Вы находитесь на странице: 1из 37

KRITIK TEORI HUKUM FEMINIS ATAS HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA'

Oleh Niken Savitri

Abstract The Feminist Legal Theory has been known as one contemporary branch of legal theories that persistently questions the neutrality and objectivity of law in its applications and how they affect the situation of women before the law and in the society. This theory arrives as its conclusions derived from its basic conviction that masculine frame of mind did and still does dominate the establishment and application of theory of law and law in general, including some acts in Indonesia,, while at the same time ignoring the perspective of women 's point of view. This paper reckons the facts that legal norms embedded within the texts of some Indonesian Last, owing to their historical and philosophical backgrounds, are dominantly prejudiced by the patriarchic ideology. This lead to prevailing tendency to comprehend legal wordings within the existing provisions on violent crimes against women, and consequently their applications, solely from a masculine perspective. In order to achieve a more comprehensive justice for female victims, this study therefore, recommends that new interpretation towards the existing provisions should be put within the framework of historical and

contextual development ofpresent-day societal needs. Legal interpretation should be carried out progressively, by means of reasoning capable of comprehending the severe experience of women as victims as one of the method offeminist legal theory.
Keywords: Feminist Legal Theory, Indonesian Law, Justice
1 Tulisan ini adalah modifikasi dari bagian Disertasi berjudul `Kajian Teori Hukum Feminis terhadap Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan dalam KUHP'.

138

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli 2008

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... Pengantar Pemikiran awal dari teori hukum feminis muncul mengikuti gelombang-gelombang pemikiran feminis khususnya gelombang kedua dari feminis Arnerika yang merefleksikan ketertarikan feminis pada bidang hukum tepatnya , pada akhir tahun 1960 an hingga awal 1970 an. Hal ini antara lain disebabkan meningkatnya perempuan Amerika yang memilih bidang studi hukum pada masa itu dan memulai kritik-kritik mereka pada teori-teori hukum yang tidak memiliki kontribusi pada permasalahan hukum yang ada yang berkaitan dengan perempuan.2 Mereka mempertanyakan mengapa kurikulum fakultas hukum tidak berisikan materi-materi yang membahas adanya kesenjangan dalam pembayaran upah buruh perempuan, tentang perkosaan, kekerasan terhadap perempuan, aborsi dan lain-lain. Kenyataannya, kemunculan teori hukum feminis di
2 D. Kelly Weisberg, Feminist Legal Theory
-Foundation, Press, Temple University

dunia barat (Amerika khususnya) m ang bersam em aan dengan bangkitnya litigator terhadap masalah-masalah hukum khusus yang berkaitan dengan perempuan. Pada dasarnya teori hukum feminis mempertanyakan adanya hukum dan peraturan yang m endatangkan ketidakadilan kepada kelompok perempuan, berusaha melakukan kritik dan pembongkaran atas hukum dan aturan tersebut. Pembongkaran atau kritik yang diajukan banyak menggunakan teori-teori dekonstruksi3 yang m encoba m enguraikan atau menginterpretasikan makna hukum dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang fem inis. P enulisan m akalah ini akan dimulai dengan deskripsi tentang
3 Teori Dekonstruksi apakah is merupakan metode atau hanya pendekatan teori,

reaksi

feminist

menurut Gayatri Chakravorty Spivak


adalah adanya upaya pembongkaran pemikiran, pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan dan upaya untuk memperlihatkan adanya ketidak-koherensian

dan ketidak-ajegan (Gadis Arivia, Filsafat


Berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal

Phildelphia, 1 993

Perempuan, 2003)

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli 2008

139

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... teori hukum feminis, kemudian kritiknya pada hukum secara umum dan peraturan perundangan yang ada di Indonesia. M etode Pengkajian di dalam Teori Hukum Feminis Teori HukumFem inis atau Feminist Legal Theory (FLT) muncul pertama kali pada tahun 1970 an, bersam dengan aan Critical (CLS) di berkembangnya gerakan Legal Amerika. Sebagai yang sebuah berusaha pemikiran melakukan Studies

terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap perem puan dan diskriminasi yang didapat perem puan oleh hukum arus , utama teori hukum feminis dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan CLS. Karena itu dalam beberapa pembahasan tentang Jurisprudence, teori hukum feminis dimasukkan sebagai salah. satu bab di dalam pembahasan

CLS.
CLS sendiri masih belum dapat dikatakan sebagai sebuah

beberapa kontradiksi di dalam disiplin ilmu danmasih banyak p ara ahli yang belum dapat menerima dasar teori dari CLS, karena itu CLS masih sering diidentifikasi sebagai sebuah gerakan (m ovem ent) sem ata. Sebagai dirinya sendiri, nam para un penganut gerakan CLS menyatakan bahwa apa yang dikemukakan akan bermanfaat bila dikombinasikan dengan H eneutika untuk erm menafsirkankembali apayangtelah didekonstruksikan sebelumnya. Pihakyang mengemukakan Feminist Legal Theory Teori H ukum Fem inis m enyatakan bahwa bahkan CLS sekalipun menyoroti keberlakuan hukum semata dari sudut pandang lakiatau

sebuah gerakan yang mewarisi sem angat R ealism A erika e m pada tahun 1930 an, gerakan ini bertujuan melakukan dekonstruksi terhadap keberlakuan hukum yang tidak sejalan dengan kenyataan di dalam masyarakat. Walaupun menuai kritik dari banyak kalangan karena diidentifikasi
140 2008

mengandung

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ...

laki, demikian pula pemikiranpemikiran Jurisprudence lainnya. Dikatakan bahwa hukum dan legal theory adalah `lahan' laki-laki, adalah laki-taki yang menyusun hukum dan teori tentang hukum. Selanjutnya, hukum dan hasil putusannya merefleksikan nilai-nilai laki-laki atau nilainilai maskulin. Laki-laki yang membangun dunia hukum dalam imaji mereka, dan membuatnya membingungkan, seperti dikatakan Sim one de B eauvoir, dengan kebenaran yang mutlak.' Nilainilai laki-laki yang melekat pada kenyataan yang terefleksikan dalam hukum tersebutlah yang kemudian berdampak ketidakadilan kepada kelompok lain yang

