Вы находитесь на странице: 1из 19

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFERAT FEBRUARI 2013

PENGARUH HORMONAL PADA KANKER PAYUDARA

Disusun Oleh : Ayu Merdekawaty 110 206 133

PEMBIMBING : dr. Muhamad Ikhlas SUPERVISOR : dr. Djonny Ferianto, Sp.B. (K) Onk

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2013

PENGARUH HORMONAL PADA KANKER PAYUDARA


I. PENDAHULUAN Kanker payudara adalah suatu penyakit yang terdapat sel-sel ganas yang bermula pada jaringan payudara. Sel-sel ganas tersebut tumbuh tanpa terkontrol.1 Kanker payudara merupakan tumor ganas yang paling banyak ditemukan dengan angka mortalitas tinggi pada wanita. Di Amerika Serikat, kanker payudara merupakan keganasan normor satu, yaitu sekitar 32% dan merupakan penyebab kematian setelah kanker paru. Di Indonesia dilaporkan bahwa kanker payudara menempati urutan kedua setelah kanker serviks uteri, namun di Sulawesi Selatan, kanker payudara menduduki peringkat pertama, sekitar 380 kasus pada tahun 2008. 2,3,4 Pada tahun-tahun terakhir ini dipercaya bahwa terdapat hubungan langsung antara kadar sirkulasi estrogen khususnya estradiol dengan resiko kanker payudara. Sekitar 16% kadar estradiol lebih tinggi pada penderita kanker payudara dibanding wanita yang tidak mengalami.5 Hormon estradiol yang dominan diproduksi oleh ovarium ini mempengaruhi proliferasi epitel sel payudara, melalui stimulasi ekspresi gengen faktor pertumbuhan, sehingga dapat berperan sebagai prokarsinogenik yaitu sebagai suatu hormone stimulating cell proliferation. Sebagai prokarsinogenik akan menginduksi kerusakan gen (a procarcinogen inducing genetic damage) yang kemudian mempengaruhi pembelahan sel sehingga meningkatkan potensi terjadinya mutasi spontan. Peranan estradiol pada proliferasi sel adalah memudahkan mutasi, peningkatan mutasi yang ada atau memudahkan kesalahan ekspresi genetik oleh hilangnya heterozigositas akibat defek pada repair DNA. Penilaian proliferasi sel sangat penting dalam karsinogenesis, setiap pembelahan sel meningkatkan resiko kesalahan selama

replikasi DNA yang jika tidak terkoreksi akan menyebabkan kanker. Kemampuan estrogen dalam keterlibatan proliferasi sel ini dimediasi oleh gen reseptor hormon. Ikatan estrogen reseptor intraseluler dengan transfer estrogen ke inti (kompleks estrogen/ER protein) akan dapat berinteraksi (menginisiasi) dengan elemen respon estrogen pada DNA sehingga dengan cara demikian mengaktivasi (transcribing) gen target dan mensintesa protein yang terlibat dalam pembelahan Sel (siklus sel).5 Dalam studi epidemiologik didapatkan 30% dari premenopause dan 60% pada pasca menopause memiliki reseptor estrogen yang dapat diukur (Liehr, J et al, 2000). Masalah utama yang dihadapi sekarang, terutama di negara-negara berkembang adalah meningkatnya jumlah penderita serta besarnya biaya pengobatan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya intensif pencegahan primer, deteksi dini, penentuan prognosa penyakit dan teknik pengobatan yang tepat. Oleh karena sampai saat ini kanker payudara belum dapat diobati secara tuntas, maka masih mungkin untuk tumbuh (invasif) pada jaringan lain. Telah diketahui pula bahwa tipe kanker karsinoma mamma adalah tergolong estrogen dependent, sehingga salah satu strategi terbaik untuk pencegahan dan pengobatan adalah memblok aktivitas estrogen pada jaringan estrogen dependent tertentu.6

II.

