Вы находитесь на странице: 1из 25

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1. Perkembangan PPN dan PPnBM di Indonesia Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai berlaku secara de facto di Indonesia pada 1 April 1985. PPN ini menggantikan Pajak Penjualan (PPn) secara umum, dimana UU tentang PPN ini mencakup pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan untuk Barang Mewah (PPnBM). Setelah itu, sampai dengan tahun 2012 UU PPN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan, yaitu pada tahun 1994, tahun 2000, dan tahun 2009. Dari sejak pemberlakuannya, realisasi penerimaan dari sektor PPN terus meningkat dan merupakan penyumbang yang signifikan dari sektor penerimaan pajak. Tabel 4.1

Grafik Realisasi Penerimaan PPN/PPnBM Tahun 1984 s.d. 2012

Realisasi PPN/PPnBM (milyar rp)

400000 300000 200000 100000 0 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Diolah dari Nota Keuangan Tahun 1984 s.d. 2012 Penerimaan PPN/PPnBM di Indonesia secara umum terus meningkat rentang periode 1984 sampai dengan 2012. Secara rata-rata, dari sejak tahun 1984 sampai dengan 2012 penerimaan PPN/PPnBM sebesar Rp74, 213 trilyun, dimana pada periode 1984 sampai tahun 1993 penerimaan rata-rata sebesar Rp7,156 trilyun, kemudian meningkat pada periode 1993 sampai dengan 2000 dengan penerimaan rata-rata sebesar Rp26, 698 trilyun. Penerimaan rata-rata pada periode tahun 2000 sampai dengan 2009 sebesar Rp118, 421 trilyun. Dan kemudian dari

periode sejak pemberlakuan UU Nomor 42 Tahun 2009 sampai dengan akhir tahun 2012 penerimaan PPn/PPnBM rata-rata sebesar Rp281, 978 trilyun. Seperti terlihat pada tabel 4.1, penerimaan PPN/PPnBM terus tumbuh tiap tahunnya dengan tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada thaun 1985 yaitu sebesar 151%. Pertumbuhan yang sangat tinggi ini dipengaruhi oleh perubahan kebijakan PPN/PPnBM di Indonesia, dimana pada tahun 1985 adalah tahun secara de facto UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah berlaku yang merupakan UU PPN pertama menggantikan UU Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pajak Penjualan. Pertumbuhan negatif terjadi pada tahun 2009 sebesar 7,9% dari penerimaan tahun 2008. Penurunan ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang memburuk pada rentang periode 2008-2009. Krisis global ini mempengaruhi penurunan pada nilai impor Indonesia yang merupakan salah satu sumber penerimaan PPN/PPnBM, selain itu secara sektoral PPN/PPnBM pertambangan yang turun drastic, seperti yang terlihat pada tabel 4.4 dimana penerimaan PPN/PPnBM pada sektor pertambangan turun pada periode 2009-2010 dan naik melambat sampai dengan tahun 2012. 4.2. Perkembangan Produk Domestik Bruto Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan pada tahun 2011 PDB Indonesiamenduduki peringkat ke-16 dunia. Untuk penelitian dengan menggunakan Indeks Divisia ini, PDB yang digunakan adalah PDB nominal karena data realisasi penerimaan PPN/PPnBm juga nilai nominal. PDB nominal atau PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. PDB nominal ini dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan perubahan struktur ekonomi. Tabel 4.2

Grafik PDB Nominal Tahun 1984 s.d. 2012


PDB nominal (milyar rp) 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0

Diolah dari Badan Pusat Statistik PDB Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata PDB sebesar Rp1.987 trilyun selama rentang periode 1984 sampai dengan 2012. Ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998, perekonomian Indonesia memburuk, berdampak pada melambatnya peningkatan PDB nominal Indonesia. Secara riil, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada tahun 1998-1999 tersebut. 4.3. Variabel Penelitian 4.3.1. Realisasi Penerimaan PPN/PPnBM Variabel terikat (Y) dalam penelitian ini adalah data realisasi penerimaan PPN/PPnBM untuk periode tahun 1984 sampai dengan tahun 2012. 4.3.2. Produk Domestik Bruto Data PDB yang digunakan untuk estimasi elastisitas penerimaan pajak menggunakan Indeks Divisia adalah data PDB nominal untuk periode tahun 1984 sampai dengan tahun 2012. Menurut Mankiw (), PDB adalah 4.3.3. Nilai Tambah Per Sektor Perhitungan PDB suatu negara dapat diperoleh melalui penjumlahan seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha. Atau dalam kata lain, nilai tambah sektoral merupakan bagian nilai output semua sektor yang diakumulasikan dalam PDB. Sehingga data nilai tambah per sektor adalah data PDB menurut sektor lapangan usaha. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik mengelompokkan lapangan usaha menjadi 9 (sembilan) sektor, yaitu sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih,

1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

konstruksi, perdagangan, hotel, dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa lainnya. Data variabel dependen menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2005 s.d. 2012, penerimaan PPN/PPnBM didominasi oleh 3 (tiga) sektor utama, yaitu industri pengolahan, perdagangan, dan pertambangan. Sehingga basis yang digunakan dalam estimasi elastisitas penerimaan PPN/PPnBM ini adalah nilai tambah sektor industri pengolahan, perdagangan, dan pertambangan. 4.3.3.1. Nilai Tambah Sektor Industri Pengolahan Dilihat secara sektoral PDB, Indonesia mulai mengalami perubahan struktur ekonomi pada tahun 1991, dimana sektor pertanian yang pada tahuntahun sebelumnya selalu menjadi kontributor utama dan tertinggi PDB Indonesia telah digeser oleh sektor industri pengolahan. Mulai sejak tahun 1991, sektor industri pengolahan sampai sekarang menjadi penyumbang tertinggi PDB Indonesia. Tabel 4.3.

