Вы находитесь на странице: 1из 29

xxi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi dan fisiologi hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan

(Ballenger,1994; Hilger, 1997; Mangunkusomo,2001; Levine,2005) Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril

xxii

(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung(Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997) Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Maran,1990; Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997) Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise (Maran,1990; Ballenger,1994;Mangunkusumo,2001) Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang

xxiii

terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997) Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior.

Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya

menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus (Ballenger, 1994). Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)

xxiv

2.1.1.1 Perdarahan hidung Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu: 1. Arteri Etmoidalis anterior 2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika 3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis(Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (Ballenger,1994; Hilger,1997). Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus (Maran,1990; Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001).

xxv

2.1.1.2 Persyarafan hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum (Maran,1990; Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media (Maran,1990; Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001). Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu

xxvi

pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (Maran,1990; Ballenger, 1994; Hilger, 1997, Mangunkusumo, 2001).

2.1.1.3 Fisiologi hidung Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997

;McCaffrey,2000). Menurut Mangunkusumo (2001) fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara,(7) Reflek nasal (Ballenger,1994;

Mangunkusomo,2001).

2.2. Sistem Mukosiliar 2.2.1. Histologi mukosa Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.

xxvii

Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda (Mygind 1981).

2.2.1.1 Epitel Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang

merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997). Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke

xxviii

belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi (Ballenger 1996; Higler 1997; Weir 1997). Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3 m. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masingmasing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997). Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kirakira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama (Ballenger 1996) Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara

xxix

pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin (Mygind 1981; Waguespack 1995; Ballenger 1996). Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 m dan diameternya 0,1 m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng ( Waguespack 1995; Ballenger 1996 ).

2.2.1.2. Palut lendir Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan

ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Weir 1997; Lindberg 1997).

xxx

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger 1996; Weir 1997). Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura 1994).

2.2.1.3. Membrana basalis Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin (Mygind 1981).

xxxi

2.2.1.4. Lamina propria Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind 1981; Ballenger 1996). Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Lindberg 1997).

2.2.2. Transportasi mukosiliar Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar (Weir 1997).

xxxii

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit (Amedee 1993; Ballenger 1996; Nizar 2000). Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif

xxxiii

saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit (Higler 1997). Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit (Higler 1997). Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju

nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan (Mangunkusumo 2001)

2.2. 3. Pemeriksaan fungsi mukosiliar Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon, bismuth trioxide (Waguespack 1995; Jorissen 2000). Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin. Uji ini telah dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974

xxxiv

dan sampai sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin. Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai waktu transportasi mukosiliar atau waktu sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna dapat dilihat di orofaring (Mahakit 1994; Waguespack 1995; Jorissen 2000). Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi. Mahakit (1994) mendapatkan waktu transportasi mukosiliar normal adalah 12 menit. Sedangkan pada penderita sinusitis, waktu transportasi mukosiliar adalah 16,6 7 menit. Waguespack (1995) mendapatkan nilai rata-rata adalah 12-15 menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian mendapatkan nilai normal pada kontrol adalah 7,61 menit untuk wanita dan 9,08 menit untuk pria.

2.2.4. Faktor yang mempengaruhi transportasi mukosiliar Sakakura membagi disfungsi mukosiliar hidung akibat kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoeid. Ada 3

xxxv

faktor yang berperan terhadap TMS, yaitu : silia, mukus dan interaksi antara silia dan mukus. Dengan adanya silia yang normal, mukus, dan interaksi antara silia dan mukus (Sakakura 1997). Waquespack menuliskan keadaan yang mempengaruhi transportasi mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan pengawet dan tindakan operasi (Waguespack 1995).

