Вы находитесь на странице: 1из 20

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS TERHADAP SISTEM KEKEBALAN SELULER PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR

Firman Jaya1, Lilik Eka Radiati2, Khothibul Umam Al Awwaly2, Umi Kalsum3 1. Alumni Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang; Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang Jl. Veteran Malang 65145 Telp. (0341) 575852 2. Dosen Jurusan Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang 65145 Telp. (0341) 575852 3. Dosen Jurusan Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang 65145 (0341) 575852

Abstract The research was experimental study to find out the effects of propolis extract dosage to cellular immune system of Rattus norvegicus. The administration peroral of propolis extract was 40 days and concentration of dosage of the first group was 9 mg/day, second group was 12 mg/day and third group was 15 mg/day. The results showed that the average of Rattus norvegicus leucocytes in control group was 3883,33 1563,86 cell/mm3. This value contained 75,17 4,36 % lymphocytes, 6,67 2,66 % monocytes and 18,17 5,12 % granulocyte. The average of leucocytes of the first group was 3616,67 1085,20 cell/mm3 which contained 75,67 4,50 % lymphocytes, 10,50 5,21 % monocytes and 13,83 2,14 % granulocytes. The second group was 4100 551,36 cell/mm3 leucocytes which contained 67,33 8,57 % lymphocytes, 3,50 1,38 % monocytes and 25 5,48 % granulocytes. The third group was 4383,33 1121,46 cell/mm3 which contained 70 5,10 % lymphocytes, 1,83 0,41 % monocytes and 28,17 5,19 % granulocytes. The conclusion was propolis extract could increase the number of leucocytes that influential to response cellular immune system of Rattus norvegicus. The increase of propolis dosage concentration significantly not related each other because the lymphocytes and monocytes cell have a similar correlation. Key words: propolis extract, leucocytes and cellular immune system

1. PENDAHULUAN Lebah madu yang ada di Indonesia terdiri atas dua jenis yaitu lebah madu lokal dan lebah madu dari luar negeri. Masing-masing jenis mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Lebah lokal yang asli dari Indonesia antara lain Apis dorsata, Apis cerana dan Apis indica dengan temperamen ganas. Lebah luar negeri yang banyak terdapat di Indonesia yaitu Apis mellifera dengan temperamen tidak ganas dan mudah dipelihara (Murtidjo, 1991). Lebah menghasilkan beberapa produk seperti madu, royal jeli, polen dan propolis. Propolis adalah bahan resin yang melekat pada bunga, pucuk dan kulit kayu. Sifatnya pekat, bergetah, berwarna coklat kehitaman, mempunyai bau yang khas, dan rasa pahit. Lebah menggunakan bahan propolis untuk pertahanan sarang, mengkilatkan bagian dalam sarang dan menjaga suhu lingkungan (Toprakci, 2005). Manusia dapat memanfaatkan propolis sebagai bahan kosmetik, teknologi pengolahan makanan dan obat-obatan. Menurut Wade (2005), propolis mengandung senyawa kompleks vitamin, mineral, enzim, senyawa fenolik dan flavonoid untuk menghambat pelepasan histamin dengan cara stabilisasi selaput sel lipid. Tabel 1 dibawah ini menjelaskan mengenai komposisi kimia propolis. Tabel 1.Komposisi Kimia Propolis Kelas Komponen Resin Lilin dan asam lemak Minyak essensial Protein Jumlah 45-55% 25-53% 10% 5% Grup Komponen Flavonoid, asam fenolat dan esternya Sebagian besar dari lilin lebah dan beberapa dari tanaman Senyawa volatile Protein kemungkinan berasal dari pollen dan amino bebas 14 macam mineral yang paling terkenal adalah Fe dan Zn, sisanya seper ti Au, Ag, Cs, Hg, La dan Sb. Senyawa organik lain seperti keton, laktan, kuinon, asam benzoat dan esternya, gula, vitamin (B3) serta gula. Krell (1996) menyatakan bahwa komposisi propolis dapat berfungsi untuk memperbaiki kondisi patologi dari bagian tubuh yang sakit, bekerja sebagai antioksidan dan antibiotik serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh baik humoral maupun seluler karena mengandung flavonoid sekitar 15%. Menurut Wade (2005), flavonoid merupakan antioksidan dan antibiotik
2