Industri Pengolahan
PDB Nominal dalam milyar rp 2,500,000.00 2,000,000.00 1,500,000.00 1,000,000.00 500,000.00 0.00

Selama periode tahun 1984 sampai dengan 2012, rata-rata nilai tambah sektor industri pengolahan sebesar Rp516 trilyun tiap tahunnya. 4.3.3.2. Nilai Tambah Sektor Perdagangan Seiring tumbuhnya dan makin terbukanya perekonomian, sektor

perdagangan, hotel, dan restoran sebagai penunjang kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa juga terus mengalami pertumbuhan positif. Selama

periode tahun 1984 sampai dengan 2012, rata-rata nilai tambah sektor perdagangan ini sebesar Rp292 trilyun. Tabel 4.4.

Perdagangan,Hotel&Restoran
PDB Nominal dalam milyar rp 1,400,000.00 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00

4.3.3.3. Nilai Tambah Sektor Pertambangan Tabel 4.5.

Pertambangan&Penggalian
PDB Nominal dalam milyar rp 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 0.00

4.3.4. Nilai Konsumsi Rumah Tangga dan Pemerintah Pada dasarnya, PPN/PPnBM adalah pajak yang dikenakan untuk konsumsi. PPN di Indonesia adalah tipe konsumsi dimana semua pembelian barang modal dikurangkan dari perhitungan nilai tambah, sehingga dasar pengenaan PPN hanya pada pembelian untuk keperluan konsumsi, sedangkan

pembelian barang produksi dan barang modal tidak termasuk. Oleh karena hal tersebut, tidak terjadi pengenaan pajak lebih dari satu kali terhadap barang modal. Sehingga nilai konsumsi rumah tangga (C) dan pengeluaran pemerintah (G) juga menjadi basis PPN/PPnBM. 4.3.4.1. Nilai Konsumsi Rumah Tangga Nilai PDB menurut pengeluaran sampai saat ini masih didominasi oleh tingkat konsumsi rumah tangga (C) sebagai pengguna akhir barang dan jasa. Dari waktu ke waktu, konsumsi masyarakat cenderung naik. Dengan proxy konsumsi rumah tangga dari tahun 1984 sampai dengan 2012, rata-rata konsumsi rumah tangga tiap tahunnya sebesar Rp1192 trilyun. Tabel 4.6.

Konsumsi Rumah Tangga


5000000 4500000 4000000 3500000 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 Konsumsi RT dalam milyar rp

4.3.4.2. Nilai Pengeluaran Pemerintah Pemerintah (negara) berperan penting dalam perekonomian pada sebuah negara berkembang. Pemerintah sebagai pemegang otoritas fiskal sangat berperan dalam setiap kebijakan yang diambil khususnya kebijakan dalam government expenditure atau pengeluaran pemerintah yang dapat memberikan multiplier effect pada area makro sebuah negara. Pengeluaran pemerintah yang tercermin dalam pos belanja di APBN selalu meningkat tiap tahunnya. Tabel 4.7.

Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran Pemerintah dlm milyar rp 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 1984 2500000 Nilai impor dalam milyar rp 2000000 1500000 1000000 500000 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006

Dari periode tahun 1984 sampai dengan 2012, pengeluaran pemerintah rata-rata sebesar Rp169,35 trilyun. 4.3.5. Nilai Impor Di dalam UU PPN disebutkan bahwa dasar pengenaan pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Menurut definisi tersebut, nilai impor (M) juga merupakan basis pemungutan PPN/PPnBM. Nilai PPN yang berasal dari impor cukup signifikan sehingga juga menjadi andalan untuk menggenjot penerimaan PPN/PPnBM. Tabel 4.8.

2008

2010

2012

Impor

Perkembangan impor Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Dengan proxy impor tahun 1984 sampai dengan 2012, nilai rata-rata impor per tahun sebesar Rp515,2 trilyun. Peningkatan impor yang cukup signifikan terjadi pada periode 2004 sampai dengan 2008. Pada tahun 2004, impor Indonesia meningkat sebesar 42,9% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, peningkatan impor juga sangat tinggi. sementara itu, penurunan impor terjadi pada tahun 1999 ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi dan pada tahun 2009 ketika dunia dilanda krisis global. Penurunan impor pada tahun 2009 sebesar 15,6% dari tahun sebelumnya. Penurunan impor ini juga berimbas pada penurunan penerimaan PPN dari impor. Kemudian, impor kembali meningkat mulai tahun 2010 sampai sekarang. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, menurut kelompok hasil industri, yang berperan besar dalam impor Indonesia adalah kelompok hasil industri besi baja, mesin-mesin, dan otomotif. Tabel 4.9.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kelompok Hasil Industri Besi Baja, Mesinmesin dan Otomotif Elektronika Kimia Dasar Makanan dan Minuman Tekstil Alat-alat Listrik Pulp dan Kertas Pupuk Barang-barang Kimia lainnya Makanan Ternak 2007 2008 2009 2010 2011 Peran tahun 2011 (%) 41,61% 12,78% 12,22% 5,43% 5,34% 2,99% 2,59% 2,15% 2,06% 1,76%