Para feminis yakin bahwa sejarah ditulis m elalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan perempuan di dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah buatan laki-laki tersebut telah

dengan bias menciptakan konsepkonsep tentang keberadaan m anusia, potensi gender dan rekayasa sosial yang menghasilkan bahasa, logika dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut pandang lakilaki. Feminis menyangkal keyakinan bahwa unsur biologis membuat laki-laki dan perempuan berbeda dan dengan dem ikian beberapa tertentu. belaka. kesetaraan, jurisprudence terpisah ke dalam tiga aliran besar yaitu traditional, liberal dan feminis kultural. Feminis perbuatan dapat dikategorikan berdasarkan seks Feminis menyatakan Walaupun feminis feminist hal itu hanyalah rekayasa sosial memiliki komitmen umum untuk

tidak terwakili di dalam nilai-nilai


tersebut. Nilai-nilai itu karena sudah sedemikian melekat pada struktur masyarakat, sehingga dianggap nilai yang umum dan absolut dengan menafikan adanya nilai yang lain.
4 Margareth Davies, Asking the Law Question, The Law Book Company

Ltd, 1994. 5 Ibid., him. 168

Law Review, Fakultas Hukunt Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli 2008

141

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan." ... tradisional menyatakan bahwa perem puan lam rasionalnya a dengan laki-laki dan karenanya harus memiliki kesempatan yang sama dalam memilih. Feminis liberal menantang asumsi adanya kewenangan kaum laki-laki dan berusaha menghapus perbedaan gender yang disebabkan oleh hukum yang sekaligus membuat perempuan mampu bersaing di dalam pasar bebas. Sebaliknya feminis kultural memfokuskan diri pada perbedaan antara lakilaki dan perempuan. Kelompok ini menekankan pentingnya relasi antara dua golongan tersebut dan .tujuannya adalah memberikan pengakuan setara kepada perempuan bahwa perempuan memiliki nilai-nilai moral untuk kom unitasnya dan dalam hal pemberian kasih sayang. Selain dari pada itu diantara aliran-aliran tersebut di atas, masih ada lagi kelompok feminis radikal yang memfokuskan diri pada adanya ketidaksetaraan. Kelompok ini menyatakan bahwa dengan laki-laki sebagai sebuah kelas telah mendominasi perempuan sebagai kelas yang lain yang akhirnya menghasilkan ketidaksetaraan. Dalam hukum, kaitannya Feminis

memiliki pemikiran utama yang m berikan penekanan pada em kelompok kontemporer seperti National Women dengan dari m enyatakan bahw a serangkaian hambatan subordinasi perempuan berakar berdasarkan adat kebiasaan dan hambatan hukum, yang membatasi masuknya --- serta keberhasilan perempuan pada apa yang disebut sebagai dunia publik.b Sebagai akibat dari proses peminggiran yang berasumsi perempuan tidak secerdas laki-laki, potensi yang sesungguhnya dari perempuan tidak terpenuhi. Lima hal penting berupa cara berpikir yang digunakan di dalam pengkajian kritis hukum feminis kemudian diajukan. Yaitu dengan didas arkan pada lim a
F m ist e in 6 R osem P arie utnamT ong,

Organization

for

Thought, Jalasutra, Jakarta, 2004, him. 2.

142

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli

2008

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... prinsip penting dalam analisis khususnya yang berkaitan dengan pengalaman perempuan, adanya bias gender secara im plisit, jeratan/ikatan ganda dan dilemma dart perbedaan, reproduksi model dominasi laki-laki, serta membuka 1. Argumentasi Kritik terhadap Teori Hukum dan Hukum Para pemikir dalam teori hukum feminis berpendapat bahwa teori-teori hukum yang selama ini ditampilkan oleh ' para pemikir hukum sangat mengkonsentrasikan dirt yang patriarki. Teori-teori yang ditampilkan dan dicoba untuk dipaham adalah teori hukum i dapat yang dikembangkan oleh laki-laki dan tentang bagaimana laki-laki berperan sebagai bagian dart warga negara.' Meski dalam pembahasan tentang teori hukum dibahas pula perkembangan gerakan Legal fokus pem bahasannya adalah pada permasalahan dan konsep-konsep yang didefinisikan oleh laki-laki melalui ideologi maskulin.S
7 Margaret Davies, Op.Cit. hlm. 167.. 8 [bid.

K ritik Teori H ukum Fem inis terhadap T eori H ukum dan P eratu P n an an d ran eru d g i
Indonesia

pilihan-pilihan perempuan.
Selain dart Tatar belakang berpikir yang mendasari kritik, feminis mengajukan tiga metode analisis yaitu woman question', `fem inist practical reasoning' dan `asking

pada

jurisprudence

`consciousnessraising'. Ketiganya diterapkan, manakala teori hukum feminis melakukan kritik terhadap hukum dan pemberlakuan hukum serta dampaknya kepada ketidakadilan yang dirasakan oleh perempuan.

Critical umum

Studies,

secara

Law Ret'iew. Fakidlas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. U[[[, No. 1. Judi 2008

143

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ...

Kenyataan bahwa teori hukum Law (khususnya Theory) Common atau

positivisme hukum cenderung patriarkhal atau didukung oleh ideologi maskulin mungkin tidak terlihat secara eksplisit. Namun beberapa kecenderungan memperlihatkan adanya pembuktian atas argumen tersebut. Kecenderungan atau asumsi-asumsi tersebut dapat dilihat berikutnya nanti dalam konsep atau makna yang ada dalam hukum. Western Jurisprudence pada umumnya adalah patriarki tersebut dapat memiliki banyak pengertian yang mungkin saja tidak berkaitan satu sama lain.' Pertama, secara empiris dapat dikatakan bahwa hukum dan teori hukum adalah domain dari laki-laki. Atau secara ringkas dapat dikatakan bahwa adalah laki-laki yang menulis hukum dan teori-teori hukum. Hal ini tampak dari para ahli: teori hukum yang mengemukakan teorinya, yang
9 Ibid.