2.2.4.1 Kelainan kongenital Diskinesia silia primer dapat berupa kekurangan / ketiadaan lengan dynein, ketiadaan jari-jari radial, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia abnormal, sel-sel basal abnormal, dan aplasia silia. Kelainan ini jarang dijumpai, yaitu 1 dalam 15.000-30.000 kelahiran. Tes sakarin pada pasien ini adalah lebih dari 60 menit (Waguespack 1995). Sindrom Kartagener merupakan penyakit kongenital dengan kelainan bronkiektasi, sinusitis, dan sinus inversus. Penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terlihat kekurangan sebagian atau seluruh lengan dynein luar/dalam. Akibatnya terjadi gangguan yang sangat serius pada koordinasi gerakan silia serta disorientasi arah pukulan/denyut. Sering juga disebut dengan sindrom silia immotil. Gangguan pada transportasi mukosiliar menyebabkan infeksi kronis dan berulang, sehingga terjadi bronkiektasi dan sinusitis (Weir 1997).

xxxvi

Fibrosis kistik dan sindrom Young juga merupakan kelainan kongenital yang dihubungkan dengan sinusitis kronis atau rekuren. Ultrasruktur silia pada kelainan ini terlihat normal, tetapi (viskositas) dari palut lendir (Weir 1997). terdapat abnormalitas kekentalan

2.2.4.2 Lingkungan dan polusi Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Frekuensi denyut silia bekerja normal pada pH 7-9. Elynawati dkk dalam penelitiannya terhadap pekerja pabrik kayu mendapatkan waktu transportasi mukosiliar yang lebih tinggi secara bermakna dibanding kontrol. Rata-rata waktu transportasi mukosiliar pekerja adalah 12,16 menit (SD 4,05) dibanding kelompok kontrol adalah 6,21 menit (SD 1,26) (Elynawati 2002). Asap rokok juga akan menimbulkan kerusakan lokal mukosa saluran pernafasan, antara lain hilangnya fungsi silia untuk menghalau benda asing, sehingga debu / bahan-bahan polutan yang lain akan lebih mudah masuk ke paru-paru. Debu sendiri dapat menyebabkan peradangan di saluran pernafasan dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Interaksi antara rokok dan debu merupakan interaksi dua faktor yang saling berkaitan ( Amin 1995).

2.2.4.3 Alergi Pengaruh lingkungan alergi pada hidung masih diperdebatkan. Adanya pembengkakan mikroskopik pada sitoplasma pada keadaan alergi diduga dapat menyebabkan gangguan pada transportasi mukosiliar. Tidak

xxxvii

terdapat perbedaan yang bermakna dari hasil pengukuran transportasi mukosiliar dan frekuensi denyut silia pada pasien alergi dan kontrol. Sensitisasi pada hidung binatang percobaan dapat menyebabkan kerusakan silia, tetapi hal ini gagal dibuktikan pada manusia (Soedarjatni 1993).

2.2.4.4 Fisiologis / fisik Dari pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak didapat perbedaan transportasi mukosiliar berdasarkan umur, jenis kelamin atau posisi saat tes. Soedarjatni terhadap penderita DM didapatkan kecepatan transportasi

mukosiliar 16,39 mm/menit yang berbeda bermakna dibanding kelompok kontrol yaitu 10,51 mm/menit (Soedarjatni 1993).

2.2.4.5 Obat-obatan Talbot dkk pada penelitiannya dengan menggunakan larutan garam hipertonik (NaCI 0,9 % pH 7,6) lebih dapat memperbaiki transportasi mukosiliar dibanding penggunaan larutan garam fisiologis (Talbot 1997). Gosepath dkk melakukan penelitian tentang pengaruh larutan topikal antibiotik (ofloxacin), antiseptic (betadin, H202), dan anti jamur (amphotericin B, itraconazole,clotrimazole) terhadap frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi ofloxacin sampai 50% dan konsentrasi itraconazole dari 0,25% menjadi 1% dapat menurunkan aktivitas silia. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemakaian obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur khususnya pada

xxxviii

konsentrasi

tinggi

dapat

merusak

fungsi

pembersih

mukosiliar

(Gosepath 2002). Scadding dkk pada pasien rinosinusitis kronis yang diberikan antibiotik dalam waktu lama (2 minggu dosis penuh dan 10 minggu dosis setengah) mendapatkan perbaikan frekwensi denyut silia dari 9,3 Hz menjadi 13,7 Hz (Scadding 1995).

