah leukemia dan keganasan susunan syaraf pusat. Angka kejadian tertinggi pada umur 7-10 tahun dan jarang dijumpai pada usia di bawah 2 tahun. Laki-laki lebih sering bila dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 2,5:1. Angka kejadiannya setiap tahun diperkirakan meningkat dan di AS 16,4 persejuta anak di bawah usia 14 tahun. Angka kejadian limfoma malignum di Indonesia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.1 3.3 Gambaran Histologik Anggapan pertama adalah bahwa status diferensiasi limfosit dapat dilihat dari ukuran dan konfigurasi intinya, sel-sel limfoid yang kecil dan bulat dianggap sebagai sel-sel yang berdiferensiasi baik, dan sel-sel limfoid kecil yang tidak beraturan bentuknya dianggap sebagai limfosit yang berdiferensiasi buruk. Anggapan kedua adalah sel-sel limfoid besar dengan inti vesikular dan mempunyai banyak sitoplasma yang biasanya berwarna pucat dianggap berasal dari golongan monosit makrofag (histiosit). 1,3,6 Klasifikasi histopatologik sangat komplek dan tumpang tindih dengan klasifikasi yang lain misalnya klasifikasi imunologik, sitogenetik maupun molekuler sehingga masih

membingungkan. Klasifikasi yang banyak dipergunakan adalah dari Rappaport (R), Kiel (K), Lukes dan Collins, WHO, dan Working Formulation (WF) (tabel II.1).1 Tabel 3.3.1 Klasifikasi histopatologik LNH pada anak.1 Kiel High grade Limfoma Burkitts dan Difuse undifferentiated Rappaport Working Formula High grade Small non cleaved cell

bentuk lainnya Limfoblastik konvoluted Limfoblastik non klasifikasi Imunoblastik Sentroblastik

(Burkitts & non burkitts) Limfoblastik difus Limfoblastik

Histositik difus

Imunoblastik sel besar Intermediate grade Difus sel besar

Limfoma non Hodgkin pada anak seringkali mempunyai gambaran yang difus dan dimasukkan dalam 3 kategori gambaran histologik sebagai berikut: 1) Limfoblastik Burkitts (K) atau small non cleaved (WF) 2) Limfoblastik (WF) non Burkitts (K) 3) Imunoblastik dan sentroblastik (K) atau large cell (WF) Dua kelompok yang pertama paling banyak ditemukan yaitu mencapai 70-90% dari kasus yang terdiagnosis. 3.3.1 Imunofenotiping1 Dengan pemeriksaan ini akan lebih jauh dapat mengetahui tentang Limfoma Non Hodgkin, khususnya dengan ditemukannya antibodi monoklonal yang dapat diidentifikasi adanya antigen permukaan baik pada sel B maupun sel T juga pada tingkat pematangan sel. Antibodi tersebut digolongkan dalam cluster differentiation (CD). Dengan pemeriksaan tersebut di atas limfoma non Hodgkin pada anak dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok: 1) Proliferasi sel B yang ditandai dengan adanya imunoglobulin monoklonal di permukaan sel. 2) Proliferasi sel T 3) Proliferasi non T-non B Pembagian ini nampaknya hampir sama pada LLA.

3.3.2 Sitogenetik dan Biologi Molekuler1 Pemeriksaan sitogenetik dan biologi molekuler saat ini sangat berarti dalam membantu kita mengetahui proses limfoma non Hodgkin lebih mendalam tetapi belum dapat dipergunakan untuk tindakan terapi. Pada limfoma Burkitts sel tumor ditandai oleh adanya translokasi pada

lengan panjang kromosom 8, regio q 23-q 24 t (8;14) (q24;q32), beberapa versi lainnya t(2;8) (p12;p24) dan t(8;2) (q24;q11).

