Вы находитесь на странице: 1из 16

DOMESTIC VIOLENCE

Nama Nim Pembimbing

: Lia hariyani : 110.2006.150 : Dr. Miranti Pusparini MPd

Kelompok 5 Bidang kepemitraan Domestic Violence

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ( No. 23 TAHUN 2004, PASAL1) DITINJAU DARI SEGI PENANGANAN PSIKOLOGIS PASCA KEKERASAN DAN PENCEGAHANNYA

ABSTRAK LATAR BELAKANG : KDRT segala bentuk tindak kekerasan yang biasanya dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. biasanya, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. PRESENTASI KASUS : Terjadi tindak kekerasan Tuan. D terhadap istrinya Ny. L disebabkan tangisan anaknya yang mengakibatkan luka memar pada bagian dada , kepala dan lengan dan gangguan prilaku . DISKUSI DAN KESIMPULAN ; Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan; menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan; mempromosikan kesetaraan jender. Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. LATAR BELAKANG Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan, Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit.

Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.kekerasan dalam lingkup rumah tangga, seperti dengan memukul atau menampar istrinya, menendang, dan memaki-maki dengan ucapan yang kotor. Kultur budaya masyarakat yang mengedepankan laki-laki dapat dipastikan posisi perempuan bersifat subordinasi terhadap laki-laki. Segala bentuk kekerasan yang terjadi bagi perempuan selalu mempunyai legitimasi cultural masyarakat, karena memang posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki.Banyaknya faktor yang mendorong tindakan kekerasan terhadap istri, bahkan dari faktor psikologis pun dapat membentuk perilaku kekerasan terhadap istri, salah satu contoh tindakan kekerasan seperti kekerasan seksualitas yang dilakukan suami terhadap istri. Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga. Bedasarkan hal tersebut diatas dalam laporan kasus ini penulis akan menjelaskan pentingnya penanganan pasca kekerasan pada korban kdrt dan pencegahan yang bisa dilakukan.

PRESENTASI KASUS NY. L datang ke polres untuk mengadukan suaminya Tuan . D karna tindakan kekerasan yang dilakukan suaminya. Tuan D menduduki jabatan di dalam instansi pemerintahan.Mereka menikah pada tahun 1992 sah secara agama maupun hukum mereka dikaruniai 2 orang anak .Sebelumnya hubungan keluarga sudah kurang harmonis Tuan D sering melakukan tindakan kekerasan kecil sejak awal pernikahan. Awal mula terjadi tindak kekerasan pada pagi hari saat Ny. L hendak mengambil baju dikamar anak nya terlihat suaminya tuan D sedang dalam keadaan masih tertidur .tiba tiba Tuan D terbangun sambil marah marah dan membanting barang di sekitarnya karna melihat di luar kamar anak mereka Yang paling kecil menangis tanpa diketahui sebab nya.
2

Tuan D menuduh Ny. L yang membuat anak mereka menangis .ny. L tidak terima dan membantah tuduhan suami karena dalam keadaan emosi tuan D menendang bagian dada sang istri hingga sang istri terjatuh sejauh satu meter.belum puas melihat sang istri terjatuh tuan D mengambil sapu kayu dan memukul kan nya ke daerah kepala dan lengan beberapa kali hingga memar tanpa memperdulikan anak anak nya melihat kejadian pemukulan tersebut. Akibat kejadian itu ny. L pergi dari rumah meninggalkan suami dan membawa kedua anakya ke rumah orang tua ny. L . dengan sebelumnya ny. L melaporkan tindakan suaminya itu dan melakukan visum. Setelah jelang satu minggu ny. L pulang kerumah dengan kedua anak nya tanpa dijemput ataupun dibujuk rayu oleh sang suami itu semua karna bujuk rayu dari saudara saudara ny.L. Saat ini sikap sang ny. L berubah menjadi dingin terhadap suami dan menjadi ketakutan apabila dekat dekat dengan sang suami , menutup diri dari lingkungan luar dan sudah tidak merawat diri sehingga terlihat seperti tidak terawat. Melihat sikap istrinya seperti itu tuan D tidak melakukan tindakan apapun untuk memperbaiki menurut pengakuan ny.L sang suami tuan D sikapnya semakin menjadi jadi emosi lebih tidak dapat dikontrol.

