Вы находитесь на странице: 1из 13

LAPORAN TUTORIAL BLOK V (SISTEM ENDOKRIN) SKENARIO I : MUKA BENGKAK SETELAH MINUM OBAT

NAMA TUTOR : dr. Arsita Eka P, M. Kes

OLEH : KELOMPOK 16 1. 2. 3. Ardian Pratiaksa Dea Fiesta Jatikusuma Deyona Annisa Putri 4. M. Fairuz Z. 5. M. Hanif Nur R. 6. Rizky Hening S. 7. Silvia Putri Kumalasari 8. Sri Retnowati 9. Vania Nur Amalina 10. Vicianita Putri Utami 11. Windhy Monica G0011034 G0011062 G0011072 G0011140 G0011144 G0011182 G0011198 G0011200 G0011204 G0011206 G0011210

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Makhluk hidup terus mengembangkan struktur dan fungsinya yang kompleks, oleh karena itu integrasi berbagai komponen dalam diri makhluk hidup menjadi penting sekali bagi kelangsungan hidupnya. Integrasi ini dipengaruhi oleh dua sistem yaitu sistem saraf pusat dan endokrin. Kedua sistem ini berhubungan secara embriologis, anatomis (melalui hipotalamus), dan fungsional. Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar yang mensintesis dan mensekresi zat-zat yang disebut hormon. Hormon-hormon menyebabkan perubahan fisiologik dan biokimia yang menjadi perantara berbagai pengaturan metabolisme tubuh. Ketika dilepaskan ke dalam aliran darah, hormon akan diangkut ke jaringan sasaran tempatnya menimbulkan efek. Efek-efek ini seringkali berupa pengaturan reaksi enzimatik yang berlangsung terus-menerus. Hormon-hormon tidak langsung bekerja pada sel-sel atau jaringan, tetapi harus terlebih dahulu berikatan dengan reseptor spesifik pada membran sel atau sitosol dari sel. Untuk terjadinya suatu peristiwa metabolik, seluruh langkah-langkah selanjutnya setelah interaksi dan reseptor harus dalam keadaan utuh. Dengan demikian, jelas bahwa yang penting bukan hanya konsentrasi hormon agar dapat tercapai hasil yang baik pada aktivitas selular, tetapi juga jumlah dan afinitas reseptor terhadap hormon. Umumnya, penyakit endokrin dapat dipahami melalui aktivitas-aktivitas metabolik dari hormon yang terlibat, akibat kelebihan atau kekurangan produksi atau kerja hormon (Patofisiologi, 2006). SKENARIO 1 Muka Bengkak Setelah Minum Obat Seorang laki-laki umur 23 tahun periksa ke dokter dengan keluhan muka bengkak disertai badan terasa lemah. Sejak 5 tahun penderita sering minum obat penambah berat badan yang mengandung kortikosteroid yang dibeli di toko obat. Pada pemeriksaan fisik didaptkan tekanan sistolik 90 mmHg dan diastolik 60 mmHg, muka terlihat moon face. Hasil laboratorium glukosa 70 mg/dL, natrium 121 meq/ml, kalium 2,9 meq/mL, kalsium 7,1 meq/mL. Hasil pemeriksaan CT scan kepala menunjukkan kelenjar hypothalamus dan pituitary normal. Dokter merencankan pemeriksaan beberapa hormon yang diperlukan untuk menentukan diagnosis penyakit tersebut. Hormon apa saja yang berhubungan dengan penyakit tersebut?

1.2 TUJUAN 1. Menjelaskan fungsi dan fisiologi kelenjar adrenal. 2. Menjelaskan fungsi dan fisiologi kortikosteroid. 3. Mengetahui langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis kerusakan kelenjar. 4. Mengetahui akibat dari kerusakan kelenjar adrenal. 5. Menjelaskan farmakokinetik dan farmakodinamik kortikosteroid. 6. Menjelaskan penatalaksanaan kasus pada skenario.

