Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
2.1
Pengertian Audit Forensik Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah
tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan. Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), forensic accounting/auditing merujuk kepada fraud examination. Dengan kata lain keduanya merupakan hal yang sama, yaitu: Forensic accounting is the application of accounting, auditing, and investigative skills to provide quantitative financial information about matters before the courts. Menurut D. Larry Crumbley, Editor-In-Chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA) Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif. Dengan demikian, audit forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria, yang
berupa kecurangan termasuk error, irregularity, dan fraud, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan. Karena sifat dasar dari audit forensik yang berfungsi untuk memberikan bukti di muka pengadilan, maka fungsi utama dari audit forensik adalah untuk melakukan audit investigasi terhadap tindak kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi ahli (litigation support) di pengadilan. Audit Forensik dapat bersifat proaktif maupun reaktif. Proaktif artinya audit forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan risiko terjadinya fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit tersebut akan menghasilkan red flag atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam dan investigatif akan dilakukan.
2.2
Perbedaan Audit Umum dengan Audit Forensik Perbandingan antara Audit Forensik dengan Audit Umum (Keuangan):
Audit Umum
Hubungan
Non-Adversarial
Metodologi Standar
Praduga
Professional Scepticism
Bukti awal
Perbedaan yang paling teknis antara Audit Forensik dan Audit Umum adalah pada masalah metodologi. Dalam Audit Umum, mungkin dikenal ada beberapa teknik audit yang digunakan. Teknik-teknik tersebut antara lain adalah prosedur analitis, analisa dokumen, observasi fisik, konfirmasi, review, dan sebagainya. Namun, dalam Audit Forensik, teknik yang digunakan sangatlah kompleks. Teknik-teknik yang digunakan dalam audit forensik sudah menjurus secara spesifik untuk menemukan adanya fraud. Teknik-teknik tersebut banyak yang bersifat mendeteksi fraud secara lebih mendalam dan bahkan hingga ke level mencari tahu siapa pelaku fraud. Oleh karena itu jangan heran bila teknik audit forensik mirip teknik yang digunakan detektif untuk menemukan pelaku tindak kriminal. Teknikteknik yang digunakan antara lain adalah metode kekayaan bersih, penelusuran jejak uang/aset, deteksi pencucian uang, analisa tanda tangan, analisa kamera tersembunyi (surveillance), wawancara mendalam, digital forensic, dan sebagainya.
2.3
Kompetensi yang harus dimiliki oleh Auditor Forensik Dalam rangka meningkatkan kinerja seorang auditor forensik dalam
mengungkap kecurangan yang ada diperlukan kompetensi-kompetensi khusus. Kompetensi yang dimiliki seorang auditor forensik ini penting untuk meningkatkan keyakinan masyarakat akan sebuah laporan keuangan yang andal dan relevan, terutama dari pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). Pihak-pihak yang berkepentingan yang dimaksud disini meliputi akademisi, akuntan forensik, dan ahli hukum. Dalam sebuah literatur asing berjudul Forensic Accounting, diungkap mengenai kompetensi-kompetensi khusus yang harus dimiliki oleh seorang auditor forensik meliputi : 1. Keterampilan auditing. 2. Pengetahuan dan keterampilan menginvestigasi. 3. Kriminologi yang secara khusus mempelajari psikologi kriminalitas. 4. Pengetahuan akuntansi secara umum. 5. Pengetahuan mengenai hukum. 6. Pengetahuan dan keterampilan mengenai teknologi informasi (TI). 7. Keterampilan berkomunikasi. Ketujuh kompetensi tersebut diambil berdasarkan opini-opini dari pihak-pihak yang berkepentingan. Selain itu, dari penelitian sebelumnya, ketujuh kompetensi dari berbagai opini dari pihak yang berkepentingan tersebut telah diuji secara empiris oleh
