Вы находитесь на странице: 1из 9

KONSEP LUAN DAN TEBEN PADA MASYARAKAT HINDU DI KECAMATAN PAMONA BARAT, KABUPATEN POSO, PROVINSI SULAWESI TENGAH

I Komang Mertayasa ABSTRAK Areal pekarangan masyarakat Hindu selalu berdasarkan pada konsep Tri Mandala, yaitu ada utama mandala (prahyangan), madya mandala (pawongan), dan nista mandala (palemahan). Zona yang digunakan membangun tempat suci yaitu areal utama mandala terletak pada arah utara-timur (kaja-kangin), dan untuk nista mandala adalah arah selatan-barat (kelod-kauh). Namun pada kenyataan masih ada masyarakat yang menempatkan sanggah tidak pada arah kaja-kangin, hal ini disebabkan oleh konsep luan dan teben yang berbeda. Hal tersebut memunculkan permasalahan yaitu bagaimana konsep luan dan teben pada masyarakat Hindu di Kecamatan Pamona Barat, Kabupaten Poso ? Setelah dilakukan penelitian diperoleh konsep luan dan teben masyarakat Hindu di Kecamatan Pamona Barat, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah didasarkan pada: (1) sumbu matahari (kangin-kauh), (2) arah kaja-kelod (gunung-laut), (3) posisi pekarangan Kata kunci : konsep, luan, dan teben (barat). Faktor kondisi dan potensi alam nilai utama pada arah gunung dan arah laut dinilai lebih rendah. Sulistyawati dkk berpendapat bahwa pertimbangan dalam penzoningan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista (kelod-kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah (Dwijendra, 2003: 11). Apabila faktor tata nilai ritual dan faktor kondisi dan potensi alam dirangkai akan terbentuk sangamandala yaitu sembilan zona dengan tingkatan nilainya masing-masing, yang terdiri dari utamaning utama arah kajakangin, madyaning madya arah tengah, nistaning nista arah kelod-kauh, utamaning madya arah kaja, madyaning utama arah kangin, nistaning madya arah kelod, madyaning nista arah kauh, utamaning nista arah kaja-kauh, dan nistaning utama arah 1

Pendahuluan Pembagian areal pekarangan (palemahan) masyarakat yang beragama Hindu selalu berpijak pada konsep Tri Mandala, yaitu ada satu bagian untuk wilayah utama mandala (prahyangan), satu bagian untuk madya mandala (pawongan), dan satu bagian lagi untuk areal nista mandala (palemahan). Penentuan letak dari masingmasing areal Tri Mandala disusun secara hirarkis dimulai dari bagian yang memiliki nilai sakral, kemudian yang memiliki nilai biasa sampai pada bagian yang memiliki nilai profan (non sakral). Pada umumnya arah dimana letak areal utama mandala disebut dengan luan dan arah letak nista mandala disebut dengan arah teben. Gelebet dalam Setiada (3003: 61) mengungkapkan bahwa pola desa adat dipengaruhi oleh faktor tata nilai ritual yang menempatkan zona sakral di bagian kangin (Timur), dan zona profan pada bagian kauh
WIDYA GENITRI Volume1,Nomor1,Juni2012

1.

kelod-kangin. Pada areal utamaning utama merupakan zona perhayangan yang difungsikan untuk menempatkan bangunanbangunan yang bernilai sakral. Zona pawongan pada areal utamaning madya, madyaning utama, madyaning madya, madyaning nista, dan nistaning madya, yang difungsikan untuk menempatkan bangunan yang bernilai sedang. Zona palemahan terletak pada areal utamining nista, nistaning utama dan nistaning nista, yang difungsikan untuk menempatkan bangunan-bangunan yang bernilai profan, (Artadi, 2010: 1). Ungkapan tersebut di atas memberikan penjelasan bahwa areal yang digunakan membangun tempat suci dalam areal pekarangan adalah areal yang terletak pada arah utara-timur (kaja-kangin), dan untuk menempatkan bangunan yang memiliki nilai profan diletakkan pada arah selatan-barat (kelod-kauh). Dengan demikian konsep luan dan teben yang diterapkan oleh masyarakat Hindu akan terlihat jelas dari pola bangunan yang ada dalam satu areal pekarangan. Masyarakat Hindu meyakini bahwa sanggah adalah salah satu bangunan yang sakral yang ada di dalam areal pekarangan, dengan demikian letak areal sanggah semestinya diletakkan pada arah kaja-kangin yang merupakan areal yang suci. Namun kenyataan khususnya di daerah Kecamatan Pamona Barat, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah masih ada masyarakat yang menempatkan sanggah tidak pada arah kaja-kangin, sehingga menimbulkan permasalahan yaitu bagaimana konsep luan dan teben pada masyarakat Hindu di Kecamatan Pamona Barat, Kabupaten Poso ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan adanya penelitian yang mendalam untuk mengetahui penerapan konsep luan dan teben pada masyarakat Hindu di Kecamatan Pamona Barat, Kabupaten Poso.