DISKUSI Dilihat dari kasus diatas diskriminasi gender antara posisi seorang pria sebagai suami dan istri. Adalah faktor utama yang mengakibatkan gangguan gangguan psikologis yang di derita oleh sang istri sebagai korban . Keharmonisan dan keutuhan rumah tangga merupakan dambaan setiap orang yang berada dalam biduk rumah tangga. Akan tetapi, perkembangan dewasa ini menunjukkan banyak terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga (KDRT), dan yang menjadi korban kebanyakan perempuan (istri) dan anak-anak. Selama ini, KDRT dianggap sebagai masalah privat sehingga tidak boleh ada campur tangan negara dalam penyelesaian tindak kekerasan tersebut. Hal ini sangat erat kaitannya dengan budaya masyarakat yang menganggap bahwa segala hal yang terjadi dalam rumah tangga, termasuk tindak kekerasan, merupakan suatu aib yang harus ditutup rapat. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 1 angka 1) Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya keseng-saraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 angka 1).
3

Lingkup Rumah Tangga (Pasal 2) Yang termasuk cakupan rumah tangga adalah: suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersang-kutan. Asas Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 3) penghormatan hak asasi manusia; keadilan dan kesetaraan gender, yakni suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewu-judkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsu-ngan rumah tangga secara proporsional. nondiskriminasi; dan perlindungan korban. Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 4) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera Hal itu dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi atau dalam keadaan yang terhimpit Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotipi gender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat, bahwa menguasai atau memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap perempuan.

Saat ini dengan berlakunya undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga disetujui tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan suami istri tetapi sudah menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut mencegah dan mengawasi bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam : 1. Kekerasan fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya. 2. Kekerasan psikologis / emosional Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
5

3. Kekerasan seksual Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. 4. Kekerasan ekonomi Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri . Sedangkan Faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam Rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.Fenomenanya antara lain ditunjukkan dengan adanya sejumlah mitos atau anggapan budaya yang akhirnya menjadi norma sosial seperti berikut ini 2. Kuatnya pandangan bahwa KDRT adalah masalah privat sehingga harus diselesaikan secara privat antara suami istri. Hal ini juga dikaitkan dengan ideologi harmonisasi keluarga yang terutama bebannya dilekatkan pada peran istri sebagai penjaga norma keluarga. 3. Masih dipegangnya mitos-mitos tentang institusi keluarga. Dalam salah satu mitos ditekankan bahwa istri berkewajiban mengabdi pada suami sebagai kepala rumah tangga. Bentuk pengabdian ini antara lain menjaga nama baik suami, yang sekaligus diartikan sebagai nama baik keluarga. Oleh karena itu, melaporkan perilaku suami yang tidak berkenan di hati istri selalu ditafsirkan masyarakat sebagai suatu pelanggaran terhadap nama baik keluarga. Hanya istri yang tidak baiklah yang akan melakukan hal tersebut. Dalam filsafat hidup orang Jawa, dikenal perkataan olo meneng, becik meneng (baik atau buruk harus tetap tutup mulut) atau swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka ikut atau baik buruk suami, istri harus tetap mengikuti). 4. Masalah ketergantungan ekonomi pada suami sebagai pencari nafkah menyebabkan istri (dan seringkali disertai dengan desakan seluruh anggota keluarga) merasa tidak perlu melaporkan KDRT yang dilakukan suami terhadap diri ataupun terhadap anak-anaknya. Karena kalau suami sampai ditahan akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan ekonomi keluarga.