20.501 4.005 7.105 3.563 1.192 1.116 1.693 794 1.343 1.149

39.925 13.448 10.555 3.090 3.902 2.460 2.518 2.549 1.917 1.742

31.684 10.497 8.095 2.811 3.397 2.106 1.883 929 1.662 1.679

43.219 14.176 11.431 4.514 5.031 3.143 2.732 1.509 2.199 1.872

52.472 16.117 15.413 6.852 6.735 3.769 3.263 2.707 2.592 2.220

Sumber:Kementerian Perindustrian RI, dalam jutaan US $ 4.4. Estimasi Elastisitas dan Buoyansi PPN dan PPnBM Dalam mengestimasi elastisitas PPN/PPnBM, ada tiga tahapan pengukuran dengan menggunakan metode Indeks Divisia. Pertama, menghitung estimasi buoyansi PPN/PPnBM melalui regresi sederhana dengan OLS. Kedua, mengukur efek diskresi PPN/PPnBM dengan metode Indeks Divisia. Langkah terakhir,

mengestimasi elastisitas PPN/PPnBM berdasarkan hasil yang diperoleh pada tahap pertama dan kedua. 4.4.1. Estimasi Buoyansi PPN/PPnBM Persamaan OLS untuk mengukur estimasi buoyansi PPN/PPnBM Ln PPN = + ln PDB

Dimana PPN merupakan realisasi penerimaan PPN/PPnBM dan PDB adalah PDB nominal untuk periode tahun 1984/1985 sampai dengan tahun 2012. Pada regresi pertama kali diperoleh hasil sebagai berikut
Dependent Variable: LOG(PPN) Method: Least Squares Date: 04/26/13 Time: 16:19 Sample: 1984 2012 Included observations: 29 Variable C LOG(PDB) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Coefficient -4.410392 1.075745 0.972220 0.971191 0.272384 2.003209 -2.397307 944.9326 0.000000 Std. Error 0.479682 0.034995 t-Statistic -9.194405 30.73976 Prob. 0.0000 0.0000 10.25272 1.604798 0.303263 0.397559 0.332795 0.563014

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

Penggunaan metode OLS harus memenuhi asumsi-asumsi tertentu. Asumsiasumsi tertentu OLS akan menghasilkan estimator yang mempunyai sifat tidak bias, linier, dan mempunyai varian yang minimum, atau lebih dikenal dengan estimator BLUE (best linear unbiased estimators). Untuk itu, harus dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi tersebut atau langkah uji asumsi klasik sebagai berikut: a) Uji asumsi berkaitan dengan adanya hubungan antara variabel independen dalam regresi berganda (multikolinearitas) Multikolinearitas dapat terjadi jika variabel independen lebih dari satu variabel. Oleh karena pada penelitian ini hanya terdapat 1 (satu) variabel bebas, PDB, maka tidak ditemukan masalah multikolinearitas ini. b) Uji asumsi terkait adanya varian variabel gangguan yang tidak konstan (heteroskedastisitas)

Jika terjadi heteroskedastisitas, maka menurut Widarjono (2009, 117) estimator akan mempunyai karakteristik: 1) Estimator metode OLS masih linear 2) Estimator metode OLS masih tidak bias 3) Namun estimator metode OLS tidak lagi mempunyai varian yang minimum (no longer best) Apabila estimator tidak lagi mempunyai varian yang minimum, maka konsekuensinya: 1) Menyebabkan perhitungan standard error metode OLS tidak lagi bisa dipercaya kebenarannya. 2) Akibatnya, interval estimasi maupun uji hipotesis yang didasarkan pada distribusi t maupun F tidak lagi bisa dipercaya untuk evaluasi hasil regresi. Menurut Winarno (2009, 5.8), ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi ada tidaknya masalah heteroskedastisitas, yaitu: 1) Metode grafik 2) Uji Park 3) Uji Glejser 4) Uji Korelasi Spearman 5) Uji Goldfeld-Quandt 6) Uji Bruesch-Pagan-Gogfrey 7) Uji White Dalam pengujian ini, yang digunakan adalah uji White. Berikut adalah tampilan uji White dengan Eviews 6
Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS 3.609930 3.420066 14.07648 Prob. F(1,27) Prob. Chi-Square(1) Prob. Chi-Square(1) 0.0682 0.0644 0.0002

Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 04/26/13 Time: 17:06 Sample: 1984 2012 Included observations: 29 Variable C Coefficient 0.417394 Std. Error 0.187321 t-Statistic 2.228231 Prob. 0.0344

(LOG(PDB))^2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

-0.001854 0.117933 0.085264 0.207193 1.159081 5.535969 3.609930 0.068165

0.000976

-1.899982

0.0682 0.069076 0.216634 -0.243860 -0.149564 -0.214328 1.103725

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,1179. Nilai Chi square hitung sebesar 3,4200 diperoleh dari informasi Obs*R-squared yaitu jumlah observasi dikalikan dengan koefisien determinasi. Sedangkan nilai kritis chi square (2) pada = 5% dengan df 1 adalah 3,84. Karena nilai chi squares (2) hitung lebih kecil dari nilai kritis chi square (2), dapat disimpulkan bahwa tidak ada masalah

heteroskedastisitas. Tidak adanya heteroskedastisitas juga bisa dilihat dari nilai probabilitas chi squares sebesar 0,0682 (6,82%) lebih besar dari = 5% yang berarti tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan dengan uji White (no cross term), tidak ada masalah heteroskedastisitas. c) Uji asumsi berkaitan dengan adanya hubungan variabel gangguan antara satu observasi dengan observasi yang lain (autokorelasi) Autokorelasi dapat terjadi karena beberapa sebab. Menurut Gujarati (2003) seperti dikutip oleh Winarno (2009, 5.26), beberapa penyebab autokorelasi adalah: 1) Data mengandung pergerakan naik turun secara musiman, misalnya kondisi perekonomian suatu negara yang kadang menaik dan kadang menurun. 2) Kekeliruan memanipulasi data, misalnya data tahunan dijadikan data kuartalan dengan membagi empat. 3) Data runtut waktu yang dapat mengakibatkan adanya hubungan antara data sekarang dan data periode sebelumnya. 4) Data yang dianalisis tidak bersifat stasioner. Apabila data yang dianalisis mengandung autokorelasi 1) Estimator metode OLS masih linear 2) Estimator metode OLS masih tidak bias