Argumen dan

bahwa hukum

yang muncul dari pikiran lakihampir keseluruhan dari mereka adalah laki-laki. Dengan demikian penulisan dan basil pemikiran para ahli pikir hukum yang hampir seluruhnya berjenis kelamin lakilaki itu langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi teori-teori yang dihasilkannya. A tau dengan kata lain, teoriteori tersebut dihasilkan melalui kerangka berpikir laki-laki dan berdasarkan sudut pandang dari laki-laki pula. Meskipun ideologi maskulin tidak selalu ideologi
144 2008 Law Review, Fakultas Hukum

laki dan bisa juga muncul dari pikiran seorang perempuan yang mengadopsi nilai-nilaimaskulinitas tersebut, namun harus dipahami bahwa pada saat teori-teori hukum berkembang, kelompok pemikir hukum laki-laki adalah mayoritas yang memunculkan teori-teori tersebut. Selain itu, teori-teori hukum muncul pada saat pemikiran tentang kesetaraan gender belum m engem uka, sehingga tidak dapat memberikan perimbangan pada ideologi m askulin yang
Universitas Pelita Harapan, Vol. V/IL, No. 1, Juli

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... mendominasi.10 Hal tersebut akan berdampak pada argumen kedua berikut ini. Kedua, hukum dan akibatakibat yang ditimbulkan oleh teori maskulin. Laki-laki telah membuat pada nilai-nilai yang ada pada sistem dan budaya yang diterapkan oleh kelompok-kelompok tertentu tersebut." Bila nilai-nilai tertentu secara kultural m elekat pada kemudian melekat pada nilai-nilai

hukum adal ah re fl e ks i dari ni l a i-n i lai laki-laki yang dengan demikian

dunia hukum melalui imaji mereka


dan mempertanyakannya dengan kebenaran yang menurut mereka absolut. A yang kem pa udian muncul dari nilai-nilai maskulin itulah yang mendom inasi dan mewarnai masyarakat dan akhirnya hukum serta apa yang dihasilkan oleh hukum K . arena hal itu permasalahan kemudian muncul, yaitu yang berkaitan dengan kelompok yang terpinggirkan dalam pembuatan keputusan dan teori-teori hukum tersebut (dalam hal ini kelompok perempuan). Permasalahan juga muncul pada adanya kesuli tan yang melekat

hukum, tidak heran bila hukum


seakan-akan berbicara untuk lakilaki dalam kultur maskulin yang dominan tersebut. Sehingga is tidak berbicara atas nama perempuan atau kelom pok terpinggirkan lainnya. 12Berkaitan dengan hal itu ideologi Margaret bahwa secara Davies bentuk mengatakan

umum dari patriarki terlihat diulang di dalam hukum itu sendiri, dimana substansi dari kategori hukum telah mengabaikan perhatian yang diperlukan oleh kelompok yang tidak terw akili dalam pembentukan hukum tersebut,
I 1 Margaret Davies, Loc.Cit

10

Ideologi maskulin tidak selalu berarti

ideologi yang dikeluarkan oleh pikiran


laki-laki. Namun pada jamannya, ideologi maskulin mungkin sajajuga muncul

12 Dalam pembentukan kaidah hukum, sangat wajar apabila terdapat nilai-nilai yang

dari pemikiran perempuan dengan belum


mengemukanya perimbangan atau kesetaraan jender yang menyebabkan masyarakat secara umum (termasuk perempuan) memiliki wacana yang sangat maskulin.

dominan yang mewarnai hukum yang


dihasilkan. Akan muncul permasalahan

apabila warna hukum yang dipengaruhi


ideologi dominan tersebut kemudian ber-

dampak ketidak-adilan pada kelompok


yang tidak dominan

Law Review, Faiwltas 17ukum Univer

sitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli 2008

145

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hulcum Dan ...

dalam hal ini perempuan.13


ini dalam rantai berikutnya yaitu

Hal

kasus dipengaruhi pecan tertentu dari hukum dan kultur yang ada, sehingga hanya kekuatan dari ideologi yang besar saja yang dapat memenangkan persengketaan dan berpengaruh pada pesan tersebut. Hal ini menjadi relevan manakala seorang perempuan berhadapan dengan laki-laki dalam sebuah sengketa hukum dimana hukum akan berpihak pada kelompok darim ana ideologi hukum itu berasal. Hal ini juga akan nampak manakala seorang penegak hukum (bisa laki-laki maupun perempuan) menterjemahkan pecan hukum tersebut kepada seorang korban perempuan, dengan memaknainya dari sudut pandang laki-laki dan bukan sudut pandang perempuan sebagai korban.15 Karena yang selama ini dipahaminya adalah konsep atau pengertian yang sudah sangat dikenalnya, yaitu konsep yang didasarkan atau mengacu kepada nilai-nilai maskulin.
15 Niken Savitri, Fem inist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalarn Perempuan dan Hukum, Convention Watch UI bekerjasama dengan NZ AID, Yayasan Obor,

penerapan hukum, akan tampak dalam putusan-putusan hakim tehadap tindak pidana kekerasan seksual kepada perempuan, dengan kecenderungan sanksi yang rendah dengan asumsi secara implisit maupun eksplisit bahwa korbainya berperan serta dalam proses terjadinya tindakan tersebut dengan menafikan pertimbangan pada persepsi korban. Premis ketiga menyatakan bahwa secara tradisional teori hukum adalah patriarki karena is sering kali berisikan sesuatu yang menggambarkan karakter umum dari hukum. Hukum itu sendiri tidak netral dan kenyataan bahwa hukum dapat digunakan oleh orang yang berpengalaman yang menggunakannya sebagai alat untuk menekan orang lain, tidak menjadi pertimbangan bagi pembuat hukum.14 banyak oran
14 ibid

Juga tidak

menjadi pertimbangan bahwa g dalambanyak


13 Margaret Davies, Loc. Cit.

2006.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli

146
2008

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ...

male, viewpoints". 16 Untuk dapat mengatakan bahwa hukum adalah patriarkis, memang tidak dapat dibuktikan semata-mata secaratekstual, karena pada dasarnya hukum `seakanakan' berlaku netral dan obyektif terhadap semua golongan. Namun hal tersebut dapat disimpulkan dari beberapa akar permasalahan i flosofi, seperti dikatakan Judith A Baer berikut ini : "...the bias founding fathers of philosophy began their work w ith the thought : "I am male; I shall construct a theory that only a man could create, appears authors' habit of deriving supposedly universal truths from their individual, and therefore " The to bias premise does ofmale Lebih lanjut Baer menyatakan: "...Som of the e propositions are overtly sexist. Aristotle sta s th t "th te a e re tio o la n f male to female is naturally that
16 Judit A Baer, Our Lives Before the Law, Princeton University Press, 1999, him.