5. Istri merasa takut terhadap suami yang akan bertambah buas terhadap dirinya atau terhadap anggota keluarga lainnya, khususnya anak-anak, kalau ia melapor pada pihak yang berwenang. Biasanya dalam kasus-kasus KDRT, pelaku juga melakukan tekanan psikis berupa ancaman supaya istri tidak melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki suami, termasuk menceritakan kekerasan yang dilakukannya pada orang lain. Ancaman-ancaman tersebut diiringi dengan ancaman selanjutnya berupa sanksi seperti akan diceraikan, ditinggal pergi, orang-orang yang disayangi oleh sang istri akan dibunuh, hingga si istri sendiri yang akan dibunuh. 6. Adanya anggapan bahwa suami melakukan KDRT sebagai salah satu bukti dari rasa cintanya pada istri dan anak. Anggapan ini berasal dari stereotipe seksual laki-laki yang antara lain menempatkan laki-laki sebagai makhluk agresif, kuat, terbiasa dengan cara-cara yang berkualitas dan berkuantitas kekerasan dalam menyelesaikan setiap masalah. Akibatnya, dalam menghadapi masalah keluarga, cara-cara kekerasan yang dilakukan suami merupakan hal yang dilegitimasi secara sosial. Hal tersebut juga dilegitimasi oleh penafsiran agama yang seakan membenarkan perilaku KDRT oleh suami sebagai cara untuk mendidik istri yang tidak taat pada suami. 7. Anggapan bahwa perempuan adalah pihak yang patut disalahkan (victim blaming), yang tercermin dalam ungkapan sehari-hari, misalnya Enggak bakalan laki-laki ngegebukin bininya kalau bukan salahnya si bini atau Lakinya bener-bener cinta sama bininya, tapi bininya aja yang kagak tau diri...Ya pantas aja kalau laki-lakinya jadi kesel, ditabok deh bininya buat kasi pelajaran... 8. Anggapan bahwa dalam masalah KDRT, tidak hanya pelaku yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut, tetapi juga sang istri (tidak ada asap kalau tidak ada api). Tidak ada empati yang diberikan kepada korban karena korban dianggap ikut berpartisipasi atas timbulnya KDRT tersebut (victim participating). 9. Adanya anggapan bahwa laki-laki (suami) sebagai pelaku sering mengalami kekerasan pada masa kecil atau remaja. Pengalaman pahit ini membekas dalam hidupnya dan secara tidak sengaja kekerasan yang dialaminya itu tampil dalam bentuk KDRT yang dilampiaskan pada istri dan anak-anaknya, yang diketahuinya dengan baik bahwa mereka tidak akan menentangnya atau berbalik melawannya. 10. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki dimana posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga Anggapan-anggapan tersebut telah diinternalisasi pada perempuan secara terus-menerus sebagai suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal. Anggapan-anggapan tersebut juga menjadi dasar pemikiran bahwa kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri hanya berlaku sesaat saja. Kalau
7

masalah yang menjadi sumber KDRT dapat diselesaikan secara baik-baik, maka suami tidak akan melakukan KDRT lagi. Kenyataannya, dalam konteks KDRT terdapat siklus kekerasan. Siklus ini terus berkelanjutan tanpa akhir, dimulai dari bulan madu, lalu perselisihan, kemudian terjadi KDRT, dan kembali lagi ke siklus bulan madu dan seterusnya. Pola ini membuat para korban (istri) tidak mudah keluar dari situasi KDRT yang dialami Tindakan tindakan kekerasan terhadap perempuan sering kali dilakukan, bahkan tindakan kekerasan menimbulkan kerusakan fisik dan tekanan-tekanan psikologis yang dirasakan oleh istri juga berdampak terhadap pola fikir istri misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan biasanya memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular terkadang, Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi. Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan. Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masing-masing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan me-manage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Penjabaran perilaku ang umumnya ditampilkan korban sebagai perwujudan dampak psikis dari kekerasan yang ia alami. Ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat dapat tampil dalam perilakuperilaku berikut ini 1) Kehilangan minat untuk merawat diri, yang tampil dalam perilaku menolak atau enggan makan/minum, makan tidak teratur, malas mandi atau berdandan, tampil berantakan seperti rambut kusut, pakaian awut-awutan;

2) Kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain, yang tampil dalam perilaku mengurung diri di kamar, tidak mau berhubungan dengan orang lain, cenderung diam, dan enggan bercakap-cakap 3) Perilaku depresif, tampil dalam bentuk pandangan mata kosong seperti menatap jauh ke depan, murung, banyak melamun, mudah menangis, sulit tidur atau sebaliknya terlalu banyak tidur, dan berpikir tentang kematian 4) Terganggunya aktivitas atau pekerjaan sehari-hari, seperti sering menjatuhkan barang tanpa sengaja, kurang teliti dalam bekerja yang ditunjukkan dengan banyaknya kesalahan yang tidak perlu, sering datang terlambat atau tidak masuk bekerja, tugas-tugas terlambat tidak sesuai tenggat waktu, tidak menyediakan makanan untuk anak padahal sebelumnya hal-hal ini dilakukannya secara rutin 5) Ketidakmampuan melihat kelebihan diri, tidak yakin dengan kemampuan diri, dan kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain yang dianggapnya lebih baik. Contohnya menganggap diri tidak memiliki kelebihan meski fakta yang ada menunjukkan hal sebaliknya, atau sering bertanya apakah yang ia lakukan sudah benar atau belum 6) Kehilangan keberanian untuk melakukan tindakan yang ditunjukkan dengan tidak berani mengungkapkan pendapat atau tidak berani mengingatkan pelaku jika bertindak salah; 7) Stres pascatrauma, yang tampil dalam bentuk mudah terkejut, selalu waspada; sangat takut bila melihat pelaku, orang yang mirip pelaku, benda-benda atau situasi yang mengingatkan akan kekerasan, gangguan kilas balik (flash back) seperti tiba-tiba disergap bayangan kejadian yang telah dialami, mimpi-mimpi buruk dan atau gangguan tidur 7) Kebingungan-kebingungan dan hilangnya orientasi, yang tampil dalam bentuk merasa sangat bingung, tidak tahu hendak melakukan apa atau harus bagaimana melakukannya, seperti orang linglung, bengong, mudah lupa akan banyak hal, terlihat tidak peduli pada keadaan sekitar, tidak konsentrasi bila diajak berbicara 8) Menyakiti diri sendiri atau melakukan percobaan bunuh diri; 9) Perilaku berlebihan dan tidak lazim seperti tertawa sendiri, bercakap-cakap sendiri, terus berbicara dan sulit dihentikan, pembicaraan kacau; melantur, berteriak-teriak, terlihat kacau tak mampu mengendalikan diri, berulang-ulang menyebut nama tertentu, misalnya nama pelaku tanpa sadar 10) Perilaku agresif, seperti menjadi kasar atau mudah marah terhadap anak/pekerja rumah tangga/staf atau rekan kerja, membalas kekasaran pelaku seperti mengucapkan kata-kata kasar, banyak mengeluhkan kekecewaan terhadap pelaku

11) Sakit tanpa ada penyebab medis (psikosomatis), seperti infeksi lambung, gangguan pencernaan, sakit kepala, namun dokter tidak menemukan penyebab medis, mudah merasa lelah, seperti tidak bertenaga, dan pegal/sakit/ngilu, tubuh sering gemetar 12) Khusus pada anak, dampak psikis muncul dalam bentuk: (a) mundur kembali ke fase perkembangan sebelumnya seperti kembali mengompol, tidak berani lagi tidur sendiri, kembali ingin terus berdekatan dengan orang lain yang dirasa memberi rasa aman, harus selalu ditemani, (b) gangguan perkembangan bahasa seperti keterlambatan perkembangan bahasa, gangguan bicara seperti gagap (c) depresi yang tampil dalam bentuk perilaku menolak ke sekolah; prestasi menurun; tidak dapat mengerjakan tugas sekolah atau pekerjaan rumah dengan baik yang ditandai dengan banyaknya kesalahan, kurangnya perhatian pada tugas atau pada penjelasan yang diberikan orang tua/guru, dan berbagai keluhan fisik 13) Dampak terhadap masyarakat Efek terhadap produktifitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya kontribusi terhadap masyarakat, kemampuan realisasi diri dan kinerja, dan cuti sakit bertambah sering

