Вы находитесь на странице: 1из 47

REFERAT PENATALAKSANAAN PADA PASIEN HIV SECARA UMUM, PREVENSI TRANSMISI DARI IBU KE ANAK, DAN PROFILAKSIS PASCA

PAJANAN

Dokter Pembimbing: dr.Erwanto Budi Winulyo, Sp.PD KAI

Disusun oleh: Mutiara Sazkia 030.08.169

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RUMAH SAKIT DR. MARZOEKI MAHDI BOGOR Periode 3 September 2012 -10 Nopember 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta 2012

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya. Referat ini disusun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor. Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Erwanto, Sp.PD selaku pembimbing makalah kasus saya di Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan dalam penyusunan makalah ini. Saya sadari betul bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah yang saya buat ini. Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah referat ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan khususnya bagi mahasiswa

kedokteran.

Terima kasih .Wassalamualaikum wr. wb.

Jakarta, Oktober 2012 Penyusun,

Mutiara Sazkia 030.08.169

BAB I PENDAHULUAN
AIDS pertama kali dikenal di Amerika saat musim panas 1981, saat U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan timbulnya pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocystis jiroveci (P. carinii) pada lima pasien laki-laki homoseksual yang pada awalnya sehat di Los Angeles dan sarkoma Kaposi dengan atau tanpa pneumonia P. jiroveci pada 26 laki-laki homoseksual yang pada awalnya sehat di New York dan Los Angeles. Penyakit ini kemudian ditemukan pada laki-laki maupun perempuan pemakai narkoba jenis suntikan; pada pasien hemofilia dan penerima transfusi darah; pada perempuan yang merupakan pasangan dari laki-laki dengan AIDS; pada bayi-bayi yang lahir dari ibu dengan AIDS atau dengan riwayat pemakaian obat suntikan.1 Pada tahun1983, virus human immunodeficiency virus (HIV) telah diisolasi dari seorang pasien dengan limfadenopati. Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc Montagnier, yang pada waktu itu diberi nama LAV (lymphadenopathy virus), sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-III. Pada tahun 1985, pemeriksaan yang sensitif, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), telah berkembang; hal ini menyebabkan apresiasi pada bidang dan evolusi dari epidemik HIV di Amerika dan negara-negara maju lainnya dan pada akhirnya pada negara-negara berkembang di seluruh dunia. 1,2 Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan pada tahun1987, yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu, telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang, menyatakan positif. Hanya, hasil tes Western Blot, yang pada saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemophilia dan termasuk jenis non-progressor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002. 1

Intervensi dini, terapi baru, dan strategi yang inovatif untuk mencegah infeksi sekunder telah menurunkan morbiditas dan meningkatkan kelangsungan hidup secara signifikan. Dengan perubahan penatalaksanaan yang lebih ke arah pasien, dokter umum memiliki peran yang lebih dalam perawatan secara komprehensif pada pasien dengan infeksi HIV; dokter umum bertanggung jawab dalam diagnosis awal, konseling, pencegahan penyebaran, inisiasi obat antiviral dan terapi profilaksis, penatalaksanaan infeksi sekunder, penentuan kebutuhan akan rawat inap, dan pemberian terapi suportif pada penyakit yang sudah memasuki tahap lanjut. Dalam hal ini dokter umum memerlukan pengetahuan tentang perilaku yang berisiko terkena HIV, manifetasi penyakit tersebut, teknik laboratorium, terapi saat ini, dan strategi profilaksis. Direkomendasikan untuk para ahli untuk ikut serta dalam perawatan pasien dengan infeksi HIV. Hal ini dapat dilakukan oleh dokter umum yang memiliki pengetahuan lebih atau oleh konsultan pakar dalam bidang ini.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HIV / AIDS
2.1 DEFINISI Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen etiologik dari AIDS. Virus tersebut termasuk ke dalam famili retrovirus yang menyerang manusia (Retroviridae) dan subfamili lentivirus. Keempat retrovirus yang telah diketahui dapat menyebabkan penyakit pada manusia dibedakan dalam dua grup: human T lymphotropic viruses (HTLV)-I and HTLV-II, serta HIV-1 dan HIV-2. Baik HIV-1 maupun HIV-2 dapat menyebabkan AIDS. Namun HIV-1 banyak ditemukan di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 terutama ditemukan pada Afrika Barat.2,4 AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan HIV/AIDS) lebih dianjurkan agar pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi, sebagai subjek dan tidak dianggap sebagai sekedar objek, sebagai pasien.1

2.2 EPIDEMIOLOGI Infeksi HIV merupakan kejadian pandemik. Infeksi tersebut telah menjadi penyebab utama kematian secara infeksius, dimana posisi sebelumnya ditempati oleh infeksi tuberkulosis. Dalam tahun 2006, telah diestimasikan 2,9 juta orang meninggal akibat AIDS di seluruh dunia. Sejak 1985 sampai 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajan yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.1,3

Gambar 1. Infeksi HIV di seluruh dunia tahun 2006.5

Situasi Masalah HIV-AIDS di Indonesia Tahun 1987-Juni 2012 Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan Juni 2012, kasus HIVAIDS tersebar di 378 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali (1987), sedangkan yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV (2011) adalah Provinsi Sulawesi Barat.6 1. Kasus HIV a. Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 859 kasus, tahun 2006 (7.195 kasus), tahun 2007 (6.048 kasus), tahun 2008 (10.362 kasus), tahun 2009 (9.793 kasus), tahun 2010 (21.591 kasus), tahun 2011 (21.031 kasus), Januari-Juni 2012 (10.138 kasus). Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2012 sebanyak 86.762 kasus.

b. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (21.030 kasus), diikuti Jawa Timur (11.282 kasus), Papua (8.611 kasus), Jawa Barat (6.315 kasus) dan Sumatera Utara (5.629 kasus).6

Gambar 2. Grafik Laporan Surveillan AIDS Depkes RI.

2. Kasus AIDS a. Sampai dengan tahun 2004 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 2.682 kasus, tahun 2005 (2.639 kasus), tahun 2006 (2.873 kasus), tahun 2007 (2.947 kasus), tahun 2008 (4.969 kasus), tahun 2009 (3.863 kasus), tahun 2010 (5.744 kasus) dan tahun 2011 (4.162 kasus), Januari-Juni 2012 (2.224 kasus). Jumlah kumulatif kasus AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Juni 2012 sebanyak 32.103 kasus. b. Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (41,5%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,8%), 40-49 tahun (11,6%), 15-19 (4,1%), dan 50-59 tahun (3,7%). c. Persentase kasus AIDS pada laki-laki sebanyak 70% dan perempuan 29%. d. Jumlah kasus AIDS tertinggi adalah pada wiraswasta (3.733 kasus), diikuti ibu rumah tangga (3.368 kasus), tenaga non- profesional (karyawan) (3.220 kasus), petani/peternak/nelayan (1.169 kasus), buruh kasar (1.137), anak sekolah/mahasiswa (944 kasus), dan penjaja seks (776).

e. Jumlah kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta (5.118), Papua (4.865), Jawa Timur (4.664), Jawa Barat (4.043), Bali (2.775), Jawa Tengah (1.948 kasus), Kalimantan Barat (1.358 kasus), Sulawesi Selatan (999 kasus), Riau (731 kasus), dan DIY (712 kasus). f. Angka kematian (CFR) menurun dari 2,4% pada tahun 2011 menjadi 0,9% pada Juni tahun 2012.6 3. Jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan Juni 2012, yaitu sebanyak 27.175 orang. Sebanyak 96% (26.004 orang) dewasa dan 4% (1.171 orang) anak. Sedangkan pemakaian rejimennya adalah 95,5% (25.939 orang) menggunakan Lini 1 dan 4,5% (1.236 orang) menggunakan Lini 2.6

2.3 ETIOLOGI HIV merupakan satu dari dua human T-cell lymphotropic retrovirus yang utama. (human T-cell leukemia virus -HTCLV- adalah retrovirus utama lainnya). Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat.4,7

Gambar 3. (Green WC: Mechanisms of Disease: The Molecular Biology of Human Immunodeficiency Virus Type I Infection. NEJM 1991, Vol. 324, No. 5, p. 309. Copyright 1991 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) 4

Virus tersebut akan menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4), dan menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan memiliki probabilitas yang besar untuk terjadinya infeksi oportunistik. Sel-sel lain, seperti makrofag dan monosit, yang memiliki protein CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi oleh HIV.4 HIV termasuk dalam golongan retrovirus dengan subgroup lentivirus, yang dapat menyebabkan infeksi secara lambat dengan masa inkubasi yang panjang. HIV memiliki bentuk inti seperti batang (tipe D) yang dibungkus oleh selubung (envelope) yang terdiri dari glikoprotein spesifik, yaitu gp120 dan gp41. (Lihat Gambar 3 dan Gambar 4).4

Gambar 4. (Human immunodeficiency virusElectron micrograph. Panah yang panjang menunjukkan virion matur yang baru saja keluar dari limfosit yang terinfeksi di bagian bawah gambar. Panah yang pendek (pada bagian kiri bawah) menunjukkan beberapa virion baru di dalam sitoplasma yang akan menjadi tunas pada membran sel host. Provider: CDC/Dr. A. Harrison, Dr. P. Feirino, and Dr. E. Palmer.)4

