Вы находитесь на странице: 1из 18

Review Konsep Terkini Tren Penatalaksanaan Fraktur Terbuka

Antibiotic sebaiknya diberikan kepada pasien dengan fraktur terbuka sesegera mungkin untuk mengurangi resiko infeksi Pasien dengan fraktur terbuka sebaiknya dibawa ke kamar operasi secara urgen, dengan stabilisasi pasien terlebih dahulu, persiapan kamar operasi, dan pertolongan yang tepat Rumusan masalah yang ada terkait dengan solusi dan metode yang optimal dalam irigasi fraktur terbuka Penutupan luka yang sudah didebrideman secara adekuat sesegera mungkin memberikan keamanan dan dapat memperbaiki luaran (outcomeI) pasien Terapi tambahan, seperti penggunaan cangkok (graft) tulang dan rhBMP-2, padat meningkatkan proses penyembuhan fraktur

Seratus lima puluh tahun yang lalu, mortalitas fraktur terbuka sangatlah tinggi. Seiring dengan berkembangnya terapi modern, outcome pasien fraktir terbuka telah membaik secara dramatis. Tujuan ahli bedah dalam penatalaksanaan fraktur terbuka dalah mencegah infeksi, memicu penyembuhan fraktur, dan mengembalikan fungsi tulang seoptimal mungkin. Semua pasien dengan fraktur terbukan membutuhkan stabilisasi, profilaksis tetanus, antibiotic sistemik, debrideman yang adekuat, irigasi yang banyak, stabilisasi fraktur, penutupan luka sesegera mungkin, rehabilitasi dan follow up yang adekuat. Selain itu, pada pasien tertentu mungkin juga diperlukan antibiotic local, rawat luka (mungkin dengan penutupan dengan bantuan vaccum), cangkok (grafting) tulang, atau terapi-terapi tambahan lain. Pada review ini, kami menganalisa bukti ilmiah yang berkaitan dengan isu-isu penting dalam penatalaksanaan fraktur terbuka termasuk klasifikasi, penggunaan antibiotic, waktu untuk intervensi operatif, irigasi, fiksasi, cakupan jaringan lunak (soft tissue), dan terapi-terapi tambahan lainnya.

Klasifikasi Ftraktur Terbuka Suatu fraktur dikatakan terbuka jika lesi pada kulit dan jaringan lunak di bawahnya membuat terjadinya kontak antara tulang yang fraktur dengan lingkungan luar. Fraktur terbuka

sebagian besar diklasifikasikan berdasarkan sistem Gustilo dan Anderson yang kemudian dimodifikasi oleh Gustilo. Berdasarkan sistem ini (table 1), fraktur terbuka dibagi menjadi: fraktur terbuka tipe I dengan ciri luka <1 cm dengan kontaminasi, kominutif dan kerusakan jaringan lunak yang minimal; fraktur terbuka tipe II dengan ciri adanya laserasi >1 cm dan jejas sedang pada jaringan lunak namun, namun cakupan luka masih adekuat dan lesi periosteum tidak terlalu melebar; fraktur terbuka tipe III dibagi menjadi 3 subtipe yakni tipe IIIA yakni fraktur karena trauma dengan energi besar, kerusakan jaringan lunak yang luas, dan kontaminasi, namun cakupan luka masih adekuat setelah dilakukan debrideman. Tipe III B sama dengan tipe IIIA, kecuali pada cakupan luka yang tidak lagi adekuat. Tipe IIIC adalah fraktur terbuka yang berkaitan dengan lesi pada arteri dan membutuhkan upaya perbaikan. Karena prognosa jejas pada jaringan luna dan tulang bergantung pada kedalamam luka, maka penting untuk mengklasifikasikan fraktir terbuak tidak di UGD namun di meja operasi, setelah eksplorasi pembedahan, dan debrideman yang adekuat.

Tipe Fraktur I II IIIA IIIB IIIC

Tabel 1. Sistem Klasifikasi Gustilo et al, Definisi dan Angka Infeksi Definisi Angka infeksi(%) Luka<1cm, kontaminasi, kominutif dan kerusakan jaringan lunak yang minimal, Luka >1 cm, kerusakan sedang jaringan lunak, lesi periostela yang minimal Kerusakan soft tissue berat, kontaminasi yang bermakna, cakupan luka adekuat Kerusakan soft tissue berat, kontaminasi yang bermakna, cakupan luka tidak adekuat Jejas pada arteri yang memerlukan upaya perbaikan 0-2 2-5 5-10 20-50 25-50

Saat ini peneliti-peneliti dua studi terdahulu menyatakan bahwa sistem klasifikasi Gustilo dan Anderson berhubungan dengan rendahnya tingkat persetujuan antar ahli. Brumback dan

Jone mempresentasikan 12 rekaman video kasus fraktur terbuka kepada 245 ahli bedah dimana video kasus tersebut menceritakan data demografi, riwayat luka, hasil dari pemeriksaan fisik, tampilan luka sebelum operasi, radiografi preoperatif, menceritakan proses debrideman, dan kemudian meminta para ahli bedah tersebut untuk mengklasifikasikan fraktur terbuka dengan menggunakan sistem Gustilo dan Anderson. Tingkat persetujuan (didefinisikan sebagai prosentase terbesar dari para ahli yang memilih satu klasifikasi) rata-rata adalah 60%, yang mana penulis menggambarkan hasilnya sebagai sedang ke buruk. Namun, masih belum jelas apakah tingkat persetujuan para ahli tersebut dikarenakan oleh fakta bahwa klasifikasi dilakukan hanya berdasarkan hasil rekaman video. Meskipun dengan keterbatasan tersebut di atas, klasifikasi Gustilo dan Anderson masih tetap dipilih sebagai sistem klasifikasi guna menggolongkan fraktur terbuka karena tipe fraktur sangat berhubungan dengan resiko infeksi dan komplikasinya. Sebagai contoh, angka kejadian infeksi pada tipe I dilaporkan berkisar 0-2%, tipe II 2-5%, tipe IIIA 5-10% dan tipe IIIB berkisar 25-50% (table 1). Jumlah pasien dalam laporan tersebut berkisar antara 84-1104 orang. Baru-baru ini, Bowen dan Widnaier meneliti 174 pasien dengan fraktur terbuka tulangtulang panjang dan menemukan tidak hanya klasifikasi Gustilo dan Anderson, namun juga jumlah kemungkinan komorbiditas yang terjadi untuk menjadi predictor yang bermakna untuk terjadinya infeksi melalui analisa multivariate. Pasien dibagi menjadi 3 kelas berdasarkan ada atau tidaknya 14 faktor medis dan immune kompromis yang meliputi usia > 80 tahun, pengguna nikotin, diabetes, keganasan, indufisiensi pulmonal, dan imunodefisiensi sistemik. Infeksi ditemukan pada 4% (2 dari 78 pasien) pasien dengan kelas A (tanpa factor kompromis), 15% (13 dari 89) untuk pasien dengan kelas B (memiliki 1 atau 2 faktor kompromis), dan 31% (5 dari 16) untuk pasien dengan kelas C ( > 3 faktor kompromis) (p = 0.007).