3) Namun estimator metode OLS tidak lagi mempunyai varian yang minimum (no longer best) Apabila estimator tidak lagi mempunyai varian yang minimum, maka konsekuensinya: 1) Menyebabkan perhitungan standard error metode OLS tidak lagi bisa dipercaya kebenarannya. 2) Akibatnya, interval estimasi maupun uji hipotesis yang didasarkan pada distribusi t maupun F tidak lagi bisa dipercaya untuk evaluasi hasil regresi. Untuk mendeteksi ada tidaknya masalah autokorelasi, menurut Widarjono (2009, 144) dapat dilakukan dengan metode: 1) Metode Durbin-Watson (DW) 2) Metode Breusch-Godfrey Pada penelitian ini, uji autokorelasi menggunakan uji Durbin-Watson. Uji ini relatif mudah dilakukan karena informasi nilai statistik hitung d selalu diinformasikan setiap program komputer (Widarjono, 2009, 147). Penentuan ada tidaknya autokorelasi tampak dalam tabel berikut Uji Statistik Durbin Watson Nilai Statistik d 0 < d < dL d L < d < dU dU d 4- dU 4- dU d 4-dL 4-dL d 4 Hasil menolak hipotesis nol; ada autorelasi positif daerah keragu-raguan; tidak ada keputusan menerima hipotesis nol; tidak ada autokorelasi daerah keragu-raguan; tidak ada keputusan menolak hipotesis nol; ada autokorelasi negatif

Sumber: Widarjono (2009, 146) Dari hasil olah Eviews di atas, diperolah nilai statistik hitung d sebesar 0,5630. Nilai kritis d pada =5% dengan n=29 dan k=1, dL = 1,119 dan dU = 1,254. Dengan angka tersebut, nilai 4-dU dan 4-dL masing-masing adalah 2,746 dan 2,881. Karena nilai statistik hitung d terletak antara 0 dan dL, dapat disimpulkan bahwa ada masalah autokorelasi. Selanjutnya, agar estimator memenuhi kriteria BLUE, masalah autokorelasi harus disembuhkan terlebih dahulu. Salah satu cara untuk mengatasi masalah autokorelasi adalah dengan menambahkan AR(p) dan atau

MA(q) pada model regresi yang digunakan. Oleh sebab itu, dalam persamaan OLS ini ditambahkan lag AR(1). Sehingga hasil olah Eviews akan menjadi seperti berikut setelah ditambahkan lag AR(1)
Dependent Variable: LOG(PPN) Method: Least Squares Date: 04/26/13 Time: 21:06 Sample(adjusted): 1985 2012 Included observations: 28 after adjusting endpoints Convergence achieved after 5 iterations Variable C LOG(PDB) AR(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Inverted AR Roots Coefficient -3.174596 0.991428 0.437312 0.995054 0.994658 0.108560 0.294630 24.02906 1.655462 .44 Std. Error 0.402621 0.028568 0.077702 t-Statistic -7.884816 34.70458 5.628101 Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 10.37699 1.485363 -1.502075 -1.359339 2514.829 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)

Dari hasil olah Eviews setelah penyesuaian atas autokorelasi di atas, diketahui bahwa nilai statistik d adalah 1,6554. Nilai ini berada di antara dU dan 4-dU, sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi tidak mengalami masalah autokorelasi lagi. Uji terhadap ada tidaknya autokorelasi juga dapat dilakukan dengan uji Breusch-Godfrey. Berikut adalah tampilan hasil uji Breusch-Godfrey:
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared 0.836701 1.899020 Probability Probability 0.445899 0.386931

Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 04/26/13 Time: 21:32 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable C LOG(PDB) AR(1) RESID(-1) RESID(-2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Coefficient -0.140965 0.009874 -0.043965 0.165062 0.218156 0.067822 -0.094296 0.109276 0.274648 25.01230 1.808545 Std. Error 0.420996 0.029836 0.086656 0.223241 0.212633 t-Statistic -0.334837 0.330960 -0.507356 0.739390 1.025973 Prob. 0.7408 0.7437 0.6167 0.4672 0.3156 1.96E-12 0.104462 -1.429450 -1.191556 0.418351 0.793679

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)

Dari hasil uji Breush-Godfrey di atas, dapat disimpulkan bahwa setelah adanya treatment terhadap autokorelasi dengan penambahan AR(1), tidak lagi terjadi autokorelasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0,3869 (38,69%) jauh lebih besar dari nilai =5%. Selain uji asumsi klasik di atas, salah satu asumsi dalam analisis statistika adalah data berdistribusi normal. Dalam analisis multivariate, menurut Winarno (2009, 5.37), para peneliti menggunakan pedoman kalau tiap variabel terdiri atas 30 data, maka data sudah berdistribusi normal. Dari pengujian-pengujian asumsi klasik atas regresi OLS di atas, diperoleh persamaan sebagai berikut: Ln PPN t R2 DW = -3.17 + 0.99 ln PDB (-7.88) = 0.995 = 1.655 (34.704)