I&

not insists that these

result instead from the

thought
of superior to the inferior-the

an d

ruling to the ruled. A danya bias patriarki pada hukum, menurut beberapa feminis disebabkan oleh berbagai hal, antara lain biologis, budaya dan

exp erien ce. Dominance theory asserts that male bias in law results from
mn e s b cio u je t n o f w mn" o e . '$

kekuasaan. Catherine Mac Kinnon


seorang feminis yang memberikan teori atas kritiknya kepada hukurn dengan dasar adanya difference and dominance, menyatakan bahwa "...difference theory maintains that law disadvantages women because it derives from male

Dengan demikian menurut m ereka, hukum m ang bias em gender karena latar belakang pikiran, pengalaman dan Cara pandang pencetusnya

yang

sebagian besar menggunakan nilainilai maskulin sebagai acuannya.


17 Ibid.
18 Chaterine Mac Kinnon, Fem inism Unmodified, Harvard University Press, 1987,

him. 33-34.
Law Review; Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Vill. No. 1, Juli 2008

147

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... dominant Hal tersebut di atas, sejalan pula denganapa yang dikemukakan Dworkin Wayne Morrison tentang adanya politik dalam proses legislasi yang dipengaruhi oleh pola pikir yang dom inan. Yaitu bahwa setiap sistem hukum merupakan ekspresi dari filsafat politik yang dominan yang juga merupakan kesatuan dan sangat berpengaruh pada sistem hukum tersebut.19 Lebih lanjut menurut Dworkin "...this in the philosophy values of is and expressed traditions daily in the practice law a academic of developing not purely philosophy. The political system is also m ade up of legal principles and these express the yang dikutip oleh

the law and is worked out

and deciding cases - it is

maka warna kebijakan tersebutlah Dworkin juga menyatakan bahw pem a bangunan hukum ini dipengaruhi oleh kebijakan, namun kebijakan adalah kekuatan internal yang ada di dalam proses 'legislasi. Kebijakan legislasi yang dipengaruhi oleh suatu nilai yang dom i:nan akan secara im plicit m ewarnai kebijakan tersebut. A pabila kem udian kebijakan tersebut berhadapan. - dengan kelompok yang bertentangan, political values of the system."
20

yang akan m endom inasi dan berpengaruh pada tata kebijakan tersebut. ` Lebih N icolson direct dalam D c ire t discrimination digambarkannya sebagai berikut :
GL

kerja Donald indirect la . w

lanjut d an

m enyatakan adanya

discrimination c in l rim a

19 Wayne Morrison,
prudence, Ser-

Elements of Juris-

International Law Book

vices, 1994, hlm. 208.


20 Ibid.

direct discrimination, here the law expressly .enacts different offences or rules of crim inal liability for wom en and men. But even when the law is formally genderneutral, informal discrimination may arise where various actors in the crim inal justice process

48

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Ali

2008

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... - most importantly, the police, prosecutors, magistrates, juries and judges - apply the rules in way which treat men and women differently."'-' Sehingga menurut deskripsi di atas, yang dilegalisasikan ke dalam hukum yang secara formal adalah netral gender, dapat dilaksanakan secara tidak berkeadilan gender oleh sistem peradilan pidana yang masing-masing telah dipengaruhi atau memiliki pola pikir yang bias gender. Sedangkan indirect discrimination menurut Nicolson : " ... may arise because formally gender-neutral criminal law ru s w re d sig e le e e nd to fit male patterns of behaviour or because legal standards are applied w m ith ale form of s behaviour mind
1122

21 Donald Nicolson, Crim inal Law and Feminism, dalam Feminist Perspectives on Criminal Law, Cavendish Publishing Limited, 2000, hlm. 8

22 Ibid.

direct discrimination

berkurangnya, Direct discrimination discrimination dan indirect yang digambarkan

kesempatan,

kenikmatan atau perlindungan yang didapat perem puan dari peraturan tersebut di atas, dapat terjadi secara direct m aupun

oleh Nicolson tersebut di atas, m enuhi kriteria salah satu em jenis diskrim asi, yaitu in jure discrim ination dialami perempuan, dikarenakan d e yang bisa

indirect seperti yang digambarkan oleh Nicolson tersebut. Secara di indirect pula dapat dikatakan bahwa hukum Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh positivism e hukum melakukan diskriminasi terhadap perem puan, karena positivisme yang dilakukan dengan kecenderungan legism telah e
149

adanya peraturan perundangan


yang atau ru u n a. m san y discrimination, peraturanyang mendiskriminasi D ju e re yaitu diskriminasi hilangnya, perempuan melalui pengaturan

yang disebabkan oleh adanya berakibat

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI11, No. 1, Juli 2008

Niken Savitri: Kri tik Teori.Hukum Feminis Atas Hukum Dan ...
24 Ibid

melegalisir peraturan perundangan y g bias gend ke dalam an er penerapannya yang kem udian merugikan perempuan. Menurut Alan Hunt, yang dimulai Aufklarung diberi tem yang istim a pat ew sebagai penj aga batas antara rakyat dan negara dan antara sesam a individu yang dituangkan ke dalam legal rights.23 Hukum kemudian diterima sebagai fenomena tunggal, yaitu hukum negara yang mengekspresikan kedaulatan suatu nation dengan penataan m asyarakat secara rasional yang dilakukan dengan penggunaan prosedur netral dalam pengambilan putusan di atas benturan antara kepentingankepentingan.24 Hukum dengan fenomena tunggal inilah yang kelak dalam penerapannya tidak dapat menangkap fenomena plural tentang social kenyataan-kenyataan yang hidup, diantara state. la dibekali sejak masa hukum modern