seorang peneliti dari Amerika, James A. Digabrielle di Amerika. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa terdapat perbedaan pandangan antara ketiga pihak yang berkepentingan tersebut, walaupun tidak terlalu signifikan. Dalam blog internet yang penulis temukan, terdapat sebuah pembahasan yang menarik sehubungan dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang auditor forensik menurut pandangan BPK dan Ahli hukum. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik menurut BPK dalam blog tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara adil, tidak memihak, sahih, akurat. 2. Kemampuan melaporkan fakta secara lengkap. 3. Memiliki pengetahuan dasar akuntansi dan audit yang kuat. 4. Mengenal perilaku manusia. 5. Pengetahuan tentang aspek yang mendorong terjadinya kecurangan. 6. Pengetahuan tentang hukum dan peraturan. 7. Pengetahuan tentang kriminologi dan viktimologi. 8. Pemahaman tentang pengendalian internal. 9. Kemampuan berpikir seperti pencuri (think like a theft). Sedangkan menurut Kumalahadi dari IAI, sebagai auditor forensik harus memiliki pengetahuan mengenalisa accounting, auditing, dan investigative skills ketika melakukan investigasi. Hal yang penting menurut beliau adalah kemampuan
10
untuk menanggapi segera dan mengkomunikasikan informasi keuangan secara jelas dan ringkas di sidang pengadilan. Selain itu, auditor forensik yang terpercaya harus memiliki karakteristik psikologis seperti curiosity, persistence, creativity, discretion, organization, confidencesound profesional judgement. Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Sudarmadji, Staff Ahli Akuntansi Forensik dari KAP Herry Susanto sekarang KAP Henry Sugeng. Beliau berpendapat bahwa seorang auditor forensik harus memiliki kemampuan teknis, psikologis, dan integritas. Oleh karena itu, menurut beliau pengetahuan mengenai psikologi audit diperlukan dalam pengungkapan kecurangan. Ahli hukum berpandangan bahwa seorang auditor forensik yang terpenting adalah harus mampu membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam sengketa, perumusan penghitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan atau pelanggaran kontrak. Kemudian penulis juga menemukan sebuah blog yang meresensi isi buku yang ditulis oleh seorang ahli forensik sekaligus seorang dosen di suatu universitas, M. Tuanakotta. Dalam resensi tersebut dikatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang auditor forensik adalah : 1. Pengetahuan yang mendetail mengenai prosedur akuntansi, standar akuntansi, peraturan perpajakan, perbankan, asuransi, dan praktek bisnis yang aktual. 2. Memiliki karakteristik khusus yaitu pengetahuan yang luas, intuisi yang tajam sekaligus rasa ingin tahu yang besar.
11
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis didapatkan bahwa masingmasing pihak yang berkepentingan dalam akuntansi forensik ini, memiliki pandangan yang berbeda satu dengan yang lain mengenai kompetensi yang penting dimiliki oleh seorang auditor forensik. Namun pada dasarnya, kompetensi yang harus dimiliki seorang auditor adalah kompetensi-kompetensi khusus yang berbeda dengan kompetensi yang dimiliki auditor laporan keuangan.
2.4
Strategi yang digunakan auditor forensik untuk memberantas kecurangan tergantung dari kasus yang dilakukan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai strategi yang digunakan dalam memberantas korupsi karena kasus kejahatan yang marak di Indonesia saat ini adalah korupsi. Menurut Exellent Lawyer (April 2010) dalam hal korupsi, auditor forensik mempergunakan standar audit yang berlaku. Standar audit lapangan yang kedua harus dilaksanakan dengan patuh sebagai langkah awal. Standar tersebut mengatakan : Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan untuk menentukan sifat, saat, dan luas pengujian yang akan dilakukan.