Senyawa organik lain dan 5% mineral

yang berfungsi menguatkan dan mengantisipasi kerusakan pada pembuluh darah serta bahan aktif yang berfungsi sebagai antiperadangan dan antivirus. Bendich (1992) dan Robinson (1995) menjelaskan bahwa kemampuan propolis sebagai antioksidan dapat menangkap radikal hidroksi dan superoksida kemudian menetralkan radikal bebas sehingga melindungi sel dan mempertahankan keutuhan struktur sel dan jaringan serta dapat melindungi membran lipid terhadap reaksi yang merusak. Remirez et al. (1997) dalam Bankova (2000) menambahkan bahwa ekstrak propolis berperan sebagai antioksidan karena mengandung kafeik dan asam ferulik beserta esternya. Menurut Masaharu and Yong Kun (1998), aktifitas antioksidan tertinggi dihasilkan dari ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol. Flavonoid yang terekstrak adalah kemferida (flavonol), akasetin (flavon) dan isoramnetin. Propolis merupakan antibiotik karena mempunyai kandungan flavonoid, yaitu bahan aktif yang berfungsi sebagai antiperadangan dan antivirus. Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Moriyasu dari Jepang bahwa ekstrak propolis dapat memacu aktifitas makrofag sehingga meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa propolis dapat berperan sebagai antitumor. Wade (2005) menjelaskan bahwa propolis dapat merangsang sistem kekebalan secara langsung dan melepaskan unsur yang merespon imunitas seluler melalui mekanisme fagositosis. Sistem kekebalan tubuh (sistem imun) dibagi menjadi dua yaitu sistem kekebalan non spesifik (innate immunity) dan sistem kekebalan spesifik (adaptive immunity) yang terdiri dari sistem kekebalan humoral dan seluler. Respon imun tubuh merupakan hasil komunikasi dari sel sistem kekebalan seluler (Rantam, 2003). Linnemeyer (1993) mengemukakan bahwa sistem kekebalan seluler terdiri dari sel T contohnya tipe sel CD8 + (Cluster Differentiation) T, sel pembunuh alami (natural killer cell) yang disekresi oleh sel CD4+ T, makrofag, sel dendritik dan sel darah putih. Salah satu contoh sel yang dapat melakukan fagositosis adalah sel darah putih. Sel darah putih berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh karena berperan dalam membunuh bakteri, parasit dan mikroorganisme asing yang berbahaya terhadap tubuh (Wade, 2005). Oleh karena itu, profil dari sistem kekebalan seluler khususnya sel darah putih dapat menunjukkan respon imun dari aktifitas propolis yang memakai pelarut etanol sehingga tubuh mempunyai antibodi yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap penyakit.

Secara alami propolis mengandung serpihan kayu, pasir dan daun. Untuk memisahkan propolis dengan serpihan tersebut maka digunakan metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol. Walaupun pelarut etanol sudah dipisahkan dengan propolis melalui proses evaporasi, namun ekstrak propolis masih mempunyai residu. Hasil dari ekstrak propolis perlu di uji lebih lanjut terhadap sistem kekebalan tubuh. Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pengaruh ekstrak propolis terhadap sistem kekebalan seluler hewan coba. 2. Mengetahui pengaruh perbedaan tingkat konsentrasi dosis propolis terhadap jumlah sel darah putih pada hewan coba. 3. Mengetahui pengaruh residu pelarut etanol dalam ekstrak propolis terhadap sistem kekebalan seluler 2. Landasan Teori 2.1. Propolis Propolis berasal dari bahasa Yunani (pro = sebelum, polis = kota = sistem pertahanan kota). Ia sanggup menyembuhkan diabetes dan gangren, yang merupakan penyakit tidak bisa disembuhkan secara medis, bahkan tanpa suntik insulin dan amputasi. Propolis dikumpulkan oleh lebah dari tumbuh-tumbuhan atau pucuk muda dan kulit pohon terutama pohon poplar lalu dicampurkan dengan air liurnya, yang digunakan untuk menambal lubang dalam sarang lebah yang sekaligus juga melindungi sarang lebah dari serangan virus, bakteri dan jamur. Propolis bersifat disinfektan (anti bakteri) yang membunuh semua kuman yang masuk ke sarang lebah. Lebah meliputi sarangnya dengan propolis untuk melindungi semua yang ada di dalam sarang tersebut dari serbuan kuman, virus, atau bakteri, misal: ratu lebah, telur, bayi lebah, dan madu. Sifat disinfektan alami yang terkandung dalam propolis sangat ampuh dalam membunuh kuman, terbukti dengan ditemukannya seekor tikus dalam sarang lebah yang telah mati selama kurang lebih 5 tahun dalam keadaan tidak membusuk. Propolis yang berbahan dasar air liur lebah ini, ternyata merupakan obat alami yang bisa dipakai untuk menaklukkan hampir semua jenis penyakit. Propolis sebagai pengobatan alami, mengandung zat aktif yang berfungsi sebagai obat untuk berbagai macam penyakit (Radhite. 2011) Fungsi pengobatan meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Propolis sebagai antibiotik alami, antiviral dan sekaligus antifungal alami tanpa efek samping. 2. Propolis menyembuhkan penyakit yang berhubungan dengan bakteri, misalnya: thypus, diare/muntaber dan sebagainya. Dapat juga untuk bau ketiak yang sangat mengganggu, karena di dalam lipatan ketiak terdapat bakteri atau jamur yang menyebabkan bau. 3. Propolis menyembuhkan penyakit yang berhubungan dengan virus, misalnya demam berdarah, flu, TBC dan sebagainya. 4. Propolis menyembuhkan penyakit yang berhubungan dengan jamur, misalnya eksim, panu, keputihan, ketombe dan sebagainya. 5. Propolis sebagai Anti peradangan (infeksi dan luka), misalnya maag, luka luar, radang tenggorokan, sakit gigi, radang ginjal, luka bakar dan sebagainya. 6. Propolis sebagai anti kanker dan mutagenesis sel, misalnya kanker, tumor, mioma, kista dan sebagainya. 7. Propolis berfungsi untuk membersihkan pembulu darah dan detoksifikasi. 8. Propolis berfungsi sebagai pembuangan racun, misalnya asam urat, kolesterol, trigliserin, darah tinggi, jantung, stroke, diabetes mellitus, dan sebagainya. 9. Propolis juga penyembuh ajaib bagi penyakit seperti ateriosklerosis atau pengapuran pembuluh darah oleh lemak, berbagai infeksi, gangguan pencernaan, gangguan pernafasan, penyakit syaraf, arthritis dan rematik. 10. Propolis sebagai penetral racun dalam tubuh dan sekaligus anti oksidan kuat. 11. Propolis meningkatkan sistem kekebalan tubuh. 2.2. Antioksidan Antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Zat ini secara nyata mampu memperlambat atau menghambat oksidasi zat yang mudah teroksidasi meskipun dalam konsentrasi rendah. Antioksidan juga sesuai didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen reaktif jika berkaitan dengan penyakit, radikal bebas ini dapat berasal dari metabolisme tubuh maupun faktor eksternal lainnya. Radikal bebas adalah spesies yang tidak stabil karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dan mencari pasangan elektron dalam makromolekul biologi. Protein lipida dan DNA dari sel manusia yang sehat merupakan sumber pasangan elektron yang baik.
5