1.3 RUMUSAN MASALAH 1. Apa pengaruh kortikosteroid dalam kasus tersebut? 2. Berapa patokan kadar normal dari hasil laboratorium? 3. Apa hubungan interpretasi hasil laboratorium dengan keluhan pasien? 4. Hormon apa saja yang berpengaruh pada skenario? 5. Apa penyebab dari gejala-gejala yang timbul? 6. Apa hubungan hypothalamus dan pituitary jika dikaitkan dalam kasus? 7. Apa pengaruh pemakaian obat yang mengandung kortikosteroid jangka panjang terhadap keluhan pasien? 1.4 HIPOTESIS
1. Kortikosteroid secara tidak langsung mempengaruhi keseimbangan air dan elektrolit

yang mengkibatkan viskositas darah meningkat dan bila didiamkan akan terjadi hipotensi. 2. Natrium Kalium Kalsium Glukosa : 135-145 meq/ml : 3,5-5 meq/ml : 4,5-5,5 meq/ml : 70-100 mg/dL

3. Terlalu banyak natrium yang keluar menyebabkan natrium dalam darah rendah (hiponatremia) akibatnya viskositas darah meningkat sehingga mengakibatkan hipotensi.

Hipokalemia dan hiperkalsemia diduga juga disebabkan oleh gangguan stabilitas elektrolit dalam tubuh yang disebabkan penggunaan kortikosteroid yang berlebihan
4. Sekresi kortikosteroid dalam tubuh dipengaruhi oleh ACTH yang diproduksi hipofisis

dan CRH oleh hipotalamus.


5. Moon face disebabkan penggunaan obat yang mengandung kortikosteroid dalam

jangka panjang, ini dapat terjadi karena redistribusi sentral lemak di daerah wajah. Badan terasa lemah disebabkan atrofi otot akibat peningkatan kortisol yang merangsang glukoneogenesis meyebabkan katabolisme cadangan lemak, terutama di jaringan ekstrahepatik.
6. Penyakit tidak disebabkan oleh kerusakan kelenjar hipotalamus maupun kelenjar

pituitari, diduga ada kerusakan pada kelenjar adrenal yang memproduksi kortikosteroid. Dari gejala-gejala yang didapat huga ditemui tanda-tanda Cushing Syndrome.
7. Pemakaian obat mengandung kortikosteroid dalam waktu panjang menyebabkan

moon face, yaitu wajah nampak bundar dan terkesan gemuk karena penimbunan lemak pada bagian wajah. Selain itu kadar elektrolit dalam tubuh menjadi tidak seimbang karena ketergantungan efek obat tersebut, sehingga menyebabkan beberapa gejala seperti hiperkalsemia dan hiponatremia. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Endokrinologi merupakan ilmu mengenai hormon endokrin dan organ- organ yang terlibat dalam pelepasan hormon endokrin. (Ben, 2010) Hormon secara umum merupakan zat kimia yang disintesis oleh bagian tubuh yang jelas batas- batasnya; umumnya kelenjar buntu khusus yang dibawa peredaran darah ke bagian tubuh lain tempat zat- zat itu menimbulkan penyetelan sistemik dengan aksinya terhadap jaringan dan organ. (Turner, Bagnara, 1988). Hormon endokrin diklasifikasikan menjadi autokrin, yang bekerja pada sel pensintesis hormon itu sendiri; parakrin, yang bekerja pada sel- sel di sekitarnya; serta endokrin sendiri yang bekerja pada target organ dengan melalui sirkulasi tubuh. (Ben, 2010)

Pembahasan tentang endokrinologi dan hormon tak akan lepas dari istilah sistem endokrin, yang merupakan sistem kelenjar dan struktur lain yang mengeluarkan sekret internal (hormon) yang dilepaskan secara langsung ke dalam sistem sirkulasi, mempengaruhi metabolisme dan proses tubuh lainnya (W.B. Saunders, 1998) Sistem endokrin, melibatkan kelenjar- kelenjar sebagai organ pelepas hormon. Kelenjar endokrin (kelenjar buntu), berbeda dari kelenjar eksokrin karena pada kelenjar endokrin tidak dijumpai struktur yang berfungsi sebagai duktus eksretorius. Kelenjar- kelenjar endokrin tersebut antara lain : 1. Kelenjar Hipothalamus