12
Perkembangan konsep pengendalian intern yang mutakhir harus dicermati oleh auditor forensik karena peranannya terbukti sangat besar dalam setiap audit. Auditor forensik harus mempelajari dan menakuni secara sungguh-sungguh konsep tersebut, khususnya yang menyangkut dengan lingkungan pengendalian (control environment) yang salah satu komponennya adalah komite audit yang sangat mempengaruhi hasil suatu audit. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa, modus operandi korupsi yang paling umum adalah mark-up pembelian atau pengeluaran, mark-down penjualan atau pemasukan, dan ditambah dengan pengambilan komisi yang dilakukan pada BUMN/BUMD, dan proyek atau lembaga pemerintah merupakan praktek yang merupakan bukan rahasia umum lagi. Hampir semua praktek dilakukan dengan sengaja dengan memanfaatkan kelemahan struktur pengendalian intern dan juga memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki dan dilakukan secara kolusi (collusion) dengan melibatkan beberapa pihak seperti pimpinan atau pejabat teras sehingga sulit untuk dilacak walaupun terlacak masalahnya langsung terkotakkan. Audit keuangan yang dilakukan oleh auditor forensik dapat saja menemukan praktek ini jika ia diberi kewenangan yang cukup ditambah dalam melaksanakan pekerjaannya, ia melakukannya secara taat standar audit. Undangundang yang menyangkut tindak korupsi di Indonesia (yaitu UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi), kita akan menjumpai bahwa undangundang ini selain memberi ganjaran terhadap pelakunya, juga menguraikan cara pelaksanaan dan bagaimana mengungkapkannya. Hanya saja untuk pembuktian
13
korupsi yang dilakukan melalui proses atau meminta bantuan auditor forensik sebagai orang yang ahli. Audit keuangan yang lazim mengharuskan auditor untuk menilai apakah laporan keuangan mengandung salah saji material sebagai akibat dari penyimpangan yang disengaja (irregularities) maupun yang tidak disengaja (errors). Standar audit yang umum pada dasarnya mampu mengetahui adanya kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja kecuali apabila dilakukan secara cepat dan dengan cara kolusi seperti dijelaskan di atas. Jika audit yang akan dilakukan untuk mengetahui penyimpangan dan kecurangan seperti korupsi, maka program audit harus diutamakan untuk maksud tersebut. Kemudian pengetahuan mengenai standar harga barang atau jasa dan pengetahuan pasarnya merupakan hal yang juga penting dikuasai oleh auditor forensik.
2.4.2
Prosedur audit forensik antara lain: 1. Identifikasi Masalah Dalam tahap ini, auditor melakukan pemahaman awal terhadap kasus yang hendak diungkap. Pemahaman awal ini berguna untuk
mempertajam analisa dan spesifikasi ruang lingkup sehingga audit bisa dilakukan secara tepat sasaran.
14
2. Pembicaraan dengan Klien Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pembahasan bersama klien terkait lingkup, kriteria, metodologi audit, limitasi, jangka waktu, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk membangun kesepahaman antara auditor dan klien terhadap penugasan audit. 3. Pemeriksaan Pendahuluan Dalam tahap ini, auditor melakukan pengumpulan data awal dan menganalisanya. Hasil pemeriksaan pendahulusan bisa dituangkan menggunakan matriks 5W + 2H (who, what, where, when, why, how, and how much). Investigasi dilakukan apabila sudah terpenuhi minimal 4W + 1H (who, what, where, when, and how much). Intinya, dalam proses ini auditor akan menentukan apakah investigasi lebih lanjut diperlukan atau tidak. 4. Pengembangan Rencana Pemeriksaan Dalam tahap ini, auditor akan menyusun dokumentasi kasus yang dihadapi, tujuan audit, prosedur pelaksanaan audit, serta tugas setiap individu dalam tim. Setelah diadministrasikan, maka akan dihasilkan konsep temuan. Konsep temuan ini kemudian akan dikomunikasikan bersama tim audit serta klien. 5. Pemeriksaan Lanjutan
15
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pengumpulan bukti serta melakukan analisa atasnya. Dalam tahap ini lah audit sebenarnya dijalankan. Auditor akan menjalankan teknik-teknik auditnya guna mengidentifikasi secara meyakinkan adanya fraud dan pelaku fraud tersebut. 6. Penyusunan Laporan Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit forensik. Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain adalah: 1. Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan. 2. Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai temuan. 3. Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya mencakup sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.