ANATOMI DAN FISIOLOGI a. Anatomi Payudara merupakan kelenjar yang memproduksi susu, sebagian besar terdiri dari sel lemak. Penyimpanan lemak pada payudara perempuan ada dibawah pengaruh dari hormon estrogen.7 Setiap payudara terdiri atas 12 sampai 20 lobulus kelenjar yang masing-masing mempunyai saluran ke papilla mamma, yang disebut duktus laktiferus. Papilla mamma kecil dan dikelilingi oleh daerah kulit yang berwarna lebih gelap, disebut areolla mamma. Di antara lobulus terdapat
3

terdapat jaringan ikat yang disebut ligamentum cooper yang memberi rangka untuk payudara. 8,9

Gambar 1 : Anatomi Payudara (Dikutip dari kepustakaan 7)

Payudara mendapatkan aliran darah terutama berasal dari cabang arteri perforantes anterior dari arteri mamaria interna dan arteri torakalis lateralis yang bercabang dari arteri aksillaris dan beberapa arteri interkostalis.8 Aliran limfe aksila dibagi menjadi tiga regio : Level I Level II : Limfe nodus di lateral ke otot pektoralis minor : Limfe nodus di medial otot pektoralis minor

Level III : Limfe nodus berada di dalam otot pektoralis minor 10

Gambar 2 : Limfe nodus aksila dibagi menjadi 3 level (Diambil dari kepustakaan 11)

Aliran limfe juga dibagi menjadi kuadran-kuadran. Kuadran lateral mengalirkan cairan limfenya ke nodus aksila anterior atau kelompok pektoralis. Kuadran medial mengalirkan cairan limfenya melalui pembuluhpembuluh yang menembus ruangan interkostalis dan masuk ke dalam kelompok nodus torakalis interna. Beberapa pembuluh limfe mengikuti arteri interkostalis posterior dan mengalirkan cairan limfenya ke posterior ke dalam nodus interkostalis posterior, beberapa pembuluh berhubungan dengan pembuluh limfe dari payudara sisi yang lain dan berhubungan juga dengan kelenjar di dinding anterior abdomen.9

Gambar 3 : Peredaran Aliran Lymfe pada Daerah Payudara (Dikutip dari kepustakaan 11)

b. Fisiologi Payudara merupakan organ yang unik karena tidak sepenuhnya terbentuk saat lahir, dipengaruhi perubahan siklus selama masa reproduksi dan mulai tumbuh lama selama menopause. Payudara di masa prepubertas pada laki-laki dan wanita terdiri dari sistem duktus besar yang berakhir dalam duktus terminal dengan pembentukan lobulus yang minimal. Pada wanita saat
5

mulai menarche, duktus terminal mengalami penambahan jumlah lobulus dan volume stroma interlobular. Oleh karena sedikitnya jaringan lemak maka payudara tampak radiodens. Seperti endometrium yang tumbuh dan regresi di setiap siklus menstruasi, maka payudara juga mengalami hal serupa. Pada pertengahan siklus menstruasi atau fase folikuler, lobulus relatif tidak berkembang. Sesudah ovulasi, di bawah pengaruh hormone estrogen dan peningkatan kadar progesterone, terjadi peningkatan proliferasi sel pada jumlah asinus per lobulus dan tampak vakuolisasi pada sel epitel. Stroma interlobular menjadi edematous yang amat nyata. Efek rangsangan hormone estrogen dan progesterone pada payudara sering menimbulkan sensasi penuh selama fase premenstrual. Bila mana terjadi menstruasi, maka kadar estrogen dan progesterone menurun diikuti apoptosis sel epitel, menghilangnya edema stroma dan secara keseluruhan ukuran dan lobulus mengalami regresi.8 Payudara mengalami maturasi morfologik dan aktifitas fungsional lengkap hanya pada saat kehamilan. Lobulus meningkat dalam jumlah dan ukurannya dan dipisahkan oleh sedikit stroma. Sejumlah kelenjar kulit di aerola (tuberkel Montgomery) menjadi prominen dan berfungsi sebagai lubrikasi puting. Pada kehamilan trimester ketiga, vakuol sekresi dari material lipid ditemukan dalam sel epitel unit lobular duktus terminal, tetapi produksi air susu dihambat oleh tingginya kadar progesterone. Segera setelah lahir, payudara memproduksi colustrum mengganti air susu dalam waktu 10 hari pertama sewaktu progesterone turun. Sesudah penghentian menyusui, lobulus akan regresi dan atrofi, serta total ukuran payudara berkurang dengan nyata.8

III.