2.2.4.6 Struktur dan anatomi hidung Fungsi mukosiliar secara lokal dapat terganggu akibat adanya kelainan struktur / anatomi hidung dan sinus. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar ( Rautiainen 1994; Weir 1997 ).

2.2.4.7 Infeksi Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa, terlepasnya sel-sel radang, dan perubahan pH. Endotoksin dari bakteri serta enzim proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia ( Waquespack 1995 ). Sakakura (1994) melaporkan transportasi mukosiliar pada sinusitis kronis adalah 31 menit yang secara signifikan lebih lambat dibanding kontrol

xxxix

normal. Kecepatan transportasi mukosiliar adalah 1,8 mm/menit, sedangkan pada orang normal adalah 5,8 mm/menit. Joki (1998) dkk melakukan penelitian pada 44 pasien sinusitis kronis dan rekuren. Rata-rata frekwensi denyut silia seluruh sampel adalah 9,1 Hz (SD 5,4) yang lebih rendah dibanding orang normal (11-16 Hz). Nuutinen (1993) dkk dalam penelitian terhadap 150 pasien sinusitis kronis

mendapatkan 23% silia tidak bergerak

2.3 Rokok 2.3.1 Dampak tembakau pada kesehatan Telah banyak terbukti bahwa dengan mengkonsumsi tembakau

berdampak pada status kesehatan . Diketahui pula bahwa komsumsi tembakau berkontribusi terhadap timbulnya , pneumonia, acute myeloid leukaemia, abdominal aortic aneurysm, kanker lambung, kanker

pancreas, kanker cerviks, kanker ginjal dan penyakit lainnya. Penyakitpenyakit ini menambah panjangnya daftar penyakit yang ditimbulkan oleh komsumsi tembakau seperti : kanker paru-paru, vesicle, oesophagus, larynx, mulut dan tenggorokan ; chronic pulmonary disease, emphysema dan bronkhitis; stroke, serangan jantung dan penyakit kardiovaskuler lainnya. Hampir 90% kanker paru-paru disebabkan oleh komsumsi

tembakau. Tembakau juga dapat merusak sistem reproduksi, berkontribusi kepada keguguran, premature delivery, low birth weight, sudden infant

xl

death dan penyakit-penyakit pada anak-anak, seperti attention hyperactivity deficit disorders (Gondodiputro 2007). Namun demikian tidak hanya perokok saja yang berisiko mendapatkan

penyakit- penyakit tersebut, tetapi masyarakat banyak yang terpapar oleh asap rokok yang kita kenal dengan passive smoking. Telah terbukti bahwa passive smokers pun berisiko untuk terkena penyakit kardiovaskuler, kanker paru, asthma, dan penyakit paru lainnya (Gondodiputro 2007). Kebiasaan merokok mengubah bentuk jaringan saluran nafas dan fungsi pembersih menghilang, saluran membengkak dan menyempit.

Seseorang yang menunjukkan gejala batuk berat selama paling kurang 3 bulan pada setiap tahun berjalan selama 2 tahun, dinyatakan mengidap bronchitis kronik. Hal tersebut terjadi pada separuh perokok diatas umur 40 tahun. Bronkus yang melemah kolaps sehingga udara tidak bisa disalurkan dan alveoli melebar menimbulkan empisema paru paru. Kerusakan

saluran napas umumnya dan paru paru pada khususnya tersebut dipengaruhi oleh beberapa mekanisme di bawah ini sehingga terjadi penyakit paru obstruksi kronik ( Amin 1995 ; Gondodiputro 2007). Asap rokok juga akan menimbulkan kerusakan lokal mukosa saluran pernafasan, antara lain hilangnya fungsi silia untuk menghalau benda asing, sehingga debu / bahan-bahan polutan yang lain akan lebih mudah masuk ke paru-paru. Debu sendiri dapat menyebabkan peradangan di saluran pernafasan dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Interaksi antara rokok dan debu merupakan interaksi dua faktor ( Amin 1995).