16
2.5
Praktek dan Kendala Audit Forensik di Indonesia 2.5.1 Praktek Audit Forensik di Indonesia
Dalam praktik di Indonesia, audit forensik hanya dilakukan oleh auditor BPK, BPKP, dan KPK (yang merupakan lembaga pemerintah) yang memiliki sertifikat CFE (Certified Fraud Examiners). Sebab, hingga saat ini belum ada sertifikat legal untuk audit forensik dalam lingkungan publik. Oleh karena itu, ilmu audit forensik dalam penerapannya di Indonesia hanya digunakan untuk deteksi dan investigasi fraud, deteksi kerugian keuangan, serta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan. Sementara itu, penggunaan ilmu audit forensik dalam mendeteksi risiko fraud dan uji tuntas dalam perusahaan swasta, belum dipraktikan di Indonesia. Penggunaan audit forensik oleh BPK maupun KPK ini ternyata terbukti memberi hasil yang luar biasa positif. Terbukti banyaknya kasus korupsi yang terungkap oleh BPK maupun KPK. Tentunya kita masih ingat kasus BLBI yang diungkap BPK. BPK mampu mengungkap penyimpangan BLBI sebesar Rp 84,8 Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp144,5 Trilyun. Temuan tersebut berimbas pada diadilinya beberapa mantan petinggi bank swasta nasional. Selain itu juga ada audit investigatif dan forensik terhadap bail out Bank Century yang dilakukan BPK meskipun memberikan hasil yang kurang maksimal karena faktor politis yang sedemikian kental dalam kasus tersebut.
17
2.5.2
Kendala-Kendala Audit Forensik di Indonesia Seperti dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan negara yang paling
parah penyakit korupsinya. Penyakit ini tidak hanya di monopoli oleh lembaga pemerintah, tetapi keberadaan penyakit ini di lembaga pemerintah harus disoroti sejalan dengan keinginan untuk untuk menciptakan sistem pemerintahan yang bersih (Good Government Governance). Sebenarnya Indonesia mempunyai lembagalembaga sebagai perangkat pengawas keuangan mulai dari tertinggi seperti badan pemeriksa keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan berbagai tingkat Inspektorat Sektoral dan Lintas Sektoral serta Kantor Akuntan Pulik yang dapat diminta untuk melaksanakan audit jika dirasakan ada indikasi tindak pidana korupsi. Namun yang terjadi sampai detik ini kasus korupsi baik kecil maupun besar masih saja sulit diberantas, bahkan cenderung meningkat. Penyebab utama yang mungkin adalah karena kelemahan audit pemerintahan Indonesia. Mardiasmo (2000 dalam Exellent Lawyer, April 2010) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam audit forensik di Indonesia, yaitu: Pertama, tidak tersedianya performance indicator yang memadai sebagai dasar untuk mengukur kinerja pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun daerah. Hal tersebut umum dialami oleh organisasi publik karena output yang dihasilkannya berupa pelayanan publik yang tidak mudah diukur. Kelemahan pertama ini bersifat inheren.
18
Kedua, terkait dengan masalah struktur lembaga audit terhadap pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Permasalahannya adalah banyaknya lembaga pemeriksa fungsional yang overlapping satu dengan lainnya yang menyebabkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan pelaksanaan pengauditan. Untuk menciptakan lembaga audit yang efisien dan efektif, maka diperlukan reposisi lembaga audit yang ada, yaitu pemisahan fungsi dan tugas yang jelas dari lembaga-lembaga pemeriksa pemerintah tersebut, apakah sebagai internal auditor atau eksternal auditor. Berdasarkan kedudukannya kedudukannya terhadap pemerintah kita mengenal adanya audit internal maupun audit eksternal. Audit internal dilaksanakan oleh Inspektorat Jendral Departemen, Satuan Pengawas Interen (SPI) di lingkungan lembaga Negara/BUMN/BUMD, Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilprop),
Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota (Itwilkab/ Itwilko), dan BPKP. Sedangkan audit eksternal dilaksanakan oleh BPK sebagai unit pemeriksa yang independen karena berada di luar organisasi yang diperiksa. Selanjutnya, Saefuddin (1997 dalam Exellent Lawyer, April 2010) menguraikan hal-hal yang menyebabkan mengapa korupsi di Indonesia sulit diberantas yaitu: 1. Mental pegawai yang keropos, yang menyababkan mereka tidak ambil pusing untuk mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya. Mereka tak peduli untuk menyalahgunakan jabatan atau posisinya demi untuk kepentingan pribadi.