23 Satjipto Rahardjo, Hukum dolam Jagat Ketertiban, Penerbit UKI Press, Jakarta 2006, him. 50.

kebutuhan kelompok perempuan atas keadilan. Apalagi fenomena tunggal tersebut diwarnai oleh pengaruh dari ideologi yang dominan dalam pembentukannya, yaitu ideologi patriarkis. Menurut Dennys Lyoid yang dikutip oleh konsep Hukum.25 D onny D anardono, berasal dari Positivisme

dari berbagai persoalan moral, agama, filsafat, politik, sejarah dan serrmacamnya. Pertanyaan tentang adil-tidaknya atau baikburuknya hukum merupakan pertanyaan moral yang tidak relevan untuk diajukan. M eskipun sebuah hukum terbukti tidak adil, tapi selama dia masih berlaku, maka hukum itu tetap harus dipatuhi. "2b
25 Donny Danardono, Teori Hukum Feminis. Menolak Netralitas Hukum, Merayakan Difference dan Anti-Esensialisme, dalam

netralitas atau obyektivitas hukum Lebih lanjut menurut Donny: "M u t p en ru ara p g u en an t Positivisme Hukum, kepastian hukum hanya akan terwujud bila hukum dianggap sebagai sistem yang tertutup dan otonom 150
2008

Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Convention Watch-Yayasan Obor, Jakarta, 2006, him. 4. 26 Ibid

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII. No. 1, Juli

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... Dengan menggunakan positivisme hukum sebagai dasar landasan pengundangan dan pelaksanaan suatu peraturan, m aka negara akan `terpaksa' menafikan adanya kebutuhan keadilan secara khusus yang dibutuhkan oleh kelompok akan memotret pola pikir tersebut ke dalam realitas rumusan dan pelaksanaannya yang ternyata membuahkan ketidak-adilan bagi sekelompok lainnya yang tidak mendominasi pola pikir pembuatan hukum. Sehingga pada waktu

tertentu.

Karena positivisme

hukum harus dilaksanakan secara


netral dan obyektif, hasilnya adalah ketidak-adilan bagi kelompok yang tidak terwakili secara dominan dalam perumusan tersebut, yang dalam hat ini adalah kelompok perempuan. Karena itulah teori hukum feminis selain menyatakan adanya bias patriarkis pada hukum juga menolak adanya pelaksanaan hukum secara netral dan obyektif, karena hal ini sem ata-m ata hanyalah tindakan pengulangan ideologi patriarki padapelaksanaan hukum tersebut. Positivisme hukum yang diterapkan melalui penggunaan aturan yang dianggap netral tersebut juga digugat oleh gerakan CLS yang mencoba menemukan pola dan dari hal itu menemukan struktur yang didasarkan pada

m engandaikan hukum secara liberal-klasik yang menganggap kumpulan masyarakat sebagai kumpulan individu yang otonom dan m iliki hak-hak yang em sama.2' Dengan demikian, karena masyarakat dianggap homogen, memiliki otonomi dan hak yang lama, hukum harus dapat berlaku obyektif dan netral kepada setiap individu dalam masyarakat tersebut. Namun yang terlupakan oleh adanya konsekuensi logis tersebut di atas adalah proses perumusan hukum yang netral dan obyektif tersebut dilakukan oleh sekelom pok orang yang memiliki pola pikir yang seragam, yaitu pola pikir patriarki. Dengan demikian hukum yang dihasilkan
27 Ibid., hlm. 6.

Law Review, Fakultas Hukuni Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli 2008

151

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... unsur-unsur realitas social yang W dan beraneka macam.28 as Diantara salah satu realitas sosial tersebut adalah realitas kebutuhan perempuan yang menginginkan keadilan dan mempertanyakan adanya netralitas hukum yang berdampak pada ketidak-adilan bagi kelompok mereka. Hukum yang netral dianggap oleh feminis tidak cukup atau bahkan berdampak negatif pada pencapaian keadilan yang mereka inginkan. Meskipun beberapa aliran fem inis dan kalangan yang mendukungnya cenderung equality atau kesetaraan dalam beberapa bidang tertentu (misalnya aliran feminis tradisional dan liberal), namun penerapan hukum yang netral dikritisi oleh aliran feminis kultural (yang menekankan pada adanya perbedaan yang ada pada perempuan dan laki-laki) sebagai tidak adil. Maka karena hal itulah menurut aliranini penerapanhukum yang tidak mempertimbangkan adanya perbedaan tersebut akan menyebabkan keadilan tidak bisa dicapai.
28 Aid, hl. 51.

Adanya positivisme hukum di dalam hukum di Indonesia yang akhirnya berdampak pada ketidak-adilan kepada kelompok perem puan akan terlihat pada paparan kritik teori hukum femiis atas peraturan perundangan di Indonesia di bawah ini. 2. Kritik Teori Hukum Feminis atas Peraturan Perundangan di Indonesia Selain hukum yang secara um um dipengaruhi oleh pola pikir patriarkis, teori hukum feminis mengkritik pula peraturan perundangan yang bias gender. Tidak terkecuali di Indonesia, peraturan perundangan

kepada

adanya

dan

penerapannya merupakan refleksi dari pola berpikir m asyarakat secaraurnum. Sehinggamasyarakat yang m asih m engedepankan pola pikir patriarkis juga akan terefleksikan pada bagaimana peraturan perundangan mengatur berbagai permasalahan di dalam masyarakat. Di Indonesia pemberlakuan peraturan sangat