PATOMEKANISME dan KARSINOGENESIS HORMONAL Kanker payudara sebagian besar berasal dari jaringan epitel dan paling sering terjadi di duktus, setelah itu baru menembus ke parenkim. Mula-mula terjadi hiperplasia sel-sel dengan perkembangan sel-sel atipik. Sel ini akan berlanjut menjadi karsinoma insitu dan menginvasi stroma. Kanker
6

membutuhkan waktu 7 tahun untuk bertumbuh dari sebuah sel tunggal sampai menjadi massa yang cukup besar untuk dapat teraba (kira-kira berdiameter 1 cm) pada ukuran itu seperempat dari kanker payudara telah bermetastasis.12 Estrogen merupakan hormon kelamin sekunder yang berfungsi untuk membentuk dan mematangkan organ kelamin wanita selama pubertas. Estrogen merupakan salah satu penyebab terjadinya kanker payudara Tiga jenis estrogen utama yang terdapat secara alami (estrogen endogen) dalam tubuh wanita yaitu estradiol, estriol dan estron. Sejak menarche sampai menopause, estrogen utama adalah 17-estradiol. Estron bersifat lebih lemah daripada estradiol, dan pada wanita pascamenopause estron ditemukan lebih banyak daripada estradiol. Estrogen juga digunakan sebagai bahan pil kontrasepsi (estrogen eksogen) dan juga sebagai terapi bagi wanita menopause.13,14 Estrogen memicu pertumbuhan dan pematangan sel di organ kelamin wanita yang disebut sel duct, sel duct ini kemudian akan membelah secara normal. Saat-saat pematangan sel duct ini merupakan saat yang paling rentan sel duct tersebut terkena mutasi. Jika ada satu sel yang mengalami mutasi akibat faktor keturunan, radiasi, radikal bebas, dan lainnya, maka sel tersebut dapat membelah secara berlebihan yang seterusnya berkembang menjadi kanker. Dari sini dapat disimpulkan bahwa estrogen merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab terhadap resiko terjadinya kanker payudara. Oleh karena itu sasaran dari terapi hormon adalah mencegah estrogen tersebut terhadap mempengaruhi dan memperparah sel kanker yang ada.4,5 Hubungan antara kanker payudara dan estrogen telah diketahui lebih dari 100 tahun, sejak George Beatson menunjukkan bahwa ovorektomi bilateral mengakibatkan remisi kanker payudara pada wanita pre menopause. Bukti selanjutnya menunjukkan pengaruh estrogen endogen pada patogenesis kanker payudara.5,6

Dari data penelitian memperlihatkan bukti yang kuat bahwa estrogen memegang peranan dalam perkembangan dan pertumbuhan kanker payudara. Walaupun mekanisme pasti masih terus dijelaskan tetapi keterlibatan alkil molekul seluler dan turunan radikal aktif dapat merusak DNA bersama-sama dengan potensi genotoksik dari estrogen dan beberapa metabolitnya (katekol estrogen). Estrogen mempromosi perkembangan kanker payudara pada rodentia dan memicu efek proliferasi baik langsung dan tidak langsung pada kultur sel kanker payudara pada manusia. Efek inisiasi langsung dapat terjadi melalui induksi enzim dan protein-protein yang terlibat dalam sintesa asam nukleat dan melalui aktivasi onkogen. Efek tidak langsung dapat terjadi melalui stimulasi sekresi prolaktin dan produksi faktor-faktor pertumbuhan (transforming growth factor dan epidermal growth factor) dan non growth factor peptida (plasminogen activators).5 Pembentukan tumor dapat juga terjadi dari stimulasi hormonal yang berlebihan pada suatu organ dimana pertumbuhan normal dan fungsi dibawah kontrol endokrin. Respon suatu organ terhadap efek proliferasi dari hormon dapat berkembang dari pertumbuhan normal ke hiperplasia kemudian neoplasia. Pada keadaan ini resiko kanker payudara dapat ditentukan oleh kumulatif paparan estrogen pada jaringan mamma. Bukti tidak langsung pada sekuens ini termasuk meningkatnya resiko kanker payudara yang

