Вы находитесь на странице: 1из 14

BAB III PENANGGULANGAN PEREDARAN SENJATA KECIL KALIBER RINGAN DI INDONESIA

Dalam bab ini akan dibahas upaya pemerintah Indonesia dalam menanggulangi peredaran senjata kecil kaliber ringan ilegal, khususya penegakan hukum (law enforcement) terhadap tindakan pencegahan maupun pemberantasan peredaran SKKR di Indonesia. Setelah menguraikan masalah peredaran SKKR ilegal serta dampak yang ditimbulkannya pada bab II, maka konsekuensi logisnya adalah adanya respon pemerintah dalam bentuk kebijakan publik dalam menanggulangi peredaran SKKR ilegal. Bab ini akan dibagi menjadi dua sub-bab yaitu, pertama, pembentukan Kelompok Kerja Antar Departemen (Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan Ham, Polri dan lain sebagainya) dalam menanggulangi SKKR, kedua, menjelaskan kebijakan dari setiap institusi yang tergabung di dalamnya menyangkut penanggulangan SKKR ilegal di Indonesia.

A. Pembentukan

Kelompok

Kerja

Antar

Departemen

(Interdepartemental Working Group) Pembunuhan, perampokan, pencurian sampai perampasan adalah kejahatan dengan kekerasan yang kini makin lazim terjadi di beberapa tempat di

Indonesia seperti Medan, Jakarta Solo, Depok hingga daerah bekas konflik seperti Aceh, Poso dan Ambon. Namun ada yang serupa dalam berbagai kejahatan pidana dengan ancaman hukuman berbeda tersebut. Para pelaku kini makin banyak yang menggunakan senjata api laras pendek maupun laras panjang untuk melukai atau bahkan membunuh siapa pun yang menghalangi aksi mereka. Meskipun Indonesia memiliki angka terkecil kepemilikan senjata api (resmi) di dunia, namun peredaran senjata ilegal justru meluas. Saat ini sedikitnya 6 ribu senjata api berada di tangan masyarakat sipil. Jumlah tersebut merupakan jumlah senjata api yang terdata dan berizin. Sementara senjata api ilegal yang tak memiliki izin hingga kini jumlahnya masih belum diketahui. Secara umum, sesuai dengan survei gunpolicy.org, di antara 179 negara, Indonesia berada di urutan ke-169 dalam hal kepemilikan senjata api oleh sipil. Survei itu menyimpulkan bahwa Indonesia, yang angka kepemilikannya 0,5 untuk 100.000 penduduk, tidak termasuk negara dengan budaya penggunaan senjata api yang tinggi. Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk kategori ketat (restrictive) seperti halnya Malaysia, Singapura, dan Timor Leste. Sedangkan kepemilikan senjata api yang gampang didapatkan (highly permissive) adalah Laos, Myanmar, Filipina, dan Thailand. Sedangkan negara yang menerapkan larangan total adalah Brunei, Kamboja, dan Vietnam1.
1 Widiastuti V, Nuri, Mencegah Jadi Negara Koboi, Artikel Jawa Pos, 27 Januari 2012.

Dalam hal merespon maraknya peredaran senjata kecil kaliber ringan ilegal serta penyalahgunaannya, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri, Kementrian Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri, BIN, Kementrian Hukum dan HAM serta Kementrian Perdagangan membentuk Kelompok Kerja Antar-Departemen yang disebut Interdepartemental Working Group (IWG)2. Institusi ini bertugas mengawal setiap kebijakan yang menyangkut regulasi, sirkulasi serta produksi senjata kecil dan kaliber ringan. Dalam hal regulasi misalnya pembuatan serta produksi senjata hanya boleh dilakukan oleh PT. Pindad. Segala aktifitas produksi senjata di luar PT. Pindad, kecuali impor atas ijin pemerintah, bisa dikategorikan sebagai tindakan ilegal dan dikenai sangsi hukum. Negara pada umumnya mengatasi ancaman persoalan SKKR dengan membuat badan khusus penanganan perdagangansenjata gelap dan juga membuat peraturan mengenai persyaratan individu yang dapat memperoleh izin dalam kepemilikan senjata, jenis senjata, dan penggunaannya sesuai dengan posisinya di bidang pemerintahan atau di bidang bisnis. Kondisi inilah yang mendorong Kementerian Luar Negeri untuk menggelar Konferensi Regional tentang Pelaksanaan Program Aksi PBB di kawasan Asia tentang Peredaran Senjata Api dan Senjata Ringan Ilegal. Kita ingin program aksi ini dilaksanakan secara
2 Indonesia National Report 2007-2008 on Impelentation of the United Nations Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illict Trade in Smalls Arm and Light Weapons in All Its Aspepcts.