Penggunan Antibiotik Antibiotik telah digunakan sebagai terapi standar pada fraktur tebuka sejak tahun 1974, ketika Patzkis dkk melaporkan penelitian randomized control trial mereka mengenai pemberian sefalotin (sefalosporin generasi pertama) pada tatalaksana fraktur terbuka. Keuntungan penggunaan antibiotik juga telah dilaporkan pada review sistematik Cochrane yang menunjukan bahwa pemberian antibiotic pada fraktur terbuka menurunkan resiko infeksi hingga 59% (relative risk 0.41; 95% CI 0,27-0.63) (table II). Meskipun dulu kultur bakteri dilakukan baik

sebelum maupun sesudah debrideman fraktur tebuka, para peneliti terkini telah mempertanyakan manfaatnya. Lee meneliti tentang kultur bakteri predebrideman dan menelukan hanya 8% (18) dari 226 mikroorganisme yang tumbuh pada media kultur yang mampu menyebabkan infeksi, dan 7% (7) dari 106 pasien dengan hasil kultur negative menjadi menderita infeksi. Kultur postdebrideman juga tidak lebih baik, karena hanya 25% (8) dari 32 mikroorganisme yang tumbuh pada media kultur yang mampu menyebabkan infeksi, dan 12% (10) dari 87 pasien dengan hasil kultur negative menjadi menderita infeksi. Sehingga saat ini, kami tidak merekomendasikan untuk dilakukan kultur rutin baik sebelum mamupun sesudah debrideman (table II). Seperti yang dinyatakan oleh studi-studi sebelumnya, bahwa mikroorganisme yang ditemukan pada fraktur tebuka dengan kontaminasi, tidaklah mewakili mikroba yang akan menyebabkan infeksi. Faktanya, justru banyak bukti yang menyatakan bahwa kasus infeksi pada lokasi fraktur tebuka lebih dikarenakan infeksi bakteri nosokomial. Pada studi yang dilakukan oleh Carsenti-Etese dkk, 92% (35) dari 38 kasus infeksi fraktur terbuka disebabkan oleh bakteri yang didapat ketika pasien berada di rumah sakit. Saat ini, sebagian besar infeksi fraktur terbuka disebabkan oleh bacil Gram negative dan stafilococcus Gram positif. Akan tetapi, methicilin resistance staphylococcus aureus (MRSA) telah banyak terbukti sebagai penyebab dari infeksi pada fraktur tebuka. Pada tahun 1980 di rumah sakit Texas, MRSA terdapat dalam 23 pasien yang mengalami fraktur terbuka, sebagian besar memiliki outcome yang buruk. Infeksi MRSA pada fraktur tebuka juga dilaporkan pada studi yang dilakukan carsenti-Etese dkk. Sehingga studi-studi tersebut diatas telah mengindikasikan pentingnya perawatan luka sedini mungkin. Meskipun banyak data yang mendukung penggunaan antibiotic pada fraktur terbuka, namun data mengenai regimen yang optimal masih terbatas. Pada studi randomized controlled trial yang dilakukan oleh Patzkis dkk, pasien yang menerima sefalosporin generasi pertama memiliki angka kejadian infeksi yang lebih rendah dibandingkan dengan kombinasi penicillin dan streptomisin (2,3% dibandingkan dengan 9,7%). Pada studi berikutnya yang dilakukan oleh peneliti yang sama, menyatakan bahwa teapi dengan cefamandole dan tobramycin pada fraktur terbuka lebih baik dibandingkan kombinasi penicillin dan streptomisin (4.5% vs 10%), namun tidak lebih baik dari terapi dengan sefalotin (5,6%). Pada studi prospektif double blind yang dilakukanoleh Benson dkk, menyatakan bahwa clindamycin juga sama efektifnya dengan sefazolin untuk mencegah infeksi paska fraktur terbuka.

Siprofloksasin juga dapat dipertimbangkan guna tata laksana fraktur terbuka, karena dapat melawan bakteri Gra, positif dan Gram negative. Patzkis dkk melakukan studi prospektif double blind randomized control trial membandingkan monoterapi siprofloksasin dengan terapi kombinasi cefamandole dan gentamisin dan menyatakan bahwa pada 2 macam regimen, angka kejadian infeksi pada fraktur terbuka tipe I dan II adalah tidak berbeda bermakna, sedangkan monoterapi siprofloksasin berkaitan dengan tingginya kejadian infeksi pada fraktur terbuka tipe III (31% [8 dari 26] vs 7,7% [2 dari 27] ; p = 0.05). sedangkan studi pada hewan dan in vitro menyatakan bahwa siprofoksasin dan golongan kuinolon lain dapat menghambat kinerja osteoblas dan menghambat proses penyembuhan tulang, studi klinis dari antibiotic ini diperlukan guna menentukan kebijakan terapi fraktur terbuka. Rekomendasi Antibiotik Sistemik Local Waktu debrideman Urgen Dalam 6 jam Irigasi Lavase tekanan tinggi pulsatif Additives Fiksasi Femur (intramedullary nailing) Tibia Fiksasi eksternal Intramedullary nailing Reaming (melebarkan) Perawatan dan penutupan luka Penutupan primer Penutupan dibantu vaccum Terapi tambahan profilaksis bone-grafting l rhBMP-2 lokal Modalitas yang tidak direkomendasikan Kultur luka
*A

Table II. Rekomendasi Tatalaksana Fraktur Terbuka Tingkat Rekomendasi A B B C I I B B B I I B I C B B

= bukti yang baik untuk melawan atau merekomendasikan intervensi (studi level I dengan hasil yang kosisten), B = bukti yang cukup (studi Level-II or III dengan hasil kosisten), C= bukti kualitas rendah (studi Level-IV or V dengan hasil kosisten), dan I = data yang insufisien dan controversial, tidak dianjurkan untuk rekomendasi. Antibiotic, antiseptic, atau sabun.