dihubungkan dengan menars dini, kehamilan usia tua dan menopause yang terlambat sebagaimana berkurangnya resiko yang dikaitkan dengan

menapouse dini. Nilai prediksi faktor-faktor ini dalam menilai resiko kanker payudara meningkat oleh gabungan faktor-faktor tersebut. Misalnya gabungan umur, usia melahirkan, usia kelahiran pertama dan saat sejak melahirkan memberikan suatu penilaian yang lebih akurat dibandingkan setiap faktor berdiri sendiri. Hal ini oleh karena pada usia saat melahirkan pertama menggambarkan tidak hanya terpapar estrogen secara total tetapi juga terdapat

efek estrogen pada epitel terminal - ductus yang tidak mengalami diferensiasi akhir akibat diinduksi oleh kehamilan dan laktasi.15 Terdapat beberapa faktor lain dari variasi individu yang berpengaruh dalam paparan estrogen. Pada wanita pasca menopause yang obeis memiliki kadar serum sex hormone - binding globulin yang rendah sehingga kadar serum estrogen bioaktif tinggi dibandingkan dengan wanita pasca menopause yang kurus, sehingga diketahui bahwa pada wanita pasca menopause terdapat hubungan bermakna antara berat badan dengan resiko kanker payudara. Akan tetapi pada wanita obeis premenopause memiliki siklus menstruasi yang panjang dan siklus anovulatorik lebih banyak dibanding wanita premenopause nonobeis, akibatnya total paparan estrogen lebih sedikit dan menurunkan resiko kanker payudara. Hubungan antara seks steroid eksogen dan resiko kanker payudara telah diteliti luas. Tidak ada bukti yang kuat bahwa peningkatan resiko terjadi pada 10 tahun atau lebih setelah penghentian pemakaian kontrasepsi oral. Riwayat keluarga penderita kanker payudara tidak menunjukkan efek kontrasepsi oral berisiko secara menyeluruh, tetapi penggunaan kontrasepsi oral dapat meningkatkan resiko kanker payudara pada wanita dengan mutasi gen BRCA1 dan BRCA2. Efek hormonal pada kontrasepsi oral pada payudara sangat kompleks. Pada satu sisi menyebabkan protektik anovulasi tetapi sisi lain kombinasi estrogen dan progesteron dapat menstimulasi akitivitas mitotik pada jaringan mamma. Terapi sulih hormon dilibatkan sebagai salah satu faktor resiko kanker payudara pada wanita. Peningkatan resiko dihubungkan dengan lamanya terapi sulih hormon, keberadaannya yang hanya selama terapi dan pada periode singkat setelah dihentikan. Kombinasi terapi estrogen dan progesteran meningkatkan resiko kanker payudara dibanding dengan estrogen tunggal. Walaupun insidens kanker payudara pada wanita meningkat yang memperoleh terapi estrogen atau estrogen - progesteron tetapi secara
9

keseluruhan angka mortalitas berkurang oleh karena kematian lebih sedikit terjadi dibanding oleh akibat penyakit jantung dan osteoporosis. Oleh karena kaitan yang belum jelas antara faktor resiko kanker payudara dengan paparan estrogen maka sangat penting pula melakukan penelitian mengenai variabelvariabel kunci pada homeostatis estrogen misalnya sintesis dan katabolisme estrogen serta sensitivitas jaringan terhadap estrogen.14,15 Pada wanita premenopause, ovarium yang dibawah kontrol siklik pituitary gonadotropin adalah sumber predominan serum estrogen, dan hanya dalam jumlah sedikit berasal dari organ lain. Sebaliknya pada wanita pasca menopause, estrogen diproduksi dalam jumlah sedikit berasal dari aromatisasi adrenal dan androgen ovarium pada jaringan ekstragonad seperti hati, otot dan jaringan lemak.15 Supresi pada inhibitor jaringan spesifik oleh promotor dapat juga mengakibatkan peningkatan sintesis mRNA aromatase. Jadi gen aromatase dapat bekerja sebagai onkogen yang menginisiasi bentukan tumor pada jaringan mamma

IV.