3.4 Etiologi dan Patogenesis Penyebab pasti limfoma non Hodgkin tidak diketahui, namun LNH dapat disebabkan oleh abnomalitas sitogenik, seperti translokasi kromosom dan infeksi virus. Translokasi kromosom dan perubahan molekular sangat berperan penting dalam patogenesis limfoma, dan berhubungan dengan histologi dan imunofenotiping. Translokasi t(14;18)(q32;q21) adalah translokasi kromosomal abnormal yang paling sering dihubungkan dengan LNH. Beberapa infeksi virus berperan dalam patogenesis LNH, seperti virus Epstein Barr yang merupakan penyebab paling seringa pada limfoma Burkitt,limfoma pada pasien dengan imunocompremised dan penyakit Hodgkin.3,6

3.5 Faktor resiko limfoma non Hodgkin Terdapat beberapa faktor resiko yang diketahui berpengaruh pada LNH, walaupun demikian, faktor-faktor resiko ini tidak diperhitungkan melebihi bagian kecil dari jumlah seluruh kasus limfoma non Hodgkin. Pada kebanyakan pasien dengan limfoma non Hodgkin, tidak ada penyebab penyakit yang dapat ditemukan. Lebih jauh lagi, banyak orang yang terpapar pada salah satu faktor resiko yang diketahui tidak menderita limfoma non Hodgkin.3 Beberapa faktor resiko tersebut seperti infeksi, imunosupresi,dan faktor lingkungan. 3.5.1 Infeksi sebagai faktor risiko limfoma non Hodgkin Beberapa infeksi virus telah memperlihatkan adanya hubungan dengan peningkatan limfoma non Hodgkin. Hal ini mungkin berhubungan dengan kemampuan virus dalam menginduksi stimulasi antigen kronik dan disregulasi sitokin yang menyebabkan stimulasi, proliferasi, dan limfomagenesis yang tidak terkontrol dari sel B dan sel T.3Beberapa virus tersebut antara lain:

Human immunodeficiency virus (HIV/AIDS) Human T cell leukemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1) Epstein-Barr virus (EBV)

Gambar 3.5.1.1 Ilustrasi Virus3

Orang dengan HIV positif lebih mungkin mengidap limfoma non Hodgkin dari pada orang lainnya. Munculnya limfoma non Hodgkin pada orang dengan HIV positif mengindikasikan bahwa full-blown AIDS telah terjadi. 3 Meningkatnya risiko kemungkinan terjadi karena penekanan sistim kekebalan yang disebabkan oleh infeksi HIV. AIDS-yang berhubungan dengan limfoma non Hodgkin memberikan gambaran tidak seperti umumnya atau timbul disisi yang tidak umum dibandingkan dengan jenis limfoma non Hodgkin. 3 Virus Epstein-Barr adalah virus yang umum, menyerang kebanyakan orang pada suatu waktu tertentu dalam masa hidupnya, dan mengakibatkan infeksi singkat atau demam glandular. Akan tetapi, dalam sejumlah kecil kasus ekstrim, ia dikaitkan dengan Limfoma Burkitt dan bentuk limfoma non Hodgkin yang berhubungan dengan imunosupresi. 2,3 Human T-cell leukaemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1), aslinya berasal dari Jepang dan Karibia, juga suatu penyebab yang sangat jarang dari limfoma non Hodgkin, terdapat suatu jarak antara infeksi virus dan timbulnya penyakit. 2,3 Infeksi bakterial lebih jarang dikaitkan dengan limfoma non Hodgkin dibandingkan dengan infeksi virus. Akan tetapi, infeksi dengan Helicobacter pylori, yang dapat menyebabkan tukak lambung dan menyerang lambung, dihubungkan dengan bentuk limfoma yang jarang yang dikenal sebagai limfoma MALT, yang biasanya timbul di lambung. Antibiotik untuk mengeradikasi infeksi bakteri sering menyembuhkan kondisi ini, jika diberikan cukup dini. 2,3 Gambar 3.5.1.2 Ilustrasi Bakteri3