Terdapat kontroversi penggunaan agen antibiotic yang diberikan pada fraktur terbuka. Sedangkan beberapa penelitian merekomendasikan pemberian kombinasi sefalosporin generasi pertama dan aminoglikosida pada semua kasus fraktur terbuka. Namun beberapa studi

lainmenganjurkan untuk pemberian monoterapi dengan sefalosporin generasi pertama pada fraktur terbuka tipe I dan II dengan tambahan aminoglikosida (biasanya gentamisin) untuk fraktur tipe III. Sebagian besar peneliti setuju bahwa penicillin dan ampicilin sebaiknya diberikan ketika terdapat resiko tinggi terinfeksi bakteri anaerob (contohnya, luka yang terkait dengan pertanian). Bukti yang ada saat ini menyatakan bahwa antibiotic sebaiknya diberikan sesegera mungkin. Pada studi pada 1104 kasus fraktur terbuka, Patzkis dan Wilkins melaporkan angka infeksi sebesar 4,7% (17 dari 364) ketika antibiotic diberikan dalam 3 jam setelah fraktur, dibandingkan dengan ketika antibiotic diberikan lebih dari 3 jam paska fraktur yang angka infeksinya mencapau 7,4% (49 dari 661; 79 pasien tidak menerima antibiotik). Durasi optimal pemberian antibiotic masih belum jelas. Banyak penulis yang merekomendasikan pemberian antibiotic inisial selama 3 hari, dilanjutkan lagi 3 hari jika diperlukan, meskipun bukti klinis untuk mendukung pernyataan tersebut masih terbatas. Dellinger dkk mengusulkan untuk pemberian antibiotic 1 hari berdasarkan studi prospektif double-blind, randomized, controlled trial, yang menunjukan bahwa pemberian antibiotic hanya pemberian selama 5 hari dalam pencegahan infeksi. Dalam institusi kami, kami merekomendasikan pemberian antibiotic cefazolin (1 g intravena) setiap 8 jam dalam 24 jam setelah penutupan luka. Gentamisin intravena (dosis disesuaikan berat badan) atau levofloksasin (500 mg setiap 24 jam) juga ditambahkan untuk fraktur terbuka kelas III. Selama satu decade terakhir, telah berkembang penggunaan antibiotic local untuk pencegahan infeksi dalam kasus fraktur terbuka. Terapi local memiliki keuntungan yakni, konsentrasi antibiotic yang mencapai target lebih tinggi dengan konsentrasi yang beredar secara sistemik rendah, sehingga menurunkan resiko efek samping sistemik. Antibiotic yang digunakan haruslah stabil terhadap panas, dalam bentuk serbuk, dan aktif melawan kuman pathogen. Aminoglikosida dan vankomisin memiliki persyaratan antibiotic topikan tersebut. 1 hari sama efektifnya dengan

Aminoglikosida lebih disukai dikarenakan dapat digunanan untuk ressten terhadap vankomisin.

mengatasi kuman yang

Namun, penggunaan aminoglikosida dosis tinggi dapat menghambat fungsi osteoblas, studi in vitro menyatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi pada dosis ratusan microgram per milliliter atau berkisar di atas 10-20 g/mL di dalam luka. Namun, beberapa studi terkini menyatakan bahwa nilai ambang dosis toksik amonoglikosida mungkin lebih kecil, yakni berkisar 12,5 g/mL. temuan-temuan ini sebaiknya diteliti kembali pada penelitian-penelitian selanjutnya. Penggunaan aminoglikosida yang tercampur dengan serbuk polymethylmethacrylate

telah diteliti oleh beberapa peneliti. Ostermann dkk melakukan analisa retrospektif pada 1085 kasus fraktur terbuka dan menemukan bahwa pasien yang diterapi dengan tobramisin yang tercampur dengan polymethylmethacrylate memiliki angka kejadian infeksi yang lebih rendah (3,7% [31 dari 845]) dibandingkan dengan tanpa polymethylmethacrylate (12,1% [29 dari 240]). Namun, luka yang diterapi dengan antibiotic local menunjukanpenutupan luka yang lebih cepat, sehingga menimbulkan kemungkinan suatu bias. Keating dkk melakukan analisa retrospektif pada 81 kasus fraktur terbuka tibia dan menemukan bahwa pasien yang diterapi dengan

tobramisin yang tercampur dengan polymethylmethacrylate memiliki angka kejadian infeksi yang lebih rendah (4% [2 dari 50]) dibandingkan dengan tanpa polymethylmethacrylate (16% [4 dari 25]), meskipun hasilnya tidak signifikan, mungkin dikarenakan sampel penelitian yang terlalu kecil. Baru-baru ini, beberapa peneliti menyelidiki penggunaan terapi antibiotic saja. Moehring dkk melakukan sebuah studi prospektif randomized, controlled trial membandingkan terapi antibiotic local dan sistemik pada tatalaksana fraktur terbuka tipe II, IIIA dan IIIB. Setelah menerima terapi standar di UGD dan kamar operasi (termasuk antibiotic sistemik inisial dose), pasien diacak untuk selanjutnya diterapi dengan antibiotic local serbuk tobramisin dan grup lain menerima antibiotic sistemik dengan sefalosporin generasi pertama. Terdapat kesamaan angka infeksi pada kedua grup tersebut (8% [2 dari 24] untuk topical vs 5% [2 dari 38] untuk sistemik). Akan tetapi, studi tersebut tidak memiliki kekuatan yang adekuat (karena sampel penelitian yang terlalu kecil) dan terdapat 15% pasien yang diterapi dengan kedua regimen tersebut. Kami mempertimbangkan bahwa terapi dengan antibiotic topical mungkin lebih menguntungkan dibandingkan dengan antibiotic sistemik (table II). Serbuk gentamisin sudah dikomersialkan dan beredar di Eropa, sedangkan antibiotic yang tercampur dengan serbuk

polymethylmethacrylate masih belum beredar di USA.

Meskipun demikian, antibiotic serbuk

dapat dibuat dengan mencampur serbuk polymethylmethacrylate dengan serbuk tobramycin dengan dosis 3.6 g antibiotic per 40 g polymethylmethacrylate. Saat ini, sejumlah studi dengan hewan coba telah menyatakan potensi dari penggunaan antibiotic topical untuk kasus tertentu antara lain antibiotic topical yang dapat ditanamkan dalam cangkok (graft) tulang, . antibiotic yang terbungkus dalam intramedullary nails. Namun, sepengetahuan kami inovasi ini belum diteliti dalam seting klinis.