2.

Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di 4 desa adat di Wilayah Kecamatan Pamona Barat, yaitu Desa Adat Beringin Sari, Margo Sari, Urano Sari, Salukaia dan Desa Adat Meko. Penelitian dilakukan selama 4 bulan yaitu mulai bulan februari 2011 sampai bulan Mei 2011. Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, dengan memakai informan sebanyak 7 orang. Jumlah yang diambil hanya 7 orang karena dengan jumlah tersebut peneliti telah memperoleh data yang dibutuhkan dan ketika diambil informan lagi tidak ada informasi baru yang diperoleh oleh peneliti. Sumber data dalam penelitian ini yaitu data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat yang mengetahui permasalahan yang diteliti, dan data sekunder yaitu buku-buku penunjang atau referensi yang mempunyai kaitan dengan penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah 1) reduksi data, 2) display/penyajian data, 3) verifikasi atau penyimpulan. 3. Hasil dan Pembahasan Setelah melakukan tahapan proses pengumpulan data, dan proses analisis data, maka penerapan konsep luan dan teben pada masyarakat Hindu yang ada di Kecamatan Pamona Barat, Kabupaten Poso didasarkan pada : 3.1 Sumbu Matahari (Kangin-Kauh) Umat Hindu meyakini bahwa semua yang hidup di dunia tidak bisa lepas dari pengaruh hukum Rwe Bhineda. Dua hal yang kontradiktif selalu duduk berdampingan, susah-senang, miskin-kaya, timur-barat, siangmalam, dan lain sebagainya. Demikian juga untuk konsep luan dan teben, apabila ada arah luan sudah pasti akan ada arah teben. Arah luan didasarkan pada arah matahari terbit, dan teben didasarkan pada arah matahari terbenam. Arah tersebut digunakan karena adanya
WIDYA GENITRI Volume1,Nomor1,Juni2012

konsep bahwa segala sesuatu yang hidup akan mengalami kematian. Apabila terjadi kelahiran maka akan terjadi kehidupan dan menunggu waktu kematian. Tenggang waktu dari kelahiran dan kematian harus dilalui, baik dalam keadaan senang maupun susah. Hari digunakan sebagai waktu yang harus dilalui sebelum mencapai kematian. Pada jaman dahulu tanpa adanya matahari orang akan kesulitan untuk menentukan waktu, dengan demikian matahari berperan penting dalam kehidupan sehingga arah matahari terbit dijadikan sebagai arah yang utama. Pada dasarnya apa yang ada di dunia berasal dari satu sumber yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Bhuana Agung merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi, demikian juga seluruh isi alam ini adalah ciptaan Ida Sang Hyang Widhi. Alam semesta (bhuana agung) dengan tubuh manusia (bhuana alit) memiliki kesamaan, baik itu unsur-unsur pembentuknya, maupun keadaan yang dialami oleh alam semesta dan mahluk hidup. Dilihat dari unsur pembentuknya alam semesta dan manusia sama-sama memiliki unsur Panca Mahabhuta sebagai pembentuk. Jika dilihat keadaannya alam semesta suatu saat akan terjadi siang dan malam yang disebut dengan Brahma Diwa (siang harinya Brahman) dan Brahma Nakta (malam harinya Brahman). Demikian juga pada kehidupan manusia akan mengalami siang dan malam yang terjadi akibat perputaran bumi pada porosnya. Tanpa adanya siang hari manusia tidak akan dapat hidup dengan baik, karena segala aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian besar dilakukan pada siang hari. Keberadaan matahari sebagai suatu hal yang sangat penting sehingga arah matahari digunakan sebagai arah yang paling utama, (Watya, Wawancara, 19 Mei 2011). Dunia ini mengalami siang dan malam, hal ini tidak hanya terjadi pada kehidupan mahluk di dunia ini, tetapi juga terjadi pada Brahman. Siang hari Brahman ketika alam ini mengada (srsti) dan malam ketika alam ini
WIDYA GENITRI Volume1,Nomor1,Juni2012

