Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Y DENGAN SEVERE HEAD INJURY POST- OP CRANIOTOMI DI RUANG GENERAL INTENSIFE CARE UNIT RSHS BANDUNG Dari tanggal 10-11 Januari 2011 Identitas Nama Umur/jenis kelamin Pekerjaan Alamat No Catatan medis Tanggal Diantar oleh Tanggal pengkajian Dx medis : Tn. Y : 25 tahun/ Laki-laki : : Sumedang : 11020161 : 7 1 2011 : Penolong : 10 Januari 2011 jam 15.00 wib. : Severe Head Injury post-op Craniotomy
PRIMARY SURVEY 1. AIRWAY Jalan nafas bersih, terpasang mayo tube Tidak terdapat secret Gargling, snoring, stridor tidak ada
2. BREATHING RR 15 x/mnt Oksigen diberikan melalui ventilasi mekanik Terpasang CTT Undulasi +, air bubble (+) Pergerakan dada simetris kiri dan kanan Terpasang Ventilator mode PCMV, RR 12, TV 548, IPL 20, PEEP 10, FiO2 100, Peak Pressure 27
1
Terpasang EET no 7,5 kedalaman 22 cm Penggunaan otot bantu napas (-) 3. CIRCULATION TD 98/50 mmHg HR 58 x/mnt reguler, teraba lemah S 37 0 C CRT < 3 Akral dingin Tidak terpasang CVP Terpasang catheter, diuresis 170 cc/jam (BB 50 kg)
4. DISABILITY GCS E1 M2 VT Terpasang ETT Pupil an isokor, ka/ki 4/3 mm Parese ekstremitas Kesadaran koma Respon cahaya (-)
5. EXPOSURE AND EKG Terpasang monitor EKG dengan irama sinus Bradikardi ( SB ). Terdapat jejas di dada kiri Terdapat jejas di abdomen kiri Terpasang ransel verban dalam kondisi di lepas
6. FREEZING AND FLUID Tanggal 10 januari 2011 S 37 0 C, intake cairan IWL 21 cc, terpasang infuse RL 70 cc/ jam, Nacl 0,9% 40 cc/jam, D5% 20 cc/jam
SECONDARY SURVEI 1. Anamnese Keluhan utama Mekanisme trauma Kesadaran coma dengan GCS E1 M2 VT Klien mengalami KLL dan terjadi benturan kepala di aspal
2
sehingga mengakibatkan perdarahan massif dibawah lapisan sub dural ( SDH ) sebelah kiri dan fraktur tulang tengkorak sinistra. Waktu kejadian dan tempat Klien mengendarai motor dengan kecepatan tinggi dan menyalib kendaraan lain mobil didepannya tetapi menyenggol bak belakang mobil dan terjatuh di aspal di jalan arah sumedang pada siang hari ( jam 11.00 ). Klien dibawa ke puskesmas kemudian dirujuk ke RS Hasan sadikin Bandung.
Klien setelah KLL mengalami pingsan, muntah, terdapat perdarahan di hidung dan mulut. Tidak ada perdarahan di telinga. Kesadaran makin lama makin menurun.
2. Pemeriksaan Fisik 1. Tanda Vital: ( 30 menit setelah primary survey ) Frekwensi Nadi Tekanan darah Frekwensi nafas 58 x/mnt 98/ 50 mmHg 32 x/mnt, terpasang ETT dan mayo tube, O2 3 liter/mnt lwt selang ke ETT BB / TB Suhu tubuh 50 kg / 165 cm 370 C ( Hipotermi ) Terdapat jejas di kiri Tidak terdapat deviasi trakea, tidak ada
2. Kepala 3. Leher
peninggian vena jugularis pressure, tidak ada fraktur cervical. 4. Thorak Permukaan dada dan pengembangan dada
simetris, tampak pernafasan cepat dan dangkal, terdengar bunyi vesikuler, tidak tampak banyak secret di lubang ETT dan mayo tube. Tidak ada fraktur di iga/costa. Jantung : Bunyi S1-S2 reguler murni dan tidak ada
3
suara jantung tambahan. 5. Abdomen/Pelvis Tidak ada pembesaran abdomen, peristaltic 12 x/mnt, tidak ada acites atau laserasi dinding abdomen dan perdarahan abdomen. Bunyi timpani 6. Ekstrimitas (kanan-kiri) atas/bawah Semua ekstrimitas parese, terpasang infuse 2 line ditangan kanan dan kaki kiri dengan NaCL 0,9%. Tidak ada laserasi pada ekstrimitas atas maupun bawah 7. Thoraco-lumbo-sacral Tidak ada kelainan pada tlg belakang baik itu herniasi maupun fraktur.