Kondisi oksidasi dapat menyebabkan kerusakan protein dan DNA, kanker, penuaan, dan penyakit lainnya. Komponen kimia yang berperan sebagai antioksidan adalah senyawa golongan fenolik dan polifenolik. Senyawa-senyawa golongan tersebut banyak terdapat dialam, terutama pada tumbuh-tumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas. Antioksidan yang banyak ditemukan pada bahan pangan, antara lain vitamin E, vitamin C, dan karotenoid. Berdasarkan asalnya, antioksidan terdiri atas antioksigen yang berasal dari dalam tubuh (endogen) dan dari luar tubuh (eksogen). Adakalanya sistem antioksidan endogen tidak cukup mampu mengatasi stres oksidatif yang berlebihan. Stres oksidatif merupakan keadaan saat mekanisme antioksidan tidak cukup untuk memecah spesi oksigen reaktif. Oleh karena itu, diperlukan antioksidan dari luar (eksogen) untuk mengatasinya. Ada dua macam antioksidan berdasarkan sumbernya, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami biasanya lebih diminati, karena tingkat keamanan yang lebih baik dan manfaatnya yang lebih luas dibidang makanan, kesehatan dan kosmetik. Antioksidan alami dapat ditemukan pada sayuran, buah-buahan, dan tumbuhan berkayu. Metabolit sekunder dalam tumbuhan yang berasal dari golongan alkaloid, flavonoid, saponin, kuinon, tanin, steroid/ triterpenoid. Quezada et al. (2004) menyatakan bahwa fraksi alkaloid pada daun Peumus boldus dapat berperan sebagai antioksidan. Zin et al. (2002) menyatakan bahwa golongan senyawa yang aktif sebagai antioksidan pada batang, buah, dan daun mengkudu berasal dari golongan flavonoid. Gingseng yang berperan sebagai antioksidan, antidiabetes, antihepatitis, antistres, dan antineoplastik, mengandung saponin glikosida (steroid glikosida). Uji aktivitas antioksidan yang dilakukan pada daun Ipomea pescaprae menunjukkan keberadaan senyawa kuinon, kumarin, dan furanokumarin. Tanin yang banyak terdapat pada teh dipercaya memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Sementara itu, Iwalokum et al.(2007)menyatakan bahwa Pleurotus ostreatus yang mengandung triterpenoid, tanin, dan sterois glikosida dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikrob. Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibedakan menjadi antioksidan primer yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau mengubahnya menjadi produk yang stabil, dan antioksidan sekunder atau antioksidan preventif yang dapat mengurangi laju awal reaksi rantai serta antioksidan tersier. Mekanisme kerja antioksidan selular menurut Ong et al. (1995) antara lain, antioksidan yang berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas, atau oksigen
6

tunggal; mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif; mengubah jenis oksigen rekatif menjadi kurang toksik; mencegah kemampuan oksigen reaktif; dan memperbaiki kerusakan yang timbul. 2.3 Sistem Imun Sistem kekebalan (immune system) adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa, dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor. Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya guna merespon infeksi pathogen, baik yang berkembang biak di dalam sel tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang biak di luar sel tubuh (ekstraselular) sebelum berkembang menjadi penyakit. Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan berlangsung. Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan terluar dari tuuh yaitu kulit, yang memiliki banyak sel termasuk makrofaga dan neutrofil yang siap melumat organisme lain pada saat terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh antibodi. Barikade yang kedua adalah kekebalan tiruan. Walaupun sistem pada kedua barikade mempunyai fungsi yang sama, terdapat beberapa perbedaan yang mencolok, antara lain :
sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem kekebalan turunan

sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu, sedangkan sistem yang lain merespon nyaris seluruh antigen.
sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk "mengingat" imunogen

penyebab infeksi dan reaksi yang lebih cepat saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem kekebalan turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory. Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum tulang. Sel punca progenitor mieloid berkembang menjadieritrosit, keping darah, neutrofil, monosit. Sementara sel punca yang lain progenitor limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.
7

