Вы находитесь на странице: 1из 8

Laporan Tutorial Blok 15 Ruminansia I Unit Pembelajaran 6 ANESTRUS PADA SAPI

Disusun oleh: Nama NIM Kelompok : Nilam Kusumastuti : 2010/300669/KH/6681 : 12

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

Tujuan pembelajaran: Mengetahui tentang anestrus meliputi faktor penyebab dan mekanisme, diagnosa, dan terapi.

Anestrus
Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukan gejala estrus dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya aktifitas ovaria atau akibat aktifitas ovaria yang tidak teramati. Keadaan anestrus dapat diklasifikasikan berdasar penyebabnya yaitu:

1. Genetik Anestrus karena faktor genetik agenesis ovaria. a. Hipoplasia Ovaria yang sering terjadi adalah hipoplasia ovarium dan

Merupakan

suatu

keadaan

indung

telur

tidak

berkembang karena keturunan. Hal ini dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila terjadi pada salah satu indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak pernah birahi) dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril (majir). Diagnosa: secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan permukaan berkerut (kadang seperti kacang polong). Pada sapi betina hipoplasia yang parsialis, pertumbuhan alat kelaminnya adalah normal. Sedangkan hewan betina yang menderita hipoplasia berat yang bilateral, pertumbuhan saluran alat kelamin menjadi tidak sempurna dan tetap kecil, birahinya tidak muncul dan tidak ada pertumbuhan sifat-sifat kelamin sekunder. Ini disebabkan pertumbuhan saluran alat kelamin ada dibawah pengaruh hormone steroid yang dihasilkan oleh ovarium. Pada sapi betina yang menderita hipoplasia ovarium yang berat dan bilateral, akan berupa seekor sapi jantan kebiri, kakinya panjang, pelvisnya sempit, ambingnya tidak tumbuh dan putingnya kecil, uterusnya kecil dan keras. Alat kelamin luarnya juga kecil karena tidak berkembang (Arthur, 2001).

b. Agenesis Ovaria Agenesis ovaria merupakan suatu keadaan sapi tidak mempunyai indung telur karena keturunan. Dapat terjadi secara unilateral (salah satu indung telur) ataupun bilateral (kedua indung telur). Prognosa : infausta.

2. Hormonal a. Sista Folikuler (thin walled cyst)

Terjadi karena rendahnya hormon LH, akibatnya terjadi kegagalan ovulasi dan luteinasi pada folukel yang matang. Diagnosa: Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tipis, jika ditekan terdapat fluktuasi. Terjadi nimfomania (selama 3-10 hari), anestrus, tonus vulva, vagina, servik, dan uterus berkurang, prolapsus vagina secara pasif, relaksasi ligamentum sacroiliaca dan ligamentum pelvis, perubahan metabolisme, perubahan produksi susu, rambut kasar, nervous, emaciasi. Penanganannya dengan memecah kista secara manual atau pemberian LH atau hCG.

b. Sista Luteal

Sista luteal adalah folikel matang yang gagal mengalami ovulasi namun mengalami luteinasi oleh tingginya hormon LTH. Karena berbeda tingkatan luteinasi, sista luteal teraba lebih kenyal/tidak sepadat corpus luteum. Diagnosa: anestrus, pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tebal, jika ditekan kenyal., bersifat non ovulatorik. Penanganan dengan pemberian PGF2 i.m (Arthur, 2001).

c. Sista Korpora Luteal Sista korpora luteal adalah korpus luteum yang di dalamnya terbentuk rongga dan berisi cairan. Sista corpora luteal tidak dapat mempertahankan

kebuntingan, akibatnya, setelah sapi dikawinkan, dan terjadi fertilisasi, terjadi kematian embrio dini karena progesteron yang dihasilkan CL yang menjadi sista tidak mencukupi. Diagnosa: kawin berulang (repeat breeding). Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tipis, jika ditekan terasa kenyal. Penanganan : pemberian PGF2 (jika sapi bunting) atau CIDR/PRID (jika tidak bunting) (Coleman, 2005).

d. Silent Heat Silent heat merupakan ovulasi yang tidak diikuti dengan timbulnya gejala estrus. Tetapi, biasanya estrus pertama post partum secara normal terjadi tanpa perilaku estrus, hal ini karena tidak ada reseptor estrogen akibat dari rendahnya progesteron post partum (progesteron dibutuhkan sebagai penginduksi reseptor estrogen, jika resepetor estrogen tidak ada maka estrus terjadi secara diam. Penanganan dengan estradiol sintetik (Eilts, 2007).