Cara mencegah agar tidak terjadi tindakan KDRT - Masyarakat harus menyadari bahwa KDRT sebagai masalah yang perlu diatasi - Menyebarluaskan produk hukum KDRT - Membekali perempuan dengan cara-cara penjagaan keselamatan diri - Peraturan mengenai KDRT UU RI no 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT yang selama ini dianggap sebagai persoalan pribadi atau keluarga sekarang ini telah menjadi masalah publik, karena persoalan KDRT ini tidak terlepas dari persoalan HAM, dilaksanakan untuk memelihara kebutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. UU no 23 tahun 2004 bertujuan untuk penghapusan KDRT dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan HAM, keadilan gender non diskriminasi dan perlindungan korban - Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) - Pasal 351-356 mengatur penganiayaan yang berarti hanya terbatas pada kekerasan fisik. Pelaku penganiayaan dapat di hukum denda atau penjara. - Pasal 286-299 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul. Di Indonesia pelaku penganiayaan diancam hukum denda atau penjara antara 8 bulan sampai 15 tahun. Bila korban adalah anggota keluarga dekat seperti bapak, ibu, istri dan anak-anak, ancaman bisa ditambah sepertiga dari pusat penganiayaan yang bersangkutan. Hak-Hak Korban (Pasal 10) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial , atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; Penanganan secara khusus berkaitan de-ngan kerahasiaan korban

10

Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan Pelayanan bimbingan rohani

Bentuk Perlindungan/Pelayanan Bagi Korban KEPOLISIAN: Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban (Pasal 16 ayat (1)). Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan (Pasal 16 ayat (3)). Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (Pasal 18). Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 19). Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang: identitas petugas untuk pengenalan kepada korban; kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan kewajiban kepolisian untuk melindungi korban (Pasal 20).

TENAGA KESEHATAN (Pasal 21 ayat (1)): Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi; Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. Pelayanan kesehatan tersebut dialkukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat

Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Pasal 21 ayat (2) PEKERJA SOSIAL (Pasal 22 ayat (1)): Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.

11

RELAWAN PENDAMPING (Pasal 23): Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan. Bentuk pelayanannya adalah: Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.

PEMBIMBING ROHANI (Pasal 24): Memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban. ADVOKAT (Pasal 25): Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan; Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

PENGADILAN: Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (Pasal 28). Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk (Pasal 31 ayat (1)): menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi, atau mengintimidasi korban.

12

KESIMPULAN Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana. Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga. Dan faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat antara lain mesupport secara psikologis korban, melakukan pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan crisis women centre Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan pengawasannya. Meningkatkan peran petugas kesehatan untuk ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan dampak yang terjadi pada gangguan psikisnya Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masing-masing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat

13

ACKNOWLEDGEMENT Terimaksih kepada Allah SWT dan dr. Miranti Pusparini MPd selaku tutor dr. Ferriyal Basbeth SPF. DFM yang membantu dan memberi saran serta penjelasan hingga laporan kasus ini dapat diselesaikan . Terimakasih pula kepada Bapak dan Ibu Polres Jakarta Pusat telah memberikan kesempatan untuk berkunjung dan mengumpulkan data. Tak lupa juga saya sematkan ucapan terimakasih kepada teman teman kelompok (Domestic Violence atas kerja samma dan kekompakan dalam mengumpulkaan informasi dan bahan selama kunjungan.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Ameepro 2. WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI. 3. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. dari www.depkes.go.id.

4. http://kompas.com. 5. Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga www.depkes.go.id. 6. wordpress.com/2008/09/15/memahami-psikologi-korban-kdrt-mengapa-perempuan-bertahan

15

Вам также может понравиться