Sistem kekebalan dipengaruhi oleh modulasi beberapa hormon neuroendokrin


Modulasi respon kekebalan oleh hormon neuroendokrin

Hormon

Pencerap

Efek modulasi

sintesis antibodi ACTH Sel B dan Sel T, pada tikus produksi IFN-gamma perkembangan limfosit-B

sintesis antibodi Endorfin limpa mitogenesis aktivitas sel NK

TSH

Neutrofil, Monosit, sel B

meningkatkan laju sintesis antibodi bersifat komitogenis dengan ConA

GH

PBL, timus, limpa

sel T CD8 mitogenesis

LH dan FSH

proliferasi produksi sitokina

PRL

sel B dan sel T

bersifat komitogenis dengan ConA menginduksi pencerap IL-2

Produksi IL-1 CRF PBL meningkatkan aktivitas sel NK bersifat imunosupresif

TRH

Lintasan sel T

meningkatkan sintesis antibody

GHRH

PBL dan limpa

menstimulasi proliferasi

menghambat aktivitas sel NK SOM PBL menghambat respon kemotaktis menghambat proliferasi menurunkan produksi IFN-gamma

3. Bahan Dan Metode Hewan Coba Hewan coba yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus novergicus) Strain Wistar yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Kriterianya berusia 2-3 bulan, berat 300-400 gram dan dalam kondisi sehat. Tikus harus diberikan perlakuan adaptasi terhadap kondisi laboratorium yang akan digunakan sebelum diberikan perlakuan. Pemeliharaan dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Setiap tikus diberikan makanan dan minuman standar. Makanan tikus terdiri dari makanan ayam jenis BR 1 lalu dicampur dengan satu bagian tepung terigu yang kemudian dibuat pellet. Setiap harinya tikus makan sebanyak 15-40 gram pellet. Minuman diberikan secara adlibitum. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah propolis yang diambil dari peternak lebah di Batu (Malang), E-pure, etanol dan Tween 80. Bahan untuk menghitung sel darah putih berasal dari darah tikus tiap perlakuan yang diberi larutan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid) dengan perbandingan 1 mg EDTA untuk 1 ml darah agar tidak terjadi pembekuan darah. Eter digunakan sebagai agen anestetik agar tikus mengalami anestesi umum sebelum pengambilan darah. Alat Erlenmeyer 500 ml dan 1000 ml, gelas ukur 1000 ml, pengaduk, corong gelas, pipet, kertas saring, Rotary Evaporator, Thermos tirer (Ikamag Red), Vortex-mixer (Model:VM-2000 D.S. Instrument, Inc. Taipe, Taiwan, R.O.C), waterbath (Salm En Kipp b.v), Magnetic Stirrer 5 cm, alumunium foil, kulkas merk SHARP, Thermometer, botol untuk menyimpan dosis, suntik sonde, spet 5 cc dan toples tempat tikus mengalami anasesi umum. Alat yang digunakan untuk menghitung sel darah putih adalah ABX Micros 60-OT. Pengambilan gambar darah
9

menggunakan Flex Fision (TOPEX) memakai software Movie Studio Vee dengan memakai perbesaran obyektif 100 x dan sel 1000 x. Metode Penelitian Teknik pengambilan sampel diawali dengan pembuatan rendemen propolis dari propolis kasar. Langkah pertama adalah mengekstraksi propolis dengan etanol sebagai pelarut memakai perbandingan propolis:etanol adalah 1:10 (Krell, 1996). Alat yang digunakan yaitu Thermostirer berkecepatan 150 rpm selama 4 jam dan diputar dengan bantuan Magnetic Stirrer 5 cm. Hasilnya disaring dengan menggunakan kertas saring sehingga didapat filtrat propolis. Filtrat dipisahkan dari pelarut dengan cara penguapan dalam rotary evaporator pada suhu +70oC berkecepatan 2-3 rpm. Rendemen yang diperoleh digunakan sebagai sampel untuk tahap perlakuan berikutnya. Rendemen diencerkan agar mudah diberikan pada hewan coba melalui metode oral. Hal ini dilakukan karena sifat fisik rendemen propolis yang lengket. Caranya adalah rendemen propolis dihitung untuk membuat dosis lalu ditambahkan tween 80 sebagai emulsifier dan diencerkan dengan E-pure. Alasan menggunakan E-pure untuk menjaga kemurnian penelitian dari kandungan kimia bahan lain yang digunakan selain efek propolis terhadap hewan coba. Epure didapatkan dari hasil pemurnian akuades. Metode Analisis Penelitian ini merupakan studi percobaan untuk mengetahui efek dosis ekstrak propolis terhadap sistem kekebalan tubuh seluler tikus putih. Metode penelitian menggunakan postest control karena masing-masing kelompok hanya mendapat satu perlakuan berupa pemberian dosis ekstrak propolis (mg/hr) lalu dilihat kuantitas sel darah putih. Penentuan besarnya dosis yang akan diberikan pada hewan coba, dilakukan analogi dengan dosis terhadap manusia. Menurut Darmansjah (1995), dosis tikus adalah 25 x setara dengan manusia. Karena belum ada eksplorasi dosis propolis yang berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh tikus putih jenis wistar, maka dilakukan percobaan penentuan dosis propolis yang berpengaruh terhadap kuantitas sel darah putih dari sistem kekebalan seluler tikus putih jenis Wistar. Perhitungan dilakukan dengan membuat homogen beberapa komponen seperti rata-rata berat badan manusia dan tikus. Perhitungannya adalah : Rata-rata berat badan manusia yang diambil secara umum = 50 Kg Rata-rata berat badan tikus = 300 gram
10