Waktu yang tepat dalam tatalaksana operatif Tatalaksana operatif emergensi telah menjadi standar terapi untuk fraktur terbuka sejak lama. Asal-muasal terapi operatif disebut sebagai six hour rule atau aturan 6 jam masih belum jelas. Beberapa percaya bahwa istilah tersebut datang dari percobaan yang dilakukan oleh Friedrich (1898) yang menyatakan bahwa babi yang mengalami kontaminasi pada lukanya, memiliki angka kejadian infeksi lebih rendah jika debrideman dilakukan dalam 6 jam.

Sedangkan beberapa percaya bahwa istilah tersebut datang dari Robson dkk (1973) yang melaporkan bahwa 105 mikroorganisme per gram jaringan merupakan nilai ambang infeksi pada fraktur tebuka, dan angka tersebut dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 5,17 jam. Sampai saat ini, dua studi telah menunjukan sebuah penurunan angka infeksi ktika debrideman dilakukan dalam 6 jam. Pada sebuah studi pada 47 fraktur terbuka tibia, Kindsfater dan Jonassen menemukan bahwa terapi operatif dalam 5 jam berhubungan dengan lebih

rendahnya resiko infeksi (7% [1 dari 50]) jika dibandingkan dengan lebih dari 5 jam yakni mencapai 38% (12 dari 32) (p <0.03). Akan tetapi, pada fraktur yang berat terapi operatif nampaknya dilakukan lebih dari 5 jam post fraktur: fraktur terbuka tipe III yang dilakukan terapi operatif dalam waktu 5 jam berkisar 33% (5 dari 15), sedangkan dalam waktu lebih dari 5 jam berkisar 53% (17 dari 32). Kreder dan Armstrong menemukan bahwa 56 fraktur tibia pada anakanak, 42 kasus yang diterapi dalam waktu 6 jam menunjukan angkan infeksi yang lebih rendah (12% [5 kasus]) dibandingkan dengan yang mengalami penundaan terapi lebih dari 6 jam (25% [2 kasus]). Akan tetapi, studi tersebut memiliki sampel yang terlalu kecil (hanya ada 1 kasus fraktur yang mengamami penundaan terapi, namun memiliki angka kejadian infeksi yang lebih rendah).

Sebuah studi telah mempertanyakan istilah aturan 6 jam. Bednar dan Parikh mereview hasil-hasil penelitian yang behubungan dengan 82 kasus fraktur tibia dan femur, dan tidak menemukan perbedaan yang bermakna antara fraktur yang dilakukan debrideman dalam 6 jam dan dalam 7 jam (9 % vs 3,4%; p > 0.05). .Ashford dkk melaporkan kejadian fraktur tibia pada pasien dari pedalaman Australia yang tidak mampu mencapai pusat pelayanan kesehatan dalam waktu 6 jam paska fraktur karena alasan jarak yang etrlalu jauh. Pada penelitian tersebut, peneliti menemukan tidak terdapat perbedaan signifikan antara angka kejadian infeksi pada individu yang diterapi dalam waktu 6 jam dan lebih dari 6 jam (17% [2 dari 12] vs 11% [4 dari 36]; p > 0.05). Spencer dkk, yang melakukan studi prospektif terhadap 142 fraktur terbuka tulang panjang di Inggris juga melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara individu atau pasien yang diterapi dalam waktu 6 jam dan lebih dari 6 jam (10.1% [7 dari 69] vs 10.9% [5 dari 46 ]; p > 0.05). selain itu , Pollack and the LEAP investigators meneliti 315 kasus fraktur terbuak pada ekstremitas bawah dan menemukan interval wantu antara kejadian fraktur sampai diterapi debrideman tidak berhubungan dengan angka kejadian infeksi. Sangat menarik untuk dicatat, namun, pasien yang telah dibawa ke rumah sakit dalam waktu 6 jam paska fraktur memiliki prevlasensi infeksi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan yang dibawa ke rumah sakit lebih dari 6 jam (22% vs 39%; p < 0.01). Satu lagi yang perlu diperhatikan, yakni ketika menyimpulkan laporan-laporan tersebut. Karena studi tidak dilakukan secara randomized, terdapat potensi untuk terjadinya bias; fakta bahwa fraktur berat sebaiknya diterapi secara urgen, sebagai contoh peningkatan angka infeksi pada kelompok yang menerima terapi dalam waktu 6 jam jika dibandingkan dengan dalam waktu lebih dari 6 jam. Selain itu banyak penelitian yang tidak memiliki kekuatan yang adekuat, dengan sampel penelitian yang terlalu kecil sehingga tidak mampu mendeteksi perbedaan bermakma angka infeksi secara klinis. Sedikit peneliti yang lebih jauh meneliti bahwa debridemn operatif mungkin tidak dibutuhkan pada fraktur terbuka derajat ringan. Orcutt dkk melakukan studi retrospektif membandingkan 99 fraktur terbuka derajat ringan (tipe I dan II) yang diterapi dengan rawat luka dan antibiotic intravena (tanpa debrideman) dengan 50 fraktur terbuka dengan derajat yang sama yang diterapi dengan rawat luka dan antibiotic intravena, disertai debrideman operatif. Mereka menemukan angka infeksi yang lebih kecil (3% vs 6%) pada kelompok tanpa debrideman, namun perbedaanya tidaklah signifikan (p>0.05). peneliitian terkini yang dilakukan oleh Yang

dan Eisler melaporkan luaran pasien yang baik, dengan angka infeksi 0% pada studi retrospektif 91 kasus fraktur terbuka tipe I tanpa debrideman. Akan tetapi, peneliti tersebut mengakui kesulitan memprediksi keparahan fraktur hanya berdasar temuan superficial saja dan perlu dicatat bahwa banyak fraktur yang sudah digolongkan menjadi tipe I di UGD, kemudian direklasifikasikan kembali saat di meja operasi saat dilakukan debrideman. Menurut pendapat kami, debrideman operatif sebaiknya dijadikan sebagai standar terapi untuk semua fraktur tebuka. Meskipun debrideman memiliki keuntunga yang tidak berbeda signifikan pada fraktur derajat ringan, namun debrideman operatif masih perlu dilakukan untuk klasifikasi luka. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, fraktur tebuka yang diklasifikasikan hanya berdasarkan cirri-ciri superfial kerap kali misklasifiasi. Padahal, kegagalan dalam eksplorasi dan debrideman fraktur di kamar operasi dapat beresiko tinggi terhadap infeksi. Sebaliknya, tidak mungkin untuk memperdebatkan istilah aturan 6 jam dalam tata laksana fraktur tebuka. Pada pencegahan infeksi paska fraktur terbuka, durasi waktu fraktur sampai kapan dilakukan debrideman tidaklah terlalu penting, diabandingkan dengan factor lain seperti batas waktu perawatan jaringan lunak. Pasien dengan fraktur terbuka sebaiknya dibawa ke kamar operasi secara urgen, dengan tabilisasi pasien terlebih dahulu, persiapan kamar operasi, ketersediaan komponen penolong (dokter orthopaedic, asisten operasi, teknisis radiografi, dan personel lain di kamar operasi).