Hasil estimasi buoyansi PPN/PPnBM menunjukkan angka koefisien adalah 0.99 ( 1), artinya setiap 1% perubahan PDB akan menyebabkan perubahan penerimaan PPN/PPnBM yang berkisar 1% juga. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan PDB bersifat buoyant terhadap perubahan penerimaan PPN/PPnBM. Selanjutnya hasil olah Eviews dievaluasi menurut kriteria statistik, ekonometrika, dan ekonomi. Evaluasi kriteria statistika ditunjukkan oleh nilai probabilitas, R-squared (goodness of fit), dan probabilitas F. a) Probabilitas

b) R-squared Koefisien determinasi R-squared atau disebut sebagai goodness of fit, yang menunjukkan informasi baik atau tidaknya model regresi yang diestimasi. Atau dapat dikatakan bahwa angka R-squared mengukur seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data sesungguhnya. Pada tabel hasil olah Eviews menunjukkan nilai R-squared adalah 0.9950, yang artinya variasi penerimaan PPN/PPnBM dapat dijelaskan oleh variasi PDB sebesar 99,5%, sedangkan selebihnya diterangkan oleh variabel lain.

c)

Standard Error of the Regression (SER) Standard error of the regression adalah merupakan ikhtisar yang mengukur akar dari varian yang diukur berdasarkan nilai residual dari regresi yang kita lakukan dengan model yang ada. Semakin kecil nilai SER maka model dinilai semakin baik

d) Sum of Squared Residuals (SSR) Sum of squared residuals tidak jauh berbeda dengan S.E of regression. Ia merupakan jumlah kuadrat dari kesalah (residual) dari model regresi yang kita gunakan. Semakin besar nilai SSR ini berarti model memiliki kecocokan yang buruk e) Log Likelihood Nilai dari log likelihood function merupakan evaluasi terhadap nilai parameter yang kita duga dalam regresi. Perhitungan nilai log likelihood menggunakan asumsi bahwa error terdistribusi secara normal. Likelihood ratio tests merupakan tes yang mengukur perbedaan antara nilai log likelihood untuk model restricted and nilai log likelihood untuk model unrestricted dari persamaan yang kita gunakansemula. Semakin besar nilai log likelihood tes maka model yang kita gunkan semakin baik. f) Akaike info criterion Nilai dari Akaike Information Criterion (AIC) dihitung dengan formula: AIC=2l/T-2k/T Dimana l adalah nilai log likelihood diatas l=-T/2(1+log(2)+log(/T)) AIC sering kali digunakan seleksi terhadap nilai alternatif dari non-nested, dimana nilai AIC yang lebih kecil dianggap sebagai hasil yang lebih baik. Misalnya anda ingin menggunakan lag dari variable dalam model maka panjang distribusi lag yang digunakan adalah yang meminimumkannilai AIC ini g) Schwarz criterion Schwarz Criterion (SC) merupakan alternatif dari AIC dimana SC memberikan penalty terhadap penambahan variable bebas. SC dihitung dengan menggunakan formula:

SC=2l/T+(k logT)/T 4.4.2. Perhitungan Efek Diskresi PPN/PPnBM Tahap kedua pada metode divisia adalah perhitungan efek diskresi pajak. Pada lampiran x diperoleh hasil untuk efek diskresi PPN/PPnBM sebesar 0,018. Hal ini menunjukkan efek kebijakan diskresi PPN/PPnBM relatif kecil untuk menaikkan buoyansi PPN/PPnBM. Basis yang digunakan dalam tahap ini adalah nilai tambah sektor pertambangan dan penggalian, nilai tambah sektor industri pengolahan, nilai tambah sektor perdagangan, nilai konsumsi rumah tangga, nilai konsumsi pemerintah, dan nilai impor, selama periode tahun 1984 sampai dengan tahun 2012.

4.4.2. Estimasi Elastisitas PPN/PPnBM Tahap selanjutnya adalah menghitung estimasi elastisitas PPN/PPnBM. Estimasi elastisitas diperoleh dari perhitungan: r = Ed dimana r = nilai koefisien elastisitas PPN = nilai koefisien buoyansi

Ed = nilai koefisien kebijakan diskresi PPN Sehingga diperoleh nilai koefisien elastisitas PPN/PPnBM sebagai berikut: r = 0.99 0.018 = 0.972 Angka 0.972 masih kurang dari sifat elastis uniter, tapi hampir mendekati. Dapat disimpulkan bahwa koefisien elastisitas PPN tidak terlalu jauh nilainya dari koefisien buoyansinya. 4.5. Estimasi Buoyancy PPN/PPnBM Dengan Model Double Log Dalam penelitian ini, model regresi yang digunakan adalah model regresi linier sederhana, dimana satu variabel terikat dijelaskan oleh satu variabel bebas. Menurut Nachrowi dan Usman (2006, 7), model regresi linier sederhana merupakan suatu model yang parameternya linier dan secara kuantitatif dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya.