xli

2.3.2 Zat kimia yang terdapat dalam tembakau Tembakau merupakan tanaman yang dapat menimbulkan adiksi karena mengandung nikotin dan juga zat-zat karsinogen serta zat-zat

beracun lainnya. Setelah diolah menjadi suatu produk apakah rokok atau produk lain , zat-zat kimia yang ditambahkan berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan tubuh serta kanker ( Gondodiputro 2007 ). Tembakau mengandung kurang lebih 4000 elemen elemen dan setidaknya 200 diantaranya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada tembakau adalah tar, nikotin, dan CO. Selain itu, dalam sebatang tembakau juga mengandung bahan bahan kimia lain yang beracunnya ( Gondodiputro 2007 ; Vinies et al 2004). Zat zat beracun yang terdapat dalam tembakau antara lain: Hydrogen Cyanide (Poison used in gas chambers), Ammonia (Floor tak kalah

cleaner), Toluene (Industrial solvent), Acetone (Paint stripper), Methanol (Rocket fuel),Napthalene (Mothballs), Carbon Monoxide (Poisonous gas in car exhausts),Vinyl Chloride, Dimethylnitrosamine, Arsenic (White ant poison), DDT (Insecticide), Urethane, Dibenzacridine, Pyrene, Cadmium (Used in car batteries), Benzopyrene, Naphthylamine (Known cancercausing substances), Butane (Lighter fuel), Phenol,Polonium-210 dan Toluidine ( Gondodiputro 2007 ; Vinies et al 2004).

xlii

1. Karbon Monoksida (CO) Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat arang/ karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat mencapai 3% - 6%, dan gas ini dapat dihisap oleh siapa saja. seorang yang merokok hanya akan menghisap 1/3 bagian saja, yaitu arus tengah, sedangkan arus pinggir akan tetap berada di luar. Sesudah itu perokok tidak akan menelan semua asap tetapi ia semburkan lagi keluar. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen, sehingga setiap ada asap tembakau, disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah Co dan bukan oksigen. Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan spasme, yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila proses mudah ini berlangsung terus-menerus, rusak dengan terjadinya maka pembuluh darah akan

proses aterosklerosis (penyempitan).

Penyempitan pembuluh darah akan terjadi di mana-mana ( Gondodiputro 2007 ; Suheni 2007).

2. Nikotin Nikotin yang terkandung dalam rokok adalah sebesar 0.5 3 nanogram, dan semuanya diserap sehingga di dalam cairan darah ada sekitar 40 50 nanogram nikotin setiap 1 mlnya. Nikotin bukan

merupakan komponen karsinogenik. Hasil pembusukan panas dari nikotin

xliii

seperti dibensakridin, dibensokarbasol, dan nitrosaminelah yang bersifat karsinogenik. Pada paru paru, nikotin akan menghambat aktivitas

silia. Selain itu, nikotin juga memiliki efek adiktif dan psikoaktif. Perokok akan merasakan kenikmatan dan kecemasan berkurang, toleransi dan keterikatan fisik. Hal inilah yang menyebabkan mengapa sekali merokok susah untuk berhenti. Efek nikotin menyebabkan perangsangan terhadap hormone kathelokamin (adrenalin) yang bersifat memacu jantung dan tekanan tekanan darah. darah Jantung akan tidak diberikan kesempatan tinggi, yang istirahat dan

semakin

mengakibatkan timbulnya trombosit.

hipertensi.Efek

lain adalah merangsang berkelompoknya

Trombosit akan menggumpal dan akan menyumbat pembuluh darah yang sudah sempit akibat CO ( Gondodiputro 2007 ; Suheni 2007 ).