Irigasi Luka Irigasi luka merupakan komponen penting dalam usaha mencegah infeksi setelah fraktur terbuka, karena dapat menurunkan bacterial load dan menyingkirkan benda asing. Meskipun banyak guideline menginstruksikan untuk member irigasi sebanyak mungkin, namun terdapat data yang membahas mengenai berapa banyak volume yang diperlukan untuk irigasi luka pada fraktur tebuka. Karena kantung irigasi mengandung 3 L cairan, beberapa merekomendasikan pemberian 1 kantong (3 L) untuk irigasi fraktur terbuka tipe I, 2 kantong (6L) untuk tipe II, dan 3 kantong (9L) untuk tipe III. Mengenai cara pemberian irigasi, aliran/lavase tekanan dan pulsatil tinggi nampaknya lebih merupakan cara yang paling efektif untukmenyingkirkan bakteri dan kontaminan yang lain. Dengan sistem irigasi pulsatil dengan batuan tenaga batrai (misalnya, Surgilav Plus Debridement

System, Stryker Instruments, Kalamazoo, Michigan), tekanan yang dihasilkan berkisar 70 lb psi dengan 1050 pulsasi per menit untuk aliran bertekanan tinggi (untuk aliran tekanan rendah tekanan yang dihasilkan adalah 14 lb psi dan 550 pulsasi per menit). Anglen dkk menemukan bahwa aliran tekanan dan pulsatif tinggi mampu meningkatkan penyingkiran bakteri penghasil lumpur dari sekrup stainless steel (logam anti karat) dengan factor 100. Pada sebuah studi in vitro dengan model tibia, Bhandari dkk menemukan bahwa meskipun aliran tekanan dan pulsatil rendah dapat menyingkirkan bakteri dan kontaminan 3 jam setelh fraktur, namun hanya aliran tekanan dan pulsatil yang tinggi yang dapat menyingkirkan bakteri dan kontaminan 6 jam setelah fraktur. Terdapat data dari studi binatang coba dan in vitro yang menyatakan bahwa aliran/lavase tekanan dn pulsatil yang tinggi memiliki efek samping yang merugikan. Pada studi in vitro oleh Bhandari dkk, aliran tersebut dapat secara signifikan menyebabkan kerusakan tulang secara makroskopis jika dibandingkan denganlavase tekanan dan pulsatil rendah (p<0.001). Selain itu, analisa histology menunjukan bahwa aliran tekanan dan pulsatil tinggi berhubungan dengan defek cortical tulang yang secara signifikan lebih besar dan banyak jika dibandingkan dengan aliran tekanan dan pulsatil rendah (p<0.001). pada studi dengan tikus, Adili dkk, menemukan bahwa aliran/lavase tekanan dan pulsatile besar pada fraktur terbuka diafise femoral tanpa kontaminasi berhubungan dengan penurunan kekuatan mekanik pada minggu ke-3 (namun tidak pada minggu ke-6). Selain itu Hassnger dkk, menemukan juga bahwa lavase/aliran tersebut berkaitan dengan semakin dalamnya penetrasi bakteri ke otot domba. Namun, berdasarkan pengetahuan kami, tidak terdapat studi klinis mengenai aliran tekanan dan pulsatil tinggi maupun rendah untuk irigasi luka fraktur terbuka. Oleh karena itu, tidak terdapat data yang sufisien untuk membuat suatu rekomendasi mengenai cara irigasi (table II). Larutan garam fisiologis steril, baik dengan additive maupun tidak, biasanya digunakan sebagai cairan irigasi. Additive yang tersedia dapat dibagi menjadi 3 kategori umum: antiseptic, seperti iodium providon (betadine), klorheksidin glukonat (hibitane), dan heksaklorofen (pHisoHex); antibiotic seperti bacitracin;dan sabun yang berfungsi untuk menyingkirkan bakteri (ketimbang membunuh bakteri). cairan-cairan tersebut telah diuji dan dibandingkan dalam banyak studi. Pada studi yang dilakukan oleh Anglen dkk, sabun merupakan additive yang paling efektif untuk menyingkirkan bakteri penghasil lumpur pada sekrup logam baja anti karat, sedangkan antibiotic tidak memberikan perbedaan efek yang signifikan jika dibandingkan

dengan larutan garam fisiologis (p>0.05). Bhandari dkk, membandingkan berbagai larutan irigasi in vitro dan menemukan bahwa povidone-iodine, chlorhexidine gluconate, dan sabun cair paling efektif untuk menyingkirkan bakteri dari tulang, sabun memiliki efek samping yang paling minimal terhadap fungsi osteoblas maupun osteoclast. Baru-baru ini, Anglen melaporkan hasil penelitian prospektif, randomized, controlled trial membandingkan sabun non steril dengan larutan bacitracin untuk irigasi 398 kasus fraktur terbuka ekstremitas bawah. Cariran irigasi tersebut menganding 80 mL sabun cair (Triad Medical, Franklin, Wisconsin) atau 100,000 unit bacitracin (Baciim; Pharma-Tek, Huntington, New York) dalam 3 L kantong larutan normal saline. Volume irigasi bervariasi tergantung dari tipe fraktur tebuka (3 L untukr type I, 6 L untuk type II, dan 9 L untuk type III) dan dialirkan dengan power irrigator system (Pulsavac; Zimmer, Dover, Ohio). Tidak terdapat perbedaan bermakna terhadap angka kejadian infeksi dan terkait dengan proses penyembuhan tulang, namun proses penyembuhan luka lebih baik pada kelompok dengan bacitracin (9.5% [19 dari 199] vs 4% [8 dari 199]; p = 0.03). Karena studi yang dilakukan memiliki kekuatan yang adekuat, kegagalan untuk mendeteksi perbedaan yang tidak signifikan terhadap angka kejadian infeksi mungkin tidak berhubungan dengan jumlah sampel. Oleh karena itu, berdasarkan temuan ini, tidak mungkin untuk dianjurkan pemilihan additive tertentu untuk irigasi luka fraktur.