3. Nutrisi a. Hipofungsi ovarium Ransum pakan kualitas dan kuantitas rendah seperti kekurangan lemak dan karbohidrat dapat mempengaruhi aktivitas ovarium sehingga menekan perrtumbuhan folikel dan mendorong timbulnya anestrus, kekurangan protein mendorong terjadinya hipofungsi ovarium disertai anestrus. Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi, terutama untuk jangka waktu yang lama, maka akan mempengaruhi sistem reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah, dan akhirnya

produktivitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah karena tidak cukupnya ATP, akibatnya ovarium mengalami hipofungsi. Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel, perkembangan embrio, dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa pubertas hingga partus pertama akan mengakibatkan birahi tenang, kelainan ovulasi, gagal konsepsi, serta kematian embrio dan fetus. Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi di antaranya protein, vitamin A, dan mineral (P, Cu, Co, mangan, iodine, selenium). Selain nutrisi tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya ransum yang harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat menyebabkan abortus, yaitu racun daun cemara, nitrat, ergotamin, napthalen, khlor, dan arsenik. Pada ovarium, feed intake rendah yang menunda pubertas adalah disertai penurunan perkembangan folikel ovarium, pada sapi betina adalah folikel dominan lebih kecil. Hal ini terjadi meski sekresi gonadotropin tercukupi. Diagnosa: Ovarium permukaannya licin karena tidak terjadinya pertumbuhan folikel dan pembetukan korpus luteum (Hariadi, 2011). Penanganan: Perbaikan kuantitas dan kualitas pakan dan pemberian preparat FSH dan LH (PMSG dan HCG) (Hariadi, 2011).

b. Atropi ovarium Hipofungsi ovarium bila berlangsung lama tidak mendapatkan perbaikan kuantitas dan kualitas pakan dapat berlanjut lebih parah dan berubah menjadi atropi ovarium. Pada perabaan perrektal ovarium terasa lebih kecil dari normal dengan permukaan halus/licin. Penanganan dengan perbaikan kuantitas dan kualitas pakan dan pemberian preparat FSH dan LH (PMSG dan HCG) (Hariadi, 2011).

Referensi

Arthur, G. H. 2001. Arthurs Veterinary Reproduction and Obstetrics. Elsevier: London. Coleman, TT. 2005. Cystic Ovarian Disease.. http://www.wvu.edu/~exten/infores/ pubs/ livepoul/dirm25.pdf (22 Januari 2013) Eilts, 2007. Bovine Anestrus. http://www.vetmed.lsu.edu/eiltslotus/theriogenology-5361/ bovine_anestrus.htm (22 Januari 2013) Hariadi, Masud.2011.Pengobatan Hormonal pada Kasus Kemajiran.http://www.fkh.unair. ac.id/materi/kemajiran/kuliah2/PENGOBATAN%20HORMONAL%20PADA%20K ASUS%20KEMAJIRAN.ppt (22 Januari 2013)

3)

4)

a)

b)

c)