Dosis pada tikus = 25x, 20x dan 15x dosis manusia Standar pemberian dosis propolis = 100 mg (Krell, 1996) 1 ml propolis = 860 mg propolis Berat rata-rata tikus Berat rata-rata manusia 300 g x 100 mg = 0,6 mg 50000 g Dosis pada Tikus = 25x, 20x dan 15x dosis manusia Untuk 25x, maka 0,6 x 25 = 15 mg/ hr Karena 1 ml propolis = 860 mg propolis, maka : Dosis : 15 mg 860 mg Untuk 20x, 0.6 x 20 = 12 mg/hr Dosis : 12 mg 860 mg Untuk 15x, 0.6 x 15 = 9 mg/hr Dosis : 9 mg 860 mg = 0.010 ml = 0.014 ml = 0.017 ml x standar pemberian propolis

Tabel 2. Komponen Dosis Ekstrak Propolis Dosis (ml) 0.010 0.014 0.017 Tween (l) 100 100 100 E-pure (ml) 2.893 2.89 2.883 Volume akhir (ml) 3 3 3 Kosentrasi propolis (mg/ml) 9/3 12/3 15/3

Volume akhir didasarkan pada ukuran larutan tes untuk hewan coba sebesar 5-10 ml/ kgBB (Di Carlo and Oehme, 1992). Pembagian kelompok tikus putih untuk pemberian dosis ekstrak propolis adalah sebagai berikut :
11

Kelompok I : pemberian dosis 9 mg/3 ml/hr Kelompok II : pemberian dosis 12mg/3ml/ hr Kelompok III : pemberian dosis 15 mg/3 ml/hr Kelompok Kontrol : tidak diberi dosis propolis. Analisa Data Analisis data yang digunakan adalah analisis keragaman (Analysis of Variance) dan memakai Rancangan Acak Lengkap (RAL). Jika terdapat perbedaan diantara perlakuan maka dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan. Macam Perlakuan dan Ulangan Pemilihan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling yang kemudian dibagi menjadi empat kelompok. Estimasi jumlah pengulangan atau besar sampel pada penelitian ini dapat dihitung dengan rumus : (p1) (n1) 15 n = jumlah sampel tiap perlakuan p = jumlah perlakuan akan diuji dengan level signifikan 95 % (Hanafiah, 1991). Jumlah perlakuan adalah empat {pemberian sampel propolis dosis 1 (9 mg/ hr), 2 (12 mg/hr), 3 (15 mg/hr) dan kontrol}, sehingga didapatkan : (p - 1) (n 1) 15 (4-1) (n- 1) 15 n 6 Jadi jumlah sampel tiap perlakuan minimal enam ekor tikus sehingga terdapat tiga kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol. Variabel Pengamatan Variabel yang diamati adalah kuantitas sel darah putih beserta jenis-jenisnya dari tikus putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar. 4.Hasil Dan Pembahasan Ekstrak Propolis
12

Hasil penelitian menunjukkan bahwa etanol yang telah dipisahkan dengan ekstrak propolis tidak mempunyai residu karena seluruh tikus putih yang dijadikan media untuk percobaan tidak mengalami keadaan yang merugikan seperti stres atau kesulitan untuk bernafas. Propolis yang diekstrak dengan menggunakan pelarut etanol memberikan gambaran produk berwarna coklat kekuning-kuningan, berbentuk pekat dan bersifat lengket. Sifat ini menurut Hegazi (1997), disebabkan oleh propolis yang banyak mengandung 50-55% resin, 30% balsam, 10% minyak eter dan 5% pollen. Gambar 1 menunjukkan hasil dari ekstrak propolis. Pemberian ekstrak propolis yang diberikan pada tikus putih tidak mengalami keadaan yang merugikan. Krell (1996) menyatakan bahwa etanol merupakan variasi bahan pelarut organik yang paling umum digunakan tetapi hanya sedikit yang tidak beracun dan dapat digunakan dengan aman. Bahkan menurut Lorimer (1995), etanol larut dalam pelarut yang bersifat polar seperti senyawa fenolik.