(Infeksi bakterial lebih jarang dikaitkan dengan limfoma non Hodgkin dibandingkan dengan infeksi virus)5 3.5.2 Imunosupresi sebagai faktor risiko untuk limfoma non Hodgkin Orang dengan imunosupresi, dimana sistim pertahanannya menurun, menghadapi peningkatan risiko terserang limfoma non Hodgkin. Hal ini mungkin karena kontrol multiplikasi sel B tergantung pada fungsi normal sel T. Jika fungsi sel T menjadi abnormal, seperti pada kasus orang dengan imunosupresi, sel B dapat berlipat ganda melalui suatu cara yang tidak terkontrol, meningkatkan peluang untuk terserang penyakit ini. 2,3 Salah satu sebab utama imunosupresi adalah obat yang diberikan untuk mencegah penolakan dari organ yang ditransplantasikan atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang mendapatkan transplantasi organ mempunyai peningkatan risiko menderita limfoma non Hodgkin. 2,3 3.6 Perjalanan alamiah penyakit Limfoma non Hodgkin indolen kadang-kadang dikenal sebagai limfoma non Hodgkin tumbuh lambat atau level rendah. Sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin indolen tumbuh sangat lambat. Secara tipikal ia pada awalnya tidak menimbulkan gejala, dan mereka sering tetap tidak terdeteksi untuk beberapa saat. Tentunya, mereka sering ditemukan secara kebetulan, seperti ketika pasien mengunjungi dokter untuk sebab lainnya. Dalam hal ini, dokter mungkin menemukan pembesaran kelenjar getah bening pada pemeriksaan fisik rutin. Kadangkala, suatu pemeriksaan, seperti pemeriksaan darah, atau suatu sinar-X, dada, mungkin menunjukkan sesuatu yang abnormal, kemudian diperiksa lebih lanjut dan ditemukan terjadi akibat limfoma non Hodgkin. Akan tetapi, beberapa pasien limfoma non Hodgkin indolen berobat ke dokter karena gejalanya.3 Gejala yang paling sering adalah pembesaran kelenjar getah bening, yang kelihatan sebagai benjolan, biasanya di leher, ketiak dan lipat paha. Pada saat diagnosis pasien juga mungkin mempunyai gejala lain dari limfoma non Hodgkin. Limfoma non Hodgkin indolen tumbuh lambat dan sering tanpa menyebabkan stadium banyak diantaranya sudah dalam stadium lanjut saat pertama terdiagnosis.3 3.7 Manifestasi Klinik

Limfoma non Hodgkin mempunyai gambaran klinis oleh massa abdominal dan intrathorakal (massa mediastinum) yang sering kali disertai dengan adanya efusi pleura. Pada anak yang lebih besar massa mediastinal ini seringkali (25-35%) ditemukan khususnya pada limfoma limfoblastik sel T. Gejala yang menonjol adalah nyeri, disfagia, sesak napas, pembengkakan daerah leher, muka, dan sekitar leher akibat adanya obstruksi vena cava superior. Pembengkakan kelenjar limfe (limfadenopati) di sebelah atas diafragma meliputi leher, supraklavikula atau aksiler, tetapi jarang sekali retroperitoneal. Adanya pembesaran kelenjar limpa dan hati menunjukkan adanya keterlibatan sumsum tulang dan seringkali pasien menunjukkan gejalagejala leukemia limfoblastik akut, jarang sekali melibatkan gejala susunan saraf pusat, kadangkadang disertai pembesaran testis.1,2,3 Limfoma limfoblastik merupakan bentuk yang berkembang secara progresif, dengan gejala yang timbul dalam waktu singkat kurang dari satu bulan. Gambaran laboratorium biasanya masih dalam batas normal, dengan kadar LDH dan asam urat yang meningkat sebagai akibat adanya tumor lisis maupun adanya nekrosis jaringan.1

??????????????????????

3.8 Stadium Limfoma Non Hodgkin Penentuan stadium sangat penting untuk diagnosis, adanya keterlibatan beberapa jaringan limfoid serta implikasinya pada pengobatan. Penentuan stadium yang paling banyak digunakan adalah dari St. Jude Childrens Research Hospital (Tabel II.2).1 Tabel 3.8.1 Skema Stadium LNH dari St.Jude Childrens Research Hospital.1 I Tumor tunggal ekstranodal atau tumor di daerah tunggal nodal, kecuali di daerah mediastinum atau abdomen II Tumor tunggal (ekstranodal) dengan keterlibatan kelenjar regional pada satu sisi diafragma pada dua atau lebih area nodul