Genom HIV terdiri dari dua molekul RNA untai tunggal yang identikal dan diploid. Genom HIV merupakan genom yang paling kompleks bila dibandingkan dengan retrovirus-retrovirus lainnya. Selain memiliki tiga buah gen yang mengkode protein struktural yaitu gag, pol dan env, genom RNA HIV juga memililki enam gen regulator. (Tabel 1). Dua dari enam gen reguator ini, tat dan rev, dibutuhkan untuk

replikasi virus, sedangkan empat gen lainnya, nef, vif, vpr, and vpu, tidak dibutuhkan dalam replikasi HIV, dan dapat dikatakan sebagai gen asesoris.4 Tabel 1. Gen dan Protein HIV-Human Immunodeficiency Virus Gen Protein yang dikode oleh Gen Fungsi Protein

I. Gen Struktural yang Ditemukan dalam semua Retrovirus gag p24, p7 p17 pol Reverse transcriptase Protease Integrase env gp120 gp41 Nucleocapsid Matrix Transkripsi RNA ke bentuk DNA Memecah polipeptida prekursor Mengintegrasikan DNA virus ke dalam DNA sel host Penempelan ke protein CD4 Fusi terhadap sel host

II. Gen Regulator yang Ditemukan pada HIV yang Dibutuhkan dalam Proses Replikasi tat Tat Sebagai aktivasi dalam proses transkripsi gen virus Mentransport mRNAs fase akhir dari nukleus ke sitoplasma

rev Rev

III. Gen Regulator yang Ditemukan pada HIV yang Tidak Dibutuhkan dalam Proses Replikasi (Gen Asesoris) nef Nef Menurunkan protein CD4 dan protein MHC kelas I pada permukaan sel yang terinfeksi; menurunkan kemampuan sel T sitotoksik untuk membunuh sel yang telah terinfeksi HIV Menambah infektifitas dengan cara menginhibisi aksi dari APOBEC3G, suatu enzim yang menyebabkan hipermutasi dalam DNA retroviral. Mentrasport inti virus (core) dari sitoplasma ke dalam nukleus pada sel-sel yang tidak sedang membelah diri Menyebabkan virion dapat terlepas dari sel host

vif

Vif

vpr Vpr vpu Vpu

10

Gen gag mengkode protein inti bagian dalam, yang merupakan protein terpenting yaitu p24, yang juga merupakan suatu antigen dalam tes serologik HIV. Gen pol mengkode beberapa protein, termasuk untuk enzim reverse transkriptase yang mensintesa DNA menggunakan genom RNA sebagai template; enzim integrase mengintegrasikan DNA virus ke dalam DNA sel host; enzim protease berfungsi untuk memecah beberapa protein prekursor virus. Gen env mengkode gp160, suatu glikoprotein yang dipecah untuk menghasilkan dua selubung glikoprotein permukaan, gp120 dan gp41.3

Gambar 5. (B) Struktur HIV-1, Copyright by George V. Kelvin). (Adapted from RC Gallo: Sci Am 256:46, 1987.)1 Gambar 6. (C) Hasil scan mikrograf electron virion HIV-1 menginfeksi limfosit T CD4+. Magnifikasi 8000x (Courtesy of Elizabeth R. Fischer, Rocky Mountain Laboratories, National Institute of Allergy and Infectious Diseases; with permission.)1

2.4 CARA PENULARAN HIV dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam darah, dan transmisi maternal. Transmisi melalui kontak seksual dapat secara oral, vaginal, dan anal, sedangkan transmisi melalui darah, dapat melalui transfusi darah, kecelakaan jarum suntik, serta pemakaian jarum suntik secara bergantian, untuk transmisi maternal dapat terjadi melalui plasenta, saat proses kelahiran, atau melalui ASI. Telah diperkirakan 50% dari infeksi neonatal timbul saat proses kelahiran, dan sisanya tidak jauh berbeda antara transmisi transplasental maupun melalui ASI. 2, 3, 4, 8

11

Infeksi dapat terjadi baik akibat transfer sel yang terinfeksi HIV maupun virus HIV yang bebas. Walaupun ditemukan virus HIV dalam jumlah yang sedikit dalam cairan tubuh yang lain, seperti air liur dan air mata, tidak ada bukti bahwa hal tersebut berperan dalam infeksi. Secara umum, transmisi mengikuti pola infeksi hepatitis B, kecuali bahwa infeksi HIV kurang efisien dalam hal transfer, misalnya dosis yang dibutuhkan untuk terjadinya infeksi HIV lebih banyak dibandingkan untuk infeksi hepatitis B. Infeksi mikroorganisme seperti Treponema pallidum and herpes simplex virus merupaka ulserasi genital yang penting terkait transmisi virus HIV. Selain itu, patogen yang bertanggung jawab sebagai PMS yang nonulseratif seperti Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan Trichomonas vaginalis juga terkait dengan risiko yang meningkat dalam transmisi infeksi HIV. Vaginosis bakterial, suatu infeksi yang terkait perlakuan seksual, namun bukan suatu PMS, juga dapat dihubungkan dengan risiko yang meningkat dalam risiko terjadinya infeksi HIV. Laki-laki yang tidak disunat memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi HIV dibanding laki-laki yang telah disunat. 1, 4

Gambar 7. Probabilitas transmisi HIV per coitus, perbandingan antara host dengan PMS yang ulseratif dan host tanpa PMS yang ulseratif.1

Cara penularan yang jarang namun dapat terjadi termasuk melalui luka akibat tusukan jarum yang tidak disengaja, inseminasi artifisial dengan semen yang terinfeksi HIV, transplantasi organ dengan organ yang terinfeksi HIV. Bank darah dan program donor organ akan menskrining pendonor, baik darah, maupun jaringan untuk mencegah

12

risiko terjadinya infeksi. Transmisi HIV melalui transfusi darah telah menurun secara drastis dengan adanya skrining darah yang akan didonasi akan adanya antibodi terhadap HIV. Di lain pihak, terdapat periode jendela (window period) pada saat infeksi awal HIV dimana darah dari orang yang terinfeksi telah mengandung virus HIV namun tidak dapat terdeteksi dengan tes antibodi. Bank darah kini melakukan tes antigen p24 untuk mendeteksi darah yang mengandung HIV. 4, 8 Infeksi HIV tidak menular melalui kontak kasual seperti berpelukan, gigitan nyamuk, participasi dalam olahraga, barang-barang yang telah disentuh oleh individu yang telah terinfeksi HIV. Individu dengan risiko besar terinfeksi HIV termasuk pemakai obat suntik secara bergantian, bayi yang lahir dari ibu dengan HIV dan tidak mendapatkan terapi HIV selama kehamilan, individu yang melakukan hubungan seks tanpa pelindung (terutama dengan individu yang memiliki kebiasaan yang berisiko tinggi, atau yang positif HIV, atau memiliki riwayat AIDS), mendapat transfusi darah atau produk pembekuan darah antara tahun1977 dan 1985 (sebelum screening virus menjadi standar pemeriksaan), memiliki pasangan seksual yang berpartisipasi dalam aktivitas yang berisiko tinggi (seperti memakai narkoba jenis suntikan, atau seks anal). 8 2.5 PATOFISIOLOGI Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama, sel dendritik (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV. DC bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) dan mempresentasikan HIV ke sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T naive. Hal ini terjadi karena DC mengekspresikan molekul major histocompability complex (MHC) klas I, MHC klas II, dan molekul kostimulator lain pada permukaannya. Setelah HIV tertangkap, DC akan menuju kelenjar limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T naive. Di samping mengangkut HIV ke kelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel limfosit CD4, dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel limfosit Th.5

13

Gambar 8. Kejadian awal infeksi HIV (Adapted from Haase, 2005.)1

Replikasi virus HIV yang terjadi secara cepat berkaitan dengan mutasi yang berkontribusi dalam ketidakmampuan antibodi tubuh untuk menetralisasi virus dalam satu waktu secara bersamaan. Analisis yang ekstensif mengenai isolasi HIV sekuensial dan respon host telah mendemonstrasikan bahwa kemampuan virus untuk lolos dari epitop sel B dan sel T CD8+ timbul di awal segera setelah infeksi dan menyebabkan virus satu langkah lebih baik dibandingkan dengan imun respon yang efektif sekalipun. Selain itu, kloning sel limfosit T sitotoksik yang memperbanyak diri selama infeksi primer HIV, yang diperkirakan menjadi respon imun yang sangat efektif dalam mengeliminasi virus HIV ternyata tidak dapat dideteksi lagi setelah ekspansinya yang pertama. Hal ini diperkirakan akibat terjadi disfungsi dan penghilangan kloning tersebut yang disebabkan oleh replikasi virus yang persisten dan kelelahan respon sel limfosit T sitotoksik yang sama dengan penelitian pada infeksi virus limfositik koriomeningitis (LCMV). Mekanisme lain yang berkontribusi dalam pengaruh HIV terhadap kontrol merusak protein MHC kelas I pada permukaan sel yang terinfeksi menggunakan protein Nef pada virus HIV, sehingga menurunkan kemampuan sel limfosit sitotoksik untuk mengenali dan membunuh sel target yang terinfeksi virus HIV. Prinsip target antibodi dalam menetralisasi HIV adalah protein gp120 dan gp41 pada selubung (envelope) virus HIV. Namun HIV memiliki sedikitnya tiga mekanisme untuk melawan respon 14

netralisasi tersebut, yaitu: hipervariabilitas dari pola selubung primer, glikosilasi selubung secara ekstensif, dan pemalsuan epitop yang akan dinetralisasi.1, 4

Siklus Replikasi HIV Replikasi HIV mengikuti siklus retroviral pada umumnya (Gambar 9). Langkah awal dari masuknya virus HIV ke dalam sel host adalah pentautan gp120 dari protein selubung virion dengan protein CD4 pada permukaan sel host. Kemudian protein gp120 virion berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel, suatu reseptor kemokin. Langkah selanjutnya adalah protein gp41 virion akan bertindak sebagai perantara dalam penyatuan (fusi) dari selubung virus (envelope) dengan membran sel host. Kemudian virion akan masuk kedalam sel.4

Gambar 9. Siklus Replikasi HIV. Diperlihatkan letak tempat kerja obat antiretroviral. (Modified and reproduced, with permission, from Ryan K et al: Sherris Medical Microbiology, 3rd ed. Originally published by Appleton & Lange. Copyright 1994 by The McGraw-Hill Companies.)