Gambar 1. Hasil Ekstrak Propolis

Sel Darah Putih Setiap dosis menghasilkan jumlah sel darah putih yang berbeda-beda pada tiap parameter yang diteliti. Pada Gambar 1 disajikan hasil dari pemberian ekstrak propolis terhadap sel darah putih tikus putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar.

Gambar 2. Grafik Rata-rata Sel Darah Putih Tikus Putih terhadap Perlakuan Dosis Ekstrak Propolis Dibandingkan dengan Kontrol
13

Peningkatan jumlah sel darah putih menunjukkan bahwa propolis adalah suatu senyawa biofungsional non-nutritive yang bersifat homeostatis, yaitu aktifitas senyawa propolis untuk mendapatkan keseimbangan sel darah putih dalam tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Zakaria, Nurahman, Sanjayadan Sayuthi (1999) menjelaskan secara ilmiah bahwa jahe yang merupakan produk rempah-rempah mampu meningkatkan aktifitas sel darah putih. Pemberian dosis ekstrak propolis sebesar 9 mg/hr dapat menurunkan sel darah putih dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan dosis propolis yang diberikan pada tikus putih terlalu rendah sehingga aktifitas merespon sistem kekebalan tidak maksimal. Menurut Weir (1990), teknik pemberian dosis kedalam tubuh hewan dan pemberian antigen dalam bentuk ajuvan dapat menentukan kekuatan respon imun. Hal ini didukung oleh pernyataan Bellanti (1993) dan Weir (1990)bahwa dosis dan interval-interval antara suntikan yang berbeda dibuktikan menghasilkan kelompok-kelompok antibodi dengan titer dan kekuatan yang berbedabeda sehingga determinan antigen yang lebih asing akan semakin kuat untuk merespon sistem kekebalan. Jenis Sel Darah Putih Sel darah putih dibagi menjadi dua kategori, yaitu granulosit dan sel limfoid atau agranulosit. Sel limfoid atau agranulosit terdiri dari monosit dan limfosit. Sel granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil. Jumlah limfosit dan monosit ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4 berikut ini.

Gambar 3. Grafik Rata-rata Limfosit Tikus Putih terhadap Perlakuan Dosis Ekstrak Propolis Dibandingkan dengan Kontrol

14

Gambar 4. Grafik Rata-rata Monosit Tikus Putih terhadap Perlakuan Dosis Ekstrak Propolis Dibandingkan dengan Kontrol Limfosit dan monosit pada kelompok 1 menunjukkan kenaikan kuantitas dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini dimungkinkan oleh beberapa kondisi seperti adanya mikroorganisme yang masuk, tikus mengalami keadaan yang tidak stabil atau pemberian dosis ekstrak propolis yang tidak tepat. Dapat diketahui juga dengan membandingkan nilai monosit dan limfosit normal menurut Smith & Mangkoewidjodjo (1998) berturut-turut adalah 0-5 % dan 63-84 % sedangakan pada kelompok 1 memiliki monosit 10,5 % dan limfosit 75,7 %. Weir (1990) menyatakan bahwa makrofag yang merupakan monosit matang memegang peran utama dalam memakan mikroorganisme lalu menghancurkannya dan memaparkan unsurunsur antigeniknya kepada limfosit untuk menginduksikan imunitas. Limfosit bertanggung jawab untuk meningkatkan respon imun secara efektif terhadap antigen sehingga terjadi respon imun. Menurut Bellanti (1993), kemampuan merespon imun pada umumnya relatif dengan ditandai oleh responder kuat atau responder lemah. Secara umum, respon diukur oleh kemampuannya untuk menghasilkan limfosit T. Sedangkan jumlah sel granulosit ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Rata-rata Granulosit Tikus Putih terhadap Perlakuan Dosis Ekstrak Propolis Dibandingkan dengan Kontrol Granulosit yang dianalisis merupakan gabungan dari neutrofil, eosinofil dan basofil yang semuanya jarang ditemukan pada sel darah putih. Granulosit dari tikus putih menunjukkan peningkatan kuantitatif walaupun tidak diberikan infeksi. Menurut Weir (1990), neutrofil lebih berperan pada imunitas nonspesifik dibandingkan dengan respon imunitas spesifik. Eosinofil berperan pada rea ksi alergi dan basofil yang mengeluarkan histamin dan zat-zat perantara lain pada reaksi alergi. Pada pemberian dosis 9 mg/hr mengalami penurunan, tetapi dalam statistik
15