Pemeriksaan neurologis 1. GCS 2. Pola pernafasan : E1 M2 VT , koma Frekwensi cepat dan dangkal x/mnt. 3. Pupil: Bentuk Diameter Reflek cahaya langsung Reflek langsung 4. EOM ( Ekstraokuler movement): Reaksi okulovestibular Reaksi okulochepalic Tidak terdapat respon pergerakan bola mata Tidak terdapat respon pergerakan bola mata cahaya Bulat, an isokor 4/3 mm -/tidak -/dengan RR 15
5. Reaksi motorik terhadap nyeri ( Dilakukan tes mencubit otot bagian atas kiri kanan/kiri) dibawah tulang klavikula tidak memberikan respon yang berarti. 6. a. Reflek patologis b. Sistem neurologis N I ( olfaktorius ) N II ( optikus ) Tidak dapat dikaji karena penurunan kesadaran Pupil isokor, batas tegas Rangsang cahaya -/4
III,
okulomotorius, tochlearis, abducens) N. V N XII Mild HI Ct Scan Kepala: Terdapat Soft tissue swelling ( kontusio jaringan ). Bone Discountinity at region occipital sinistra ( Patah tulang di oksipital kiri ). Hiperdens massa at region oksipital sinistra ( ada massa di oksipital kiri berbentuk bulan sabit. Sulcus dan gyrus compresse ( penekanan pada sulcus dan gyrusnya). Ventrikel dan siterna compressed (
ventrikel dan siterna tertekan Mid line shift > 3 mm ( ada pergeseran garis tengah > 3 mm ) 9. Pemeriksaan Laboratorium : a. Hematologi Hb Hematokrit Leukosit Eritrosit Trombosit Ureum Kreatinin Natrium Kalium 9,3 gr/dl ( N. Lk 14-16 )
28 % ( N. 38-45%) 24.000 mm 3( N. 7000 11.000) 3.13 mm3 ( 2.1 2.6 ) 641.000 ( 150.000-300.000) mm3 63 ( N. 15-50 mg/dl.) 0,51 ( N. 0,7- 1,2 ) mg/dl 151 meg/l ( 135 145 ) 3,9 ( N. 3,6-5,5) meg/l
b. AGD PH PCO2 P O2 HCO3 BE Sat O2 7.433 ( N.7,34 7,44 ) 34,7 ( N. 35-45 ) 108,3 ( N. 69-116) 23,8 ( N. 22-26) -0,7 ( N . -2 - 3) 98.6 ( N. 95-98 )
Activity Daily Living Aktivitas Nutrisi Selama perawatan Makan Diet cair via sonde KH ( susu ) sebanyak 200 cc/10 kali/2 jam Tidak ada tambahan makanan lain Minum Saat makan obat 30 cc dan saat makan 50 cc Eliminasi BAK Terpasang DC dengan jumlah urine 1200 cc/ 24 jam Warna kuning jernih BAB 2-3 hr sekali Berwarna kuning, konsistensi lunak. Pola Tidur Klien mengalami penurunan kesadaran ( sopor )
Terapi obat yang diberikan : Tgl 10 Januari 2011 1. Ceftazidin 3 x 1 gr ( IV) 2. Levoplazol 1 x 750 gr (PO) 3. Manitol 4 x 50 cc ( IV)
6
4. Dexametazon 4 x 1 amp ( IV) 5. Omeprazol 1 x 40 gr ( PO ) 6. Cairan infuse 2 A ( D5% + 0,45% NaCl ) 4,2 lit/hr dan aminofel 500 ml/24 jam setelah koreksi Na 7. Diet Cair 2000 kkal 10 x 200cc/2jam 8. Nebulizer ( NaCl 0,9 % + ventolin ) . 9. Tranfusi PRC 2 x 150/ 24 jam