Merupakan Master of Gland. Dalam hubungannya dengan Kelenjar Hipofisis dan kelenjar Adrenal, kelenjar Hipothalamus menghasilkan CRH (Corticotrophic Releasing Hormone) yang merangsang kelenjar Hipofisis Anterior (Adenohipofisis) yaitu pada sel kortikotropik untuk memproduksi ACTH (Adenocrticotrophic Hormone), yang kemudian merangsang korteks adrenal untuk mensekresikan kortikosteroid. 2. Kelenjar Hipofisis

Terletak di basis crania, tepatnya di Sela Tursica. Dibagi menjadi 2 bagian. Hipofisis anterior (Adenohipofisis) yang menghasilkan hormon GH, Prolaktin, ACTH, TSH, MSH, FSH dan LH. Bagian yang lain yaitu Hipofisis Posterior (Neurohipofisis), menghasilkan hormon oksitosin dan ADH (Antidiuretic Hormone)/ Vasopresin. 3. Kelenjar Tiroid

Terletak di dekat leher, tepatnya di kartilago thyroidea. Menghasilkan hormon tiroksin (T4) dan tri-iodotironin (T3). 4. Kelenjar Paratiroid

Kelenjar ini menempel pada tiroid, dan memproduksi hormon paratiroid (Parathormon;PTH) yang penting dalam pengontrolan kalsium dan pospat. 5. Kelenjar Adrenal

Terletak di superior ginjal (ren), sehingga lazim disebut kelenjar suprarenalis. Tersusun atas korteks dan medulla. Korteks memproduksi hormon glukokortikoid, mineralkortikoid, dan androgen, sedangkan medulla menghasilkan hormon katekolamin (epinefrin dan norepinefrin). 6. Pulau Langerhans Pankreas

Bagian pankreas yang berfungsi sebagai organ endokrin ini terdiri dari sel alpha yang menghasilkan glukagon, sel beta yang menghasilkan insulin, dan sel delta yang menghasilkan somatostosin, serta sel F yang menghasilkan polipeptida. (Ben, 2010)

Kortikosteroid Kortikosteroid, merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Termasuk di dalamnya yaitu glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron) yang mengatur metabolism karbohidrat dan respon stress, dan mineralkortikoid (aldosteron) yang mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. Biosintesis kortikosteroid pada intinya sebagai berikut : Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon) dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Beberapa sediaan kortikosteroid dan analog sintetiknya antara lain, yaitu : desoksikortikosteron asetat, fluodrokotison asetat, kortisol/ hidrokortison, kortisol asetat, kortisol sipionat, kortison asetat, prednison, prednisolon, metilprenidsolon, 6-metil prednisolon, Metilprednisolon Na Suksinat, deksametason, deksametason asetat, deksametason Na-fosfat, Parametason asetat, flusinolon asetonid, flumetason pivalat, betametason, betametason dipropionat, betametason valerat, triamsinolon, triamsinolon asetonid, triamnisolon diasetat dan halsinonid. Kortikosteroid dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorbsi dengan cukup baik. Dapat diberikan secara intravena untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat, secara intramuscular untuk mendapatkan efek yang lama. Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan ruang sinovial. Kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma, globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Pada kadar rendah

atau normal, kortikosteroid terikat globulin. Biotransformasi kortikosteroid terjadi di dalam dan di luar hati, untuk selanjutnya dieksresi melalui urin. Efek kortikosteroid kebanyakan bergantung dosis, semakin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Namun, ad juga keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormone lain, karena kortikosteroid berperan sebagai permissive effect diperlukan agar terjadi efek hormon lain. Mekanismenya diduga melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan terhadap hormon lain. Kortikosteroid dapat menimbulkan efek samping. Ada 2 penyebab timbulnya efek samping pada penggunaan kortikosteroid, yaitu penghentian pemberian secara tibatiba atau pemberian terus- menerus terutama dengan dosis besar. Penghentian kortikosteroid jangka lama secara tiba- tiba dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, artalgia, dan malaise. Insufisiensi terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen. Sedangkan komplikasi yang mungkin timbul akibat pengobatan lama adalah gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia, dan glikosuria, mudah infeksi, osteoporosis, miopati, habitus pasien Cushing (moon face, buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral, ekstremitas kurus, striae, ekimosis, akne, dan hirsutisme). (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)

Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan skenario 1.) Insufiensi Adrenokortikal Kronik Penyakit ini biasanya terjadi pada usia pertengahan dan berlangsung secara perlahan, berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Beberapa keluhan penderitanya diantaranya adalah lesu, letih lemah, anorexia mual, penurunan berat badan, hipoglikemi, hipotensi, hiponatremia dan hiperkalsemia. Pada pemeriksaan sering ditemui pigmentasi, ini disebabkan peningkatan melanin dengan pigmen ekstra karena MSH dan ACTH meningkat yang disebabkan jumlah kortisol rendah.

Patologi. Penyakit ini terjadi karena kegagalan kerja kortikosteroid, yaitu menyebabkan defisiensi glukokortikoid dan mineralokortikoid. Kegagalan kerja aldosteron membuat darah kehilangan banyak Na dan retensi K. Diagnosis. Bergantung pada tingkat kegagalan respons adrenokortikal terhadap ACTH. Kadar kortisol plasma menurun dan ritem diurnal menghilang. Dapat terjadi insufiensi adrenal padahal kadar steroid basal normal, ini karena kegagalam respons terhadap stress. Pada pemeriksaan radiografi dapat ditemukan klasifikasi adrenal Terapi. Terapi utama adalah pemberian kortisol. Mula-mula diberikan kortison dosis tinggi. Pada terapi jangka panjang, dosis yang tepat adalah kira-kira 25 mg pagi hari dan 12,5 mg sore hari per-oral untuk mencapai produksi dan ritme yang normal. Kadang diperlukan penambahan mineralokortikoid (fludrokortison 100 g/hari).

2.) Sindrom Cushing Iatrogenik

Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi. Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti inflamasi. Iatrogenic Cushings syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat, bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushings syndrome terkait dengan dosis steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi. Pemeriksaan Radiologi 1. CT Scan Pemeriksaan CT Scan yaitu pemeriksaan sinar X yang lebih canggih dengan bantuan komputer, sehingga memperoleh gambar yang lebih detail dan dapat dibuat

gambaran secara 3 dimensi. Pemeriksaan ini diterapkan pada berbagai organ tubuh seperti kepala, toraks, perut/abdomen pada berbagai kasus seperti trauma, tumor, infeksi, dan lain-lain. 2. MRI Magnetic Resonance Imaging adalah suatu alat diagnostik muthakhir untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh dengan menggunakan medan magnet yang besar dan gelombang frekuensi radio, tanpa operasi, penggunaan sinar X, ataupun bahan radioaktif. MRI menciptakan gambar yang dapat menunjukkan perbedaan sangat jelas dan lebih sensitif untuk menilai anatomi jaringan lunak dalam tubuh, terutama otak, sumsum tulang belakang dan susunan saraf dibandingkan dengan pemeriksaan X-ray biasa. Selain itu jaringan lunak dalam susunan muskuloskeletal seperti otot, ligamen, tendon, tulang rawan, ruang sendi seperti cedera pada lutut dapat di evaluasi dengan baik menggunakan MRI. 3. USG Pemeriksaan ultrasonografi (USG) yaitu pemeriksaan dengan menggunakan gelombang suara. Pemeriksaan ini terutama dipergunakan untuk dalam memperlihatkan kelainan-kelainan dalam perut/abdomen dan otot pada berbagai kasus, seperti trauma dan tumor. 4. Radiografi Konvensional Pemeriksaan radiologi konvensional tanpa kontras, yaitu pemeriksaan sederhana menggunakan sinar Roentgen (sinar X) dengan berbagai posisi pemeriksaan. Pemeriksaan ini dilakukan pada berbagai organ tubuh, antara lain jantung dan paru (toraks) serta tulang-tulang pada seluruh bagian tubuh. Pemeriksaan radiologi konvensional dengan kontras, yaitu pemeriksaan sederhana menggunakan sinar Roentgen (sinar X) disertai dengan penggunaan obat kontras yang dapat membantu memperlihatkan kelainan yang ada, sehingga mempertajam diagnosis. Misalnya pemeriksaan saluran cerna (barium meal & enema), saluran kemih (urografi intravena, sistografi), organ kandungan (histerosalpingografi), saluran kelenjar liur (sialografi), pembuluh darah (angiografi/venografi), saluran getah bening (limfografi), sumsum tulang belakang (myelografi), dan lain sebagainya. 5. Kedokteran Nuklir