Reseptor kemokin seperti protein CXCR4 dan CCR5 dibutuhkan dalam proses masuknya HIV ke dalam sel yang memiliki protein CD4. Virus HIV dengan strain yang

15

sel-T-tropik bertautan dengan reseptor CXCR4, sedangkan HIV dengan strain yang makrofag-tropik bertautan dengan reseptor CCR5. Mutasi pada pengkodean gen CCR5 dapat menyebabkan seorang individu memiliki proteksi tersendiri terhadap infeksi HIV. Individu yang memiliki mutasi gen tersebut secara homozigot secara lengkap resisten terhadap infeksi HIV, sedangkan individu yang memiliki mutasi gen tersebut secara heterozigot akan mengalami progresivitas penyakit yang lebih lambat dibanding yang tidak memiliki mutasi gen tersebut.Sekitar 1% masyarakat Eropa Barat memiliki mutasi gen tersebut secara homozigot dan sekitar 10-15% secara heterozigot. Setelah terlepas dari selubungnya (uncoating), enzim virion yaitu, DNA polymerase, mentranskripsi genom RNA virus menjadi DNA untai ganda (double-stranded), yang kemudian diintegrasikan ke dalam DNA sel host. DNA virus dapat berintegrasi di beberapa tempat pada DNA sel host, dan beberapa hasil pengkopian DNA virus pun dapat melakukan hal yang sama. Integrasi virus tersebut diperantarai oleh enzim integrase (virus-encoded endonuclease). mRNA virus yang telah ditranskripsi dari DNA virus menggunakan RNA polimerase sel host kemudian ditranslasikan untuk menghasilkan beberapa poliprotein berukuran besar. Poliprotein Gag dan Pol kemudian dipecah menggunakan enzim protease virus, sedangkan poliprotein Env dipecah menggunakan protease sel host. Poliprotein gag dipecah untuk membentuk protein inti (p24), protein di matrix (p17), dan beberapa protein yang berukuran lebih kecil. Poliprotein pol dipecah untuk membentuk enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease. Virion yang belum matang (immature) mengandung protein prekursor yang dibentuk di sitoplasma sel host, dipecah menggunakan enzim protease virus. Kemudian virion yang belum matang tersebut akan timbul sebagai tunas pada membran sel host. Proses inilah yang pada akhirnya menghasilkan virion infeksius yang matang (mature).1, 4

2.7 PERKEMBANGAN KLINIS Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar dapat dibagi menjadi empat fase: (a) infeksi HIV primer, (b) infeksi asimtomatik, (c) infeksi simtomatik, dengan ekslusi AIDS, dan (d) AIDS. Kecepatan progresi dari penyakit ini bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tergantung pada faktor virus dan faktor host.3

16

Gambar 10. Perjalanan penyakit dari infeksi HIV. (From Weiss RA: How Does HIV Cause AIDS? Science 1993; 260:1273. Reprinted with permission from AAAS.)4

Fase Infeksi Primer Fase pertama dari penyakit ini terjadi secara singkat dan terdiri dari sindroma yang menyerupai infeksi mononucleosis. Fase ini terjadi selama 1 sampai 4 minggu setelah transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa gejala seperti demam, berkeringat, letargi, malaise, myalgia, arthralgia, sakit kepala, photopobia, diare, sariawan, limfadenopati, dan lesi mucopapular pada ekstremitas. Gejala-gejala tersebut timbul secara mendadak dan hilang dalam waktu 3 sampai 14 hari. Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10 sampai ke-14 infeksi, dan kebanyakan akan mengalami serokonversi setelah infeksi minggu ke 3 sampai 4. Perhatikan ketidakmampuan untuk deteksi antibodi saat waktu tersebut bisa menyebabkan tes serologik yang "falsenegative". Hal tersebut memiliki implikasi yang penting karena HIV bisa bertransmisi selama periode ini.3,4 Fase Seropositif yang Asimtomatik Fase kedua dari infeksi HIV ini merupakan fase yang paling lama terjadi dibandingkan dengan 4 fase lainnya, dan paling bervariasi antar masing-masing individu. Tanpa pengobatan, fase ini biasanya terjadi sekitar 4 sampai 8 tahun. Walaupun pasien dalam keadaan asimtomatik dan viremia terjadi dalam tingkat rendah

17

atau hampir tidak ada, jumlah yang besar dari HIV telah diproduksi di limfe nodus, namun tetap berada di dalam limfe nodus. Hal ini mengindikasikan bahwa selama periode laten secara klinis ini, virus HIV sendiri tidak memasuki fase laten. 3,4

Gambar 11. Perjalanan penyakit infeksi HIV, penurunan CD4, dan infeksi oportunistik serta keganasan. (James Gita Hakim. Sount Sudan Medical Journal)

Fase Seropositive yang Simtomatik Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik pertama dari disfungsi sistem imun. Limfadenopati persisten generalisata kadang merupakan tanda awal fase ini. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari-jari, dan mulut sering kali muncul. Pada wanita, sering timbul keputihan akibat jamur dan infeksi trikomonas. Oral hairy leukoplakia merupakan gejala yang paling sering terlewatkan pada infeksi HIV dan sering ditemukan pada lidah. Gejala konstusional seperti keringat malam, penurunan berat badan, dan diare sering terjadi. Tanpa pengobatan, durasi dari fase ini berkisar antara 1 sampai 3 tahun.3

Gambar 12. Oral hairy leukoplakia (human immunodeficiency virus and aids the course of the disease. Richard Hunt. University of South Carolina, School of Medicine)

18

Fase Acquired Immunodeficiency Syndrome - AIDS Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Supresi ini memicu perkembangan infeksi oportunistik dan keganasan yang tidak biasa. Gejala pulmoner, gastrointestinal, neurologik, dan sistemik merupakan gejala yang biasa terjadi.3 2.8 MANIFESTASI KLINIS7 Terdiri dari empat stadium klinis: Stadium klinis penyakit HIV pada individu dewasa dan remaja menurut WHO

(Sumber: Revised WHO clinical staging and immunological classification of HIV and case definition of HIV for surveillance. 2006.)

19

2.9 DIAGNOSIS HIV Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV.2

Infeksi HIV Badan CDC (Centers for Disease and Prevention) telah membuat kriteria untuk infeksi HIV pada pasien dengan usia lebih dari 18 bulan, yaitu: Hasil positif dari tes skrining antibodi HIV, (seperti Immunoassay Enzim Reaktif yang berulang), diikuti dengan hasil positif dari tes konfirmasi antibodi HIV (seperti Western blot atau Tes antibodi imunoflourecence), atau Hasil positif atau laporan dari jumlah yang dapat dideteksi dari salah satu tes virologik (non-antibodi) berikut ini: deteksi asam nukleat HIV, DNA atau RNA, yaitu DNA Polymerase Chain Reaction [PCR] atau konsentrasi RNA HIV dalam plasma; tes antigen HIV p24, termasuk Assay neutralisasi; dan isolasi HIV (kultur virus).3,1

Gambar 13. Sindroma HIV akut. (Adapted from G Pantaleo et al: N Engl J Med 328:327, 1993. Copyright 1993 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.)1

20

AIDS Pada tahun 1993, CDC telah membuat kriteria dari definisi AIDS, yaitu: Hitung limfosit-T CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 dan bukti laboratorium dari infeksi HIV, atau Adanya penyakit indikator AIDS (candidiasis dari esophagus, trachea, bronchus, atau paru; keganasan cervix yang invasif; coccidiomycosis ekstrapulmoner; cryptococcosis ekstrapulmoner; cryptosporidiosis dengan diare dalam waktu lebih dari 1 bulan; infeksi cytomegalovirus dari beberapa organ selain hati, limpa, or limfonodus; infeksi herpes simplex dengan ulcus mucocutaneous dalam waktu lebih dari 1 bulan atau bronchitis, pneumonitis, or esophagitis; histoplasmosis ekstrapulmoner; dementia terkait HIV; HIVassociated wasting; isosporiasis dengan diare lebih dari 1 bulan; Sarcoma Kaposi pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun; Mycobacterium avium disseminata; intra dan ekstrapulmoner; Pneumocystis jiroveci pneumonia; Pneumonia bakterial yang rekuren; multifocal leukoencephalopathy yang progresif; Salmonella septicemia (nontyphoid) yang rekuren; and toxoplasmosis) disertai bukti laboratorium dari infeksi HIV.3,9

Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.2,9

21

2.10 PENATALAKSANAAN Prinsip Terapi Komponen mayor dari therapy HIV ialah vaksinasi, anti ARV, profilaksis dan pengobatan infeksi oportunistik & konseling. Masing masing memiliki pesan yang sangat penting untuk memperbaiki kualitas hidup & mengurangi penderitaan.3 Vaksinasi pada pasien HIV Pasien dewasa dengan HIV seropositif (terutama jika hitung CD4 lebih dari 200 sel/mm3) sebaiknya divaksinasi sedapat mungkin. Namun, perhatian harus ditujukan saat mempertimbangkan pemakaian vasksin virus hidup, karena kemungkinan pasien sudah mengalami penurunan imun (imunocompromised). Semua individu sebaiknya mendapat vaksin polisakarida pneumococal, vaksin influenza (tiap tahun), dan vaksin hepatitis B (jika antibodinya negatif). Vaksin hepatitis A sebaiknya diberikan pada pasien dengan hepatitis kronis dengan antibodi terhadap hepatitis A negatif, penyuka sesama jenis yang antibodi hepatitis A negatif, bila ingin ke daerah endemik hepatitis A, dan pada pasien dengan penyakit hati kronik. Sebagai tambahan, booster tetanus-difteria sebaiknya diberikan jika pasien belum pernah mendapatkan booster tersebut dalam 10 tahun terakhir. Imunogenisitas dari vaksin yang diberikan pada pasien HIV masih diragukankan efeknya, terutama pada pasien dengan hitung CD4 kurang dari 200sel/mm3. Sebagai konsekuensinya, vaksinasi sebaiknya diberikan secepat mungkin setelah infeksi HIV terjadi.3 Pemilihan Regimen Awal Obat ARV terdiri beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. 3 Table 2 U.S. Food and Drug AdministrationApproved Antiretrovirals by Class Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors Abacavir (ABC) Didanosine (ddI) Emtricitabine (FTC) Lamivudine (3TC) Stavudine (d4T) Tenofovir (TDF) Zalcitabine Zidovudine/Azidothymidine (ZDV/AZT) Combivir (zidovudine + lamivudine) 22

Epzicom (abacavir + lamivudine) Trizivir (zidovudine + lamivudine + abacavir) Truvada (tenofovir + emtricitabine) Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors Delavirdine Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP) Protease Inhibitors Amprenavir Atazanavir/ritonavir (ATV/r) Darunavir (DRV) Fosamprenavir/ritonavir (fos-APV/r) Indinavir (IDV) Lopinavir/ritonavir (LPV/r) Nelfinavir (NFV) Ritonavir Saquinavir (SQV/r) Tipranavir Fusion Inhibitor Enfuvirtide Entry Inhibitor Maraviroc Integrase Inhibitor Raltegravir (RAL) Cross-Class Combinations Atripla (efavirenz/tenofovir/emtricitabine)

Tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia. Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan, dengan keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat ARV lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV)/lamivudin(3TC), dengan nevirapin (NVP).2

23

Tabel 3. Obat ARV yang beredar di Indonesia2 Nama dagang Duviral Generik Golongan Sediaan Dosis

Tablet, kandungan: 2 x 1 tablet zidovudin 300 mg, lamivudin 150 mg Stavudin (d4T) Lamivudin (3TC) Nevirapin (NVP) Zidovudin (ZDV/ AZT) Didanosin (ddI) Efavirenz (EFV,EFZ) Nelfinavir (NFV) NsRTI Kapsul: 30 mg, 40 >60 kg: 2x40 mg mg <60 kg: 2x30 mg Tablet 150 mg Tablet 200 mg 2x150 mg 1x200 mg selama 14 hari, dilanjutkan 2x200 mg 2x300 mg

Stavir, Zerit

Hiviral, 3TC Viramun, Neviral Retrovir, Adovi

NsRTI NNRTI

NsRTI

Kapsul 100 mg

Avirzid, Videx

NsRTI

Tablet kunyah 100 >60 kg: 2x200 mg mg <60 kg: 2x125 mg Kapsul 200 mg Tablet 250 mg 1x600 mg, malam 2 x 1250 mg

Stocrin Nelvex, Viracept

NNRTI PI

Pemilihan harus berdasarkan tujuan penurunan dan pengaturan konsentrasi HIV RNA dalam plasma sampai ke tingkat yang serendah mungkin. Hal ini dilakukan untuk menampik timbulnya perkembangan resistensi virus, pengobatan yang gagal dan progresifitas penyakit. Satu hal yang harus diingat bahwa makin tinggi konsentrasi HIV RNA dalam plasma saat terapi dimulai, makin poten obat antiretroviral yang harus diberikan untuk mensupresinya.3 Dalam pemberian terapi obat antiretroviral pada tiap-tiap pasien per individu, beberapa faktor membutuhkan pertimbangan, termasuk toksisitas obat yang saling memperberat, interaksi farmakokinetik, absensi dari resistensi silang, dan pola obat yang menentukan pemilihan obat antiretroviral di masa mendatang. Dalam Tabel 2 disebutkan obat-obatan yang telah disetujui oleh badan FDA di Amerika sebagai

24

pengobatan untuk infeksi HIV. Terapi inisial yang paling sering dilakukan penelitian adalah regimen tiga obat termasuk 2 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) ditambah 1 Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) atau 1 Protease Inhibitor (PI). 3, 4

Pengobatan awal menggunakan sistem regimen tiga obat saat ini telah direkomendasikan oleh petunjuk konsensus mayor (seperti dari U.S. Department of Health and Human Services and the International AIDS Society-USA) termasuk 2 analog nukleosida (biasanya diperkuat dengan ritonavir dosis rendah) dan 1 NNRTI.3 Jika penyakit pasien tersebut telah memasuki tahap lanjut atau konsentrasi HIV RNA dalam plasma sangat meningkat, disarankan untuk menggunakan sebuah regimen yang sangat aktif, setidaknya 1 protease inhibitor atau efavirenz. Nevirapine, delavirdine, dan efavirenz, jika dipakai sebagai bagian dari regimen inisial, harus dipakai dalam kombinasi yang akan menurunkan konsentrasi HIV RNA dalam plasma hingga dibawah deteksi. Resistensi terhadap obat-obatan ini berkembang dengan cepat jika replikasi virus yang signifikan terjadi selama penggunaannya.3 Terapi antiretroviral sebaiknya dipertimbangkan pada pasien AIDS, dengan hitung CD4 kurang dari 350 sel/mm3, atau hitung CD4 yang setara dengan 14%, dan (b) tanpa memperhatikan hitung CD4: pasien HIV yang sedang hamil, pasien HIV dengan nefropathy terkait-HIV, atau pasien HIV yang juga menderita hepatitis B. Untuk individu yang tidak menderita penyakit indikator AIDS dan memiliki hitung CD4 absolut lebih dari 350 sel/mm3, pengobatan ARV diberikan pada kasus-kasus tertentu. Pada pasien asimtomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml, terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml. Jika pengobatan ditunda, pasien harus dipantau secara teliti dengan reevaluasi dari konsentrasi HIV RNA dalam plasma dan hitung CD4 setiap 3 bulan.2, 3, 9

25

Tabel 5. Kriteria WHO untuk Inisiasi ARV dalam populasi spesifik9 Populasi target Kondisi Klinis Rekomendasi Mulai ARV jika CD4 350 Mulai ARV jika CD4 350

Individu asimtomatik WHO stadium klinis 1 (termasuk ibu hamil) Individu simtomatik WHO stadium klinis 2 (termasuk ibu hamil)

WHO stadium klinis 3 atau 4 Mulai ARV tanpa memperhatikan hitung CD4

Saat terapi antiretroviral mulai diberikan, perhatian harus ditujukan pada kepatuhan penderita dalam pengobatan. Hal ini akan menjadi masalah yang sulit diatasi jika pasien merasa sehat sebelum inisiasi terapi diberikan. Masalah akan menjadi lebih sering timbul akibat efek samping pemberian obat antiretroviral. Individu yang akan diberikan terapi antiretroviral harus mengerti bahwa kepatuhan pengobatan adalah suatu hal yang esensial agar tercapai keberhasilan pengobatan.3,9

Tabel 6. Terapi antiretroviral yang diberikan untuk inisiasi Populasi target Guideline WHO 2010 (revisi)

Dewasa dan remaja (AZT atau TDF) + 3TC atau FTC + (EFV atau NVP) yang terinfeksi HIV Pemakaian stavudine (d4T) sebaiknya dihentikan akibat toksisitasnya. dan belum pernah diterapi ARV HIV+ ibu hamil AZT + 3TC + (EFV or NVP) Disarankan: AZT namun dapat juga dipakai TDF EFV termasuk sebagai pilihan NNRTI (tapi jangan pakai EFV selama trimester pertama) Keuntungan NVP sesuai dengan risikonya saat hitung CD4 250350 sel/mm3

Terapi Antiretroviral selanjutnya dan Penggatian Regimen Penggantian terapi ARV diperlukan saat terjadi gagal terapi atau intoksikasi obat. Saat mempertimbangkan penggantian ARV, membedakan antara gagal terapi dan intoksikasi obat merupakan suatu hal yang penting. Terkadang pasien meminta penghentian terapi sementara.3

26

Tabel 7. Berdasarkan Guideline WHO 2010 (Revision)9 Kapan harus dimulai Semua pasien remaja dan dewasa, termasuk ibu hamil, dengan infeksi HIV dan hitung CD4 350 sel/mm3 sebaiknya mulai minum obat ARV tanpa melihat ada tidaknya gejala klinis. Bagi pasien yang sudah memiliki gejala klinis stadium 3 dan 4, sebaiknya mulai minum obat ARV tanpa melihat jumlah hitung CD4. Obat apa yang Terapi ARV lini pertama harus mengandung 1 NNRTI + 2 NRTI, salah satunya dipakai sebagai harus zidovudine (AZT) atau tenofovir (TDF). Negara harus mengambil langkah cepat dengan secara progresif menurunkan pemakaian stavudine (d4T) sebagai regimen lini pertama karena toksisitasnya yang sudah dikenali. Apa yang harus Terapi ARV lini kedua harus mengandung suatu ritonavir-boosted protease inhibitor dipakai sebagai (PI) ditambah dua NRTI, salah satunya harus AZT atau TDF, berdasarkan dengan apa yang dipakai sebagai terapi lini pertama. Ritonavir-boosted atazanavir (ATV/r) atau lopinavir/ritonavir (LPV/r) adalah PI yang terpilih. Pemantauan laboratorium Semua pasien harus memiliki akses ke tempat tes hitung CD4 guna mengoptimalkan pre-ARV dan manajemen ARV. Tes hitung HIV RNA (viral-load) direkomendasikan untuk konfirmasi adanya gagal pengobatan. Monitor toksisitas obat sebaiknya berdasarkan pemeriksaan langsung terhadap gejala dan tanda yang ada pada pasien.