Peran Fiksasi Fiksasi faraktur tebuka memiliki berbagai keuntungan seperti melindungi jaringan lunak (soft tissue) dari fragmen fraktur, meningkatkan efektifitas rawat luka, dan memicu penyembuhan luka di jaringan, merangsang mobilisasi dan rehabilitasi dan mungkin juga

menurunkan angka infeksi. Pada pasien dengan jejas yang multiple, fiksasi fraktur juga dapat menurunkan resiko acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan kegagalan organ multiple (MODS) yang mungkin dikarenakan efek menenangkan respon inflamasi. Sejumlah metode telah tersedia guna memfiksasi fraktur terbuka yakni meliputi splinting (pembidaian), cast immobilization (gibs) , atau traksi, fiksasi eksternal, plat dan sekrup, dan intramedularry nailing atau pemakuan intrameduler (dengan atau tanpa reaming). Paku intrameduler bisa solid, dengan slot yang cekung, atau berkanul, dengan paku solid menunjukan tahanan yang lebih besar terhadap infeksi pada studi dengan hewan coba.

Pada situasi apapun, pilihan terbaik untuk fiksasi tergantung dari jumlah factor yang mempengaruhinya yaitu tukang yang terlibat, lokasi fraktur, lokasi luka, dan kondisi pasien.

Femur Sampai saat ini, terdapat konsensus mengenai stabilisasi fraktur terbuka diafise femur. Kebanyakan ahli bedah menggunakan intramedullary nailing dengan reaming pada awalnya, dan terdapat data yang sufisien yang mendukung hal ini (table II). Pada thun 1989, Brumback dkk, yang diterapi dengan reamed intramedullary nailing dan mencatat tidak terdapat infeksi pada 62 pasien dengan fraktur terbuka tipe I, II dan IIIA, dan hanya terjadi 3 kasus infeksi (11%) dari 27 pasien fraktur terbuka tipe IIIB. Bahkan, angka kejadian infeksi tidak berbeda signifikan antara pasien yang diterapi dalam 24 jam paska fraktur, maupun lebih dari 24 jam paska fraktur. Pada tahun yang sama, Bone dkk, melaporkan sebuah studi prospektif randomized, controlled trial membandingkan stabilisasi dini (dalam 24 jam) dan stabilisasi terlambat (lebih dari 48 jam) dari 178 pasien fraktur tebuka dan tertutup. Dan tidak terdapat perbedaan signifikan angka terjadinya komplikasi pulmonal (ARDS, emboli lemak, dan pneumonia) baik pada pasien dengan fraktur femur saja, maupun pasien yang juga disertai jejas multiple. Lama rawat inap lebih pendek pada pasien yang diterapi dalam 24 jam. Sejak saat itu sejumlah studi juga mengkonfirmasi outcome pasien yang baik jika dilakukan intramedulary nailing sedini mungkin pada fraktur terbuka femur. Pada studi kecil dengan 18 pasien fraktur terbuka femur yang diterapi dengan fiksasi eksternal dan disertai intramedullary nailing, Wu dan Shih melaporkan bahwa infeksi berkembang pada 2 pasien dan penyatuan kembali tulang (union) terjadi pada 14 pasien.

Tibia Tatalaksana fraktur terbuka tibia yang optimal masih belum jelas. Pada tahun 1980an, sejumplah penelitian menyatakan bahwa external fiksasi memberikan outcome yang baik. Bach dan

Hansen melakukan sebuah studi prospektif, randomized, controlled trial membandingkan antara fiksasi eksternal dan internal dengan plat dan menyatakan bahwa, meskipun kedua metode tersebut memberikan outcome yang bagus, fiksasi eksternal nampak memberikan komplikasi yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan fiksasi internal. Kira-kira pada tahun yang sama, Edward dkk, melaporkan hasil studi prospektif dari 202 pasien dengan fraktur terbuka os tibia

tipe III yang diterapi dengan fiksasi eksternal dan menyimpulkan bahwa metode tersebut sukses dalam menterapi fraktur terbuka os tibia yang berat. Sepanjang tahun 1990, sejumlah penelitian menyatakan bahwa intramedullary nailing (pemakuan intrameduler) banyak digunakan pada fiksasi ekternal. Henley dkk, melaporkan hasil studinya dengan 172 pasien fraktur terbuka os tibia (tipe II, IIIA dan IIIB) dan menyatakan enreamed intramedullary nailing berkaitan dengan lebih rendahnya angka kejadian malalignnment jika dibandingkandengan fiksasi eksternal (8%[8 dari 104] vs 31% [20 dari 70]; p <0.01), lebih sedikit prosedur berikutnya yang harus dilakukan (mean 1,7 vs 2,7; p = 0.001), dan lebih rendahnya angka infeksi (13% [14 dari 104] vs 21% [15 dari 70]; tidak signifikan p = 0.73) Schandelmaier dkk mereview hasil dari tatalaksana fraktur terbuka os tibia pada 114 kasus dengan jejas jaringan lunak yang berat dan menemukan bahwa unreamed nailing berhubungan dengan lebih sedikitny aprosedur terapi yang harus akan dijalani (mean 0.81 vs 1.84; p< 0.001) dam outcome fungsional yang lebih baik (mean Karlstrom outcome score 31,4 vs 29,6; p = 0.02. akhirnya Tornetta dkk melakukan studi prospektif randomized, controlled trial membandingkan unreamed intramedullaru nailing dengan dengan fiksasi eksternal pada fraktur terbuka tibia tipe IIIB. Meskipun sample studi sangat kecil (29 pasien fraktur) membuat tidak ditemukannya perbedaan bermakna, para peneliti menyimpulkan bahwa nailing lebih disuki karena dikira lebih mudah tata laksananya, dan meningkatnya kepuasan pasien. Pada tahun-tahun terkini, perdebatan telah terjadi pada apakah intramedullary nailing sebaiknya dilakukan dengan atau tanpa reaming. Karena reaming diketahui memiliki manfaat dalam tatalaksana fraktur tertutup os tibia yakni waktu yang lebih singkat dalam penyembuhan tulang, rendahnya prevalensi malunion (tidak menyatunya kedua fragmen tulang yang fraktur), dan rendahnya pemakaian sekrup- studi pada hewan coba menunjukan penurunan aliran darah ke tulang tibia pada cortical. Hal ini juga bis terjadi pada fraktur terbuka, dimana jaringan tubuh yang rusak dan suplai darah yang berkurang, merupakan factor yang krusial dalam pemnyembuhan dan pencegahan infeksi. Studi-studi yang memandingkan metode pemakuan (nailing) reamed dan unreamed pada pasien dengan fraktur terbuka os tibia masih belum tersimpulkan dengan jelas. Keating dkk, melakukan sebuah studi prospektif , randomized, controlled trial pada 88 pasien dengan fraktur os tibia yang diterapi dengan intramedullary nailing baik dengan reamed maupun unreamed , dan menunjukan hasil tidak terdapat perbedaan angka kejadian infeksi maupun