Pemeriksaan

skintigrafi

(kedokteran

nuklir)

yaitu

pemeriksaan

yang

menggunakan zat radioaktif yang disuntikkan kedalam tubuh melalui pembuluh darah. Pemeriksaan ini sangat efektif dalam memperlihatkan fungsi organ-organ tubuh yang mempunyai kelainan, seperti pada organ tiroid/gondok, tulang, ginjal, dan sebagainya.

BAB III DISKUSI / PEMBAHASAN Kelenjar adrenal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan medula. Bagian korteks adrenal berfungsi untuk menghasilkan hormon mineralokortikoid dan glukokortikoid sedangkan bagian medula berfungsi untuk mengahasilkan mempunyai hormon katekolamin. mengatur Kortikosteroid, golongan mineralokortikoid, fungsi untuk

keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh dengan cara meretensi natrium dan air, serta meningkatkan ekskresi kalium. Pada kasus ini, penderita mengalami ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuhnya. Hal ini ditunjang dengan hasil laboratorium yang menunjukkan adanya glukosa normal potensi hipoglikemia (glukosa = 70 mg/dL), hiponatremia (natrium = 121 meq/mL), hipokalemia (kalium = 2,9 meq/mL), dan hiperkalsemia (kalsium = 7,1 meq/mL). Penderita telah mengonsumsi obat penggemuk badan yang mengandung kortikosteroid dalam kurun waktu 5 tahun. Pengonsumsian obat jangka panjang ini mengindikasikan bahwa penderita memiliki badan yang kurus sehingga ingin gemuk, namun tidak mengetahui zat-zat yang terkandung dalam obat tersebut sehingga penderita tidak mengetahui bahwa obat tersebut dapat memberikan efek samping berupa moon face. Selain itu, kortikosteroid secara tidak langsung juga berpengaruh pada keseimbangan air dan elektrolit tubuh sehingga viskositas darah meningkat. Keadaan tersebut dapat menimbulkan hipotensi ditunjukkan dengan tekanan darah penderita bernilai 90/60 mmHg. Badan lemah dan hipotensi merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh penderita Insufisiensi Adrenal. Insufisiensi Adrenal terbagi menjadi 2, yaitu Insufisiensi Adrenal akut yang disebabkan oleh pemakaian kortikosteroid dosis besar jangka panjang yang dihentikan secara tiba-tiba dan Insufisiensi Adrenal Kronik yang disebabkan karena operasi atau adanya lesi pada korteks adrenal. Apabila pada penderita juga mengalami gejala moon face dapat mengarah pada penyakit Sindrom Cushing.

Penderita pada awalnya dicurigai mengalami penyakit Sindrom Cushing namun hal ini tidak terbukti sebab hasil pemeriksaan CT scan kepalanya menunjukkan bahwa kelenjar hipothalamus dan hipofisisnya dalam keadaan normal (penderita Sindrom Cushing mengalami kelainan pada 2 kelenjar tersebut). Kelenjar hipothalamus akan menghasilkan CRH yang berfungsi untuk merangsang kelenjar hipofisis agar dapat menghasilkan ACTH. ACTH inilah yang merangsang kelenjar adrenal untuk menghasilkan hormon kortikosteroid. Apabila terdapat gangguan pada mekanisme yang dapat disebabkan oleh kerusakan pada kelenjar adrenal (Insufisiensi Adrenal) akan terjadi kegagalan produksi hormon kortikosteroid sehingga penderita mengalami kekurangan hormon kortikosteroid. Keadaan normal pada kelenjar hipothalamus dan hipofisis menujukkan bahwa tidak terdapat tumor pada kedua kelenjar tersebut sehingga produksi CRH dan ACTH seharusnya dalam porsi yang normal. Akan tetapi, pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kadar CRH dan ACTH yang dihasilkan dapat juga dilakukan agar diagnosa dapa ditegakkan dengan lebih tepat. Dari pembahasan tersebut dapat diperoleh diagnosa bahwa pasien mengalami penyakit Insufisiensi Adrenal namun belum dapat diketahui jenis kronik ataupun akut karena hal ini memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pengonsumsian obat penggemuk badan yang dilakukan oleh penderita sebaiknya segera dihentikan namun dengan perlahan-lahan (tape-rint off) agar tidak terjadi efek yang lebih buruk kepada penderita.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 KESIMPULAN Dari skenario yang telah dibahas pada bab sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa pasien mengalami gangguan pada kelenjar adrenalnya. Pasien mengeluh badan lemas dan hipotensi, hal ini merujuk pada diagnosis insufisiensi adrenal akut. Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan kadar glukosa, kalium, kalsium dan natrium, didapati hasil bahwa pasien mengalami hipoglikemia, hipokalemia, hiponatremia dan hiperkalsemia. Dari hasil pemeriksaan ini belum dapat dipastikan diagnosis sebenernya penyakit pasien. Karena