TERAPI Sebelum melakukan terapi karsinoma mamma, diagnosis klinis dan histopatologik serta tingkat penyebaran harus dipastikan dahulu. Bila bertujuan kuratif, tindakan radikal yang berkonsekuensi mutilasi harus dikerjakan demi kesembuhan. Akan tetapi bila tindakannya paliatif, alasan nonkuratif menentukan terapi yang dipilih.8 Bedah kuratif yang mungkin dilakukan ialah mastektomi radikal, dan bedah konservatif merupakan eksisi tumor luas. Terapi kuratif dilakukan jika tumor berbatas pada payudara dan tidak ada infiltrasi ke dinding dada dan kulit mamma, atau infiltrasi dari kelenjar limfe ke struktur sekitarnya.8 Pada kansinoma mamma stadium lanjut terapi yang utama dilakukan yaitu terapi secara paliatif. Bedah paliatif pada kasus ini hampir tidak pernah
10

dilakukan. Kadang residif lokoregional yang soliter dieksisi, tetapi biasanya pada awalnya sudah tampak soliter. Padahal sebenarnya sudah menyebar sehingga pengangkatan tumor residif tersebut sering tidak berguna. Kadang dilakukan amputasi kelenjar mamma pada tumor yang tadinya tidak mampu diangkat ukurannya kemudian telah diperkecil oleh radioterapi.8 Tingkat keberhasilan terapi endokrin pada kanker payudara telah dilaporkan hampir di seluruh dunia. Penatalaksanaan kanker payudara yang paling pertama berhasil adalah oophorektomi. Sedangkan untuk yang disertai dengan metastasis termasuk adrenalektomi, hipopisektomi, dan pemberian preparat sintetik androgen atau estrogen.16,17 Tujuan dari terapi hormonal adalah untuk menurunkan efek estrogen pada sel kanker. Mengurangi efek estrogen dapat melalui cara-cara : Melalui pengangkatan ovarium, yang mayoritas menghasilkan estrogen pada perempuan premenopause. Melalui blok konversi dari androgen menjadi estrogen dengan cara menghalangi enzim aromatase. Melalui blok reseptor estrogen sehingga estrogen tidak dapat terikat.18

Terapi hormonal dibagi menjadi dua yaitu adiktif dan ablasi.

Adiktif 1. Selective estrogen receptors modulator (SERMs) Memblok efek estrogen pada sel payudara. Sel pada tubuh lainnya juga memiliki reseptor estrogen, seperti tulang dan uterus. Namun memiliki struktur yang berbeda, sehingga SERMs dapat menghentikan fungsi estrogen pada payudara tapi dapat mengaktifkan estrogen yang ada pada sel lain, seperti tulang dan uterus. Terdapat 3 jenis SERMs yaitu tamoxifen, raloxifene, toremifene.8,18 a. Tamoxifen (Nolvadex)

11

Tamoxifen merupakan obat hormonal yang memblok estrogen pada sel tumor. Sediannya dalam bentuk pil dan diminum setiap hari secara oral dengan dosis 2x10 mg atau 1x20 mg selama lima tahun. Tamoxifen adalah gabungan agonis/antagonis estrogen, yang merupakan pengobatan lini pertama pasien dengan metastasis kanker payudara yang direncanakan untuk terapi hormonal. Perempuan menopause dengan reseptor estrogen positif mempunyai respon terhadap tamoksifen sebesar 86% yang digunakan sebagai terapi lini pertama pada metastasis kanker payudara.18 Tamoksifen paling sering digunakan sebagai terapi adjuvant pada pasien perempuan dengan kanker payudara yang telah direseksi. Saat ini terdapat konsensus bahwa penggunaan tamoksifen harus diteruskan selama lima tahun. Pada kanker payudara metastatik yang responsif hormon, yang dipakai biasanya adalah aromatase inhibitor bukan tamoksifen, namun pasien yang memburuk setelah mendapat aromatase inhibitor masih mungkin mendapat manfaat dari tamoksifen. Selain itu, tamoksifen telah menjalani berbagai studi prospektif sebagai obat kemopreventif kanker payudara. Studi-studi tersebut memperlihatkan bahwa tamoksifen menurunkan insidens kanker payudara sebesar 38% dibandingkan plasebo, dengan catatan tidak ada efek pada kanker yang reseptor estrogen (ER) negatif tetapi penurunan insidens sebesar 48% pada kanker payudara yang ER positif.17 Beberapa keuntungan tamoksifen adalah bisa digunakan untuk semua perempuan baik yang premenopause maupun menopause. Namun memiliki efek samping seperti gejala menopause, kanker endometrium, Perempuan yang memakai tamoksifen harus melakukan pemeriksaan pelvik setiap tahunnya untuk melihat ada tidaknya tanda-tanda kanker tersebut. Toksisitas yang paling menonjol adalah gejolak panas (hot flushes) pada sekitar 50 % perempuan yang menggunakannya dengan
12