Dua tumor (ekstranodal) dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar regional Tumor lebih dari satu, tetapi masih satu sisi dengan diafragma Tumor primer pada gastrointestinal (ileosaekal) dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar mesenterium III Tumor lebih dari dua (ekstranodal) pada kedua sisi diafragma Tumor dua atau lebih pada satu sisi diafragma Tumor primer di daerah intrathorakal (mediastinal, pleura, timus) Tumor meluas pada intraabdominal yang tidak dapat direseksi Tumor pada paraspinal atau epidural IV Tumor meluas dan penyebaran ke sumsum tulang atau susunan saraf pusat

3.9 Diagnosis Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sangat penting, diagnosis ditegakkan dengan biopsi, pemeriksaan sitologis cairan efusi maupun aspirasi sumsum tulang, bila dimungkinkan dengan pemeriksaan imunologik dan sitogenik untuk membedakan antara sel B atau sel T. Kriteria untuk masing-masing kelompok tersebut adalah:1 a) Limfoblastik sel B ditandai oleh: Ditemukannya imunoglobulin monoklonal sel B pada permukaan sel dan pertanda sel B lainnya misalnya: CD 19-24 Translokasi (8;14), t(2;8), atau t(8;22) Gambaran histologis: Burkitts dan B limfoblastik (K) atau undifferentiated atau small non cleaved (W) Gambaran L3 pada klasifikasi F AB Primernya ada di intra abdominal b) Limfoblastik sel T ditandai oleh: Petanda sel T positif (misal CD 3, 5-8) Gambaran histologi: limfoblastik Gambaran L1 atau L2 pada klasifikasi FAB Reaksi positif dengan asam fosfat Primer pada kelenjar timus

Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi hati dan funsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG abdomen, bone scan. 3.10 Tata Laksana Limfoma non Hodgkin khususnya limfoma limfoblastik sel T seringkali disertai dengan berbagai komplikasi, untuk itu dibutuhkan pengelolaan secepatnya. Sebelum pengobatan dengan kemoterapi harus diperhatikan terlebih dahulu problem jalan napas, pembuluh darah dan gangguan metabolik yang ada.1 Pemberian alopurinol, hidrasi yang cukup, dan alkalinisasi urin perlu segera diberikan pada pasien dengan tumor yang cukup luas untuk mencegah terjadinya nefropati akibat lisis tumor yang seringkali terjadi pada limfoma limfoblastik sel T.1 Terapi yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin.Terapi yang dapat dilakukan adalah:2,3 1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen: Pada prinsipnya simtomatik: - Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP (Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone) - Radioterapi: LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan untuk lokal dan paliatif. Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy 2. Derajat Keganasan Menengah (DKM) / agresif limfoma: -Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU) + radioterapi CHOP

(Cyclophosphamide, Hydroxydouhomycin,Oncovin, Prednisone) - Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan paliasi. 3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT) DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik) - Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) - Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada: a. Setelah siklus kemoterapi keempat b. Setelah siklus pengobatan lengkap

Pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif dapat didiagnosis pada stadium dini (stadium I atau II). Ini disebabkan karena mereka umumnya menyadari pertumbuhan yang cepat dari kelenjar getah bening yang terkena dan karenanya mengunjungi dokter dan cepat dirujuk untuk pengobatan oleh dokter spesialis.5 Pengobatan yang biasa diberikan untuk pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif stadium dini adalah beberapa jadwal kemoterapi, kombinasi, dengan lebih dari satu obat kemoterapi yang diberikan, biasanya bersama dengan steroid, seperti prednisolon (contohnya, CHOP). Di kebanyakan negara, diberikan antibodi monoklonal rituximab dalam kombinasi dengan kemoterapi CHOP sebagai terapi standar. Antibodi monoklonal meningkatkan efektivitas pengobatan bermakna, tanpa meningkatkan efek samping.2,3,6 Radioterapi terkadang diberikan setelah kemoterapi. Jarang kedua pengobatan diberikan pada saat yang sama. Radioterapi ditujukan secara spesifik terhadap kelenjar getah bening yang terkena. Pengobatan stadium dini (stadium I dan II) limfoma non Hodgkin agresif dapat mencapai kesembuhan atau remisi pada sekitar 80% pasien. Beberapa pasien tidak memberikan respon terhadap terapi standar. Pada pasien-pasien ini, dan pada mereka yang mengalami kekambuhan, diperlukan pengobatan lebih lanjut. 2,3,6 Pasien yang didiagnosis dengan limfoma non Hodgkin agresif pada stadium lanjut (stadium III atau IV) diberi kemoterapi kombinasi dengan ataupun tanpa antibodi monoklonal. Meski demikian, kemoterapi kadang-kadang diberikan lebih lama daripada pada penyakit stadium awal dan mungkin juga diberikan radioterapi. Secara keseluruhan, antara 40% dan 70% pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif dapat disembuhkan dengan pengobatan pertama.
2,3,6