3. Tar Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan

menempel pada paru - paru. Kadar tar dalam tembakau antara 0.5 35 mg/ batang. Tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada jalan nafas dan paru paru ( Gondodiputro 2007; Suheni 2007).

4. Kadmium Kadmium adalah zat yang dapat meracuni jaringan tubuh terutama ginjal ( Gondodiputro 2007 ).

xliv

5. Amoniak Amoniak merupakan gas yang tidak berwarna terdiri dari nitrogen dan hidrogen. Zat ini tajam baunya dan sangat merangsang. Begitu kerasnya racun yang ada pada ammonia sehingga jika masuk sedikit pun ke dalam peredaran darah akan mengakibatkan seseorang pingsan atau koma ( Gondodiputro 2007 ).

6.HCN/ Asam Sianida HCN merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi pernafasan dan merusak saluran pernafasan ( Gondodiputro 2007 ).

7.Nitrous Oxide Nitros Oxide merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terhisap dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan dan rasa sakit. Nitrous Oxide ini pada mulanya dapat digunakan sebagai pembius saat melakukan operasi oleh dokter. ( Gondodiputro,2007 )

8. Formaldehid Formaldehid adalah sejenis gas dengan bau tajam. Gas ini tergolong sebagai pengawet dan pembasmi hama. das ini juga sangat beracun terhadap semua organisme hidup ( Gondodiputro 2007 ).

xlv

9. Fenol Fenol adalah campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi beberapa zat organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar arang.Zat ini beracun dan membahayakan karena fenol ini terikat ke protein sehingga menghalangi aktivitas enzim ( Gondodiputro 2007 ).

10. Asetol Asetol adalah hasil pemanasan aldehid dan mudah menguap dengan alcohol ( Gondodiputro 2007 ).

11. H2S ( Asam Sulfida ) Asam sulfide adalah sejenis gas yang beracun yang mudah terbakar dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oksidasi enzim

( Gondodiputro 2007 ).

12. Piridin Piridin adalah sejenis cairan tidak berwarna dengan bau tajam. Zat ini dapat digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama ( Gondodiputro 2007 ).

xlvi

13. Metil Klorida Metil Klorida adalah campuran dari zat zat bervalensi satu dengan hidrokarbon sebagai unsur utama. zat ini adalah senyawa organik yang beracun ( Gondodiputro 2007 ).

14. Metanol Metanol adalah sejenis cairan ringan yang mudah menguap dan mudah terbakar. Meminum atau menghisap methanol mengakibatkan

kebutaan bahkan kematian ( Gondodiputro 2007 ).

15. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons ( PAH ) Senyawa hidrokarbon aromatik yang memiliki cincin dideskripsikan sebagai Fused Ring System atau PAH. Beberapa PAH yang terdapat dalam asap tembakau antara lain Benzo (a) Pyrene, Dibenz (a,h) anthracene, dan Benz(a)anthracene. Senyawa ini merupakan senyawa

reaktif yang cenderung membentuk epoksida yang metabolitnya bersifat genotoksik. Senyawa tersebut merupakan penyebab tumor (Gondodiputro 2007).

16. N- nitrosamina N - nitrosamina dibentuk oleh nirtrasasi amina. Asap tembakau mengandung 2 jenis utama N- nitrosamina, yaitu Volatile N- Nitrosamina (VNA) dan Tobacco N- Nitrosamina. Hampir semua Volatile N- Nitrosamina

xlvii

ditahan oleh sistem pernafasan pada inhalasi asap tembak (Gondodiputro 2007).