meniada (pralaya). Siang dan malam Brahman ditentukan oleh ada dan tidaknya alam ini. Sedangkan siang dan malam pada alam semesta ini ditentukan oleh ada dan tidaknya matahari menyinari bumi. Waktu yang baik untuk manusia bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya adalah siang hari dan beristirahat pada malam hari. Penjelasan menenai siang dan malam dapat di temui dalam kitab Manawa Dharmasastra sebagai berikut : Ahorate wibhajate suryo manusa daiwikw, Ratrih swapnaya bhutanam cestayai karmanamahah (Manawa Dharmasastra I.65). Artinya : Matahari membagi hari siang dan malam, baik untuk manusia maupun untuk dewa; malam waktu istirahat dan siang waktu berkarya bagi semua mahluk hidup, (Pudja, Sudharta, 2002: 44). Matahari memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan manusia di bumi. Pada keyakinan agama Hindu Dewa Matahari disebut dengan Dewa Surya yang selalu berputar mengelilingi bumi tempat manusia tinggal. Di samping itu matahari berfungsi sebagai pusat peredaran planet yang lain, matahari juga merupakan pusat sumber tenaga di lingkungan tata surya. Energi-energi inilah yang menyebabkan dunia tetap berputar pada rotasinya. Apabila tidak ada matahari sebagai sumber energi bumi yang merupakan satusatunya planet yang dapat dihuni oleh manusia tidak akan dapat berotasi dengan baik. Dalam weda juga terdapat ajaran yang dikhususkan membahas tentang tata surya dan benda-benda angkasa yang lainnnya. Ajaran tersebut yang dalam ajaran agama Hindu disebut dengan kitab jyotisa. Sivananda (2003: 18) dalam bukunya yang berjudul Intisari Ajaran Hindu, yang 3

mengatakan bahwa ada enam anggota penjelas terhadap weda, yaitu : siksa, wyakarana, chanda, nirukta, jyotisa dan kalpa. Jyotisa adalah astronomi dan astrologi (ilmu perbintangan) yang mengandung pergerakan dari badan-badan surgawi, planet-planet dan sebagainya serta pengaruhnya dalam kegiatan manusia. Matahari mempunyai fungsi yang sangat penting bagi bumi. Energi pancaran matahari telah membuat bumi tetap hangat, membuat udara dan air di bumi bersirkulasi, dan tumbuhan bisa berfotosintesis. Disamping matahari merupakan sumber energi (sinar panas), energi yang terkandung dalam batu bara dan minyak bumi juga berasal dari matahari. Matahari berfungsi mengontrol stabilitas peredaran bumi yang juga berarti mengontrol terjadinya siang dan malam, pergantian bulan dan pergantian tahun serta mengontrol planet-planet lainnya. Tanpa matahari tidak akan ada kehidupan di bumi. Terkontrolnya peredaran bumi menyebabkan adanya siang dan malam hari. Sebagai ucapan terima kasih kepada matahari umat Hindu memuja Dewa Surya yang dipuja dalam berbagai kegiatan keagamaan. Pada beberapa acara agama selalu dibangun sanggar surya sebagai saksi dari kegiatan keagamaan yang telah dilakukan. Dewa surya sebagai dewa matahari dibuatkan sthana yang disebut dengan sanggah agung atau sanggah surya. Dewa surya dipuja karena memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, dengan adanya matahari yang menyebabkan adanya hari untuk melakukan aktivitas. Dewa surya yang banyak membantu kehidupan manusia dipuja dalam sanggah surya, dan menjadikan arah terbitnya matahari (surya) sebagai arah utama serta arah terbenamnya matahari sebagai arah teben. Surya dipuja dalam setiap kegiatan keagamaan dan di buatkan sthana dalam bentuk sanggah agung. Sanggah ini terbuat dari bambu, berbentuk segi empat panjang mirip dengan sanggah tawang hanya 4