19
2. Adanya ketidakrelaan menerima gaji yang relative terbatas dibandingkan dengan tingkat kebutuhan yang layak. Hal ini menggiring mereka untuk mengejar pendapatan cepat tanpa memperhatikan proporsi. 3. Hampir seluruh jenjang berlomba mencari peluang untuk menggapai pendapatan sampingan, yang nilainya jauh lebih besar. Praktik korupsi terstruktur ini terkristalisai sejalan dengan struktur ABS (Asal Bapak Senang). Implikasinya, banyak pimpinan yang tutup mata ketika disodori amplop. Implikasi lebih lanjut adalah siapa yang menolak amplop terima kasih dinilai menentang pimpinan, minimal menentang kemauan bersama. Tambahan lagi, menurut Baswir (2000 dalam Exellent Lawyer, April 2010) dijelaskan bahwa skandal-skandal yang terjadi di Indonesia (Bulog Gate misalnya) adalah disebabkan karena kekacauan manajemen keuangan publik di Indonesia yang meliputi : a. Penyelenggaraan sejumlah kegiatan kegiatan publik di luar mekanisme APBN. b. Dipeliharanya sejumlah dana publik diluar APBN. c. Kehadiran sejumlah lembaga semipublik-semiprivat dalam lingkungan
pemerintahan. Dalam situasi manajemen keuangan publik yang kacau itu, praktik korupsi terus merajalela dalam tubuh pemerintahan. Praktik korupsi di Indonesia tidak lagi dapat diisolir sebagai ekspresi niat jahat seseorang atau sekelompok orang untuk memperkaya diri mereka sendiri, melainkan telah menjadi bagian yang integral dari
20
sistem penyelenggaraan negara yang telah dijalankan oleh pemerintah. Situasi korupsi seperti ini disebut sebagai korupsi sistemik. Artinya, tingkat perkembangan praktik korupsi di Indonesia sangat jauh melampaui tingkat korupsi personal dan korupsi institusional. Praktik korupsi di Indonesia tidak dilakukan hanya oleh beberapa orang atau oleh beberapa lembaga pemerintahan tertentu, melainkan langsung dipelihara oleh negara. Adanya diskriminasi penindakan terhadap pidana korupsi. Hanya kelas teri yang terjaring pasal pidana korupsi, sementara koruptor kelas kakap di dera dengan mutasi, maksimal diberhentikan dengan tidak tidak terhormat. Selain itu, kurangnya sumber daya manusia atau auditor forensik di Indonesia membuat pemberantasan korupsi berjalan dengan lambat. Namun demikian, kendala ini senantiasa diatasi dengan adanya pelatihan-pelatihan terhadap para auditor maupun calon auditor di Indonesia secara kontinu.
2.6
Kasus PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Komisaris yang merangkap sebagai Ketua Komite Audit dimana Komisaris tersebut menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan
21
Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada. Perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris bersumber pada perbedaan pendapat atas 4 hal, yaitu : 1. Masalah Piutang PPN. Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp. 95,2 Milyar, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa pemberian jasa yang dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN atau jasa tersebut, PT KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan. 2. Masalah Beban ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan. Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 Milyar yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2005 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha. 3. Masalah Persediaan Dalam Perjalanan. Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 Milyar yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.
22
4. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS) dan Penyertaan Modal Negara (PMN). BPYBDS sebesar Rp. 674,5 Milyar dan PMN sebesar Rp. 70 Milyar yang dalam laporan Audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005. Pertanyaan mendasar yang menjadi fokus perhatian bersama adalah apakah auditor eksternal telah menjalankan tugasnya sesuai standar-standar yang berlaku (PSAK dan SPAP) dan berkomunikasi dengan Komite Audit ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi mengenai peran dan tanggung jawab Komisaris, beserta organnya Komite Audit dalam proses good corporate governance di perusahaan, baik BUMN maupun swasta. Menurut teori dan best practices dalam good corporate governance, Dewan Komisaris dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya memiliki 3 fungsi, yaitu: 1. Advising Memberi nasehat bagaimana seharusnya Direksi bersikap. Oleh sebab itu sebaiknya Dewan Komisaris terdiri dari beberapa latar belakang. 2. Protecting Melindungi perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan.