nonunion (tidak menyatu) atau outcome fungsional, meskipun sekrup yang lepas sangat jarang terjadi pada kelompok yang diterapi dengan reaming (p = 0.014). Finkemeier dkk, menemukan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nailing reamned dan nonreamed terhadap penyatuan (union) tulang, jumlah prosedur tambahan yang harus dilakukan, dan kejadian infeksi (p > 0.05). Studi tersebut merupakan studi prospektif, randomized, controlled trial pada 45 Ziran dkk, juga mereview secara retrospektif hasil dari 51 pasien dengan fraktur terbuka os tibia dan menemukan angka kejadian nonunion (tidak menyatunya tulang) dan infeksi yang sama baik pada nailing reamned maupun nonreamed. Namun, terdapat penurunan angka diperlukannya prosedur tambahan pada grup dengan reaming (41% [9 dari 22] vs 69% [20 dari 29]; p<0.05). oleh karena itu, kegagalan untuk mendeteksi perbedaan signifikan antara intramedullary nailing dengan reaming maupun tidak dapat disebabkan oleh kecilnya sampel (kekuatan penelitian yang tidak adekuat). Bhandari dkk juga gagal menunjukan perbedaan yang signifikan terkait dengan infeksi, nonunion (tidak menyatunya tulang), atau reoperasi. Sebuah studi definitive membandingkan nailing dengan reaming dan unreaming sedang berjalan, dan hasilnya masih belum tersedia. Sampai saat ini, masih dimungkinkan untuk memberikan rekomendasi untuk tidak menganjurkan reaming pada fiksasi fraktur os tibia (table II).

Perawatan dan penutupan luka Secara historis, penutupan luka pada fraktur terbuka telah tertunda guna mencegah infeksi Clostridium dan organisme kontaminan lainny . Strategi pendekata terapi ini pada umumnya diterima terutama pada kasus fraktur terbuka yang didapat di area pertanian atau peternakan yang mengandung banyak kontaminan. Sedangkan di negara-negara maju banyak para ahli ortopedi melakukan penutupan luka pada fraktur terbuka sesegera mungkin setelah dilakukan debrideman secara adekuat. Dalam seting dimana bakteri nosokomial merupakan sumber infeksi pada

fraktur terbuka, beberapa penelitian telah melaporkan outcome lebih baik secara signifikan pada penutupan sedini mungkin luka fraktur terbuka (dalam waktu tujuh hari) dibandingkan dengan penutupan yang tertunda (p <0,05). selain itu , sejumlah studi menyatakan terdapat out come yang sangat baik dengan penutupan luka yang dilakukan dalam waktu tiga hari setelah cedera fraktur. Baru-baru ini, sejumlah penulis telah meneliti kelayakan penutupan luka sesegera mungkin (dalam dua puluh empat jam setelah cedera). Dalam sebuah penelitian terhadap 119

fraktur terbuka, DeLong dkk. Tidak menemukan penutupan langsung (dalam dua puluh empat jam) untuk dihubungkan dengan lebih tingginya angka kejadian infeksi atau nonunion ketika dibandingkan dengan penutupan tertunda (lebih dari dua puluh empat jam) Gopal et al. secara retrospektif meninjau hasil studi dengan delapan puluh empat pasien fraktur terbuka od tibia tipe IIIB dan IIIC yang diterapi dengan fiksasi internal dan penutupan luka sesegera mungkin dan melaporkan lebih rendahnya tingkat infeksi dan amputasi serta membutuhkan waktu yang lebih singkat bagi tulang untuk menyatu pada penutupan dini luka (pada 24-72 jam) bila

dibandingkan dengan hasil penutupan terlambat (lebih dari tujuh puluh dua jam), meskipun tidak sugnifikan (p>0.05). Akhirnya, Hertel dkk. melakukan sebuah studi retrospektif dengan dua puluh sembilan pasien fraktur terbuka od tibia tipe-IIIA dan IIIB dan menemukan bahwa perawatan luka secepat mungkin berkaitan dengan rendahnya tingkat infeksi (0% [nol empat belas]) berkurangnya jumlah reoperasi (rata-rata 1,6 vs 3,9 ; p = 0,0001), dan lebih singkatnya waktu penyatuan tulang (union) (rata-rata 5,6 bulan vs 11,6 bulan; p = 0,005) 89. Menurut pendapat kami penutupan luka sedini mungkin paska debrideman secara adekuat adalah aman dan dapat meningkatkan outcome pasien(Tabel II). Sebagai catatan, kecenderungan untuk menutup luka fraktur sesegera mungkin berlawanan dengan rekomendasi debrideman pada fraktur terbuka. Dengan debrideman pada saat presentasi awal, dimungkinkan politrauma atau kondisi lain mungkin menyebabkan ahli bedah meragukan adekuatnya hasil debrideman di awal tersebut. Selain itu, sangat sulit untuk mengevaluasi viabilitas jaringan otit pada fase akut. Pada kasus ini, debrideman ulang diperbolehkan. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk penutupan luka termasuk menjahit luka langsung, split-thickness skin-grafting, dan penggunaan lapisan penutup otot (muscle flaps). Metode yang optimal tergantung pada jumlah factor yang mempengaruhi yakni, lokasi defek, ukuran defek, cedera lain yang berkaitan, karakteristik pasien seperti jumlah fugsi tubuh yang masih baik. Baru-baru ini, penutupan dengan batuan vaccum (vaccum assisted closure) (V.A.C.; KCI, San Antonio,Texas) merupakan metode yang sagat berguna untuk mempecepat penyembuhan luka dengan mengurangi edema kronis, meningkatkan aliran darah local, meningkatkan pembentukan jaringan granulasi. Sejumlah kecil studi melaporkan penggunaann vaccum assisted closurepada penatalaksanaan luka ortopedik, dengan outcome lyang baik. Sebagai
contoh Defranzo dkk yang menngunakan VAC dalam tatalaksana 55 pasien dengan luka pada ekstremitas

bawah dengan tulang yang terekspose dan hasilnya adalah terdapat penurunan edema jaringan, penyunyutan ukuran luka, merangsang granulasi jaringan. Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh Labrer dkk dimana mebandingkan VAC dengan penggunaan membrane sintetik Epigard ( Biovision,

