Вы находитесь на странице: 1из 10

KEBENARAN ILMIAH

Makalah ini disusun sebagai tugas ujian tengah semester mata kuliah filsafat ilmu

Oleh : Indah Novitasari 125120500111018

Dosen pengajar : Muhammad Anas, S.Fil, M.Si

JURUSAN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG


Suatu pernyataan adalah benar jika sesuai dengan fakta. A criterion of truth is correspondence with reality. Ini adalah teori korespondensi. Menurut teori ini, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (Jujun, 1984: 57). Dalam proses pembuktian secara empiris (pengumpulan fakta-fakta) untuk mendukung kebenaran suatu pernyataan Apakah kriteria kebenaran?. Suatu pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang lain; Ini adalah teori koherensi. Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1984: 55). Termasuk ke dalam teori ini adalah kebenaran matematika (mathematical truth) dan logikadeduktif (Scruton, 1996: 239)

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud teori tentang kebenaran. 2. Dari mana asal dan gagasan positivisme logis.

1.3. TUJUAN PENULISAN


1. Mengetahui teori tentang kebenaran. 2. Mengetahui dan memahami apa itu asal dan gagasan positivisme logis. 3. Memahami tentang positivisme di dalam ilmu pengetahuan.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori Tentang Kebenaran
1. Teori Kebenaran Korespondensi Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi ini adalah teori yang paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atauantara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987). Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa. Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yang sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah (Jujun, 1990). 2. Teori Kebenaran Koherensi Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990), artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut

logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama. Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu ide yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataanpernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja. Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia, dengan begitu maka tiaptiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap system kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus, 1987). Meskipun demikianperlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu. 3. Teori Kebenaran Pragmatis Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalamsebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul How to Make IdealsClear . Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli- ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead(1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990) Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahw ayang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis (Hadiwijono, 1980) dalam kehidupan manusia. Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak

lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembanganilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan (Jujun, 1990), demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, danpragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbanganpertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibatakibatnya yang praktis (Titus, 1987). 4. Teori Kebenaran Sintaksis Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau garamatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sinaksis yang baku atau apabila proporsisi itu tdak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang diisyaratkan proporsisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang diantara para pilsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatikal, seperti Friederich Schleiermacher (1768-1834). 5. Teori Kebenaran Semantis Teori kebanaran semantis dianut oleh faham filsafat Bertrand Russelse bagai kokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Menurut teori kebenaran semantis bahwa suatu proporsisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti ataumakna. Apakah proporsisi yang merupakan pangkal tumpunya inti mempunyai pengacu (referent ) yang jelas. Oleh karena itu, teori ini memiliki tugas untuk menguak kesyahan proporsisi dalam referensinya.Teori kebenaran emantis sebenarnya berpangkal atau mengacu padapendapat Aristoteles

sebagaimana yang digambarkan oleh White (1978) seperti berikut ini: To say of what is that is or of what is not, is true,Atau mengacu pada teori tradisional korespondensi yang mengatakan: that truth consists in correspondence of what is said and what is fact . Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proporsisi itu mempunyai nilai kebenaran jika proporsisi itu memiliki arti. Arti ini menunjukkan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi ataukenyataan. Selain itu juga arti yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat definitive (arti yang jelas dengan menunjuk cirri yang khas dari sesuatu yang ada). 6. Teori Kebenaran Non-Deskripsi Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme karena pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang sangat tergantung peran dan fungsi pada pernyataanitu. White (1978) menggambarkan tentang kebenaran sebagaimanadikemukakanya berikut ini:.to say. It is true that not many people are likely to do that is away of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that anda not away of talking about the opnion , much less of talking about the sentence used toexpress the opinion. Memiliki pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan akan memiliki nilai banar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang sangat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan praktis dalam kehidupan sehari-hari. 7. Teori Kebenaran Logis yang berlebihan Teori ini dikembangkan oleh kaum Positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problem kebenaranhanya merupakan kekacauan bahasa saja, dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan karena pada dasarnya apa, pernyataan yang hendak dibuktikan kebenaranya memiliki derajat logic yang sama dan masing-masing salingmelingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proporsisi yang bersifat logic dengan menunjukkan bahwa proporsisi itu mempunyai isi yang sama,memberikan informasi yang sama, dan semua orang sepakat sehingga apabila kita membuktikanya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenaranya sebenarnya telah merupakan fakta atau datayang telah memiliki evidensi.