intensitas dan lama yang bervariasi. Retensi cairan, peningkatan berat badan, kekeringan vagina dengan atau tanpa atrofi vaginitis. Dosis standar tamoksifen adalah 20 mg dan waktu paruh yang panjang menunjukkan bahwa dosis dapat diberikan sekali sehari. b. Raloksifen (Evista) Raloksifen merupakan agonis dan antagonis estrogen yang mulanya dibuat sebagai obat anti kanker payudara. Diberikan dengan dosis 60 mg per hari secara oral. Raloksifen bersifat estrogenik pada tulang namun antiestrogenik pada jaringan payudara dan uterus. Penelitian-penelitian memperlihatkan penurunan kanker payudara pada perempuan yang menerimanya sehingga dikembangkan uji kompreventif kanker payudara generasi kedua yang membandingkan raloksifen dengan tamoksifen pada perempuan yang pascamenopause resiko tinggi. Keuntungan lain raloksifen dibandingkan dengan tamoksifen adalah bahwa raloksifen tampaknya tidak memicu kanker endometrium.18 2. Inhibitor Aromatase Ketika menopause, sintesis hormon-hormon ovarium berhenti. Namun, estrogen terus diproduksi dari hasil konversi androgen (yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal) oleh aromatase yang merupakan kompleks enzim yang bertanggung jawab dalam langkah terakhir sintesis estrogen melalui konversi androsetendion dan testosteron menjadi estron (E1) dan E2. Diberikan 1 tablet/hari dengan tekhnik switching (bergantian), extended (ditambahkan/diperpanjang) dengan tamoxifen. Letrozole dan anastrozole adalah nonsteroidal aromatase inhibitor yang berikatan secara reversible dengan aromatase, sedangkan exemestane berikatan secara permanen dengan aromatase. Berikut, adalah contoh-contoh inhibitor aromatase : a. Aminoglutetimida (Cytadren)

13

Aminoglutetimida merupakan inhibitor aromatase yang pertama kali digunakan di klinik. Ketika itu obat ini digunakan sebagai adrenalektomi medik. Pada kanker payudara metastatik dilaporkan terdapat angka respon sebesar 32%. Namun, karena tidak adanya selektivitas terhadap aromatase dan supresi aldosteron serta kortisol, pemberian aminoglutetimida perlu dibarengi pemberian kortikosteroid seperti hidrokortison. Dimulai dengan dosis 250 mg diberikan secara 4 kali kemudian dosis bisa dinaikkan dengan interval 1-2 minggu hingga 2 gr. Penurunan dosis secara tiba-tiba bisa memberikan efek samping seperti mengantuk, ruam kulit, dan kekurangan hormon kortisol yang ekstrim. Aminoglutetimida sekarang jarang dipakai untuk pengobatan kanker payudara metastatik. Aminoglutetimida kadang-kadang juga dipakai untuk mencoba membalik kelebihan produksi hormon oleh kanker-kanker adrenokortikal. b. Letozol dan Anastrozol (Femara dan Arimidex) Baik letrozol dan anastrozol diindikasikan sebagai terapi lini pertama pada perempuan dengan kanker payudara metastatik yang reseptor positif. Pada terapi lini kedua kanker payudara metastatik untuk perempuan yang tidak berhasil diterapi dengan tamoksifen, uji klinik kedua obat memperlihatkan perbaikan efektivitas klinis letrozol dan anastrozol dibandingkan magestrol asetat. Anastrozol diberikan dengan dosis 1mg/hari secara oral dan Letrozole diberikan dengan dosis 2,5 mg/ hari secara oral. Pada terapi adjuvan, hasil dari uji klinik arimidex, tamoksifen, Alone or in Combination (ATAC) menghasilkan persetujuan penggunaan anastrozol untuk terapi adjuvant kanker payudara pasca menopause. c. Exemestane (Aromasin) Terapi exemestane setelah 2-3 tahun penggunaan tamoxifen dapat menurunkan resiko terjadinya kanker payudara kontralateral dibanding
14