44

konsekuen

secepatnya

untuk

memberantas

perdagangan

senjata

ilegal.

Konferensi regional itu dihadiri oleh sekitar 60 pakar dan aparat keamanan yang mewakili 20 negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Hadir pula para pejabat organisasi internasional, penggiat lembaga swadaya masyarakat dan akademisi. Mereka mengupas kembali Program Aksi PBB yang ditetapkan pada konferensi serupa tahun 2001 dan bagaimana tiap negara dapat berperan. Terkait dengan implementasi PoA, secara berkala Indonesia membuat laporan nasional berisi national point of contact, legislation and regulation, stockpile management, collection and disposal, implementation at regional level, serta challenges related to the implementation of the PoA, training and education.3 Kementrian Luar Negeri Indonesia sebagai National Point of Contact dari Kelompok Kerja Antar Departemen tersebut sangat aktif dalam mengkampanyekan penanggulangan senjata api ilegal khususnya SKKR. Dari data laman yang dilansir oleh UN Small Arms and Light Weapons Proliferations, tercantum bahwa Program Aksi yang mengamanatkan semua negara anggota PBB untuk mencegah, memerangi dan menghapuskan perdagangan gelap senjata api dan senjata ringan di dalam wilayah satu negara maupun lintas batas. Program aksi ini mewajibkan negara-negara anggota PBB menyatakan kegiatan membuat senjata api dan bahan peledak sebagai tindakan
3 Kemenlu (07/07/10), Small Arms And Light Weapons, diakses dari >http://www.deplu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=17&l=id< pada 27/09/12.

kriminal yang diancam hukuman berat. Penegakan hukum bagi mereka yang memproduksi, menyimpan, menggunakan serta memperdagangkan senjata ringan gelap pun harus dilaksanakan secara konsekuen. Pemerintah negara itu juga harus menerbitkan sertifikat pengguna akhir (end-user certificate) yang menandai senjata ringan mana saja yang sudah dibeli atau dijual oleh pabrik senjata resmi di wilayahnya. Tujuannya agar mudah melacak riwayat penggunaan senjata sejak dari pabrik hingga pengguna terakhir, terutama bila terjadi penyalahgunaan untuk kejahatan.

B. Legislasi Peredaran dan Kepemilikan Senjata di Indonesia Indonesia memiliki beberapa undang-undang yang mengatur

kepemilikan, perizinan, dan pelarangan kepemilikan senjata api secara terpisah, misalnya UU No. 8 tahun 1948; UU No. 12 tahun 1951; UU No. 20 tahun 1960; serta UU No. 2 tahun 2002. Masing-masing Angkatan Bersenjata (AL/AU/AD) dan Polri telah memiliki standar baku dalam stockpile management. Namun demikian, belum terdapat UU yang mengatur secara komprehensif mengenai aspek-aspek registrasi, marking and tracing, transfer, maupun brokering dalam pengadaannya. Oleh karena itu, perlu adanya suatu Undang-Undang mengenai SKKR yang komprehensif, yang mengatur semua aspek terkait SKKR seperti penyimpanan, registrasi, marking and tracing, brokering, dan transfer.