Meskipun demikian, model tersebut memiliki kelemahan yaitu pada kenyataannya tidak semua sebaran data mempunyai bentuk yang linier, sehingga membuat regresi dengan model linier dapat menimbulkan kesalahan dalam analisis (Gujarati, diterjemahkan Sumarno Zain, 1978, 34). Berdasarkan kelemahan regresi linier tersebut, maka perlu dilakukan transformasi model. Dalam estimasi buoyancy pajak digunakan model Log-Log atau disebut juga model Double Log atau model Elastisitas Konstan (Gujarati, 1978, 50). Dalam model Double Log, koefisien buoyancy antara T dan Y selalu konstan, artinya jika ln Y berubah 1 unit, perubahan ln T akan selalu sama meskipun buoyancy tersebut diukur pada ln Y mana saja. Oleh sebab itu model ini disebut juga model Elastisitas Konstan. Koefisien buoyancy, 1, yang konstan dapat dimodelkan ln Tt = ln0 + 1lnYt + ut Buoyancy didefinisikan sebagai berikut:

Berdasarkan persamaan di atas, jika Y (PDB) naik sebesar 1 %, maka T (penerimaan pajak) akan berubah sebesar 1% (1>0). Untuk memperoleh 0 dan 1 pada persamaan di atas, metode yang digunakan sama untuk mengestimasi parameter regresi sederhana, yaitu metode kuadrat terkecil (OLS). Dengan menggunakan model Double Log ini, data nominal PDB dan penerimaan PPN/PPnBM harus disesuaikan terlebih dahulu menjadi nilai konstan. Sehingga data PDB yang digunakan adalah data PDB berdasarkan harga konstan tahun 2000, dan data nominal penerimaan pajak disesuaikan dengan harga konstan tahun 2000. Pada regresi awal menggunakan Eviews 6, seperti yang diperoleh pada lampiran x, hasil estimasi sebagai berikut: a. Nilai koefisien 1 adalah 1.896, yang menunjukkan bahwa jika PDB berubah sebesar 1% maka penerimaan PPN/PPnBM akan berubah sebesar 1.89%, artinya PPN/PPnBM bersifat elastis/buoyant terhadap perubahan PDB. b. Pada uji asumsi klasik, terjadi pelanggaran terhadap asumsi OLS, yaitu terjadinya autokorelasi, yang ditunjukkan dengan angka pada Durbin Watson stat 0.756634

Untuk mengatasi terjadinya autokorelasi, dapat ditambahkan lag AR(1) pada persamaan. Setelah penyesuaian terhadap pelanggaran asumsi klasik, diperoleh hasil olah Eviews sebagai berikut: a. Nilai koefisien 1 adalah 1.650380, artinya jika PDB berubah sebesar 1% maka penerimaan PPN/PPnBM akan berubah sebesar 1.65% yang menunjukkan bahwa PPN/PPnBM bersifat buoyant terhadap perubahan PDB. b. Koefisien determinasi goodness of fit menunjukan angka 0.9784, yang artinya variasi pada penerimaan PPN/PPnBM dapat dijelaskan oleh variasi pada PDB sebesar 97,84%, sementara selebihnya diterangkan oleh variabel lain. c. Uji asumsi klasik menunjukkan bahwa persamaan regresi dan data tidak menunjukkan autokorelasi. Penggunaan model Double Log tidak dapat menjelaskan berapa persen perubahan penerimaan PPN/PPnBM setiap 1% perubahan PDB apabila kebijakan di bidang PPN/PPnBM tidak mengalami perubahan, sehingga tidak dapat diketahui berapa perubahan penerimaan PPN/PPnBM yang hanya dipengaruhi oleh PDB (elastisitas). Penggunaan model Double Log hanya dapat mengestimasi buoyansi pajak, bukan elastisitas pajak. 4.6. Estimasi Elastisitas Titik Per Sektor Periode 2005 s.d. 2012 Untuk menentukan derajat elastisitas penerimaan pajak juga dapat diukur melalui elastisitas titik. Elastisitas titik ini mengukur tingkat elastisitas penerimaan pajak di antara dua tahun yang berdekatan (point elasticity). Data yang akan digunakan dalam pengukuran elastisitas titik ini adalah data penerimaan PPN/PPnBM per sektor selama periode 2005 sampai dengan 2012 dan data PDB per sektor selama periode 2005 sampai dengan 2012. Klasifikasi sektor adalah klasifikasi yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik, yaitu 9 sektor, meliputi sektor pertanian, pertambangan, industry pengolahan, listrik, gas, dan air bersih, konstruksi, perdagangan, hotel, dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa lainnya. Tabel 4.10. permasalahan multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan

Produk Domestik Bruto per Sektor Tahun 2005 s.d. 2012


2500000 pertanian pertambangan 2000000 industri pengolahan 1500000 listrik, gas, dan air bersih konstruksi 1000000 perdagangan,hotel,restoran 500000 pengangkutan dan komunikasi keuangan,real estate,jasa perusahaan jasa lainnya

Produk Domestik Bruto (dalam milyar rp)

Berdasarkan grafik di atas, sektor-sektor yang mendominasi PDB di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir (tahun 2005 s.d. 2012) adalah sektor industri pengolahan, pertanian, perdagangan, dan pertambangan. Tabel 4.11.

Penerimaan PPN/PPnBM Tahun 2005 s.d. 2012


180000 pertanian 160000 Penerimaan PPN/PPnBM (dalam milyar rp) pertambangan 140000 industri pengolahan 120000 listrik, gas, dan air bersih 100000 konstruksi 80000 perdagangan,hotel,restoran 60000 40000 20000 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 pengangkutan dan komunikasi keuangan,real estate,jasa perusahaan jasa lainnya

Berdasarkan data penerimaan PPN/PPnBM per sektor selama periode 2005 sampai dengan 2012, secara umum penerimaan PPN/PPnBM didominasi oleh 3 (tiga) sektor yaitu sektor pertambangan, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Akan tetapi pada tahun 2010, sektor pertambangan menunjukkan penurunan yang cukup signifikan, dan tidak lagi masuk dalam tiga besar sektor penyumbang penerimaan PPN/PPnBM. Selain itu, data penerimaan PPN/PPnBM selama periode tersebut juga menunjukkan variasi pada derajat elastisitas masing-masing sektor. Untuk periode setelah perubahan UU PPN tahun 2009, sektor yang menunjukkan elastisitas tertinggi terhadap PDB adalah sektor industri pengolahan, dengan elastisitas 10, 698, artinya setiap 1% perubahan PDB terjadi perubahan pada penerimaan PPN/PPnBM sebesar 10,698%. Tabel 4.12.