dengan hanya standar menggunakan tamoksifen saja selama 5 tahun. Efek sampingnya adalah gejolak panas (hot flushes), lemas, nyeri sendi, dan sakit kepala. 3. Antagonis reseptor estrogen: Seperti SERMs, antagonis reseptor estrogen bekerja dengan cara mencegah estrogen dari stimulasi pertumbuhan sel reseptor positif estrogen. Fulvestrant merupakan antagonis reseptor estrogen pertama, mekanisme kerjanya adalah berikatan kemudian menghancurkan reseptor estrogen sehingga estrogen tidak bisa berikatan dengan reseptornya dan menghambat pertumbuhan sel. Food and Drug Administration (FDA) telah membuktikan fulvesrant untuk terapi hormonal pada wanita menopause dengan kanker payudara reseptor estrogen positif yang telah gagal dengan terapi hormonal sebelumnya. a. Fulvestrant (Faslodex) Obat ini digunakan pada pasien dengan hormon reseptor positif pada kanker payudara metastatik. Cara kerja obat ini berbeda dengan tamoksifen yang memblok reseptor estrogen sedangkan fulvestrant menghancurkan reseptor estrogen pada sel kanker. Kanker payudara progresif dimana sebelumnya telah diberikan tamoksifen, bisa berespon pada fulvesrant. Obat ini diberikan secara intramuskular dengan dosis 500 mg. Seperti tamoxifen, efek samping dari obat ini adalah gejolak panas (hot flashes), mual, dan lemah.

Ablasi ovarium Cara lain untuk memblok hormon estrogen adalah pengangkatan ovarium. Hal ini dilakukan pada wanita premenopause. Dilakukan baik secara operasi (pengangkatan ovarium), maupun menggunakan agonis LHRH (luteinizing hormone-releasing hormone). Terapi hormonal ini menghambat fungsi hormonal

15

ovarium dengan cara mengganggu aktivitas folikel stimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormon (LH) yang mengontrol aktivitas ovarium. Obat ini masih dalam percobaan klinis dalam terapi adjuvant hormonal pada kanker payudara. Contoh dari obat ini adalah leuprolide (lupron) dengan dosis 7,5 mg secara intramuskular tiap bulan, atau diberikan dengan dosis 22,5 mg secara intramuskular setiap 3 bulan atau dengan dosis 30 mg secara intramuskular tiap 4 bulan. Efek sampingnya adalah gejolak panas (hot flushes), perubahan mood, osteoporosis.

V.

KESIMPULAN Payudara mengalami tiga macam perubahan yang dipengaruhi hormone. Perubahan pertama ialah mulai masa hidup anak melalui masa pubertas, masa fertilitas, sampai ke klimakterium, dan menopause. Sejak masa pubertas pengaruh estrogen dan progesterone yang diproduksi ovarium dan juga hormone hipofise, telah menyebabkan duktus berkembang dan timbulnya asinus. Pada perubahan kedua adalah perubahan siklus haid, payudara jadi lebih besar dan beberapa hari sebelum haid berikutnya terjadi pembesaran maksimal. Perubahan ketiga terjadi pada masa hamil dan menyusui, payudara menjadi besar karena epitel duktus lobul dan duktus alveolus berproliferasi, dan tumbuh duktus baru Estrogen memicu pertumbuhan dan pematangan sel di organ kelamin wanita yang disebut sel duct, sel duct ini kemudian akan membelah secara normal. Saat-saat pematangan sel duct ini merupakan saat yang paling rentan sel duct tersebut terkena mutasi. Jika ada satu sel yang mengalami mutasi akibat faktor keturunan, radiasi, radikal bebas, dan lainnya, maka sel tersebut dapat membelah secara berlebihan yang seterusnya berkembang menjadi kanker. Dari sini dapat disimpulkan bahwa estrogen merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab terhadap resiko terjadinya kanker payudara.