ruangannya satu dan memakai atap lalang atau kelabang. Sanggah agung mengandung arti sumber kewibawaan, Sadangkan kewibawaan dapat diartikan kharisma. Kalau kharisma dapat diartikan sebagai sinar suci, dan sinar suci yang dimaksud adalah sinar sucinya Sang Hyang Widhi, dengan sebutan Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Surya. Dengan demikian sanggah agung dipergunakan sebagai stana pada pemujaan Sang Hyang Surya, (Anonim, 2000: 9). Lebih lanjut mengenai dewa Surya Titib (2003: 173) mengungkapkan bahwa Dewa Surya sebagai saksi yang agung dari setiap pelaksanaan upacara keagamaan. Dalam Taittiriya Samhita III.4.11.2 dijelaskan bahwa Dewa Surya menyaksikan dunia, berkeliling mengendarai kereta emas, bergerak bersama dengan kegelapan, mendirikan yang bersifat kekal abadi dan temporer (sesuai dengan tempat semestinya). Pada panca sembah yang kedua tujuannya adalah untuk pemujaan kepada Dewa Surya dengan menggunakan sarana bunga warna putih dan nunas upasaksi. Arah matahari terbit/timur merupakan linggih Sang Hyang Iswara yang memiliki warna putih. Warna putih diyakini sebagai warna yang suci dan identik dengan kebersihan sehingga warna putih dijadikan simbol dari kesucian. Putih itu adalah bersih, bersih itu adalah suci dan yang suci itu adalah yang utama. Kesucian jasmani dan rohani merupakan tujuan dari kehidupan, karena untuk dapat mencapai kesejahteraan lahir dan bathin (moksa) tahap awal yang harus dimiliki adalah kesucian dalam diri, (Sastrawan, Wawancara 27 Maret 2011). Ngurah, dkk (2003: 28) dalam bukunya yang berjudul Doa Sehari-Hari Menurut Hindu, mengungkapkan bahwa pada kramaning sembah yang kedua menyembah Sang Hyang Widhi sebagai Sang Hyang Aditya dengan bunga, dan mengucapkan mantra om adityasyaparam jyoti, rakta teja namostute, sweta pankaja madhyastha, bhaskaraya namo stute yang artinya Oh Sinar surya yang maha
WIDYA GENITRI Volume1,Nomor1,Juni2012

hebat, engkau bersinar merah, hormat padamu, engkau yang berada ditangan teratai putih, hormat padaMu pembuat sinar. Arah matahari terbit dijadikan luan karena timur sebagai arah matahari terbit adalah merupakan tempat yang suci sesuai dengan warna yang dimiliki dewa Iswara. Arah luan difungsikan untuk menentukan areal utama mandala untuk meletakkan tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta prabhawanya. Masyarakat Hindu dalam menetukan arah utama mandala sangat memperhitungkan kesucian, karena diareal tersebut umat Hindu melaksanakan proses penyucian diri. Kekawin Arjuna Wiwaha XI, 2 menyebutkan bahwa dengan kesucian batin seseorang dapat melihat wujud Hyang Widhi, kekawin tersebut berbunyi sebagai berikut : Katemunta mareka si tan katemu, Kahidepta mareka si tan kahidep, kawenangta mareka si tan kawenang, paramartha siwatwa nirwarana Artinya : Engkau dijumpai oleh mereka yang berjiwa suci yang tidak dijumpai oleh umat biasa, engkau dirasakan oleh mereka yang berjiwa suci yang tidak dirasakan oleh umat biasa, engkau dapat dicapai oleh mereka yang berjiwa suci yang tidak dapat dicapai oleh umat biasa, engkau yang bersifat Maha Mulia dan tidak terbayangkan itu dijadikan tujuan tertinggi. (Ardana, dkk, 1982: 18). 3.2 Arah Kaja-Kelod (Gunung-Laut) Selain mengunakan arah matahari terbit, arah luan juga dapat ditentukan berdasarkan arah mata angin, yaitu utaraselatan. Jika menggunakan konsep ini utara adalah arah luan dan selatan adalah arah teben. Arah utara identik dengan arah gunung, sehingga sesungguhnya yang dijadikan pedoman adalah arah gunung sebagai arah luan dan laut arah teben.
WIDYA GENITRI Volume1,Nomor1,Juni2012