penurunan ini tidak bermakna. Sedangkan pada pemberian dosis 12 mg/hr dan 15 mg/hr jumlah granulosit sel darah putih tikus (Rattus norvegicus) mengalami peningkatan yang signifikan. Bellanti (1993) menjelaskan bahwa meningkatnya jumlah granulosit disebabkan oleh adanya rangsangan dari antigen dalam jumlah yang optimal. Naim (2004) menjelaskan bahwa senyawa flavonoid dalam propolis dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, terutama dalam proses fagositosis yaitu bersama-sama dengan neutrofil melemahkan dinding sel bahan asing yang berbahaya bagi tubuh, sehingga dinding sel bahan tersebut akan melemah dan akan mengalami lisis. Pengaruh Ekstrak Propolis terhadap Sistem Kekebalan Seluler pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jenis Wistar Taheri, Rahmani dan Pourreza (2005) menyatakan bahwa dalam beberapa penelitian propolis dapat merespon sistem kekebalan tubuh, contohnya dapat meningkatkan aktifitas makrofag (Dimov et al., 1991), meningkatkan IL 1 (Interleukin 1) (Bra t ter et al., 1999; Ha vs teen ,1983; Ivanovska et al., 1995; Orsolic and Basic, 2003), IL 2 (Ivanovska et al., 1995; Park et al., 2004) dan IL 4 (Park et al., 2004). Aktifitas ini disebabkan oleh adanya senyawa fenolik dalam propolis berupa flavonoid, vitamin B kompleks, vitamin C, vitamin E dan provitamin A yang dapat melapisi struktur sel sehingga tubuh memiliki pertahanan terhadap mikroorganisme (Krell, 1996). Vitamin C juga berperan dalam peningkatan sistem kekebalan yaitu berikatan dengan limfosit yang selanjutnya bersama-sama dengan neutrofil melawan infeksi (EicherPruiett, Morill, Blecha , Higgins , Anderson, and Reddy, 1992). Jumlah sel darah putih normal pada tikus putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar jika dibandingkan dengan hasil penelitian menurut Smith & Mangkoewidjodjo (1998) adalah 5-13 x 103 sel/mm3. Hal ini dapat diartikan bahwa walaupun tidak mempengaruhi sistem kekebalan tubuh namun ekstrak propolis yang merupakan pangan fungsional non-nutritive dapat menjaga kesehatan tubuh karena dapat mempertahankan jumlah sel darah putih pada batas distribusi normal. Ardiansyah (2005) menjelaskan bahwa pangan fungsional (functional foods) telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh bahkan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Zakaria dkk. (1999) menemukan bahwa salah satu produk pangan fungsional seperti minuman jahe yang diberikan pada mahasiswa menunjukkan adanya perbaikan sistem imun (kekebalan tubuh).
16

5. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak propolis dapat meningkatkan jumlah sel darah putih sehingga berpengaruh terhadap sistem kekebalan seluler tikus putih. Peningkatan konsentrasi dosis propolis tidak berhubungan secara signifikan terhadap jumlah sel darah putih pada hewan coba karena antara sel limfosit dan monosit memiliki korelasi yang sama. Pelarut etanol tidak berpengaruh negatif terhadap sistem kekebalan tubuh. Disarankan agar pemberian ekstrak propolis memakai uji subkronik yang dilakukan selama 90 hari untuk mengetahui efekefek spesifik dari bahan bioaktif terhadap organ dan biokimia hewan coba.

DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah. 2005. Pangan Tradisional sebagai Pangan Fungsional. Universitas Tohoku. Jepang. www.Redpelberitaiptek.com. Diakses tanggal 8 April 2006. Bankova, V. 2000. Determining Quality In Propolis Sample. Journal Summer 2000. 7(2). Bendich, A. 1992. Physiological Role of Antioxidants in the Immune System. Human Nutrition Research, Hoffmann-LaRocheInc., Nutley, NJ 07110. Baratawidjadja, K. G. 1998. Imunologi Dasar. FKUI. Jakarta. Bellanti, A. B. 1993. Imunologi III. Penerjemah : A. Samik Wahab. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bevilacqua, M., Bevilacqua, M., Serra, E, Vianello, A., Garrou, E., Sparagna, B., Barale, U., and Zaccagna, A. C. 1997. Natural Resin Association such as Incense and Propolis In Zootechnology. Elsevier Science Publishing. Italy.
17

Carson, C. Fand Riley, T. V. 1995. Antimicrobial Activity Of The Major Components Of The Essential Oil Of Melaleuca Alternifora. Journal of Applied Bacteriology. 78: 264-269. Chew, B. Pand Park, J. S. 2004. Carotenoid Action on the Immune Response. The American Society for Nutritional Sciences Journal of Nutrition. 134: 257S-261S. Darmansjah. 1995. Dasar Toksikologi;Hubungan Antara Hewan Coba Dengan Manusia Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. Di Carlo, F. Jand Oehme, F. W. 1992. Animal Models In Toxicology. Edited by Shayne Cox Gad & Christoper P. Chengelis. Marcel Dekker, Inc. New York. Goldman, A. Sand Prabhakar, B. S. 1993. Immunology Overview. www.gsbs.utmb.edu/microbook/ch001b.htm. Diakses tanggal 8 April 2006. Guyton, A. C. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Alih Bahasa : Petrus Andrianto. Edisi ketiga. EGC. Jakarta. Hanafiah, Kemas Ali. 1991. Rancangan Percobaan. Rajawali Pers. Jakarta. Hartanto, B. 2005. Identifikasi Parsial Kapang Pada Keju Gouda dan Kerentanannya Terhadap Propolis. Tugas Akhir. Fakultas Peternakan UNIBRAW. Malang. Hill, R. 2000. Propolis-The Natural Antibiotic. www.Arkson.com/resources/i-propolis. Htm. Diakses tanggal: 24 Juli 2005. Houghton, P. J and Raman, A. 1998. Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extracts. Chapman and Hall. Tokyo. Krell, R. 1996. Value-Added Products From Beekeeping; FAO Agricultural Services Bulltein No. 124. Food and Agriculture Organization of the United Nations Rome 1996. www.fao.org/docrep.htm. Diakses tanggal: 24 Juli 2005. Kosalec, I., Pepeljnjak, S., Bakmaz, M., Knezevic, S. V. 2005. Flavonoids Analaysis and Antimicrobial Activity of Commercially Available Propolis Products. ActaPharm. 55: 423430. Lin, C. S. 2001. Department of Medicine., Taipei Medical University. Email Songchow@tmu.edu.tw.www.arkson.com/resources/i-propolis.htm. Diakses tanggal 24 Juli 2005. Linnemeyer, P. A. 1993. The Immune System--An Overview. A Fact Sheet from the Seattle Treatment Education Project. www.thebody.com/step/ immune.html immuno system. Diakses tanggal : 28 Mei 2005.
18