3.11 Prognosis Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian diantaranya dengan limfoma sel besar difus, dapat berada dalam keadaan bebas gejala dalam periode waktu yang lama dan dapat pula disembuhkan. Pemberian regimen kombinasi kemoterapi agresif berisi doksorubisin mempunyai respons sempurna yang tinggi berkisar 40-80%.2,6

PENYAKIT HODGKIN

Sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas etiologi maupun patologi penyakit Hodgkin, namun diakui bahwa banyak di antara anak dengan penyakit Hodgkin yang mampu bertahan hidup dalam beberapa tahun. Masih banyak kontroversi tentang tumor yang seringkali terjadi pada limfoma limfoblastik sel T.1 4.1 Definisi Penyakit Hodgkin adalah kanker yang berawal dari sel-sel sistem imun. Penyakit Hodgkin berawal saat sel limfosit yang biasanya adalah sel B (sel T sangat jarang) menjadi abnormal. Sel limfosit yang abnormal tersebut dinamakan sel Reed Sternberg.7 Sel Reed Sternberg tersebut membelah untuk memperbanyak dirinya. Sel Reed Sternberg yang terus membelah membentuk begitu banyak sel limfosit abnormal. Sel-sel abnormal ini tidak mati saat waktunya tiba dan mereka juga tidak melindungi tubuh dari infeksi maupun penyakit lainnya. Pembelahan sel abnormal yang terus menerus ini menyebabkan terbentuknya massa dari jaringan yang disebut tumor. 7 Jaringan limfatik banyak terdapat dalam banyak bagian tubuh, sehingga penyakit Hodgkin dapat berawal dari mana saja. Biasanya penyakit Hodgkin pertama kali ditemukan pada nodus limfatikus di atas diafragma, pada otot tipis yang memisahkan rongga thoraks dan rongga abdomen. Tetapi penyakit Hodgkin mungkin juga dapat ditemukan di kumpulan nodus limfatikus. 4.2 Epidemiologi1 Angka kejadian penyakit Hodgkin mempunyai kurva bimodal yang khas baik pada laki-laki maupun pada perempuan, dengan salah satu puncaknya pada usia 15-30 tahun yang diikuti dengan puncak lainnya pada usia 45-55 tahun. Di negara-negara industri umur puncak pertama dicapai pada umur 20 tahun dan puncak kedua pada umur 50 tahun. Sementara di negara sedang berkembang seperti Indonesia, umur puncak terjadi pada umur sebelum remaja. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bentuk dari penyakit Hodgkin, karakteristik ini mungkin menunjukkan adanya perbedaan kausa yang mendasarinya: 1) Bentuk yang ditemukan pada masa kanak-kanak, banyak ditemukan pada usia 14 tahun atau lebih muda 2) Bentuk dewasa muda yang ditemukan pada umur 15 sampai 34 tahun 3) Bentuk dewasa yang ditemukan pada usia 55-74 tahun