2.3.3 Pengaruh rokok terhadap mukosa hidung Berdasarkan pada struktur anatomi hidung dan sinus paranasal, maka udara yang dihirup akan berkontak langsung dengan membrane mukosiliar dan silia silia epitel ( Isawa et al, 1984 ). Asap rokok dapat menurunkan resistensi hidung terhadap aliran udara. Individu individu yang terpapar asap rokok akan menyebabkan terjadinya iritasi dan rhinorrhea. Keadaan keadaan tersebut berhubungan dengan respon hipersensitif dan alergi ( Bissesi 1994 ). Pada perokok cenderung lebih banyak menderita sinusitis

dibandingkan dengan bukan perokok. Keadaan ini mungkin sebagai akibat oedem membran sinus yang disebabkan oleh pengaruh dari tembakau dan akibat dari berkurangnya aktivitas sel sel epitel saluran pernafasan ( Dye et al, 1994 ). Oedem membran sinus cenderung menyebabkan muara sinus menyempit, dimana pada keadaan tersebut gerakan silia melemah sehingga menghalangi transportasi keluar mukosa dan bakteri dari dalam sinus ( Bouquot et al 1992 ). Transportasi Mukosiliar Hidung merupakan marker biologis dari fungsi mukosa itu. Pada perokok akan menunjukkan TMS yang abnormal ( Bisesi 1994 ). Stanley et al (1986) pada penelitian efek merokok terhadap

pembersihan mukosiliar hidung, mendapatkan bahwa perokok memiliki waktu

xlviii

pembersihan

mukosiliar

hidung

yang

lebih

panjang

20,8

menit)

dibandingkan pada bukan perokok (11,1 menit). Suatu yang dapat menyebabkan obstruksi muara rongga sinus maka dalam rongga sinus akan terjadi suatu keadaan hipoventilasi. Keadaan hipoventilasi ini dapat menyebabkan keadaan : a. Vasodilatasi di submukosa sehingga menimbulkan transudasi. b. Aktivitas gerakan mukosilia menurun atau disfungsi mukosilia. Dengan adanya transudasi tersebut merupakan media yang sangat bak untuk pertumbuhan bakteri sehingga dengan demikian cairan transudat akan berubah menjadi eksudat. Adanya disfungsi mukosilia akan menyebabkan gerakan silia tidak dapat melakukan aktivitasnya, sehingga dengan demikian akan terjadi stagnansi mukus di sinus. Adanya infeksi bakteri pada mukosa sinus atau hidung dapat menyebabkan akumulasi netrofil atau migrasi sel -sel radang lainnya dan menstimulir sekresi cairan atau bahkan merusak lapisan mukosa. Keadaan ini dapat terjadi oleh karena dilepaskannya mediator mediator seperti vasoaktif, amine, protease, metabolit asam

arachidonat, kompleks imun dan polisakarida. Dengan adanya mediator mediator tersebut maka terjadilah keadaan disfungsi

mukosilia sehingga bakteri mudah invasive dan akhirnya terjadi kerusakan jaringan ( Ballenger 1996 ).

xlix

Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap dan pola rokok tersebut. Faktor lain yang turut mempengaruhi akibat pajanan rokok antara lain usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya hisapan dan lain lain ( Drastyawan et al, 2001 ). Berdasarkan lamanya merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut : merokok selama kurang dari 10 tahun, antara 10 20 tahun, dan lebih dari 20 tahun (Kollapan dan Gopi 2002 ; Solak et al 2005 ). Jumlah rokok yang dihisap dapat dinyatakan dalam pack years, setara dengan berapa bungkus yang dihisap dalam satu hari ( 1 bungkus = 20 batang ) dikalikan lamanya merokok dalam tahun ( Drastyawan, 2001 ). Klasifikasi menurut jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan sebagai berikut : ( 1 10 batang perhari ), sedang ringan

( 11 20 batang perhari ) dan

berat ( lebih dari 20 batang perhari ) ( Kollapan dan Gopi 2002 ; Solak et al 2005 ).

Вам также может понравиться