Artinya, objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984).

2.2. ASAL DAN GAGASAN POSITIVISME LOGIS


Teori Positivisme Logikal Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalami banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggris. Ia berkeyakinan bahwa tanpaadanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hokum alam. Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensidan eksistensi . Dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomenafenomena. Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dansintetis , dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat di eksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran. Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat(proposisi-proposisi agama dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian di predikasikan atas subyek itu sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses observasi dan pembuktian Dengan demikian, sebagaimana ungkapan Kornop salah seorang anggota dari Lingkaran Wina dalam suatu risalah berjudul"Menolak metafisika dengan analisis logikal teologi", kalimat-kalimat yang mengungkapkan perasaan (affective), seperti: alangkah indahnya cuaca! Atau pertanyaan, seperti: Di manakah letak kota Qum? Atau kalimat-kalimat perintah, metafisika dan agama, karena kalimat-kalimat danproposisi-proposisi tersebut tidak melewati proses observasi dan eksprimen maka serupa dengan proposisi-proposisi yang tidak benar (bohong) Kaum Positivisme, seiring dengan perjalanan waktu, mengubah pandangannya yang ekstrim dan perlahan-lahan tidak menegaskan kemestian pembuktian dan eksperimen dalam menguji kebenaran

suatu proposisi dan bahkan eksprimen tidak lagi dijadikan tolok ukur kebenaran proposisi. Mereka menyadari bahwa jika tolok ukur kebenaran (memilikimakna) proposisi-proposisi adalah melewati proses pembuktian dan eksperimen, maka sangat banyak proposisi-proposisi empiris yang tidakakan bermakna (tidak benar), karena tidak dapat dibuktikan secara yakin (100%). Mazhab filsafat ini dalam bagian lain mengakui bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat realitas dalam bentuk pembuktian, penegasan, dan bahkan pembatalan tetapi hanya sebatas pemuasan. Kesimpulan dari semua pandangan kaumPositivisme adalah bahwa proposisi-proposisi agama yang karena tidak melewati observasi dan eksprimen maka tidak dikategorikan sebagai makrifat dan pengetahuan yang bermakna dan bahasa agama karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara eksprimen, maka tidak menjadi makna yang dapat diperhitungkan.

BAB III KESIMPULAN


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebenaran ilmiah tidak bisadilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakandan dimanfaakan oleh manusia serta proses atau prosedur suatu penelitian ilmiah.Teori-teori kebenaran ada tujuh, yakni korespondensi, koherensi, pragmatis,sintaksis, semantis, non-deskripsi, dan kebenaran logis yang berlebihan. Teori-teori tersebut mencoba untuk menjelaskan tentang apa itu kebenaran. Kebenaran ilmiah bersifat obyektif dan universal.Dalam teori keilmuan, untuk membuktikan kebenaran ilmiah dari suatu pernyataan ilmiah harus sesuai dengan sifat dasar metodologis yang digunakan dan sangat bergantung pada konvensi serta peran masyarakat dalam menentukan karakteristik kebenaran ilmiah tersebut Kebenaran menurut pandangan positivisme adalah dikatakan benar apabila sesuai kenyataan, dan ada fakta pendukungnya serta bersifat empirisme. Didalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi.Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan faktayang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori pahamrealisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Junjun S. 2003.Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer , Jakarta:Pustaka Sinar Harapan. Koento, W. 1982. Arti Perkemabangan Menurut Filsafat Positivisme AugusteComte. Gadjah Mada Univercity Press. Yogyakarta. http//www.google.co.id

Вам также может понравиться