Gunung dijadikan arah luan gunung diyakini sebagai tempat bagi kebanyakan orang suci menerima getaran suci dan sebagai tempat diterimanya wahyu Tuhan. Bahkan kitab suci agama Hindu diyakini diterima digunung Himalaya, (Selamet, wawancara, 16 Pebruari 2011). Kata gunung berasal dari kata Gu dan Nung. Gu berarti angugu atau mentaati, nung artiya dunung atau tempat tinggal. Jadi gunung berarti mentaati karena tahu asal mulanya, tempat untuk mendapatkan pepadang (wahyu). Gunung dapat digambarkan sebagai perjalanan seseorang untuk mendapatkan pepadang atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa, (Tim, 2009: 23). Gunung digunakan sebagai pedoman arah luan karena gunung merupakan kawasan suci dan diyakini sebagai tempat yang dapat membangkitkan vibrasi kesucian bagi seseorang. Agar dapat mencapai tujuan hidup menurut umat Hindu diperlukan adanya kesucian diri. Jika kesucian telah dapat dicapai maka seseorang mendapat keheningan, dapat merenungkan dan menghayati tujuan dari kelahiran ke dunia. Pemahaman mengenai tujan kelahiran di dunia menjadikan seseorang mampu untuk mengendalikan perbuatannya sehingga selalu bertindak berdasarkan dharma. Tujuan kehidupan selalu mengutamakan untuk pencapaian pepadang, sehingga dapat mencapai kebahagiaan sejati. Agar dapat mencapai pepadang, dapat dilakukan ditempat suci. Gunung dijadikan pedoman dalam menentukan arah letak tempat pemujaan oleh umat Hindu, karena tempat pemujaan adalah tempat yang digunakan untuk mendapatkan pepadang/wahyu. Hal ini mengingatkan manusia khususnya umat Hindu bahwa tujuan kehidupan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati, yang dapat dilakukan dengan melakukan perjalanan untuk mendapatkan pepadang. Gunung merupakan suatu kawasan yang terletak pada ketinggian tertentu dan ditumbuhi pepohonan. Jika dikatakan gunung 5

identik dengan hutan yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Adanya hutan dapat mencegah terjadinya berbagai macam bencana alam, seperti tanah longsor, dan banjir. Hutan merupakan suplay air bersih yang sangat berguna bagi kehidupan mahluk di dunia. Dengan demikian begitu banyak manfaat hutan bagi kehidupan mahluk hidup. Sebagai ucapan syukur akan keberadaan gunung maka umat Hindu menggunakan arah gunung sebagai arah yang suci (Sukamawan, Wawancara, 20 Mei 2011). Areal yang terletak pada arah luan diyakini lebih tinggi dibandingkan areal-areal yang lain. Secara horizontal areal arah timur yang merupakan arah matahari terbit (kangin) diyakini sebagai areal yang lebih tinggi dan disebut arah luan. Sebaliknya areal arah matahari terbenam (barat/kauh) merupakan arah yang lebih rendah sehingga dikatakan sebagai arah teben. Sedangkan pada posisi vertikal atas merupakan arah luan dan bagian bawah merupakan arah teben. Luan dan teben juga terdapat pada tubuh manusia, yaitu kepala merupakan organ tubuh yang terletak pada bagian atas merupakan luan dan kaki merupakan teben. Konsep tersebut mempengaruhi posisi tidur masyarakat Hindu pada umumnya yang meletakkan posisi kepala mengarah pada arah yang dianggap luan dan posisi kaki mengarah pada arah yang dianggap teben. Gunung merupakan bagian dari dunia ini yang tinggi, jika dikatakan gunung sudah pasti lebih tinggi dari tempat-tempat lain. Umat Hindu percaya bahwa yang lebih tinggi atau bagian atas adalah merupakan suci, dasar inilah yang menjadikan gunung di anggap suci. Gunung adalah dataran yang menjulang tinggi, sesuatu yang tinggi akan sulit untuk di kotori. Demikian juga gunung diyakini sebagai suatu tempat yang suci tidak mudah terkotori, sehingga gunung dapat diyakini sebagai kawasan suci, (Riuh, Wawancara, 27 Maret 2011).