16

Terapi hormonal biasanya dilakukan secara paliatif karena efek terapinya lebih lama dan efek sampingnya kurang. Terapi hormone diberikan sebagai adjuvant kepada pasien pascamenopause. Strategi terapi endokrin pada pasien premenopause adalah memblok reseptor estrogen dengan menggunakan tamoksifen, supresi termporer dari estrogen ovarium yang disintesis oleh luteinizing hormon releasing hormon (LHRH) agonis atau juga dengan penghentian permanen dari sintesis ovarium estrogen dengan cara ovarektomi.

17

DAFTAR PUSTAKA 1. Stephan, Pam. Breast Cancer. Update on 9th February 2011. Available at http://breastcancer.about.com/od/definition/a/bc_definition.htm 2. Litcher AS. Cancer of the breast. In : Leibel SA, editor. Textbook of Radiation Oncology. 2nd edition. New York: Saunders; 2004. P 1299-308 3. Rothrock JC. Breast Surgery. In : Rothrock JC, editor. Alexanders care of the patient in surgery. 12th edition. Pensylvania: Mosby; 2003. P. 635-43. 4. Wahid S, Miskad UA, Djimahit T. Ekspresi her-2/neu pada kanker payudara; korelasi bermakna dengan grading histopatologi. The Indonesia Journal of Medical Science. 2008 ; 1 (No.2). 5. Liehr, J. Genotoxocoty of the steroidal oestrogens oestrone and oestradiol: possible mechanism of uterine and mammary cancer development. European Society of Human Reproduction. 2001. P. 273-9 6. Daly M. Epidemiology and Clinical Risk Factors In: Michael H. A Guide toDetection Multidisciplinary Therapy. New Jersey : Humana Press; 2001. P. 3-15 7. Conrad Stoppler, Melissa. Breast. Update on 22nd November 2012. Available at http://www.medicinenet.com/breast/article.htm 8. Manuaba TW. Tindak Bedah Organ dan Sistem Organ Payudara. In : R. Sjamsulhidayat, Jong WD, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd edition. Jakarta : EGC; 2005. P 388-402 9. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. Jakarta : EGC; 2006. P 420-22 10. Quilici, Philippe J. Anatomy of The Breast and Axilla. Available at http://www.breastdiseases.com/anat.htm 11. Bland, Kirby I. The Breast. In : Brunicardi, F. Charles, editor. Schwartzs Principle of Surgery. 8th edition. New York : McGraw-Hills; 2007.

18

12. Piehl EJ. Gangguan Sistem Reproduksi Wanita. In : Price SA, Wilson LM, editors. Fisiologi Proses-Proses Penyakit. 4th edition. Jakarta : EGC; 1995. P 1140-44 13. Anonym. Estrogen. Available at http://wikipedia.com.htm 14. Irwan R. 100 Question Answers Kanker pada Payudara. Jakarta: Elex Media Komputindo; 2009. P. 24-26 15. James D. Mekanisme Estrogen Karsinogenesis pada Kanker Payudara. Jakarta: Bedah-med.2009. 16. Cassidy J, Bissett D, Obe RAJS, Handbook of Oncology. New York : Oxford University Press ; 2002. P 298-322. 17. Mooree HCF, Fox KR. Hormonal Therapy of Breast Cancer. In : Torosian MH, editor. In : Breast Cancer: A Guid to Detection and Multidisciplinary Therapy. New Jearsey : Humana Press; 2002. P 161-73.

19

Вам также может понравиться