Elastisitas PPN/PPnBM per Sektor


12.0000 10.0000 8.0000 Koefisien Elastisitas 6.0000 4.0000 2.0000 0.0000 -2.0000 -4.0000 -6.0000 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 pertanian pertambangan industri listrik konstruksi perdagangan pengangkutan keuangan jasa

4.7. Analisis Saat ini Kementerian Keuangan RI telah menerapkan beberapa model yang dipakai sebagai alat untuk menghitung target penerimaan perpajakan, yaitu: 1) Model Monitoring Penerimaan Perpajakn (Model Bulanan); 2) Model Target Penerimaan Perpajakan (Model Tahunan); 3) Model Dampak Kebijakan terhadap Penerimaan Perpajakan; 4) Model Perhitungan Potensi Penerimaan Perpajakan; 5) Model Target Penerimaan Perpajakan per Sektor. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (Tim Formulasi Model-Model Penerimaan Perpajakan Dalam Rangka Target Penerimaan Perpajakan Negara, Bidang Kebijakan PK APBN 2009), Model Monitoring Penerimaan Perpajakan (Model Bulanan) digunakan untuk mencatat realisasi penerimaan perpajakan secara berkala setiap bulan untuk memantau perkembangan realisasi perpajakan. Realisasasi penerimaan perpajakan tersebut digunakan sebagai dasar untuk menentukan target penerimaan perpajakan secara bulanan dan juga sebagai perkiraan realisasi (outlook) selama satu tahun anggaran. Hasil dari perkiraan realisasi selama satu tahun anggaran tersebut selanjutnya digunakan sebagai baseline dalam perhitungan proyeksi penerimaan pajak tahun berikutnya dengan memperhatikan berbagai pengaruh dari beberapa indikator ekonomi makro. Pengaruh kebijakan perpajakan yang diambil oleh pemerintah pada tahun tertentu terhadap penerimaan perpajakan dihitung dengan menggunakan model dampak kebijakan terhadap penerimaan perpajakan. Hasil dari perhitungan tersebut akan dipakai sebagai faktor penambah (potential gain)

ataupun faktor pengurang (potential loss) terhadap perhitungan proyeksi penerimaan pajak tahun berikutnya. Kemudian, dalam rangka menghasilkan angka target yang lebih realistis, terus dilakukan upaya penyempurnaan dan pengembangan terhadap kelima model tersebut. Model proyeksi penerimaan tersebut mempergunakan pendekatan buoyansi penerimaan perpajakan, dimana nilai elastisitas yang diperoleh tidak memisahkan antara elastisitas otomatis dan buoyansi. Elastisitas otomatis yang dimaksud adalah nilai elastisitas penerimaan pajak terhadap basis pajak, jika kebijakan pajak tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, metode Indeks Divisia digunakan dalam penelitian ini untuk memisahkan antara buoyansi dan elastisitas, sehingga juga dapat diketahui efek dari kebijakan diskresi terhadap penerimaan pajak. Dari hasil perhitungan menggunakan metode Indeks Divisia yang diperoleh pada subbab-subbab sebelumnya, diketahui bahwa penerimaan PPN/PPNBM ini bersifat elastic dan buoyant uniter. Nilai koefisien buoyansi bersifat sebesar 0,99, artinya jika PDB berubah sebesar 0,99% maka penerimaan PPN/PPnBM juga akan berubah sebesar 0,99%, relatif mendekati 1 atau dengan kata lain, perubahan atas PDB Indonesia sebanding dengan perubahan atas penerimaan PPN/PPnBM. Koefisien elastisitas otomatis dari penerimaan PPN/PPnBM ini sebesar 0,972, relatif tidak begitu jauh dari nilai koefisien buoyansinya. Hal ini menunjukkan efek kebijakan diskresi relatif kecil, sebesar 0,018. Sementara dengan menggunakan model double log, hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan PPN/PPnBM bersifat buoyant terhadap perubahan PDB. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien buoyansi yang diperoleh sebesar 1,65, lebih besar daripada hasil koefisien buoyansi menggunakan Indeks Divisia. Akan tetapi, model double log ini tidak dapat menunjukkan efek dari kebijakan diskresi itu sendiri, karena tidak memisahkan pengaruh efek kebijakan diskresi dan elastisitas otomatis jika kebijakan diskresi tidak berubah. Hasil dengan metode Indeks Divisia ini sejalan untuk hasil koefisien elastisitas dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sjafri (2006) tentang Analisis Tentang Penerimaan Pajak sebagai Fungsi dari Produk Domestik