Ilmenau, Germany) dalam tatalaksana fraktur terbuka tipe IIIA dan IIIB pada ekstremitas bawah. VAC menunjukan outcome yang lebih baik jika dibandingkan dengan penutupan luka dengan membrane sintetik. VAC biasa digunakan pada akhir irigasi dan debrideman sampai luka tersebut sudah dikatakan bersih. Setelah itu, sponge dapat diganti tiap 2 atau 3 hari sekali. VAC dapat digunakan selama 10-12 hari pada penelitian-peneltian yang dilakukan di atas. Oleh karena itu VAC dapat menjadi modalitas terapi yang menjanjikan, namun studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk membuat rekomendasi yang definitive (table II).

Terapi Tambahan Terdapat data mengenai penggunaan terapi tambahan (additive) yang mungkin dapat digunakan pada tatalaksana fraktur terbuka. Profilaksis cangkok tulang 9bone0grafting0 yang mana biasanya dilakukan dalam 12 minggu setelah cedera (namun tidak sebelum 2 minggu setelah penutupan luka) telah menunjukan bermanfat pada beberapa studi kecil. Blick dkk, melakukan review restrospektif pada 53 pasien dengan fraktur tibia high energy (karena paparan energy tinggi; kebanyakan tipe IIIB)yang diterapi secara profilaksisi dengan bone grafting posteriolateral dalam waktu 10 minggu setelah cedera (8 minggu setelah penyembuhan jaringan lunak). Pasien yang diterapi dengan bone grafting profilaksis memiliki waktu yang lebih singkat untuk penyatuan tulang (union) jika dibandingkan dengan kontrol (rata-rata 47,7 minggu vs 57, 4 minggu). Pada studi yang dilakukan Trabulsy dkk juga menunjukan hal yang serupa, yakni dengan menggunakan studi prospektif pada 45 pasien fraktur tibia IIIB, menunjukan pasien yang diterapi dengan bone grafting 8-12 minggu setelah cedera memiliki waktu yang lebih singkat untuk penyatuan osseus (mean, 41 minggu vs 52 minggu). Akan tetapi, pemberian fiksasi eksternal merupakan sbabilisasi pasien yang utama pada studi-studi tersebut, satu hal yang perlu diperhatikan ketika mengenerailasi hasil studi ke fraktur terbuka os tibia yang diterapi dengan intramedullary nailing. Stidi lain juga dibutuhkan untuk menciptakan rekomendasi yang definitive terkait penggunaan profilaksis bone grafting pada tatalaksana fraktur terbuka (table II).

Saat ini, terdapat bukti terkait penggunaan recombinant human bone morphogenetic protein-2 (rhBMP-2). Pada studi multisenter, prospektif , randomized, controlled trial dari 450 pasien dengan fraktur terbuka os tibia, penggunaan implant rhBMP-2 mampu secara signfikan menurunkan resiko untuk intervesi sekunder berikutnya (26% vs 46%; risk ratio = 0.56; 95% confidence interval = 0.40 to 0.78; p = 0.0005). pasien yang diterapi dengan rhBMP-2 juga

memiliki angka kejadian kegagalan hardware yang lebih rendah (11% vs 22%; p = 0.0476), penyembuhan fraktur yang lebih cepat, (median healing time, 22 minggu vs 52 minggu), dan percepatan penyembuhan luka (83% vs 65% sembuh pada minggu ke-6; p = 0.001). Terapi

fraktur terbuka os tibia tipe IIIa dan IIIB dengan rhBMP-2 berhubungan dengan penurunan resiko infeksi (21% vs 40%; p = 0.0234) dan prosedur (9% vs 28%; p = 0.0065) dan bone grafting (2% vs 20%; p = 0.0005). Diantara semua pasien yang diterapi dengan reamed intramedullary nailing (untuk semua jenis fraktur), penggunaan rhBMP-2 berkaitan dengan penurunan kecenderungan untuk diperlukannya terapi invasive pada prosedur (8% [5 dari 65] vs 15% [7 dari 48 ]) dan bone-grafting (2% [1 dari 65] vs 6% [3 dari 48]), namun hasilnya tidak signifikan (p = 0.35 and 0.31). Oleh karea itu karena analisisnya tidak adekuat dan dilakukan post hoc, perlu diperhatikan ketika mengambil kesimpulan. Selain itu studi lebih lanjut rhBMP-2 dalam tata laksana fraktur terbuka khususnya dengan tingkat keparahan yang tinggi (Table II).

Ulasan Fraktur terbuka menunjukan tantangan tersendiri bahkan bagi para ahli bedah orthopaedi. Antibiotic dapat diberikan sesegera mungkin. Debrideman sedini mungkin perlu dilakukan, meskipun terdapat kontroversi mengenai aturan 6 jam 6 hours rule. Irigasi yang banyak sangatlah penting, namun metode pemberian dan larutan yang dipakai irigasi yang optimal masih dalam petanyaan. Fiksasi internal sedini mungkin dapat dikatakan aman, dan memiliki berbagai keuntungan jika dilakukan dengan metode stabilisasi yang tergantung dari tulang yang terkait dan factor-faktor lain. Bukti yang ada saat ini mendukung hal-hal mengenai tren penutupan dan perawatan luka pada fraktur terbuka. VAC nampak mampu mengurangi ukuran luka, mempercepat penyembuhan luka, namun studi lain di bidang orthopaedi perlu dilakukan. Terapi tambahan seperti penggunaan profilaksis bone grafting dan recombinant human bone morphogenetic protein-2 (rhBMP-2) mungkin dapat mempercepat penyembuhan tulang dan memingkatkan outcome pasien.

Вам также может понравиться