Secara umum dikatakan bahwa laki-laki lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan. 4.3 Faktor Risiko Beberapa penelitian menunjukkan faktor-faktor tertentu yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang dapat mengidap penyakit Hodgkins: 7 1) Virus tertentu Terinfeksi virus Epstein Barr (EBV) atau human immunodeficiency virus (HIV) dapat meningkatkan risiko penyakit Hodgkin. Bagaimanapun juga, limfoma tidak menular, sehingga tidak mungkin mendapatkan limfoma dari orang lain. 2) Sistem imun lemah Risiko mengidap penyakit Hodgkin meningkat dengan sistem imun yang lemah (seperti keadaan sedang mengkonsumsi obat-obatan penekan imun pasca transplantasi organ). 3) Usia Penyakit Hodgkin umumnya terdapat pada usia remaja dan dewasa muda berumur 1535 tahun, juga pada dewasa berumur 50 tahun. 4) Riwayat keluarga Anggota keluarga khususnya kakak atau adik dari seseorang dengan penyakit Hodgkin atau limfoma lainnya, dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengidap penyakit Hodgkin. 4.4 Gambaran Patologik dan Klasifikasi Ketepatan diagnosis hanya mungkin dilakukan dengan pemeriksaan patologi yang benar, bahan pemeriksaan yang berasal dari biopsi jarum dan irisan beku segar pada jaringan kurang dapat menggambarkan struktur dan stroma sel secara baik. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan jaringan limfonodi secara mikroskopis dan ditemukan adanya sel Reed Sternberg yang spesifik. Sel Reed Sternberg merupakan sel limfoid yang besar dengan banyak nukleus yang mengelilingi nuklei sehingga memberikan gambaran seperti halo.1 Sel Reed Sternberg secara konsisten menghasilkan antigen CD15 dan CD30. CD15 adalah marker dari sel granulosit, monosit, dan sel T teraktifasi yang normalnya tidak dihasilkan oleh garis keturunan sel B. CD30 adalah marker dari aktifasi limfosit yang dihasilkan oleh sel limfosit reaktif dan malignan dan pada awalnya diidentifikasi sebagai antigen permukaan sel-sel Reed Sternberg.

Klasifikasi patologi yang diterima secara umum adalah klasifikasi dari Rye yang membagi penyakit Hodgkin menjadi 4 subtipe:1 1) Limfositik predominan/LP 2) Sel campur/MC 3) Deplesi limfositik/LD 4) Nodul sklerosis/NS Prognosis dari tiga yang pertama berhubungan dengan perbandingan antara sel limfosit abnormal dengan sel normal.1 Penyakit Hodgkin merupakan suatu tumor ganas yang berhubungan erat dengan limfoma malignum. Oleh karena itu untuk membahas mengenai patologi dari penyakit Hodgkin ada baiknya kita mengetahui tentang klasifikasi dari penyakit-penyakit tersebut. Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan Butler sesuai keputusan simposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut klasifikasi ini penyakit Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: 7

1. Tipe Lymphocyte Predominant Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri dari sel-sel limfosit yang dewasa, beberapa sel Reed Sternberg. Biasanya didapatkan pada anak muda. Prognosisnya baik. 2. Tipe Mixed Cellularity Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil, neutrofil, limfosit dan banyak didapatkan sel Reed Sternberg. Dan merupakan penyakit yang luas dan mengenai organ ekstra nodul. Sering pula disertai gejala sistemik seperti demam, berat badan menurun dan berkeringat. Prognosisnya lebih buruk. 3. Tipe Lymphocyte Depleted Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed Sternberg banyak sekali dan hanya ada sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua dan cenderung merupakan proses yang luas (agresif) dengan gejala sistemik. Prognosis buruk. 4. Tipe Nodular Sclerosis

Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering dilaporkan sel Reed Sternberg yang atipik yang disebut sel Hodgkin. Sering didapatkan pada wanita muda/remaja. Sering menyerang kelenjar mediastinum. Namun ada bentuk-bentuk yang tumpang tindih (campuran), misalnya golongan Nodular Sclerosis (NS) ada yang limfositnya banyak (Lymphocyte Predominant NS=LPNS), ada yang limfositnya sedikit (Lymphocyte-Depleted NS=LD-NS) dan sebagainya. Demikian pula golongan Mixed Cellularity (MC), ada yang limfositnya banyak (LP-MC), ada yang sedikit (LD-MC). Penyakit ini mula-mula terlokalisasi pada daerah limfonodus perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran di dalam sistem limfatik. Mungkin bahwa sel Reed Sternberg yang khas dan sel lebih kecil, abnormal, bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon hipersensitivitas untuk hospes. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar ke jaringan non limfatik.7 Berdasarkan klasifikasi dari WHO penyakit Hodgkin dibagi menjadi 5 tipe, 4 tipe merupakan tipe-tipe seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, keempat tipe ini sering disebut sebagai penyakit Hodgkin klasik, sedangkan tipe ke-5 adalah nodular lymphocyte predominant Hodgkins disease (NLPHD). 5. Tipe Nodular lymphocyte predominant Hodgkin disease (NLPHD) Nodular lymphocyte predominant Hodgkin disease (NLPHD) menyumbang 5% dari kasus penyakit Hodgkin. Berbeda dengan subtipe histologis lain, sel Reed Sternberg yang khas jarang atau bahkan tidak ada pada NLPHD. Sebaliknya yang paling banyak justru adalah sel limfositik atau histiositik (L&H), atau yang sering disebut sel popcorn karena inti mereka yang berbentuk menyerupai jagung meledak, yang terlihat sebagai latar belakang sel-sel inflamasi, terutama sel limfosit yang jinak. Tidak seperti sel Reed Sternberg, sel L&H positif untuk antigen sel B, seperti CD19 dan CD20, dan negatif untuk CD15 dan CD30. 7 4.5 Manifestasi Klinik Pembesaran kelenjar limfe daerah servikal dan supraklavikular yang hilang timbul dan tidak menimbulkan rasa nyeri (asimtomatik). Pada 80% anak dengan penyakit Hodgkin pembesaran kelenjar leher yang menonjol, 60% diantaranya juga disertai pembesaran massa di mediastinal

yang akan menimbulkan gejala kompresi pada trakea dan bronkus. Pembesaran kelenjar juga ditemukan di daerah inguinal, aksiler, dan supra diafragma meskipun jarang. Gejala konstitusi yang menyertai diantaranya adalah demam, keringat malam hari, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, ditemukan pada 40% pasien, sedangkan demam intermittent diobservasi pada 35% kasus.1 Gambaran laboratorium pada umumnya tidak spesifik, diantaranya adalah leukositosis, limfopenia, eosinofilia, dan monositosis. Gambaran laboratorium ini merupakan refleksi dari aktifitas yang meningkat di sistem retikuloendotelial (misalnya meningkatnya laju endap darah, kadar serum feritin, dan kadar serum tembaga) dipergunakan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit setelah terdiagnosis. Anemia yang timbul merupakan deplesi dari imobilisasi zat besi yang terhambat ini menunjukkan adanya penyakit yang telah meluas. Anemia hemolitik pada penyakit Hodgkin menggambarkan tes Coomb positif menunjukkan adanya retikulosis dan normoblastik hiperplasia dari sumsum tulang.1 4.6 Stadium Penyakit Hodgkin Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging:5 Clinical staging Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh. Pathological staging Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi organ, yaitu: hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit. Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi sesuai konferensi Cotswald. Tabel 4.6.1 Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald.1,5 Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur limfoid (misal: limpa, timus, cincin Waldeyer). Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip angka, misal: II2, II3, dsb. Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah

diafragma. III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal. Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).

Gambar 4.6.2 Penentuan stadium penyakit Hodgkin.5 Penentuan stadium ini menggunakan klasifikasi AnnArbor yang berdasarkan anatomis.1 Tabel II.4.Staging menurut Ann Arbor berdasarkan anatomis.1 I Pembesaran kelenjar limfe regional tunggal atau pembesaran organ ekstra limfatik tunggal atau sesisi. II Pembesaran kelenjar limfe regional dua atau lebih yang masih sesisi dengan diafragma atau pembesaran organ ekstralimfatik satu sisi atau lebih yang masih sesisi dengan diafragma III Pembesaran kelenjar limfe pada kedua sisi diafragma disertai dengan pembesaran limpa atau pembesaran organ ekstra limfatik sesisi atau kedua sisi IV Pembesaran organ ekstra limfatik dengan atau tanpa pembesaran kelenjar limfe