terapi lini pertama

terapi lini kedua

Kegagalan Pengobatan Kegagalan terapi terjadi saat viral load secara signifikan meningkat atau gagal mencapai target penurunan, saat hitung CD4 menurun secara signifikan, atau saat progresi secara klinis terjadi. Jika suatu regimen baru gagal untuk mencapai penurunan viral load 3 sampai 6 kali lipat dalam waktu kurang dari 4 minggu, atau 10 kali lipat dalam 8 minggu pengobatan, maka penggantian terapi harus dipertimbangkan. Jika suatu regimen berhasil mencapai target pengobatan dalam target 4 minggu da 8 minggu namun gagal dalam mensupresi viral load hingga level yang tidak dapat dideteksi dalam 4 sampai 6 bulan, maka harus dilakukan reevaluasi yang teliti terhadap regimen pengobatan yang telah dipakai.2,3 Kegagalan dapat terjadi oleh beberapa akibat, yaitu resistensi virus terhadap satu atau lebih ARV, perubahan dalam penyerapan atau metabolisme dari satu atau lebih 27

ARV, perubahan dalam farmakokinetik ARV akibat interaksi obat, dan ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan. Sebelum penggantian terapi antiretroviral dilakukan, penting untuk diketahui penyebab dari kegagalan terapi regimen tersebut.3

Resistensi obat Pada saat terjadi gagal pengobatan akibat resistensi, mengetahui riwayat ARV yang sedang atau pernah digunakan secara detail merupakan hal penting yang harus dilakukan. Dalam situasi seperti ini, ARV dengan tingkat resistensi yang paling rendah sebaiknya dipakai. Setidaknya dua atau tiga jenis ARV yang baru digunakan setelah evaluasi. 3 Berdasarkan kriteria WHO 2010(revisi) tentang Penggantian Regimen ARV9 1. Saat tersedia, gunakan viral load (VL) untuk konfirmasi kegagalan pengobatan 2. Saat tersedia secara rutin, gunakan VL setiap 6 bulan sekali untuk mendeteksi replikasi virus 3. VL>5000 kopi/ml dan persisten menandakan adanya kegagalan pengobata 4. Saat VL tidak tersedia, gunakan kriteria imunologis untuk konfirmasi kegagalan pengobatan.3 Tabel 8. Kriteria penggantian ARV9 Failure Kegagalan secara klinis obat Definition Comments

dinilai Kondisi stadium 4 kriteria Kondisi harus dibedakan WHO dengan immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) Beberapa kondisi stadium klinis 3 WHO (seperti TB paru, infeksi bakterial yang berat), dapat menandakan kegagalan pengobatan.

Kegagalan obat dinilai secara Penurunan hitung CD4 ke Tanpa infeksi konkominan imunologis nilai dasar (atau di yang penurunan menyebabkan CD4 yang

bawahnya), ATAU

28

Penurunan 50% dari nilai transien. tertinggi, ATAU Hitung CD4 di bawah 100 sel/mm3 yang persisten Kegagalan obat dinilai Nilai viral load dalam Batas viral load optimal menjelaskan

secara virologis

plasma di atas 5000 kopi/ml untuk

kegagalan secara virologis belum >5000 berhubungan progresi klinis ditentukan. Nilai

kopi/ml dengan dan

penurunan dalam hitung CD4.

Strategi viral load yang berhubungan dengan kegagalan obat dan penggantian obat9 VL 5,000 kopi/ml VL > 5,000 kopi/ml Jangan ganti ke lini kedua Ganti ke lini kedua

Curiga kegagalan secara klinis atau imunologis

Tes viral load

VL>5,000 kopi/ml

Pengobatan dgn kepatuhan

Ulang penilaian VL

Tabel 9. Rekomendasi terapi obat antiretroviral lini kedua9 Populasi target Guideline WHO 2010 (revisi) tentang terapi ARV lini kedua

HIV pada dewasa Jika menggunakan d4T atau AZT pada TDF + (3TC atau FTC) + (ATV/r dan remaja lini pertama atau LPV/r)

Jika menggunakan TDF pada lini AZT + (3TC atau FTC) + (ATV/r pertama atau LPV/r)

HIV pada ibu hamil Menggunakan regimen yang sama seperti untuk pasien dewasa dan remaja

29

Toksikasi Obat Saat toksikasi obat merupakan pertimbangan dalam penggantian regimen, hal yang perlu dilakukan adalah dengan mensubstitusi satu atau lebih ARV dari kelas yang sama, potensiasi yang sama dengan obat yang sedang dipakai, namun dengan efek samping yang berbeda.3,9 Interupsi Pengobatan (Penghentian Pengobatan Sementara) Efek ikutan dari obat, biaya pengobatan, dan kebutuhan akan compliance sering kali menjadi penyebab pasien menginginkan interupsi pengobatan, terutama bila hal tersebut terjadi secara berulang. Pasien lainnya bahkan biasa menghentikan pengobatan tanpa meminta persetujuan untuk melakukannya. Penelitian secara random atas efek dari interupsi pengobatan pada pasien dengan hitung CD4 kurang dari 350 sel/mm3 dan memulai pengobatan kembali hanya bila ia memiliki hitung CD4 dibawah 250 sel/mm3 menunjukkan peningkatan secara signifikan terhadap risiko kematian dan infeksi oportunistik, tanpa penurunan risiko efek ikutan pengobatan. Libur pengobatan dapat dipertimbangkan, namun risiko tersebut harus dapat dimengerti dengan jelas oleh pasien, dan interupsi pengobatan sebaiknya dihindarkan.3

Tabel 10. Pemantauan Terapi ARV pada Pasien yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian ikutan9 Obat ARV d4T Toksisitas mayor Lipodistrofi Neuropathy Asidosis Laktat Situasi yang berisiko tinggi Usia >40 tahun Hitung CD4 <200 cells/mm3 BMI >25 (atau berat badan >75kg) Bersamaan dengan pemakaian INH atau dd AZT Anemia Neutropenia Hitung CD4 <200 cells/mm3 BMI <18.5 (or berat badan <50 kg) Anemia pada garis batas TDF Disfungsi renal Penyakit ginjal yang menyertai Usia >40 tahun BMI <18.5 (atau berat badan <50 kg) Diabetes mellitus Hipertensi

30

Bersamaan dengan pemakaian bPI atau obat-obatan nefrotoksik EFV Teratogenik Kehamilan trimester pertama jangan menggunakan EFV

Penyakit Psikiatrik Depresi atau penyakit psikiatrik (baik yang sebelumnya sudah ada atau yang mendasari) NVP Hepatotoksik Ko-infeksi dengan infeksi HCV dan HBV

Tabel 11. Toksisitas dan Substitusi obat yang direkomendasikan9 Obat ARV Toksisitas yang terkait dengan pemakaian Subsitusi yang disarankan ARV TDF Asthenia, sakit kepala, diare, mual, muntah, buang angin terus-menerus Insufisiensi renal, sindrom Fanconi Osteomalacia Penurunan densitas mineral tulang Jika digunakan sebagai

terapi lini pertama: AZT (atau d4T jika tidak ada pilihan lain) Jika digunakan sebagai

Hepatitis eksasebasi akut dapat terjadi pada pasien terapi lini kedua hepatitis B yang tidak melanjutkan pengobatan Dalam dengan TDF tujuan kesehatan

publik, tidak ada pilihan lain Jika pasien gagal dalam pengobatan lini pertama

dengan AZT/d4T Jika memungkinkan, pertimbangkan perawatan yang lebih baik, dimana terapi individualisasi tersedia AZT Supresi sumsum tulang: anemia makrositik atau neutropenia Intolerensi gastrointestinal, Sakit kepala, insomnia, asthenia Pigmentasi kulit dan kuku Asidosis laktat dengan steatosis hepatik steatosis EFV Reaksi Hipersensitivitas NVP Jika digunakan dalam terapi lini pertama: TDF (atau d4T jika tidak ada pilihan lain) Jika digunakan dalam terapi lini kedua: d4T

31

Sindroma Stevens-Johnson Gatal-gatal Hepatotoksik Toksisitas terhadap SSP yang persisten dan berat (depresi, kebingungan) Hiperlipidemia Ginecomastia pada laki-laki Potensi teratogenik (trimester pertama kehamilan atau perempuan yang tidak menggunakan kontrasepsi) NVP Reaksi Hipersensitivitas Sindroma Stevens-Johnson Gatal-gatal Hepatotoksik Hiperlipidemia ATV/r Hiperbilirubinemia indirek Ikterik secara klinis PR interval memanjang derajat pertama simtomatik AV blok pada beberapa pasien Hiperglikemia Maldistribusi lemak Kemungkinan peningkatan episode pendarahan pada pasien dengan hemofilia Nephrolithiasis LPV/r Intolerensi GI mual, muntah, diare Asthenia Hiperlipidemia (terutama hipertrigliceridemia) Transaminase serum meningkat Hiperglikemia Maldistribusi lemak Kemungkinan peningkatan episode pendarahan pada pasien dengan hemofilia

bPI jika intoleran terhadap kedua NNRTI Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain

EFV bPI jika intoleran terhadap kedua NNRTI Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain LPV/r

ATV/r

32

PR interval memanjang QT interval memanjang and torsade de pointes Tabel 12. Kejadian ikutan terkait-ARV dan Rekomendasi9 Kejadian ikutan Dyslipidaemia ARV lini pertama Mayor All NRTIs (particularly d4T) EFV Anemia dan Neutropaenia AZT Jika berat (Hb <7.0 g/dl dan/atau ANC <750 cells/ mm3), ganti dengan sebuah ARV tanpa/dengan efek Rekomendasi Consider replacing the

suspected ARV

samping ke arah toksisitas sumsum tulang (seperti d4T or TDF) dan primbangan transfusi darah Hepatitis Semua ARV (biasanya NVP) Jika ALT lebih dari 5 level batas Hentikan ART dan monitor Setelah resolusi mulai

kembali ART, ulang ARV, ganti obat kausatif, (seperti . EFV mengganti NVP). Asidosis laktat Semua NRTI (biasanya d4T) Hentikan ARV dan beri terapi resolusi, dengan TDF. Lipoatrophy and Semua NRTI Penggantian awal dari ARV suportif. resume Setelah ART

33

Lipodystrophy

(biasanya d4T)

yang

dicurigai (seperti

sebagai d4T

penyebab

untuk TDF atau AZT) Perubahan neuropsikiatrik EFV Biasanya hilang sendiri

tanpa penghentian ARV. Jika tidak dapat ditoleransi oleh pasien, ganti EFV dengan NVP atau bPI.

Substitusi disarankan penghentian ARV. Toksisitas renal (disfungsi TDF tubular renal) Neuropathy perifer d4T

tunggal tanpa

Pertimbangkan penggantian dengan AZT Ganti d4T dengan AZT, TDF. Pengobatan

simtomatik (amitriptyline, vitamin B6).

Situasi Spesial Terdapat beberapa situasi yang warrant komen spesifik dengan perhatian pada penggunaan terapi ARV, yaitu: Infeksi primer, profilaksis pasca terpajan (postexposure prophylaxis), dan transmisi perinatal.3

Infeksi HIV Primer Infeksi primer dapat memperlihatkan kemungkinan secara signifikan dari perubahan perjalanan penyakit HIV pada individu yang telah terinfeksi. Perbaikan sementara dari viral load dan hitung CD4 telah dilaporkan saat terapi ARV diberikan selama fase infeksi primer, namun data-data tersebut sangat terbatas. Beberapa ahli merekomendasikan terapi ARV untuk semua pasien yang menunjukkan bukti infeksi primer dalam pemeriksaan laboratorium (telah terdeteksi HIV RNA dalam plasma dengan hasil tes antibodi HIV yang negatif atau yang tidak dapat ditentukan). Jika

34

percobaan klinis untuk infeksi akut tidak tersedia atau ditolak oleh pasien, suatu regimen dapat dipilih dari opsi yang tersedia untuk mengobati infeksi yang timbul.3,4

Profilaksis Pasca Pajanan (Postexposure Prophylaxis-PEP) Penggunaan ARV sebagai pencegahan transmisi yang disebabkan oleh pajananberisiko-tinggi dibedakan menjadi dua pilihan, yaitu: pajanan akibat pekerjaan dan pajanan setelah aktivitas yang berisiko tinggi. (Tabel 13 dan 14)3

PEP tidak diindikasikan pada situasi: Jika orang tersebut telah terbukti positif terinfeksi HIV sebelum terkena pajanan Pada pajanan yang kronis Jika pajanan tersebut tidak menunjukkan transmisi, yaitu: Pajanan kulit intak dengan cairan tubuh yang berpotensial infeksius Hubungan seksual menggunakan kondom yang masil intak Pajanan terhadap cairan tubuh yang non-infeksius (seperti air liur, keringat, urin, feses) Pajanan terhadap cairan tubuh dari individu yang telah diketahui HIV negatif, kecuali individu tersebut berisiko tinggi baru terkena infeksi sehingga ada kemungkinan sedang dalam masa jendela (window period); dan Jika pajanan telah terjadi selama lebih dari 72 jam.10 Pajanan terjadi dalam 72 jam Individu yang terpajan tidak mengetahui apakah sudah terinfeksi HIV sebelumnya Pajanan yang signifikan (mukosa meimbran atau kulit yang tidak intak terpajan dengan cairan tubuh yang berpotensi infeksius) Individu yang berperan sebagai sumber pajanan memang telah terinfeksi HIV atau tidak diketahui status HIV individu tersebut Informed consent sebelum pemberian PEP Informasi tentang risiko dan manfaat ARV

Indikasi PEP

35

Consent secara verbal Obat yang dipakai 2 NRTI (biasanya memakai bagian dari lini pertama) Disarankan: AZT+3TC Alternatif: TDF+3TC atau d4T+3TC Tambahkan bPI jika terdapat resistensi: Disarankan: AZT+3TC+LPV/r Alternatif: AZT+3TC+ATV/r atau SQV/r atau fos-APV/r TDF+3TC+ATV/r atau SQV/r atau fos-APV/r d4T+3TC+ATV/r atau SQV/r atau fos-APV/r Waktu inisiasi Dosis inisial dari ARV harus diberikan secepat mungkin dan tidak lebih dari 72 jam pasca pajanan 28 hari Tes HIV dasar pada individu yang terpajan Follow up tes HIV 3-6 bulan setelh pajanan Tes HIV berulang untuk individu sumber jika memungkinkan dan berdasarkan informed consent dan prosedur operasi Tes kehamilan Hemoglobin (untuk regimen yang menggunakan zidovudin) Skrining hepatitis B dan C jika tersedia dan berdasarkan prevalensi penyakit tersebut Konseling Untuk kepatuhan, efek samping, pengurangan risiko, trauma atau masalah kesehatan mental, dan dukungan sosial dan keamanan Menangani dan mengatur efek samping pengobatan Menangani dan mendukung kepatuhan.10

Durasi terapi Test HIV dengan informed consent serta konseling pre serta post tes sehubungan dengan protokol

Evaluasi laboratorium tambahan

Follow up klinis

36

Tabel 13. Rekomendasi Profilaksis Pasca Pajanan (Post Exposure Prophylaxis PEP) Tipe HIV Positif HIV positif Kelas 2 (a) Sumber dari status HIV tidak diketahui (b) Kurang berat (d) Direkomendasi kan 2 obat PEP dasar Direkomendasi Secara umum, tidak kan 3 obat PEP yang di perluas dibutuhkan PEP, namun dipertimbangkan 2 obat PEP (e) dasar untuk sumber yang memiliki faktor risiko HIV (f) Secara umum tidak dibutuhkan PEP, namun dipertimbangkan 2 PEP (e) dimana pajanan sepertinya bersumber dari individu yang terinfeksi HIV Lebih Berat (g) Direkomendasi kan 3 obat PEP dasar Direkomendasi Secara umum, tidak kan 3 obat PEP yang di perluas dibutuhkan PEP, namun dipertimbangkan 2 obat PEP (e) dasar untuk sumber yang memiliki faktor risiko HIV (f) Secara umum tidak dibutuhkan PEP, namun dipertimbangkan 2 PEP (e) dimana pajanan sepertinya bersumber dari individu yang terinfeksi HIV Tidak dibutuh kan PEP Tidak dibutuh kan PEP Sumber yang tidak diketahui (c) HIV negative

Pajanan Kelas 1 (a)

(a) HIV positif kelas 1 : Infeksi HIV asimptomatik atau telah diketahui viral load yang rendah. (c/<1500 rna kopi/mL) HIV positive kelas 2 : Infeksi HIV simtomatik, AIDS , atau viral load yang diketahui tinggi. Jika resistensi obat adalah suatu pertimbangan, diperlukan

37

konsul. Inisiasi dari PEP jangan di tunda untuk menunggu hasil konsul, karena konsultasi kepada para ahli sendiri tidak dapat menggantikan konseling secara tatap muka, sebaiknya ada dokter untuk evaluasi langsung dan follow up untuk setiap pajanan. (b) Sebagai contoh: Sumber yang tidak bisa didapatkan sample untuk tes HIV (c) Sebagai contoh: Jarum dari kemasan sekali pakai yang tajam (d) Sebagai contoh: Luka superfisial (e) Rekomendasi pertimbangkan PEP mengindikasikan bahwa PEP adalah suatu pilihan. Keputusan untuk inisiasi PEP harus berdasarkan diskusi antara pasien yang terpajan dan dokter yang merawat tentang resiko dan manfaat dari PEP. (f) Jika PEP dianjurkan kemudian dilakukan tes HIV dan hasilnya negatif, PEP sebaiknya dihentikan. (g) Sebagai contoh, jarum besar, pungsi dalam, transfusi darah, atau jarum yang digunakan pada arteri atau vena pasien. Tabel 14. Rekomendasi Profilaksis Pasca Pajanan (PEP) HIV untuk pajanan membran mukosa dan pajanan kulit non-intak Status Sumber Infeksi Tipe HIV Positif HIV Positiv Kelas 2 (a) Sumber dengan Sumber yang HIV

Pajanan Kelas 1 (a)

Status HIV tidak tidak diketahui negatif diketahui (b) (c) Secara umum Tidak butuh PEP