pada umumnya pasien yang mengalami hipokalemia biasanya tidak mengalami hiponatremia, kadar natriumnya cenderung normal atau bahkan berlebih. Sedangkan dari hasil pemeriksaan CT-scan menunjukkan hipothalamus dan hipofisis pasien dalam keadaan normal. Hal ini membantu dalam mematahkan diagnosis pasien mengalami Cushing Syndrome . Karena seperti yang telah dibahas sebelumnya pasien juga mengalami moon face. Akibatnya dilakukan pemeriksaan CT-scan untuk mengetahui apakah ada tumor atau kelainan pada kelenjar hipothalamus dan kelenjar hipofisisnya. Namun di sini kita belum mengetahui pakah jumlah hormon ACTH dan CRH dihasilkan dalam jumlah yang normal. Untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kadar hormon ACTH dan CRH karena kedua hormon ini juga mempengaruhi kerja dari kelenjar adrenal. Dari berbagai macam perkiraan diagnosis tersebut, yang paling mendekati adalah diagnosis insufisiensi adrenal. Insufisiensi adrenal dibagi menjadi dua yaitu kronik dan akut. Insufisiensi Adrenal akut yang disebabkan oleh pemakaian kortikosteroid dosis besar jangka panjang yang dihentikan secara tiba-tiba dan Insufisiensi Adrenal Kronik yang disebabkan karena operasi atau adanya lesi pada korteks adrenal. Untuk menegakkan diagnosis yang lebih tepat, maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lagi untuk menentukan apakah insufisiensi adrenal tersebut termasuk yang kronik atau yang akut. 4. 2

SARAN Mengurangi konsumsi obat penggemuk badan yang sebelumnya telah dikonsumsi pasien selama lima tahun. Pengurangan harus dilakukan secara perlahan atau tape-rint off untuk menghindari kondisi yang lebih buruk. Dilakukan pemeriksaan kadar hormon ACTH dan CRH untuk mengetahui apakah kedua hormon tersebut dihasilkan dalam kadar atau jumlah yang normal. Karena kedua hormon tersebut juga mempengaruhi kinerja kelenjar adrenal.

Dilakukan pemeriksaan penunjang seperti CT Scan pada kelenjar adrenal untuk lebih menguatkan diagnosis apakah pasien mengalami insufisiensi adrenal akut atau kronik.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Greenstein, Ben, Diana Wood. 2010. At a Glance Sistem Endokrin. Jakarta : Erlangga Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC Saunders, W.B. 2008. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC Turner, C.D, Joseph T. Bagnara. 1988. Endokrinologi Umum. Surabaya : Airlangga University Press RSUPN Cipto Mangunkusumo. 2011. Radiologi. Available at :

http://www.rscm.co.id/index.php?bhs=in&id=OUR7000002&head=Pelayanan %20Kami|Unit%20Gawat%20Darurat|Pelayanan%20Jantung%20Terpadu| Pelayanan%20Penunjang|Laboratorium|Radiologi [5 Maret 2012]

Вам также может понравиться