Gunung memiliki banyak manfaat bagi kehidupan di bumi, gunung menyediakan air bersih yang dibutuhkan oleh mahluk, dengan adanya gunung akan mencegah terjadinya banjir, dengan adanya gunung menyebabkan terjadinya hujan yang dapat mensejahterakan mahluk dibumi dan dengan adanya gunung pula dapat mengurangi terjadinya pemanasan global. Gunung merupakan satu bagian dari siklus kelangsungan kehidupan mahluk dibumi, dengan adanya gunung menyebabkan terjadinya hujan yang mendukung kelangsungan kehidupan. Gunung adalah tempat yang tinggi yang terlihat sangat indah, karena keindahannya menjadikan gunung merupakan suatu tempat yang menyenangkan, baik itu bagi manusia maupun bagi para Dewa. Terlebih lagi daerah lereng pegunungan yang memiliki taman, itu merupakan tempat yang diberkati oleh Tuhan, dan para Dewa berkenan untuk turun memberikan anugerah kepada umat manusia. Di tempat-tempat yang tergolong hening, di gunung-gunung, pada pertemuan dua sungai (campuhan), disanalah para Maha Rsi mendapatkan inspirasi (pikiran) yang jernih. Para Dewa tidak hanya berkenan untuk turun dan tinggal di Tirtha (pathirtan), tetapi juga di puncak-puncak gunung atau bukitbukit, di lereng-lereng pegunungan, di hutan, di semak belukar dan kebun atau taman-taman, dekat tempat-tempat yang dirahmati atau pertapaan, di desa-desa, kota-kota dan di tempat-tempat lain yang membahagiakan. Para Dewa senantiasa bercengkrama di tepi sungaisungai, gunung-gunung, dan mata air, dan kota-kota dengan taman-tamannya yang menyenangkan, (Titib, 2003: 87). Penggunaan gunung sebagai arah luan dikarenakan gunung digunakan dalam berbagai macam simbol-simbol agama Hindu. Candi misalnya yang merupakan penjabaran dari gunung, dan sorga juga diyakini terletak dipuncak gunung Mahameru. Penggambaran gunung dalam berbagai bentuk bangunan itu tentu disebabkan oleh hal-hal tertentu, seperti
WIDYA GENITRI Volume1,Nomor1,Juni2012

karena gunung kawasan suci, gunung merupakan tempat mendapatkan kesucian dan lain sebagainya. Dengan dasar itulah gunung digunakan sebagai arah yang suci, sebagai pedoman untuk menentukan arah luan, (Derta, wawancara 2 April 2011) Sthana para dewa diyakini terletak pada puncak gunung mahameru, alasan tersebut menyebabkan arah gunung digunakan sebagai arah utama atau arah luan yang digunakan untuk menempatkan bangunan suci. Ketika kita melaksanakan pemujaan menghadap kepada arah gunung, yang memiliki maksud melakukan pemujaan kepada para dewa. Memuja para Dewa juga merupakan wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena Dewa merupakan sinar suci beliau. Penggambaran bentuk gunung diwujudkan dalam bentuk candi yang motifnya diambil dari bentuk binatang dan pepohonan. Hubungan antara Candi dengan bentuk gunung selain bentuknya yang menjulang tinggi juga diperjelas dengan motif-motif hiasan yang umum digunakan pada candi. Motif hiasan yang mengambil bentuk binatang seperti bhoma (hiasan berbentuk kala), karang asti (motif hiasan berbentuk kepala gajah) serta beberapa kekarangan lainnya. Motif hiasan yang berbentuk tumbuh-tumbuhan seperti patra punggel, patra sari, dan patra olanda. Selain motif-motif tersebut pada candi juga dihiasi dengan pepalihan yaitu bagian dari suatu bangunan yang menggambarkan lapisanlapisan dengan makna tertentu, yang bentuknya menyerupai bingkai-bingkai segiempat yang tersusun sedemikian rupa makin ke atas, makin kebelakang, (Sumertha, 2006: 37). 3.3 Posisi Pekarangan Dalam menentukan arah luan harus memperhitungkan arah nista mandala dari tetangga di sebelah kiri, kanan atau belakang pekarangan, ini dilakukan apabila menentukan areal utama mandala agar menghindari nista
WIDYA GENITRI Volume1,Nomor1,Juni2012