Freemartin Abnormalitas ini terjadi pada fase organogenesis (pembentukan organ dari embrio di dalam kandungan pada usia 12-45 hari kebuntingan), kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya migrasi hormon jantan melalui anastomosis vascular (hubungan pembuluh darah) ke pedet betina dan karena adanya intersexuality (kelainan kromosom). Pada umumnya, kromosom X membawa gen untuk betina dan jantan, namun ketiadaan kromosom Y pada betina menyebabkan perkembangan organ jantan tertekan, sementara pada penderita sindrom freemartin, kromosom yang dimiliki adalah XXY sehingga inhibisi untuk perkembangan organ betina hilang. Organ betina sapi freemartin tidak berkembang (ovaria hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva, pinggul ramping dengan hymen persisten. Klitoris berkembang lebih besar, vagina kecil dan ujungnya buntu. Servik tidak normal, uterus kecil dan tuba falopii tidak teraba. Dignosa pada freemartin adalah dengan alat berupa kateter yang dimasukkan ke dalam vagina, jika betina normal, kateter dapat masuk sampai 12-15 cm, sementara pada penderita freemartin kateter hanya dapat masuk sampai 5-6 cm (Bearden, et all, 2004). Aplasia segmentalis ductus mulleri (white heifer disease) Kelainan ini terjadi pada uterus, sebagai akibat dari tidak sempurnanya persatuan kedua saluran muller pada periode embrional, akibatnya terjjadi kelainan pada bentuk uterus. Kelainan ini disebabkan oleh gen yang resesif yang semula diduga bertautan dengan warna putih (sex linkage). Kelainan pada saluran uterus ini sering disebut white heifer disease karena banyak dijumpai pada sapi dara yang bewarna putih dari bangsa shorhorn. Akan tetapi ternyata kelainan genetic pada uterus ini dijumpai juga pada sapi-sapi yang berwarna bukan putih seperti sapi Holstein, jersey, Guernsey, dan lain-lain. Menurut derajatnya, aplasia segmentalis duktus mulleri ini dibagi menjadi tiga bentuk yaitu : Bentuk pertama, bentuk yang paling berat yang didapatkan adanya konstriksi atau penyempitan koruna uteri, korpus uteri, serviks, dan vagina bagian anterior. Koruna uteri berbetuk seperti pita tidak berongga, dapat juga koruna uteri membentuk kisata yang berisi lendir berwarna kuning atau coklat kemerahan. Besarnya kista bias berdiameter 2-10 cm dengan dinding yang tipis saja. Adanya pengecilan koruna uteri seperti piota dan rangkaian kista-kista duktus mulleri. Vagina dapat menjadi pendek atau bagian posterior dari vagina menjadi besar, sebab ada lendir yang tertimbun disebabkan karena selaput dara (hymen) yang buntu. Bentuk kedua dari kelainan ini berupa uterus unikornus. Jadi pada bentuk ini, salah satu koruna uteri mempunyai ukuran yang normal, sedangkan koruna uteri yang lain bentuknya kecil seperti pita tidak berongga. Kebanyakkan koruna uteri kanan yang menderita penyempitan atau bahkan kadang-kadang tidak ada sama sekali. Bentuk ketiga adalah adanya selaput dara (hymen) yang menebal dan menetap (persisten), sedangkan saluran alat kelamin lainnya dalam keadaan normal. Oleh karena ovarium dalam keadaan normal, maka sapi yang menderita kelainan ini dapat birahi secara normal. Hanya pada waktu kawin atau inseminasi buatan atau pada waktu melahirkan, induk memperoleh kesulitan karena selaput daranya menebal dan menutupi jalan keluar vagina (Hardjopranjoto, S.1995).
6

5)

Uterus Didelpis Suatu kelainan dari saluran alat kelamin betina dimana korpus uterinya tidak ada, menyebabkan koruna uteri berhubungan langsung dengan serviks yang mempunyai saluran ganda. Penyebab kelainan ini adalah juga karena adanya kegagalan dari kedua saluran muller untuk bersatu secara normal pada masa embrional. Kelainan ini dalah sama dengan kelaina serviks, yaitu adanya dua saluran pada batang serviks yang bermuara pada vagina. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan melalui rectal yang tidak dijumpai adanya koruna uteri. Kasusnya pada ternak sangat jarang (Hardjopranjoto, S.1995). 6) Saluran serviks ganda (Double Serviks) Penyebab dari keadaan ini, adalah tidak berjalannya secara normal, persatuan kedua saluran muller pada periode embrional, sehingga ada pita yang membagi korpus uteri dan saluran serviks menjadi dua bagian terpisah. Diagnosa dengan pemeriksaan memakai vaginoskop, akan terlihat seolah-olah ada dua lobang pada saluran serviks, karena ada selaput yang membagi saluran serviks berupa tenuna seperti pita. Pada keadaan yang berat terjadi dinding pemisah tebal. Seperti pita tersebut membentang sepanjang serviks sampai pangkal koruna uteri, sehingga kedua saluran serviks masing-masing berhubungan dengan koruna uterinya sendiri-sendiri sehingga terbentuklah uterus didelpis (Arthur et al., 1982). 7) Atresia Vulva Suatu keadaan pada vulva yang terjadi pertumbuhan tidak sempurna dalam bentuk adanya perlekatan kedua bibir (labia) vulva dibagian ventralnya. Kadang-kadang kelainan ini bersamaan dengan atresia ani. Kasusnya jarang pada ternak, tetapi kelainan ini bersiofat menurun. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis khususnya pemeriksaan pada alat kelamin luarnya, yaitu adanya kelainan pada bagian ventral dari vulva. Penanggulangan dapat dilakukan dengan operasi melalui pelepasan bagian yang mengalami perlekatan. Bila dijumpai pada ternak betina, sebaiknya tidak dikawinkan dan dikeluarkan dari peternakan.

Вам также может понравиться