ANALISA DATA No 1. DS : DO : Jalan nafas via ETT dan mayo tube Terdapat banyak secret di ETT dan mayo tube Terdengar bunyi ronchi di afek paru bagian atas kanan dan kiri RR 30 x/mnt Terpasang O2 kanul 3 lit/mnt GCS E1M4 VT Peningkatan TIK Stagnasi aliran darah Kompressi jaringan,sel,pembuluh darah otak Proses desak ruang otak DATA ETIOLOGI Cidera kepala Kerusakan organ /jaringan otak Peningkatan vol.intrakranial PROBLEM Bersihan jalan nafas efektif tidak
Penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran
adekuat/menurun
Sekret terakumulasi di jalan nafas Bersihan jalan nafas tidak efektif NO 2. DS; DO : Tanda-tanda vital : S : 35,2 0 C, N : 75 x/mnt RR : 30 x/mnt, TD : 130/80 mmHg Akral dingin di ekstrimitas atas dan bawah Kulit tampak kering CRT< 3 Produksi Energi panas tidak adekuat Produksi ATP menurun Aktivitas dan Metabolisme tubuh menurun DATA ETIOLOGI Penurunan kesadaran PROBLEM Hipotermi
3.
DS; DO : Tanda-tanda vital : S : 35,2 0 C, N : 75 x/mnt RR : 32 x/mnt Hasil Lab : Natrium 151 Meg/dl Tidak ada udema di tubuh Intake cairan NaCl 1500
Peningkatan TIK
Hipertnatremia
Pembatasan kebutuhan cairan NaCl dan pemberian manitol Peningkatan konsentrasi Natrium dalam tubuh Hipernatremia
PRIMARY SURVEY ( Tanggal 10 Januari 2011 jam 15.00 Wib ) Pengkajian Airways Masalah Bersihan Rencana tindakan Tindakan setiap Evaluasi Jam 16.00 jalan Lakukan pengecekan Melakukan suctioning
Jalan nafas via ETT nafas tidak efektif dan mayo tube Terdapat banyak
posisi ETT dan mayo tube sebelum dilakukan suction. Berikan posisi head up 300 . Lakukan suction setiap kali terdengar bunyi
terdengar bunyi secret di jalan Tampak banyak secret nafas. Sebelum suctioning di ETT dan Mayo tube berikan oksigen adekuat ( 4-5 ETT dan Mayo Tube liter/mnt) memungkinkan dan bila terpasang adekuat. nafas cepat 25 dan lakukan Frekwensi x/mnt dangkal. tetap dipertahankan 30 0 ,
ronchi di afek paru bagian atas kanan dan kiri Tidak ada retraksi intercosta RR 30 x/mnt
nafas tambahan seperti Mengobservasi kecepatan dan Posisi ronchi,rales wheezing Berikan nebulizer atau kedalaman nafas tiap 15-30 mnt
termasuk rasio inspirasi Masih terdengar suara nafas ronchi di paru atas kanan dan kiri. dada dengan Pergerakan
dan ekspirasi
dengan NaCl 0.9% dan Bila memungkinkan melakukan ventolin sebelum chest fisioterapi menepuk posisi di sekitar dada bagian depan setiap 2-4 jam.
Lakukan suction dengan Cek posisi ETT dan mayo tube hati-hati,berikan oksigen lebih banyak sebelum dalam kondisi baik sebelum melakukan suctioning.
10
misalnya
pemeriksaan
TTV ( TD,RR,N) dan pemeriksaan fisik klinis setelah suctioning sianosis, dilakukan ( RCT). tanda Bila cek
memungkinkan AGD.