23
Misalnya memberikan argumentasi dan pendapat independen yang kuat atas sesuatu yang dapat merugikan perusahaan dan tidak sejalan dengan prinsipprinsip GCG. 3. Supervising Mengawasi pengelolaan perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan agar mampu menciptakan value yang optimal bagi stakeholders. Peran vital yang dijalankan oleh Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris dalam 3 hal tersebut diatas, yaitu advising, supervising dan protecting (dengan cara memberikan analisis bagaimana memproteksi perusahaan). Hal terpenting yang harus dipahami adalah bahwa Komite Audit tidak memiliki suara untuk mengatasnamakan perusahaan sehingga tidak diperkenankan berbicara di luar perusahaan. Karena Komite Audit merupakan tools Dewan Komisaris dengan demikian yang berhak untuk berbicara adalah Dewan Komisaris. Khusus dalam proses audit, Komite Audit memainkan peranan yang sangat penting dalam : 1. Mereview audit plan 2. Mendiskusikan penunjukan auditor eksternal. Pada saat proses lelang, Komite Audit harus sudah ikut untuk melihat apakah auditor eksternal layak dipilih dan melihat fairness proses pemilihan. Yang akan bicara kepada Direksi adalah Dewan Komisaris, bukan Komite Audit. Jangan sampai Komite Audit over duties (berlebih-lebihan).
24
3. Mereview transaksi-transaksi besar untuk dilaporkan kepada Dewan Komisaris, kemudian Dewan Komisaris berkomunikasi dengan Direksi. Agar pengawasan Dewan Komisaris dapat berjalan dengan baik, Komite Audit dapat membantu Dewan Komisaris untuk memberikan nasehat dengan cara : 1. Mereview internal control system, ada pemisahan fungsi atau tidak (internal control setting) bagus atau tidak. Hal ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris. 2. Komunikasi antara Komite Audit, Dewan Komisaris dan manajemen. Seharusnya Komite Audit membantu Dewan Komisaris dalam menelaah/mereview laporan manajemen karena tidak selalu 100 % laporan keuangan dipahami oleh Dewan Komisaris, terutama karena latar belakang yang bukan keuangan. Jadi fungsi Komite Audit adalah mentransformasikan angka-angka kedalam suatu bentuk usulan kepada Dewan Komisaris agar Dewan Komisaris dapat memberikan advise kepada Direksi. Kasus PT KAI menarik untuk dicermati karena kasus ini dapat terjadi di perusahaan lainnya. Apapun permasalahan yang terjadi apabila diantara Direksi dan Komisaris terjadi perbedaan pendapat yang rugi adalah perusahaan, dimana social and political cost-nya sangat tinggi. Selain itu masing-masing pihak yang sedang berselisih pendapat (yaitu Direksi maupun Komisaris) akan dimanfaatkan oleh pihakpihak tertentu sehingga akan sangat merugikan perusahaan, yang pada akhirnya akan mengganggu keberlangsungan (sustainability) perusahaan.
25
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT KAI adalah karena rumitnya laporan keuangan PT KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT KAI cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen, namun karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik. Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan masalah yang rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain yang turut mendorong terjadinya kasus laporan keuangan PT KAI adalah bahwa proses akuntansi dan laporan keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit lain kurang terlibat dan tidak memiliki sense of belonging, sehingga hal ini jelas menyulitkan bagi bagian akuntansi. Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT KAI adalah: 1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya Auditor Eksternal. 2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit.