Volume Pertimbangkan Direkomenda- Secara umum Sedikit (d) 2 Obat PEP dasar (e) sikan 2 obat PEP dasar

tidak dibutuhkan tidak butuh PEP (f) PEP

38

Volume DirekomendaBesar (g) sikan 2 obat PEP dasar

Direkomenda- Secara umum, sikan >=3 obat PEP yang diperluas

Secara umum

Tidak butuh

tidak dibutuhkan tidak butuh PEP, namun

PEP, namun di PEP

dipertimbangkan pertimbangkan 2 obat PEP (e) dasar untuk sumber yang memiliki faktor risiko HIV (f) 2 obat PEP dasar dimana pajanan sepertinya bersumber dari individu yang terinfeksi HIV

Untuk Pajanan Kulit, follow up di indikasikan hanya jika terbukti adanya integritas kulit terkompromised (seperti: dermatitis, abrasi, atau luka terbuka) (a) HIV positif kelas 1 : Infeksi HIV asimtomatik atau viral load yang rendah (c/: RNA 1500kopi/mL) HIV positif kelas 2 : Infeksi HIV simtomatik , AIDS, atau viral load yang tinggi. Jika resistensi obat merupakan sebuah pertimbangan, lakukan konsul pada yang lebih ahli. Inisiasi PEP tidak boleh ditunda selama konsul dilakukan, karena konsul ahli sendiri tidak bisa menggantikan konseling secara tatap muka, sebaiknya ada dokter untuk evaluasi langsung dan pajanan. (b) Sebagai contoh : Sumber yang tidak bisa didapatkan sample untuk tes HIV (c) Sebagai contoh : cipratan dari darah yang sumbernya tidak diketahui (d) Sebagai contoh : beberapa tetes (e) Rekomendasi pertimbangkan PEPmengindikasikan bahwa PEP adalah suatu pilihan. Keputusan untuk inisiasi PEP harus berdasarkan diskusi antara pasien yang terpajan dan dokter yang merawat tentang resiko dan manfaat dari PEP. (f) Jika diberikan PEP kemudian dilakukan tes HIV dan hasilnya negatif, PEP sebaiknya dihentikan. (g) Sebagai contoh, tumpahan darah yang banyak follow up untuk setiap

39

Pajanan Okupasional (Pekerjaan) Dalam ketidakadaan data penelitian yang definitif, keputusan untuk penggunaan profilaksis ARV harus dilakukan secara individual dan dibahas dengan pasien. Saat konseling dengan pasien, harus pasien harus mengetahui tingkat keparahan pajanan, serokonversi yang sangat rendah resikonya, fakta bahwa terapi tersebut tidak memberikan proteksi yang absolut, insidens tinggi dari efek samping obat, dan kebutuhan akan follow up yang cukup sering .3,4,9

Pajanan seksual yang beresiko tinggi & pajanan Non-okupasional lainnya.

Profilaksis ARV untuk pajanan seks yang beresiko tinggi, pemakaian obat suntikan & pajanan non-okupasional lainnya telah diteliti. Petunjuk CDC

merekomendasikan untuk tidak memakai PEP saat resiko pajanan dapat diabaikan atau saat durasi dari waktu terjadinya pajanan lebih dari 72 jam, pada kasus dimana sumber pasien telah diketahui positif, durasi dari waktu terjadinya pajanan kurang dari 72 jam, resiko pajanan tidak dapat diabaikan, terapi ARV sangat direkomendasikan. Jika pengobatan telah diberikan, durasi pemberiannya sebaiknya selama 4 minggu. Regimen yang di rekomendasikan untuk nPEP adalah hampir sama dengan rekomendasi regimen untuk pengobatan yang spesifik infeksi HIV pada umumnya, walaupun tidak ada bukti yang mengindikasikan bahwa ARV spesifik manapun atau kombinasi dari medikasi dapat secara optimal berperan sebagai nPEP.3,9

Pencegahan Transmisi Perinatal (Prevention of Mother-To-Child Transmission (of HIV- PMTCT) Zidovudine & nevirapine telah menunjukan penurunan yang signifikan terhadap kecenderungan transmisi HIV dalam latar belakang periratal. Tidak ada ARV lain yang telah di demonstrasikan untuk menurunkan kecenderungan transmisi HIV secara vertical. Oleh karena itu, sebisa mungkin, zidovudine dan atau nevirapine disarankan untuk dimasukkan ke dalam komponen regimen ARV yang digunakan selama kehamilan. Harus diperhatikan bahwa nevirapine sering dihubungkan dengan kenaikan resiko dari hepatotoksik pada wanita dengan hitung CD4 < 250 sel/mm3 pre nevirapine sehingga, pada wanita yang memiliki hitung CD4 > 250 sel/ mm3 dan belum pernah

40

mengkonsumsi nevirapine, sebaiknya tidak diberikan nevirapine sebagai komponen dari inisiasi regimen kombinasi dalam sebagian besar permasalahan.2, 3, 4 Efavirenz harus dihindari selama kehamilan terutama saat trimester pertama dikarenakan efek teratogeniknya. Didanosine & stavudine sebaiknya tidak dipakai sebagai kombinasi selama kehamilan karena meningkatkan resiko asidosis laktat dengan steatosis hepatik dan atau pankreatitis setelah penggunaan yang lama. Dikarenakan laporan terakhir tentang hasil hubungan yang berpotensiasi toksik, ethyl

methanesulfanate, yang di temukan pada nelfinavir, direkomendasikan bahwa nelfinavir tidak digunakan pada wanita hamil atau wanita yang sedang mengantisipasi konsepsi. Dengan pertimbangan ini, regimen yang dipilih untuk mengatasi infeksi HIV pada orang dewasa & remaja harus di aplikasikan guna mencegah transmisi perinatal.2,3,4,9 Dalam pembuatan rekomendasi ini, terapi ARV dan strategi PMTCT terbukti dapat lebih memperbaiki progonis kesehatan ibu dan bayi dan dapat mencegah transmisi virus HIV dari ibu ke anak.1,2,3,4,9 Table 11. Rekomendasi regimen ARV untuk wanita dengan pajanan PMTCT9 Pemakaian ARV sebelumnya untuk PMTCT Rekomendasi untuk inisiasi ARV saat diperlukan terapi HIV untuk kesehatan ibu sdNVP (+/- antepartum AZT) tanpa tambahan Inisiasi sebuah non-NNRTI regimen, PI lebih AZT/3TC dalam 12 bulan terakhir disarankan dibanding 3 NRTI

sdNVP (+/- antepartum AZT) dengan tambahan Inisiasi sebuah NNRTI regimen AZT/3TC dalam 12 bulan terakhir Jika memungkinkan, cek viral load saat bulan ke-6 Dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV lini kedua dengan PI sdNVP (+/- antepartum AZT) dengan atau tanpa Inisiasi sebuah NNRTI regimen tambahan AZT/3TC lebih dari 12 bulan Jika memungkinkan, cek viral load saat bulan ke-6 sebelumnya Dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV lini kedua dengan PI Option A4 Inisiasi sebuah NNRTI regimen Antepartum hanya AZT (dari masa 14 minggu Jika memungkinkan, cek viral load saat bulan ke-6 gestasi) sdNVP saat onset kehamilan Dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV lini kedua dengan PI

41

AZT + 3TC saat kehamilan dan melahirkan Tambahan AZT + 3TC untuk 7 hari postpartum

Jika tidak ada sdNVP yang diberikan, mulai standar NNRTI (viral load tidak harus dicek

* sd-NVP dan AZT + 3TC dapat dihentikan bila kecuali secara klinis ada indikasi seperti bila tidak ibu telah mendapatkan AZT > 4 minggu mendapat sdNVP) antepartum Semua regimen triple ARV (termasuk Option B), Inisiasi standar NNRTI regimen

tanpa memperhatikan waktu pajanan dan waktu Jika triple ARV dengan dasar EFV digunakan pajanan sejak awal Option B untuk profilaksis dan tidak ada tambahan (AZT + 3TC; atau TDF + 3TC; atau TDF + FTC) yang

Triple ARV dari 14 minggu gestasi sampai diberikan saat triple ARV dihentikan setelah pemberian ASI dihentikan AZT + 3TC + LPV/r AZT + 3TC + ABC AZT + 3TC + EFV TDF + [3TC atau FTC] + EFV penghentian ASI (atau melahirkan jika memakai susu formula), cek viral load saat bulan ke-6 dan jika VL >5000 kopi/ml, ganti ke ARV line kedua dengan PI

2.11 PENCEGAHAN DAN EDUKASI Edukasi dan dukungan terhadap pasien Seperti pada penyakit penyakit kronis lainnya, pemahaman akan adanya jaringan pendukung pasien & membantu pasien untuk mengembangkan dukungan tambahan akan menjadi sangat penting. Sering kali sangat membantu jika pasien- pasien dapat saling menyatu membentuk kelompok untuk saling berbagi pengalaman & pertimbangan. Hal ini dapat membantu meminimalisir isolasi, kesendirian, & ketakutan.3 Depresi merupakan hal yang paling sering terjadi pada pasien yang didiagnosis infeksi HIV. Dibeberapa tempat terdapat beberapa sumber komunitas yang khusus dibuat untuk membantu pasien dengan infeksi HIV yang legal, social, dan financial pertaining ke infeksi. Merupakan hal yang penting utnuk setiap dokter yang merawat pasien-pasien tersebut untuk mengidentifikasi sumber-sumber ini..1,3 Sebuah diskusi terbuka tentang perhitungan seksama dengan individu yang HIV Seropositive & pasangannya adalah hal yang penting. Langkah ini sangat bermanfaat