4.7 Diagnosis Untuk membuat diagnosis penyakit Hodgkin pada anak dibutuhkan beberapa tahap pemeriksaan diantaranya adalah:1 a. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfe dengan berbagai ukuran. b. Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis sel, laju endap darah, tes fungsi hati dan ginjal, kelenjar alkali fosfatase. c. Biopsi kelenjar limfe d. Foto polos dada maupun scanning e. Scanning abdomen dan pelvis atau MRI f. Limfogram g. Laparatomi h. Aspirasi sumsum tulang i. Scanning tulang Tidak semua tahap pemeriksaan dikerjakan untuk membuat diagnosis penyakit Hodgkin pada anak tergantung dari kasus serta fasilitas yang ada. 1. Klinis (anamnesis) Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila ataupun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai demam, keringat dan gatal. 6,7 2. Pemeriksaan Fisik Palpasi pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri dapat ditemukan di leher terutama supraklavikular (60-80%), aksiler (6-20%), dan yang paling jarang adalah di daerah inguinal (620%) dengan konsistensi kenyal sepert karet. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin Waldeyer ikut terlibat. Sindrom vena cava superior mungkin didapatkan pada pasien dengan masif limfa adenopati mediastinal. 6,7 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit, atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya

mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan. 7 Eosinofilia absolut perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolut, limfositopenia absolut (<1000 sel per millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indikator keparahan penyakit. 7 Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum. 7 4. Sitologi Biopsi Aspirasi Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma malignum. Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi LH ataupun LNH adalah adanya negatif palsu, dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multiple hole di beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.6 5. Histopatologi Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga untuk identifikasi subtipe histopatologi LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsi tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submandibular tidak dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsi dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik lokal terhadap arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan. 6 6. Radiologi Termasuk didalamnya: 6 Foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal

Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB di daerah iliaka dan pasca aortal USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH 7. Laparatomi Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka, para aortal dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan teknologi radiologi seperti USG dan CT-Scan ditambah sitologi biopsi aspirasi jarum halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-kurangnya diminimalisasi.6 4.8 Diagnosis Banding Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin pada pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus, mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain, misalnya limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher local. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan limfoma non Hodgkin dan kanker payudara. 6 Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain. Pada pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama karsinoma sel kecil dan non sel kecil. Mediastinitis reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis dapat mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien asimtomatik. Penyakit abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati massif jarang ditemukan, dan penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan ini. Beberapa diagnosis banding lainnya sebagai berikut: 7
Cytomegalovirus Infectious

Mononucleosis

Kanker paru Lymphoma, Sarcoidosis Serum

Non-Hodgkin

Sickness

Syphilis Systemic

Lupus Erythematosus

Toxoplasmosis

Tuberculosis

4.9 Tatalaksana Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang baik perlu adanya pendekatan multidisiplin segera setelah didiagnosis. Faktor yang berpengaruh terhadap hasil pengobatan diantaranya adalah umur pasien, psikologi, stadium penyakit dan gejala sisa pengobatan. Pengobatan yang diberikan diharapkan mampu memberikan penyembuhan untuk jangka panjang, dengan disease free survival (DFS) yang seimbang dengan risiko pengobatan yang paling rendah. Protokol pengobatan pada anak saat ini hanya menggunakan kemoterapi saja kadang-kadang dengan hanya memberikan dosis rendah radiasi pada daerah yang terbatas.1 Obat-obatan yang sering digunakan diantaranya adalah nitrogen mustard, onkovin, prednison, prokarbasin (MOPP), adriamisis, bleomisin, vinblastin, dekarbasin (ABVD), siklofosfamid, onkovin, prokarbasin, prednison (COPP) dan banyak lagi protokol lainnya yang digunakan.1 4.10 Prognosis Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup lama dengan pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama, kemungkinan mendapatkan late complication makin besar. Late complication itu antara lain:4 1. Timbulnya keganasan kedua atau sekunder 2. Disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal 3. Penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related) 4. Penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga dose related 5. Pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan

Вам также может понравиться