11
PRIMARY SURVEY ( Tanggal 11 Januari 2011 jam 15.00 Wib ) Pengkajian Airways Masalah Bersihan Rencana tindakan Tindakan Evaluasi Jam 16.00 Wib jalan Lakukan pengecekan Cek posisi ETT dan mayo tube
Jalan nafas via ETT nafas tidak efektif dan mayo tube Terdapat banyak
posisi ETT dan mayo tube sebelum dilakukan suction. Berikan posisi head up 300 . Lakukan suction setiap kali terdengar bunyi
dalam kondisi baik sebelum ETT dan Mayo Tube melakukan suctioning. Melakukan suctioning terpasang adekuat. setiap Tampak banyak secret di ETT dan Mayo tube nafas cepat 25 dan
ronchi di afek paru bagian atas kanan dan kiri RR 28 x/mnt Oksigen 3 liter/mnt
pergerakan kanan
simetris
dan kiri.
nebulizer Mengobservasi kecepatan dan Terdengar bunyi ronchi kedalaman nafas tiap 15-30 mnt termasuk rasio inspirasi di lapang paru atas kanan dan kiri. Tidak ada tanda-tanda sianosis. dengan sebelum
dilakukan suction bila memungkinkan. Lakukan suction dengan hati-hati,berikan oksigen lebih banyak sebelum
misalnya
pemeriksaan
TTV ( TD,RR,N) dan pemeriksaan fisik klinis setelah suctioning sianosis, dilakukan ( RCT). tanda Bila cek
memungkinkan AGD.
13
Primary survey Tanggal : 10 Januari 2011 jam 15.00 Pengkajian Tanda-tanda vital : S : 35
0
Masalah Hipotermi
Evaluasi Tgl 10-1-2011 jam 21.00 Suhu menjadi 35,50 C, N : 90x/mnt Akral terutama terasa dingin
C, N : 75
x/mnt RR : 30x/mnt, TD : 130/80 mmHg Akral dingin Kulit kering CRT< 3 tampak
pasien setiap 15-30 Memberikan menit. Minimalkan yang menyebabkan hipotermi mengatur ruangan.
susu 200 cc / 2jam. faktor Memberikan minyak kayu dapat putih sebagai penghangat di tubuh pasien seperti Mengobservasi suhu tubuh suhu pasien melalui monitor tiap 15-30 masase
ujung-ujung
ekstrimitas atas dan masih dingin pada ekstrimitas bawah. CRT < 3
Berikan supply KH Memberikan (susu) sesuai dengan diet pasien Lakukan masase di ekstrimitas bagian
14
Primary survey Tanggal : 11 Januari 2011 jam 15.00 Pengkajian Tanda-tanda vital : S : 35,20 C, N : 85 x/mnt RR : 30x/mnt, TD : 120/80 mmHg Akral dingin Kulit kering CRT< 3 tampak Masalah Hipotermi Rencana tindakan Berikan Observasi suhu tubuh Tindakan selimut menutupi Evaluasi Tgl 10-1-2011 jam 21.00 Suhu menjadi 35,80 C, n : 90x/mnt Akral terutama terasa hangat selimut Memberikan hangat untuk
setiap 15-30 menit. Minimalkan yang menyebabkan hipotermi mengatur ruangan. Berikan supply KH (susu) sesuai dengan diet pasien faktor
ujung-ujung
ekstrimitas atas dan masih dingin pada ekstrimitas bawah. CRT < 3
dapat Memberikan makanan KH ( susu )200 cc / 2jam. seperti Memberikan minyak kayu suhu putih/lotion penghangat pasien di sebagai tubuh
15
Primary Survei Tanggal 10 Januari 2011 jam 15.00 wib Pengkajian Hasil Lab : Natrium 151 Meg/dl Tidak ada Masalah Hipernatremi Rencana Tindakan Lakukan koreksi natrium segera dengan larutan Tindakan Kolaborasi dalam Natrium serta Evaluasi koreksi Tanggal 10-1-2011 J.21.00 Hasil koreksi natrium 146 meg Terpasang infuse
menentukan
rendah natrium Observasi ketat tandatanda kelebihan cairan seperti oedema di tubuh, tachycardia dan suara
udema di tubuh Intake 4,2 liter larutan 2 A Tidak ada tandatanda tubuh tachycardia. edema dan
dengan 2 A, dengan jumlah 4,2 lit cairan 2 A dan cairan aminovel 500 cc/hr via infuse pump 175 cc/jam. Mengobservasi intake dan
sebanyak
liter/hari
dengan
output setiap jam. Output perjam 120 cc/jam Memberikan larutan manitol 50 cc tiap 6 jam.