42

dalam pencegahan transmisi bukan hanya HIV, tapi juga penyakit menular sexual lainnya. Kepatuhan terhadap terapi ARV adalah hal yang penting untuk menvapai keberhasilan . Dokter berperan dalam peranan yang penting dalam menjaga kepatuhan pasien . Indikasi untuk admission & konsultasi walaupun perawatan di perlukan untuk beberapa elemen elemen manajemen HIV, terdapat beberapa masalah dimana rawat inap menjadi penting. Pasien dengan tanda & gejala yang mengarah ke infeksi paru, system saraf pusat, atau infeksi menyeluruh (terutama yang disebabkan oleh pneumonia pneumocystis yang berat, TB, atypical Mycobacteum, toxoplasmosis, histoplasmosis, coccidiomycosis, cryptococcus, CMV, dan infeksi hepatitis yang tidak terkompensasi) mungkin memerlukan rawat inap dan konsultasi penyakit pada ahli.3 Tidak ada vaksin yang tersedia untuk pemakaian pada manusia. Sebuah vaksin yang mengandung rekombinan gp120 dapat memproteksi primata bukan manusia untuk melawan HIV dan sel yang terinfeksi HIV.9 Pencegahan terdiri dari penghindaran terhadap pajanan pada virus, seperti: memakai kondom, tidak memakai jarum suntik secara bergantian, dan membuang produk darah yang terkontaminasi virus HIV. Profilaksis pasca pajanan, seperti setelah kecelakaan suntikan jarum, terdiri dari zidovudine, lamivudine, dan sebuah protease inhibitor, seperti indinavir. Dua langkah dapat dipakai untuk menurunkan jumlah kasus infeksi HIV pada anak-anak: ZDV atau nevirapine sebaiknya diberikan saat perinatal ke ibu yang terinfeksi HIV dan neonatus, dan ibu yang terinfeksi HIV sebaiknya tidak memberi ASI. Sebagai tambahan, risiko infeksi HIV pada neonatus lebbih rendah jika dibandingkan dengan saat melahirkan. Sirkumsisi mengurangi infeksi HIV.9 Beberapa obat biasanya dipakai oleh psien saat stadium lanjut dari AIDS untuk mencegah infeksi oportunistik. Beberapa contohnya yaitu trimethoprim-

sulfamethoxazole untuuk mencegah Pneumocystis pneumonia, fluconazole untuk cegah rekurensi meningtis cryptococcal, ganciclovir untuk cegah rekurensi dari retinitis yang disebabkan oleh cytomegalovirus, dan preparasi oral obat antifungal, seperti clotrimazole, untuk cegah candidiasis oral yang disebabkan oleh Candida albicans.9

43

BAB III KESIMPULAN


Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu sindrom/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus yang menyerang sistem pertahanan tubuh. Dengan rusaknya system kekebalan, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi opportunistik. Target utama virus HIV adalah reseptor CD4++ yang terdapat di membransel T penolong, serta pada makrofag dan sel dendritik folikel yang terdapat di system saraf dan jaringan limfoid. Penularan HIV terjadi melaui hubungan seksual (homoseks, heteroseks), transfusidarah yang mengandung HIV, penyalahgunaan obat terlarang IV, dan secara vertical dari ibu kepada bayi melalui plasenta atau ASI. Terdapat empat fase infeksi HIV, yaitu infeksi akut primer (serokonversi), fase asimptomatik, fase asimptomatik dini, fase asimptomatik lanjut.1,3,4.5 Komponen mayor dari therapy HIV ialah vaksinasi, anti ARV, profilaksis dan pengobatan infeksi oportunistik & konseling. Masing masing memiliki pesan yang sangat penting untuk memperbaiki kualitas hidup & mengurangi penderitaan. Badan CDC (Centers for Disease and Prevention) telah membuat kriteria untuk infeksi HIV pada pasien dengan usia lebih dari 18 bulan, yaitu: hasil positif dari tes skrining antibodi HIV, diikuti dengan hasil positif dari tes konfirmasi antibodi HIV, atau hasil positif atau laporan dari jumlah yang dapat dideteksi dari salah satu tes virologik (non-antibodi), sedangkan untuk diagnosis AIDS, kriteria CDC 1993 adalah hitung limfosit-T CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 dan bukti laboratorium dari infeksi HIV, atau adanya penyakit indikator AIDS disertai bukti laboratorium dari infeksi HIV.2,4 Penggunaan ARV sebagai pencegahan transmisi yang disebabkan oleh pajananberisiko-tinggi dibedakan menjadi dua pilihan, yaitu: pajanan akibat pekerjaan dan pajanan setelah aktivitas yang berisiko tinggi. Profilaksis pasca pajanan, seperti setelah kecelakaan suntikan jarum, terdiri dari zidovudine, lamivudine, dan sebuah protease inhibitor, seperti indinavir. 1,2,3,9

44

Dua langkah dapat dipakai untuk menurunkan jumlah kasus infeksi HIV pada anak-anak: ZDV atau nevirapine sebaiknya diberikan saat perinatal ke ibu yang terinfeksi HIV dan neonatus, dan ibu yang terinfeksi HIV sebaiknya tidak memberi ASI. Sebagai tambahan, risiko infeksi HIV pada neonatus lebbih rendah jika dibandingkan dengan saat melahirkan. Zidovudine dan nevirapine telah menunjukan penurunan yang signifikan terhadap kecenderungan transmisi HIV dalam latar belakang periratal. Tidak ada ARV lain yang telah di demonstrasikan untuk menurunkan kecenderungan transmisi hiv secara vertical. Sirkumsisi mengurangi infeksi HIV. Beberapa obat biasanya dipakai oleh pasien saat stadium lanjut dari AIDS untuk mencegah infeksi oportunistik. Beberapa contohnya yaitu trimethoprim-

sulfamethoxazole untuuk mencegah Pneumocystis pneumonia, fluconazole untuk cegah rekurensi meningtis cryptococcal, ganciclovir untuk cegah rekurensi dari retinitis yang disebabkan oleh cytomegalovirus, dan preparasi oral obat antifungal, seperti clotrimazole, untuk cegah candidiasis oral yang disebabkan oleh Candida albicans.3,4,5 Seperti pada penyakit penyakit kronis lainnya, pemahaman akan adanya jaringan pendukung pasien & membantu pasien untuk mengembangkan dukungan tambahan akan menjadi sangat penting. Sering kali sangat membantu jika pasienpasien dapat saling menyatu membentuk kelompok untuk saling berbagi pengalaman & pertimbangan. Hal ini dapat membantu meminimalisir isolasi, kesendirian, & ketakutan. Tidak ada vaksin yang tersedia untuk pemakaian pada manusia. Pencegahan terdiri dari penghindaran terhadap pajanan pada virus, seperti: memakai kondom, tidak memakai jarum suntik secara bergantian, dan membuang produk darah yang terkontaminasi virus HIV. 4,5 Penatalaksanaan HIV tergantung dari stadium klinis pasien, jumlah CD4, dan viral load. Prinsip tatalaksana HIV berupa vaksinasi, pemberian ARV, profilaksis dan terapi infeksi oportunistik, dan konseling. Prinsip regimen ARV yaitu 2 NRTI dan 1 NNRTI atau 1 PI. Penatalaksanaan lini pertama dapat diberikan

AZT/TDF+3TC/FTC+EFV/NVP. Untuk lini kedua regimen ARV harus mengandung PI yang dibooster dengan ritonavir. Ritonavir-boosted atazanavir (ATV/r) atau lopinavir/ritonavir (LPV/r) adalah PI yang terpilih. Viral load digunakan untuk memantau kegagalan obat. Dalam pemberian ARV perlu dipertimbangkan toksisitas obat tersebut dan kondisi pasien saat itu. Untuk PEP dapat diberiksan 2 NRTI selama 28 45

hari, ditambahkan 1 bPI bila terdapat resistensi. Untuk PMTCT, pemberian PI lebih disarankan dibandingkan 3 NRTI. Jika diberikan NNRTI, cek viral load saat bulan ke-6 dan bila VL>5000kopi/ml ganti ke lini kedua dengan PI.1,2,3,4,5,8,9,10

46

DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci A, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related Disorders. In : Longo D, Fauci A, Fauci A, Kasper D, Braunwald E, Hause S, Jameson J Loscalzo. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th Ed. United States of America: McGraw-Hill. 2011 p241-50. 2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th Ed. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. p272-76. 3. Boswell SL. Approach to the Patient with Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection. In: Goroll AH, Mulley AG. Primary Care Medicine: Office Evaluation and Management of the Adult Patient. 6th Ed. 2009. p87-101. 4. Levinson W. Human Immunodeficiency Virus. In: Review of Medical Microbiology and Immunology. 11th Ed. Philadelphia: McGraw Hill. 2010. p299-308 5. Aditama TY. Laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia sampai dengan Juni 2012. Accessed on: October 06 2012. Available at:

http://www.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id&gg=1 6. WHO. A global view of HIV Infection. Accessed on October 06 2012.Available at: http://gamapserver.who.int/mapLibrary/Files/Maps/HIVPrevalenceGlobal2006.p ng 7. Merati TP, Djauzi S. Respon Imun Infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. p421-7 8. David C. Dugdale. HIV infection. Accessed on: October 06 2012. Available at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000602.htm 9. WHO. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents, Recommendations for a public health approach, 2010 Revision. Accessed on: October 05 2012. Available at: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/en/ 10. WHO. Post-Exposure Prophylaxis to Prevent HIV Infection. Joint WHO/ILO Guidelines on Post-Exposure Prophylaxis (PEP) to Prevent HIV Infection. Accessed on: October 05 2012. Available at:

http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/en/

47

Вам также может понравиться