46

Setelah Indonesia merdeka, peraturan kolonial seperti Peraturan Senjata Kecil 1936 (Vuurwapen Regellingen), Ordonantie 11 Maret 1937 (sebagaimana tercantum dalam lembaran negara 1937 No. 170) dan sebagaimana telah diubah oleh Ordonantie 10 Mei 1939 (1939 lembaran negara No. 278) berubah menjadi UU Nasional No 8 tahun 1948. Hukum ini memberikan Kepala Polisi Daerah otoritas untuk memberi lisensi penggunaan senjata kecil kaliber ringan. Saat ini, UU No 8 tahun 1948 adalah dalam proses perubahan. Amendemen ini akan mencakup ketentuan yang berkaitan dengan definisi Senjata Kecil Kaliber Ringan (SKKR) dan sanksi untuk pelaku. Dengan demikian, peraturan tentang senjata api yang komprehensif dan terpadu yang mengatur penggunaan, penggunaan, dan aspek-aspek lain termasuk amunisi sudah berlaku. Dalam kasus kepemilikan senjata tidak sah, hukuman diatur oleh hukum dalam Undang-Undang Darurat nomor 12 tahun 1951. Menurut hukum tersebut, hukuman maksimal bagi penyalahgunaan senjata ini akan dihukum mati atau hukuman seumur hidup. UU no 20 tahun 1960 atas Surat Kuasa mengenai senjata api seperti diperkuat oleh UU no 2 tahun 2002, kepala polisi nasional indonesia telah diberikan kewenangan untuk memantau dan mengontrol kepemilikan SKKR oleh warga sipil. Pelaksanaan Petunjuk Pelaksanaan Kapolri (juklak kapolri) No. 10/III/1991, 26 maret 1991 telah direvisi oleh keputusan kepala polisi nasional indonesia No. Skep/82/II tahun 2004 pada 16 februari

2004 yang menguraikan tentang penegakan hukum bagi pelaku peredaran SKKR. Gambar III. Hirarki Kebijakan Pengaturan SKKR di Indonesia4

Sedangkan upaya bagi kepemilikan yang sah, sesuai dengan pasal 15 ayat 2e UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebelum memperoleh ijin, mereka harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan Polri. Untuk kepentingan bela diri misalnya, aturannya dituangkan dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/82/II/2004. Menurut SKEP tersebut, syarat-

4 Veronika, Nuri Widiastuti, Kebijakan Pengaturan Small Arms and Light Weapons (SALW) di Indonesia, Jurnal Pertahanan September 2012, Volume 2, Nomor 3.

48

syarat kepemilikan senjata api adalah sebagai berikut : 1. Pemohon izin harus memiliki keterampilan menembak minimal kelas III. Kemampuan ini harus yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh Institusi Pelatihan Menembak yang sudah mendapat izin Polri. Sertifikat itu pun harus disahkan oleh pejabat Polri yang ditunjuk. 2. Harus berkelakuan baik dan belum pernah terlibat dalam suatu kasus tindak pidana yang dibuktikan dengan SKCK. 3. Harus lulus screening yang dilaksanakan Kadit IPP dan Subdit Pamwassendak. 4. Usia pemohon harus sudah dewasa tetapi tidak melebihi usia 65 tahun. 5. Harus memenuhi syarat medis, yaitu sehat jasmani, tidak cacat fisik yang dapat mengurangi keterampilan membawa dan menggunakan senjata api dan berpenglihatan normal. Syarat-syarat lain bisa saja ditetapkan oleh dokter umum/spesialis. 6. Harus memenuhi syarat medis psikologis, yaitu haruslah orang yang tidak cepat gugup dan panik, tidak emosional, tidak cepat marah, dan bukan seorang psikopat. Pemenuhan syarat ini harus dibuktikan dengan hasil psikotes yang dilaksanakan oleh tim yang ditunjuk Dinas Psikologi Mabes Polri.Untuk kepentingan bela diri ini seseorang hanya boleh memiliki senjata api genggam jenis revolver dengan kaliber 32/25/22,

atau senjata api bahu jenis Shotgun kaliber 12 GA atau senapan kaliber.