152 2008

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Ali

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... dipengaruhi oleh parlemen dimana pengajuan rancangan peraturan baik atas inisiatif parlemen atau pengajuan dari pemerintah, harus selalu melalui pembicaraan di parlemen dan akhirnya difinalisasi oleh parlemen pula. Sehingga parlemenlah yang menjadi wakil dari suara masyarakat yang akan menyetujui atau menolak usulan atas pemberlakuan suatu peraturan perundangan. Karenanya individuindividu yang menjadi unsur di dalam Parlemen akan berperan penting dalam pembentukan suatu peraturan. Presentasi perempuan sebagai anggota parlemen untuk periode 2003-2008 saat ini tidak mencapai angka 10%, sehingga dapat pula diartikan bahwa suara perempuan yang terwakili dalam pemberlakuan suatu peraturan perundangan, hanya maksimal mencapai 10% saj a. I lustrasi berikut di bawah ini dapat menggambarkan bagaimana signifikansi perempuan di parlemen dalam perumusan dan penerapan suatu peraturan perundangan di Indonesia. Undang-undang Pemilu Nomor 3 tahun 1999 yang memuat adanya ketentuan tentang kuota perempuan dalam pencalonannya sebagai anggota parlemen secara k asat m d at d g ap ata ap ian g sebagai peraturan perundangan yang m enuhi kepentingan em perempuan dan mewakili kebutuhan perempuan. Namun peraturan tersebut oleh teori hukum feminis dimaknai secara berbeda dengan menganggapnya sebagai suatu peraturan yang mengandung bias gender secara implisit, selain merupakan reproduksi model dominasi lakilaki dan membuktikan adanya pilihan yang sangat terbatas pada perempuan. Seperti diketahui, pasal 65 ayat I Undang-undang Pemilu tersebut di atas menyatakan adanya kuota yang didapat oleh perempuan dalam pemilu. Pada waktu pembentukan peraturan tersebut desakan dan tuntutan banyak datang dari lem baga atau kelompok perempuan untuk memasukkan pasal tentang kuota

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli 2008

153

Niken Savitri: Kri(ik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... perempuan ke dalam peraturan tersebut, mengingat pentingnya pengalaman dan suara perempuan teraspirasikan melalui (anggota) Parlemen. Namun penolakan atas ide tersebut juga sedemikian kuat dari sebagian kelompok yang lain, yang merasa perempuan belum cukup layak untuk diberi jatah terte.ntu di dalam parlemen karena mereka tidak memiliki ketertarikan dan ilmu politik yang memadai untuk terjun di arena politik praktis.29Penolakanj ugadidasarkan pada adanya pesimisme bahwa jatah atau kuota pada perempuan, tidak menjamin perempuan akan tersuarakan dengan baik apabila perempuan anggota parlemen itu sendiri justru tidak memiliki perspektif terhadap perempuan. Atau sebaliknya, laki-laki pun sebenarnya dapat menyuarakan tuntutan-tuntutan perempuan apabila memiliki perspektif yang cukup atas kebutuhan perempuan. Sehingga tidak perlu perempuan diberikan jatah atau kuota tertentu
29 Kompas, 29 November 2002 : Banjir 'Minderheidsnota' soal tolak Kuota Perempuan

di parlem P en. endapat yang terakhir ini secara tidak langsung telah menafikan adanya kebutuhan atas pengalaman perempuan, yang khas yang hanya dimiliki perem puan dan tidak dim iliki laki-laki, sehingga tidak bisa disuarakan oleh selain perempuan dalam parlemen. Misalnya dengan adanya kebutuhan cuti haid bagi buruh perempuan. Hampir dapat dipastikan hanya perempuan yang pernah mengalami pengalaman haid, sehingga dapat lebih bijaksana memutuskan diperlukan atau tidaknya cuti tersebut bagi buruh perempuan berdasarkan pengalarnannya. Pendapat terakhir tersebut juga tidak m buka em pilihan yang memang terbatas bagi perempuan untuk terjun ke bidang politik praktis. Perempuan yang selama ini memang tidak banyak menggeluti bidang politik atau bidang publik karena diposisikan untuk m engutam akan bidang domestik, tidak diberikan pilihan luas untuk memilih bidang yang akan diterjuninya.

154
2008

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... Setelah perdebatan dan mengalami penundaan peraturan lebih lanjut, jum lah perem puan di parlem pada en periode tersebut justru lebih kecil Kata dibandingkan dengan komposisi parlemen sebelumnya. `dapat' dalam rum usan pasal yang tidak m berikan em

yang begitu panjang, akhirnya peraturan pemilu mengakomodasi adanya kuota perempuan di dalam parlemen sebesar 30%. Namun pemberian kuota tersebut tidak

wajib diberikan oleh partai yang


mengusulkan calonnya atau tidak dibuktikan dalam m ekanism e pemilu, terbukti dari pencantuman kata "dapat" di dalam pasal Dengan mencantumkan kuota, tapi juga m encantum kan kata "dapat" dalam pasal tersebut, terlihat adanya model dominasi pemikiran patriarki yang muncul dalam rumusan pasal tersebut yang dengan setengah hati memberikan jatah kepada perempuan untuk duduk di parlemen. Artinya kuota dapat diberikan kepada perempuan, tapi bila tidak terpenuhi atau tidak dilakukan, tidak akan berdampak pada dijatuhinya sanksi apapun. A khirnya karena m ekanism e untuk mencapai kuota tersebut m ang tidak disusun dalam em 65 ayat 1 undang-undang tersebut.

kewajiban kepada pihak-pihak


terkait untuk memberikan kuota kepada perem puan dan ketiadaan mekanisme untuk dapat terpenuhinya kuota tersebut, m erupakan cerm keraguan in

Parlemen dalam memberikanjatah


tertentu kepada perempuan dan merupakan bias gender yang secara implisit nampak dari peraturan tersebut. D alam beberapa tahun terakhir tercatat adanya beberapa peraturan yang dikeluarkan yang m perlihatkan adanya em keberpihakanterhadapkepentingan perempuan. Diantaranya, undangundang yang meratifikasi Konvensi