mandala dari tetangga. Jika menggunakan timur sebagai luan, itu akan terasa kurang etis apabila tetangga yang ada di sebelah timur rumah meletakkan nista mandala (teba) pada arah barat, yang menyebabkan utama mandala berdampingan dengan nista mandala dari tetangga. Dengan demikian dalam meletakkan utama mandala perlu menghindari teba dari tetangga sekitar terlebih lagi tetangga adalah umat non Hindu, tentu bangunannya tidak akan beraturan. Untuk menentukan arah luan apabila bertetangga dengan yang bangunannya tidak teratur, maka kita yang harus dapat menyesuaikan bangunan kita terhadap bangunan mereka. Dengan demikian akan terjadi kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, (Selamet, wawancara, 16 Pebruari 2011). Kenyamanan dalam melakukan pemujaan sangat di utamakan, apapun yang dilakukan oleh seseorang apabila tidak dalam keadaan nyaman, maka sangat kecil kemungkinan yang dikerjakan itu akan dapat berhasil dengan baik. Pikiran akan dapat tenang apabila kondisi sekitar mendukung, seperti udara sekitar yang segar, bau harum yang dapat membantu memusatkan pikiran, kondisi lingkungan yang tidak becek dan kondisi-kondisi lainnya yang mendukung pemusatan pikiran. Untuk mendapatkan keheningan tidak bisa dilakukan disembarang tempat, ada tempat-tempat tertentu yang dapat membangkitkan kesucian pikiran. Agama Hindu memberikan kebebasan dalam memilih arah luan disesuaikan dengan waktu, situasi dan kondisi wilayah setempat. Agama Hindu baik lahiriah maupun batiniah serta secara individual dan secara kolektif, ajarannya bersifat fleksibel dan elastis. Fleksibel berarti luwes dan keluwesannya dinyatakan dengan istilah desa, kala dan patra. Sifat elastis memberikan pelaksanaan agama Hindu menyesuaikan diri dengan IPTEK dan kemajuan zaman dari masa kemasa. Adanya sifat fleksibel dan elastis itu karena weda sebagai sumber ajarannya bersifat 7