Lorimer, L. T. 1995. Encyclopedia of Knowledge Vol. 7. Grolier Inc. USA. Masaharu, I., Yong Kun, P. 1998. Preparation of Water and Ethanolic Extracts of Propolis and Evaluat ion of The Preparation. 2nd International Electronic Conference On Synthetic Organic Chemistry (ESOC-2). UNICAMP, 13081-970, caixa postal 6177, Campinas. Brazil. Murtidjo, A. 1991. Memelihara Lebah Madu. Kanisius. Yogyakarta. Nakamine, A. 2003. Declaration Of Conformity. By ABX Diagnostics. France. Nychas, G.J.E. 1995. Natural Antimicrobials From Plants. In Gould, G. W. New Methods of Food Preservation. Chapman and Hall. London. Laboratorium Farmakologi. 2000. Petunjuk Praktikum Farmakologi. www.geocities.com/ kuliah_farm/praktkum_farmakologi/hewan_coba.doc. Diakses tanggal:28 Mei 2005. Priyambodo, S. 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penebar Swadaya. Jakarta. Radiati, L. E. 2002. Penghambatan Enteropatogen oleh Ekstrak Diklorometan Jahe. Habitat. XIII (2): ISSN: 0853-5167. Rantam, F. A. 2003. Metode Imunologi. Cetakan Pertama. Airlangga University Press. Surabaya. Radhite. 2011. Propolis, Air Liur Lebah yang Mampu Mengobati Hampir Segala Jenis Penyakit. http://www.apakabardunia.com/2011/05/propolis-air-liur-lebah-yang-mampu.html. Diakses pada tanggal 13 Desember 2012. Shaidi, F. and M. Naczk. 1995. Food Phenolics. Technomic Co., Inc. Lancaster. Smith, J. B & Mangkoewidjojo, S. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Subowo. 1996. Imunobiologi. Penerbit Angkasa. Bandung. Sumarsono, T. 2002. Seputar Masalah Resistensi Antibiotika. Pikiran Rakyat. Bandung. Taggliasacchi, D. and Carboni, G. 1997. Blood Cells. Translation revised by David W.Walker. www.funsci.com. Diakses tanggal : 24 Juli 2005. Taheri, H. R., Rahmani, H. R dan Pourreza, J. 2005. Humoral Immunity of Broilers is Affected by Oil Extracted Propolis (OEP) in the Diet. International Journal of Poultry Science. 4 (6): 414-417. Tamarkin, D. 2006. White Blood Cell. STCC Foundation Press.

19

Toda, M., Okubu, S., Ikagi, H., Suzuki, T., Suzuki Y. and Shimamura, T. 1991. The Protective of Tea Against Infection by Vibrio Cholerae O1. Journal of Letters In Applied Bacteriol. 70: 109-112. Toprakci, M.B.S. 2005. Kompilasi Keterangan-Keterangan Mengenai Propolis. www.zaaba313.coms.ph/catalog.html. Diakses tanggal : 9 Mei 2005. Wade, C. 2005. Can Bee Propolis Re juvenate The Immune System? www.thenaturalshopper.com/buy-bee-supplements/article.htm. Diakses tanggal:19 Mei 2005. Weaver, B. 1995. In FDA Bacteriological Analytical Manual. 8thed. AOAC International. Gaithersburg. www.bd.com/ds/technicalCenter/inserts/Tween_80_Water.pdf#s earch='tw een%2080'. Diakses tanggal : 2 April 2006 Weir, D. M. 1990. Aids To Immunology. Alih bahasa : Yulius E. S. Binarupa Aksara. Jakarta. Zakaria, F. R., Nurahman, Sanjaya dan Sayuthi, D. 1999. Pengaruh Konsumsi Jahe terhadap Perlindungan Sel Limfosit dari Stres Oxidaif pada Mahasiswa diPondok Pesantren Ulil Albab, Kedung Badak, Bogor. Prosid Seminar Nasional Teknologi Pangan, Patpi & Menpanghor.

20

Вам также может понравиться