CEDAW (Undang-undang Nomor 7 tahun 1984), undang-undang


Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga/PKDRT (Undang-

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli 2008

155

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... undang Nomor 23 tahun 2004) secara utuh.30 Hal tersebut secara umum memperlihatkan bahwa suara perempuan dalam parlemen berperan cukup penting untuk dapat disuarakannya kebutuhankebutuhan dan kepentingankepentingan perempuan. Dalam hal suara tersebut terwakili dalam prosentasi yang kecil, maka suara tersebut tidak secara signifikan berarti dalam 'pertentangan' yang terjadi dengan pola pikir maskulin atau laki-laki yang lebih banyak terw akili oleh lebih banyak prosentasi anggota parlemen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya m askulin akan tergambar dalam produk politik
30 Dalam pembahasan di parlemen muncul
pandangan-pandangan bahwa. kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah keluarga atau masalah domestik semata dan bahwa laki-laki juga ada yang menjadi korban kekerasan istri dan lain sebagainya. Bahkan juga anggapan bahwa hukum harus berhenti di saat memasuki kamar tidur sepasang suami isteri. Hal ini memperlihatkan adanya pandangan patriarki yang menonjol dari anggota parlemen yang menyebabkan adanya kesalah-pahaman dalam usaha-usaha pengundangan

dan undang-undang Perdagangan Manusia (Undang-undang Nomor 6 tahun 2007). Tidak banyaknya peraturan yang muncul dalam sepuluh tahun terakhir ini bukan merupakan refleksi tidak adanya gerakan inisiatif dari kelompok perempuan untuk menyuarakan dan m inta hak-hak untuk em lebih medapatkan perhatian dari pemerintah. Namun lebih karena sulitnya pembahasan di parlemen berkaitan dengan m unculnya peraturan yang berperspektif perempuan. Undang-undang PK RT m erlukan w D em aktu yang cukup lama untuk akhirnya diberlakukan. Pada waktu sidangsidang terbatas di parlem en penolakan oleh anggota parlemen yang hampir seluruhnya laki-laki untuk menyepakati undang-undang tersebut dirasakan sangatmenonj ol. Penolakan lebih banyak disebabkan konsep yang belum dipahami

aturan PKDRT.

156
2008

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1. Juli

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... berupa peraturan perundangundangan yang diberlakukan melalui parlemen yang didominasi oleh pola pikir maskulin. Lebih lanjut, bahwa budaya di dalam masyarakat akan berpengaruh pada peraturan dan penegakannya tampak dari antara lain peraturan pokok perkawinan di. Indonesia. Peraturan yang berkaitan dengan perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia termasuk ke dalam hukum yang merefleksikan budaya dalam suatu masyarakat dalam memandang perkawinan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, namun cenderung lebih m berikan em kesempatan untuk melakukan penekanan pada posisi perempuan melalui pengaturan dalam hukum tersebut. Contoh yang terjadi di dalam pengundangan peraturan pokok perkawinan undang Nomor .di 1 (undangtahun 1974) di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang diwarisi pemerintah Indonesia dari pemerintah Belanda. Hal ini tampak antara lain dari pengaturan tentang monogami yang di simpangi di dalam undang-undang dengan mempertimbangkan adanya

tentangan kuat dari para ulama


Islam pada masa pembentukan peraturan pokok perkaw inan tersebut. Akibatnya yang kemudian muncul di dalam undang-undang tersebut adalah adanya peraturan tentang monogami terbatas. Hal ini memperlihatkan bukti bahwa masyarakat memang berperan dalampembentukansuatuperaturan dan masyarakat yang berperan pada masa pembentukan peraturan tersebut adalah masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Apabila dianalogikan kepada budaya patriarki yang juga mendominasi pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia, undang-undang pokok perkawinan juga akan m enjadi salah satu

Indonesia memperlihatkan

adanya kontroversi, terutama yang berkaitan dengan penyimpangan dari aturan yang ada sebelumnya

cerminan dari implementasi budaya


patriarki pada peraturan. Di dalam

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V111, No. 1, Juli 2008

157

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... undang-undang tersebut didapati peraturan yang menyatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda. Hal ini merupakan refleksi kuat dari budaya m asyarakat yang ada pada masa itu. Pada masa itu menurut masyarakat, pembakuan peranan tersebut adalah sesuatu yang ideal untuk dilakukan dalam suatu peraturan perundangan.3 t Masyarakat dalam hal ini harus dilihat sebagai suara laki-laki, mengingat pada masa itu (bahkan h g as a in in g a t suami dan isteri di dalam Undangundang tersebut mencerminkan adanya budaya masyarakat pada saat pengundangan peraturan tersebut (sekitar tahun 1970 an) dimana suami lebih banyak bekerja di sektor publik dan isteri lebih banyak bekerja di sektor domestik/privat sebagai pengurus rumah tangga dan keluarga. Pada saat itu pem ikiran

yang

membakukan

peran

dan posisi suarni dan isteri belum m enam pakkan adanya dam apapun, pak khususnya bagi kesejahteraan keluarga di Indonesia. Namun tanpa disadari peraturan perundangan yang membakukan peranan perempuan tersebut telah menjadi acuan bagi sektor ketenaga-kerjaan yang pada akhirnya berdampak negatif kepada perempuan. Perempuan y g k u ian d d ad an em d i ek e berikutnya (mulai tahun 80an dan terutam setelah adanya krisis a ekonomi tahun 1997) dituntut untuk berpartisipasi disektor publik untuk membantu perekonomian

parlemen

didominasi oleh suara laki-laki sehingga bentukan peraturan akan m encirikan suara m asyarakat yang diwakili oleh suara anggota parlemen yang dom inan lakilaki tersebut. Pengaturan peranan
31 UU No. 1/1974 tentang Pokok Perkawinan : Pasal 31 ayat 3 : suami adalah kepala

rumah tangga dan istri adalah ibu rumah


tangga. Pasal 34 ayat 1: suami wajib melindungi

isterinya dan memberikan segala sesuatu


keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya. Pasal 34 ayat 2: Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya

158 Juli 2008

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1,

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... keluarga, masih dipandang oleh sektor ketenaga-kerjaan hanya sebagai pekerja yang mencari tambahan penghasilan semata, sehingga upah perempuan pun lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan pajak penghasilan yang berkolaborasi dengan positivisme hukum dalam merumuskan peran dan tanggung jawab suami dan isteri di dalam suatu peraturan

yang

akhirnya

berdampak

rnerugikan kepada pihak-pihak yang diatur di dalam peraturan

dikenakan kepada perempuan lebih


besar daripada yang dikenakan kepada laki-laki.32 Dengan menerapkan positivisme hukum, yang bertujuan melakukan pengaturan atas perkawinan di Indonesia, hukum mencoba m elakukan pem isahan antara hukum yang berlaku dan hukum (yang secara moral) seharusnya berlaku. Ideologi patriarki yang ada dalamm asyarakat telah
32 Dalam pasal 7, Undang-undang No. 17
tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa pekerja perempuan yang sudah menikah sebagai Wajib Pajak dianggap sebagai lajang dan tidak menanggung keluarga. Sedangkan pekerja laki-laki yang sudah menikah sebagai Wajib Pajak dianggap menanggung keluarga (isteri dan anak) karena kedudukannya sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Hal

tersebut. Positivisme hukum yang


bertujuan mulia untuk mencegah kesewenang-wenanganpemerintah (penguasa) dalam memberlakukan peraturan, telah

menafikan

sisi m oral yang pada akhirnya berakibat pada peminggiran hakhak dan kesempatan pihak-pihak tertentu dalam berperan serta dalam pem bangunan. Pada akhirnya kerugian, bukan hanya ada pada pihak isteri atau perempuan yang diberikan peranan terbatas dalam sektor domestik saja, namun juga pihak suami atau laki-laki. Seperti diketahui di masa krisis ekonomi, banyak perusahaan yang terpaksa harus memPHK karyawannya dan ini berdampak besar bagi banyak rumah tangga di Indonesia. Apabila undang-undang Perkawinan mengamanatkan isteri untuk hanya

itu jga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1967 yang menjelaskan bahwa isteri dan anak-anak diakui sebagai tanggungan pekerja laki-laki, sedangkan pekerja perempuan yang menikah diang-

gap lajang dengan anak dan suami tidak


dianggap sebagai tanggungannya.

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol, VIII, No. 1, Juli 2008

159

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... berperan mengatur urusan rumah tangga dan suami sebagai pihak yang harus memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, maka PHK akan menjadi jalan buntu bagi kehidupan perekonomian banyak rumah tangga di Indonesia. Ilustrasi memperlihatkan di atas bagaimana yang bias gender pula. Dengan mem berikan kritiknya kepada teori hukum konvensional, teori hukum feminis mencoba memberikan pendekatan yang berbeda dalam melihat bagaimana hukum dipraktekkan. Khususnya concern teori hokum fem inis adalah bagaimana hukum telah meminggirkan perempuan dan berdampak merugikan perempuan. Dalam hal tersebut teori hukum feminis menyatakan dirinya adalah bagian dari teori hukum kritis yang sekaligus memberikan penawaran adanya perbaikan pada hukum yang selama ini selalu dirumuskan dan diterapkan dengan sudut pandang patriarchy. Teori hukum feminis

pem bentukan hukum sangat dipengaruhi oleh pembentuknya. Bila pembentukannya dimuati oleh ideologi yang dominan yaitu ideologi maskulin, maka peraturan yang lahir akan diwarnai oleh ideologi tersebut dan dengan demikian tidak mewakili ideologi minoritas yang lain atau yang berbeda. Implementasi hukum oleh hakim adalah salah satu cerminan bagaim penegak hukum ana memaknai positivisme hukum di Indonesia. Berdasarkan di atas argumen dapat disim pulkan

mencoba mendekatinya dari sudut pandang yang berbeda yang diberi warna oleh berbagai aliran feminis seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya. D engan ini pula teori hukum feminis menawarkan suatu pendekatan yang baru kepada siapa saj a yang ingin mempelajari hukum dan menerapkan teori hukum yaitu

bahwa kebanyakan teori hukum konvensional yang bias gender akhirnya dalam pelaksanaannya akan m buahkan hukum em

160 2008

Law Review, F'akultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Juli

Niken Savitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... melalui pendekatan feminis yang memberikan perspektif perempuan sebagai pertimbangan utamanya. Kesimpulan Hukum yang dirumuskan dan diberlakukan sebagai suatu komitmen untuk mendatangkan keadilan terkadang dan peraturan perundangan, dimaksudkan agar setiap pihak yang terlibat di dalam penyusunan serta pemberlakuan hokum menyadari hal tersebut serta dapat menyesuaikan implementasi hukum berdasarkan pemahaman atas adanya ketidak-adilanterhadap kelompok perempuan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Baer, Judit A. Our Lives Before the Law. Princeton University Press, 1999. Davies, Margareth. Asking the Law Question. The Law Book

dan

ketertiban,

berdam pada pak

adanya ketidak-adilan kepada suatu kelom pok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena dalam pembentukannya, kemudian ideologi bahkan pemberlakuannya, yang m endom inasi

hukum dipengaruhi oleh suatu pembentukan hukum tersebut. Teori hukum feminis, melihat adanya pengaruh yang dominan ini muncul dari ideologi patriarki, yang akhirnya mengakibatkan hukum mendatangkan ketidakadilan kepada kelompok yang tidak terw akili oleh ideologi tersebut, dalam hal ini kelompok perempuan. Kritik teori hukum feminis atas teori hukum, hukum

Company Ltd, 1994.


Danardono, Donny. "Teori Hukum Feminis, Menolak Netralitas Hukum, Merayakan Difference dan Anti-Esensialisme," Perempuan dan Hukum, M n ju H k my n eu uu ag Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Convention Watch-

Yayasan Obor, 2006.

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Ali 2008

161

Niken Sa vitri: Kritik Teori Hukum Feminis Atas Hukum Dan ... Mac Kinnon, Chaterine. Feminism Unmodified. Harvard University Press, 1987. Morrison, W ayne. Elem ents o f Jurisprudence. International Law Book Services, 1994. Nicolson, Donald. "Criminal Law and Feminism," Feminist Perspectives on Criminal Law. Cavendish Publishing Limited, 2000. Savitri, Niken. "Feminist Legal Theory dalamT eori Hukum," Perempuan dan Hukum. Convention Watch UI bekerjasama dengan NZ AID, Yayasan Obor, 2006. Rahardjo, Satjipto. Hukum dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: Penerbit UKI Press, 2006. Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought. Jakarta: Jalasutra, 2004. W eisberg, D. Kelly. Fem inist

Legal Theory -Foundation. Phildelphia: Temple


University Press, 1993. Harian Kompas, 2002. 29 November

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
Peraturan Pemerintah Nomor tahun 1967. 37

162
2008

Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 1, Ali

Вам также может понравиться