mengatasi ruang dan waktu, (Ardana, dkk, 1982: 16). Konsep luan dan teben yang penerapannya disesuaikan dengan arah jalan dan kondisi pekarangan tetangga, maka secara tidak disadari umat Hindu telah melaksanakan ajaran Tri Hita karana terutama palemahan. Apabila teba ketemu dengan teba tetangga, sehingga areal tersebut akan terletak berdampingan, itu akan menyebabkan kelestarian alam, karena untuk membuat saluran pembuangan akan mudah diatur. Pembuangan yang teratur akan menjadikan keadaan pekarangan akan terasa nyaman untuk di pandang. Tetapi apabila kamar mandi yang setiap hari pasti akan ada air mengalir berdampingan dengan rumah, sudah pasti nyamuk juga akan banyak, dan akan menimbulkan bau yang tidak sedap. (Rarat, wawancara, 16 Pebruari 2011). Tri Hita Karana adalah penyebab terciptanya suatu kebahagiaan, yang terdiri dari parahyangan, pawongan, dan palemahan. Penerapan konsep luan adalah merupakan aplikasi dari parahyangan, bagian tengah pawongan dan penentuan teben sebagai palemahan. Ketiga hal itulah yang menjadi pola dasar tatanan kehidupan yang dijadikan budaya perilaku sehari-hari oleh umat Hindu. Pola dasar tersebut mengajarkan hubungan yang harmonis (selaras, serasi dan seimbang) diantara ketiga sumber kesejahteraan dan kebahagiaan. Konsep luan dan teben yang dimiliki oleh masyarakat Hindu di Kecamatan Pamona Barat didasarkan atas keadaan wilayah sekitarnya. Sesuatu yang dianggap memiliki peranan dan diyakini memiliki nilai kesucian itulah yang dijadikan pedoman dalam menentukan arah luan. Hal tersebut sesuai dengan teori Religi yang mengatakan sesuatu akan menjadi sakral atau non sakral tergantung dari keyakinan. Matahari, gunung, keadaaan pekarangan yang dijadikan pedoman dalam menentukan arah luan dan teben oleh masyarakat Hindu di Kecamatan Pamona 8

Barat, mulanya adalah merupakan hal yang alami, tetapi begitu di masuki oleh keyakinan, berubah menjadi suatu obyek yang sakral dan suci. Hal ini sesuai dengan ungkapan Giddens, (1986: 137) yang menyatakan bahwa objek akan berubah menjadi keramat apabila disertai dengan kekuatan beragama. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di lapangan Penerapan konsepsi luan teben pada masyarakat Hindu di Kecamatan Pamona Barat Kabupaten Poso, didasarkan atas : Sumbu Matahari (kangin-kauh); Arah kajakelod (gunung-laut); dan Berdasarkan Posisi Pekarangan. Berdasarkan fakta dilapangan, maka disarankan demi keseragaman letak dan kesamaan persepsi tentang luan dan teben hendaknya pemahaman tetang arah kaja perlu ditingkatkan. Hal ini dimaksudkan untuk dapat menentukan apa dasar yang digunakan sehingga dapat arah tersebut disebut sebagai arah kaja. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Perangkat Upacara Atau Uparengga. Yayasan Dharma Acarya: Denpasar Ardana, I Gusti Gde, dkk. 1982. Agama Hindu dan Lingkungan Hidup. Proyek Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu. Artadi, I Made Pande. 2010. Sangamandala. (akses tanggal 28 Desember 2010). Tersedia dalam URL: http://repo.isidps.ac.id/148/1/Sangamandala.pdf Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2003. Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal Pemukiman Natah.Vol. 1. No.1, (akses tanggal 28 Desember 2010). Tersedia dalam URL: http://ejournal
WIDYA GENITRI Volume1,Nomor1,Juni2012

unud.ac.id/abstrak/artikel-acwin-2 pdf. Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim Dan Max Weber. Jakarta: Universitas Indoesia Press. Ngurah, I Gusti Made, dkk. 2003. Doa SehariHari Menurut Hindu. Proyek Peningkatan Pendidikan Agama Hindu, Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali. Pudja, G. Sudharta, Tjokorda Rai. 2002. Manawa Dharmaastra (Manu Dharma Sastra). Jakarta: CV. Felita Nursatama Lestari. Setiada, Nengah Keddy. 2003. Desa Adat Legian Ditinjau Dari Pola Desa Tradisional Bali. Jurnal Permukiman Natah Vol. 1 No. 2 (akses tanggal 28 Desember 2010). Tersedia dalam URL: http://ejournal unud.ac.id/abstrak/artikel- pdf. Siwananda, Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita Sumerta, Wayan. 2006. Arti dan Fungsi Candi Bentar. Jurnal Ilmiah Widya Santi Edisi Perdana STAHN Gde Pudja Mataram Tim, Penyusun. 2009. Pedoman Pembangunan Tempat Ibadah. Jakarta: Direktorat Jederal Bimbingan Masyarakat Hindu Departemen Agama. Titib, I Made. 2003. Teologi dan SimbolSimbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

WIDYA GENITRI Volume1,Nomor1,Juni2012

Вам также может понравиться