Gambar I. Prosedur Pemilikan Senjata Api di Indonesia5

Sesuai dengan Hukum ini, Kepolisian RI, berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara dari Angkatan Bersenjata RI (BAIS TNI) dan Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Umum Badan Pabean menjalankan tugas yang telah dimandatkan untuk mengawasi dan mengontrol SKKR di Indonesia juga mencegah penyalahgunaan dan perdagangan ilegal dari senjata-senjata ini.
5 Veronika, Nuri Widiastuti, Ibid.

50

Pemakaian SKKR oleh warga sipil hanya dapat diijinkan oleh Kepala Polisi RI (Kapolri). Penggunaan seperti ini dapat dikategorikan sebagai penggunaan individu atau personal, digunakan oleh personel keamanan swasta (Satuan Pengaman) atau polisi khusus, dan juga untuk kebutuhan aktivitas olahraga. Untuk kebutuhan seperti ini, seluruh pembelian dari senjata-senjata ini dari negara lain (sumber asing), harus menyerahkan ijin impor dari Kapolri. Sebelum akhirnya dijual, senjata-senjata yang telah dibeli harus diserahkan ke dalam fasilitas penyimpanan milik polisi untuk penjagaan keamanan dan pengawasan yang lebih baik6. Pengguna SKKR harus memasukkan identifikasi dengan benar, termasuk tipe, tanda, kaliber, jumlah, dan data sebelumnya dari senjata tersebut, lokasi pendistribusian, bio-data, serta nama negara atau tempat terakhir pihak yang mengekspor senjata tersebut. Selanjutnya, Kapolri akan memutuskan untuk mempermasalahkan atau memberikan ijin bagi senjata tadi jika pengguna memenuhi seluruh persyaratan di atas. Menteri Pertahanan atau Kepala TNI dan Kapolri bertugas mengeluarkan ijin/lisensi untuk memproduksi SKKR kepada PT.PINDAD. Perusahaan milik negara ini sebagai penghasil SKKR di Indonesia dan salah satu dari sumber domestik atas senjata-senjata jenis SKKR bagi TNI

6 Indonesia National Report 2007-2008 on Impelentation of the United Nations Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illict Trade in Smalls Arm and Light Weapons in All Its Aspepcts.

juga harus memenuhi standar internasional dalam memproduksi SKKR7. Dalam upaya-upaya ini, PT. PINDAD menunjukkan penandaan dan identifikasi, penyimpanan dan dokumentasi yang benar. Dalam hubungan ini, pemerintah memiliki informasi yang memadai atas produksi SKKR yang legal dan sebuah sistem untuk menandai, melacak, dan menyimpan catatan produksi SKKR di seluruh negeriinternasional dalam memproduksi SKKR. Dalam hal ini, PT. PINDAD menunjukkan penandaan dan identifikasi, penyimpanan dan dokumentasi yang benar. Dalam hubungan ini, pemerintah memiliki informasi yang memadai atas produksi SKKR yang legal dan sebuah sistem untuk menandai, melacak, dan menyimpan catatan produksi SKKR di seluruh negeri8.

C. Formulasi Kebijakan Penanggulangan Peredaran dan Perdagangan SKKR Ilegal Dalam upaya untuk mengatasi peredaran dan kepemilikan senjata api ilegal di masyarakat, Kepolisian melakukan upaya-upaya yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut dengan langkah pre-emtif, preventif, dan represif, seperti dijelaskan sebagai berikut:
7 Indonesia National Report 2007-2008 on Impelentation of the United Nations Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illict Trade in Smalls Arm and Light Weapons in All Its Aspepcts. Ibid 8 Indonesia National Report 2007-2008 on Impelentation of the United Nations Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illict Trade in Smalls Arm and Light Weapons in All Its Aspepcts, Ibid

52

1. Langkah Pre-emtif Langkah Pre-emtif adalah tindakan yang dilakukan sebelum langkah preventif dilakukan atau biasa disebut tindakan semi preventif. Adapun bentuk tindakan ini adalah pencegahan dan pengarahan, misalnya dengan memberikan penyuluhan pada masyarakat. Penyuluhan yang diberikan dapat disampaikan secara langsung maupun melalui media-media tertentu, dan tentu saja berkaitan dengan proses kepemilikan senjata api maupun bahayanya mengedarkan senjata api secara ilegal.