BrutoKaitannya dengan Tax Buoyancy dan Elastisitas Pajak di Indonesia, dimana hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa koefisien buoyansi PPN/PPnBM sebesar 1,24 dan koefisien elastisitas sebesar 0,97. Hal tersebut dapat dipahami karena dalam penelitian Sjafri, data series yang digunakan adalah data dari tahun 1970 sampai dengan 2006 dan metode yang digunakan adalah dummy variable, sedangkan penelitian ini menggunakan data series tahun 1984 sampai dengan 2012 dan menggunakan metode Indeks Divisia. Akan tetapi untuk hasil elastisitas otomatis menunjukkan koefisien yang sama, sebesar 0,97, yang menunjukkan penerimaan PPN/PPnBM kurang elastis terhadap perubahan PDB jika kebijakan diskresi bersifat konstan. Pelambatan pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM terhadap pertumbuhan PDB dapat disebabkan karena meningkatnya rasio jumlah nilai transaksi atas barang dan/atau jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN terhadap PDB, terutama sejak pemberlakuan UU Nomor 42 Tahun 2009, dimana pengecualian atas transaksi atas barang dan/atau jasa yang dikenakan PPN makin banyak dibandingkan dengan perubahan-perubahan UU sebelumnya. Penyebab lainnya antara lain juga karena tingginya nilai restitusi PPN. Beberapa transaksi yang dikecualikan antara lain: 1) BKP yang dialihkan dalam rangka restrukturisasi usaha. Menurut UU yang baru, menjadi tidak dikenakan PPN, dengan syarat semua perusahaan yang terlibat telah terdafttar sebagai PKP. 2) Barang hasil pertambangan. Pada awalnya hanya pasir dan kerikil yang dikecualikan PPN. Kemudian diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, menjadi Tidak dikenakan PPN (disesuaikan dengan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah), yaitu asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit. 3) Jasa-jasa tertentu yang sebelumnya dikenakan PPN menjadi tidak dikenakan PPN melalui UU Nomor 42 Tahun 2009, yaitu jasa di bidang penyediaan

tempat parkir, Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa pengiriman uang dengan wesel pos, dan jasa boga/katering. Koefisien buoyansi yang relatif kurang dari uniter ini dapat juga diakibatkan oleh berubahnya batasan Pengusaha Kecil. Sebelum 1 Januari 2000, untuk pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tidak lebih dari Rp240 juta dan tidak lebih dari Rp120juta untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) disebut Pengusaha Kecil. Sedangkan mulai 1 Januari 2000, batasan untuk BKP tersebut berubah menjadi tidak lebih dari Rp360juta dan tidak lebih dari Rp180juta untuk JKP. Kemudian, melalui KMK 571/KMK.03/2003, kebijakan tersebut diubah lagi menjadi Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp.600.000.0000,- (enam ratus juta rupiah). KMK tersebut dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010, yang menegaskan bahwa batasan untuk Pengusaha Kecil adalah penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600juta. Hasil penelitian selanjutnya dengan elastisitas titik yang menggunakan data penerimaan PPN/PPnBM sektoral dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2012, diketahui bahwa dalam periode tahun tersebut elastisitas penerimaan PPN/PPnBM sangat bervariasi. Elastisitas tertinggi pada periode tersebut terjadi pada sektor industri pengolahan dengan koefisien elastisitas sebesar 10,69 yang terjadi pada tahun 2010, yang merupakan tahun pemberlakuan UU PPN perubahan ketiga melalui UU Nomor 42 Tahun 2009. Elastisitas yang cukup tinggi juga dialami sektor pertanian pada tahun 2010 dengan koefisien elastisitas sebesar 7,28. Sementara elastisitas negatif tertinggi ditunjukkan oleh sektor pertambangan pada tahun 2010 dengan koefisien -3,61, yang artinya kenaikan PDB sebesar 1% justru direspon dengan turunnya penerimaan PPN/PPnBM sektor ini sebesar 3,61%. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan karena pada tahun 2007, elastisitas sektor pertambangan ini positif pada angka 3,47. Untuk meningkatkan elastisitas penerimaan pajak,

Khusus mengenai barang mewah, elastisitas permintaan, yaitu perubahan jumlah permintaan akibat perubahan harga barang tersebut, bersifat elastis, dan umumnya elastisitasnya lebih dari 1. Seperti dinyatakan oleh Mankiw (1998, 90), Necessities tend to have inelastic demands, whereas luxuries have elastic demands. Sehingga apabila tarif pajak yang dikenakan lebih tinggi, maka permintaan terhadap barang mewah akan turun, karena kenaikan tarif pajak akan meningkatkan harga jual. Suatu barang yang sifatnya elastis, apabila harga naik, maka permintaan akan barang tersebut akan jauh lebih turun, dimana persentase penurunan akan lebih tinggi daripada persentase kenaikan harganya. Dan sebaliknya, jika harga barang tersebut turun, maka permintaan akan naik, dimana persentase kenaikan permintaan barang akan melebihi persentase penurunan harga, ceteris paribus. Dapat disimpulkan jika tarif atas pajak penjualan atas barang mewah dinaikkan, maka harga yang harus dibayar oleh konsumen akan lebih tinggi, maka berdampak pada turunnya permintaan akan barang mewah tersebut. Jika jumlah penjualan barang mewah turun, maka bisa saja penerimaan pajak atas penjualan barang mewah ini juga turun.

Perbaikan sistem administrasi PPN sudah mulai diterapkan. Hasilnya juga sudah mulai tampak, ditunjukkan dengan peningkatan realisasi penerimaan PPN/PPnBM sebesar 21% pada tahun 2012. Penertiban administrasi dilaksanakan dengan: a) melakukan registrasi ulang para PKP yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) diseluruh Indonesia b) meningkatkan pengawasan dalam menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak saat membuat Faktur Pajak, karena Faktur Pajak merupakan dokumen kunci dalam sistem administrasi PPN Pengawasan dalam penerbitan Faktur Pajak (FP) diatur dalam PER 24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tatacara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tatacara Pembetulan atau Penggantian dan Tatacara Pembatalan Faktur Pajak. Penggunaan Kode Aktivitas Faktur Pajak dan Password diberlakukan bagi permohonan Nomor Seri Faktur Pajak baru yang berlaku efektif per 1 April 2013.

Вам также может понравиться