26
3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit dan Komite Audit juga tidak menanyakannya. 4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin. Beberapa aktifitas bisnis PT KAI yang juga berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari adalah : 1. Adanya transaksi antara PT KAI dan Negara yang kebijakan dan sistem perhitungannya belum dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public Service Obligation, IMO : Infrastructure Maintenance and Operation, TAC : Track Access Charges). 2. Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS, perubahan status perusahaan). 3. Perubahan peraturan pemerintah (termasuk peraturan perpajakan). 4. Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun Pegawai. 5. RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan perusahaan dan keikutsertaan swasta. Unbundling dari aktifitas
2.6.2
Dengan pembahasan kasus audit umum PT KAI, beberapa pelajaran berharga dapat dipetik dari kasus tersebut, diantaranya adalah :
27
1. Perselisahan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak capable memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada pemegang saham untuk mengganti Direksi. Hal ini akan jauh lebih baik dan tentunya mampu menghindarkan perusahaan dari social cost yang tidak perlu. Social cost seringkali timbul karena public judgement yang sudah terlanjur dijatuhkan dan seringkali public judgement ini tidak fair bagi perusahaan. 2. Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris sehingga Dewan Komisaris memiliki satu suara. Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat diakomodir dengan jelas dalam dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat. Untuk itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk memilah-milah informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang merupakan private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan seluruh informasi perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat sasaran dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan. 3. Sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan.
28
Kasus PT KAI merupakan cerminan bahwa komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite Audit sangat diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT KAI salah satunya dipicu oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan audit. Auditor eksternal mengalami hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan sebelum anggota Komite Audit yang baru diangkat. 4. Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam operasional perusahaan. Sebagai ilustrasi mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor Internal, sejak Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum pernah satu kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk proses audit tahun buku 2006. 5. Terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan prinsip akuntansi yang berlaku. Dengan demikian bukan berarti kebijakan akuntansi yang telah dilakukan tahun lalu akan dianggap konsisten apabila tahun ini tetap dilakukan.
29
6. Beberapa hal teknis yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastructure Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges) dan BPYBDS serta komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem akuntansi. Khusus untuk PT KAI, beberapa masukan yang dapat diterapkan untuk memperbaiki kondisi yang telah terjadi saat ini adalah : 1. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal. 2. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan. Kesalahan-kesalahan sudah terakumulasi dari tahun-tahun sebelumnya sehingga terdapat dua alternatif, yaitu di restatement atau dikoreksi. Keputusan mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya tergantung dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP), karena kasus PT KAI sedang diproses disana. 3. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.
30
4. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi. 5. Komite Audit berperan aktif dalam melakukan risk mapping, mengkoordinasikan seluruh tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada Direksi. 6. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure. 7. Komite Audit menjembatani agar semua pihak di perusahaan terlibat aktif dalam pengawasan. Kunci untuk merekatkan semua pihak dijalankan oleh Auditor Internal yang berkomunikasi intens dengan Komite Audit. Pembelajaran menarik dalam aspek public governance pada kasus ini adalah mengenai Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS). Sebagai perwakilan pemegang saham (yaitu Pemerintah), departemen teknis terkait dan Kementerian BUMN seharusnya tegas dalam menentukan BPYBDS ini, apakah merupakan penyertaan modal atau hutang. Fakta yang terjadi saat ini adalah BPYBDS statusnya tetap dibiarkan tidak jelas sampai bertahun-tahun sehingga nilainya di beberapa BUMN mencapai triliunan rupiah. Hal ini jelas akan berpotensi menimbulkan masalah di masa yang akan datang, karena akan menyulitkan
31
perusahaan dalam mengelompokkannya, apakah termasuk aset atau kewajiban (liability). Terlepas dari kasus audit umum PT KAI, concern yang mengemuka terkait dengan Auditor Eksternal adalah merebaknya praktek penipuan dan manipulasi yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan Kantor Akuntan Publik yang ada atau memalsukan/membuat nama Kantor Akuntan Publik yang sebenarnya tidak terdaftar sebagai akuntan publik. Secara prinsip Komite Audit sangat tergantung pada akuntan publik. Terkait dengan praktek penipuan tersebut, untuk meningkatkan citra profesi IAI Kompartemen Akuntan Publik telah membentuk Dewan Review Mutu untuk mereview mutu pekerjaan akuntan publik. Untuk itu peran aktif pengguna jasa akuntan publik sangat dibutuhkan karena hanya dengan pengaduan suatu tindakan penipuan atau manipulasi dapat ditindaklanjuti oleh IAI.
32