2. Langkah Preventif Yang dimaksud dengan langkah preventif adalah tindakan yang diarahkan kepada usaha pencegahan terhadap kejahatan. Tindakan tersebut diarahkan sebelum suatu kejahatan dilakukan. Dengan tindakan-tindakan preventif diharapkan akan dapat mengurangi timbulnya kejahatan-kejahatan baru, setidaknya akan bisa memperkecil jumlah pelaku-pelakunya. Tindakan Preventif dalam masalah peredaran dan kepemilikan senjata api ilegal menurut Soedjono mengatakan bahwa9: a. Menghubungi dan bekerjasama dengan jawatan, yayasan, perusahaan dan
9 Soedjono, 1976, Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Alumni: Bandung, hal. 43

badan-badan lain yang bergerak di dalam bidang persenjataan. b. Mengadakan pencatatan, penelitian dan pemetaan terhadap organisasi pemuda baik yang teratur maupun yang tidak. c.Mengadakan penerangan di radio dan TV tentang masalah peredaran dan kepemilikan senjata api ilegal.

3. Langkah Represif Langkah terakhir ini merupakan tindakan penanggulangan yang dilakukan setelah suatu kejahatan dilakukan. Tindakan yang dimaksud tersebut adalah tindakan yang berupa pengusutan, penyidikan, penghukuman, dan rehabilitasi. Upaya penanggulangan ini adalah berupa tindakan yang langsung dilakukan oleh satuan fungsi reserse yang dikedepankan dan dibantu oleh satuan fungsi intel, yaitu tindakan secara hukum yang ditujukan kepada pelaku kejahatan. Perlakuan tersebut dimaksudkan sebagai suatu rangkaian pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum. Penghukuman merupakan tindakan untuk memberikan penderitaan terhadap pelaku kejahatan yang sebanding atau mungkin lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan tersebut, apakah ia berupa hukuman pemenjaraan ataupun hukuman yang bersifat penderaan. Tindakan represeif ini dapat dilihat misalnya dari tertangkapnya terduga

54

pelaku teror di solo pada 31 Agustus 2012 serta ditemukannya barang bukti berupa pitol Baretta milik Filipina dengan kode PNP memberi isyarat bahwa penyelundupan senjata api terjadi begitu mudah di Indonesia. Kasus yang sama sebelumnya juga terjadi di Depok, bahkan perampokan Bank di Medan pada 2003 oleh International Crisis Group (ICG) diduga dilakukan oleh kelompok yang sama. Dalam sebuah contoh kasus di Aceh, Polisi berhasil mengakumulasi sekitar 900 senjata api ilegal dari berbagai jenis, 20.000 butir amunisi dan 33 paket bahan peledak. Temuan terbanyak sebelumnya hanya berkisar antara 3 sampai 4 pucuk. Kejadian yang terbaru misalnya pada tanggal 16 Oktober 2012, dilaporkan bahwa Polisi mengamankan 11 pucuk senjata laras panjang M-16 A1, 3 pucuk laras panjang AK-56, satu laras panjang pelontar GLM beserta 4 amunisinya, 23 magasin AK-56, 26 magasin pendek M-16, 15 magasin panjang M-16 dan 26 butir amunisi aktif. Seluruh temuan itu diakui sebagai senjata peninggalan masa konflik di Aceh10.

10 www.analisadaily.com, Temuan Senjata di Bireuen Terbesar di Aceh, diakses

dari http://www.analisadaily.com/news/read/2012/10/16/81387/temuan_senjata_di_ bireuen_terbesar_di_aceh/#.UIE966CGfMw, diakses pada 17/10/2012

Вам также может понравиться