output secara ketat tiap jam. Kolaboratif Pemberian Manitol Rencanakan natrium cairan koreksi jika sudah
kembali koreksi
masuk 24 jam
16
PRIMARY SURVEY Tanggal 11 Januari 2011 Wib15.00 Pengkajian Hasil Lab : Natrium 151 Meg/dl Tidak ada Masalah Hipernatremi Rencana Tindakan Lakukan pengecekan lab ( koreksi hasil lab )bila telah dilakukan koreksi natrium. Bila hasil Lab masih tingg iakukan oreksi Tindakan Melakukan pengecekan lab Tanggal Natrium dengan mengambil 21.00 sampel darah IV Kolaborasi koreksi intake dalam hasil terhadap out put Hasil koreksi natrium 146 meg Terpasang infuse Evaluasi 10-1-2011 Jam
Natrium dan
larutan aminovel 500 cc/hr Pemberian maintenance dengan 2 A. Output urine 130 cc/jam.
natrium segera dengan larutan rendah Natrium Observasi ketat tandatanda kelebihan cairan seperti oedema di tubuh, TD meningkat. Observasi intake dan
cairan 2l/hr
output setiap jam. Output perjam 120 cc/jam Memberikan larutan manitol 50 cc tiap 6 jam.
output secara ketat tiap jam. Kolaboratif Berikan Manitol 50 cc/6 jam
17
CATATAN KEPERAWATAN TANGGAL/ DIAGNOSA JAM 10-1-2011 Jam 15.001,2,3 Melakukan suction Jalan napas Mengobservasi TTV belum patensi. dan sat O2 130/80 35,20 C,RR = TD S: Hemodinamik 30 stabil. Dewi IMPLEMENTASI EVALUASI PARAF
jam 21.00
mmHG, :
x/mnt, HR 80 x/mnt, Masalah belum Sat O2 98%, CRT < 3 teratasi. Melakukan nebulizer dengan NaCl 0,9 % 2cc dan ventolin 1 cc Melakukan Natrium koreksi dengan
larutan 2A sebanyak 4,2 liter/24 jam Memonitor intake dan out put. Intake 1500 cc/24 jam dan output urine 1200 cc/24 jam, IWL 21 cc. Memberikan infuse
= TD S: 33
mmHG, :
Mengecek posisi ETT dan mayo tube Melakukan suction Mengobservasi TTV dan sat O2 130/70 35,40 C,RR = TD S: 33
mmHG, :
mmHG, :
x/mnt, HR 89 x/mnt, Sat O2 99%, CRT < 3 Menghitung urine out put ( 50 cc/ 2 jam )
CATATAN KEPERAWATAN TANGGAL/ DIAGNOSA JAM 11-1-2011 Jam 21.00 14.001,2,3 Melakukan suction Jalan napas Mengobservasi TTV blm patensi. dan sat O2 120/80 35,60 C,RR = TD S: Hemodinamik 32 blm stabil. blm IMPLEMENTASI EVALUASI PARA F
mmHG, :
x/mnt, HR 85 x/mnt, Sat O2 98%, CRT < 3 Masalah Melakukan dada 5-10 mnt Melakukan pengambilan sampel darah IV untuk terapi teratasi.
melihat hasil koreksi Natrium Memonitor intake dan out put. Intake 4200 cc/24 jam dan output
20
urine 3800 cc/24 jam, IWL 21 cc. Memberikan Menghangatkan tubuh pasien dengan memberikan m.kayu putih dan masase di ekstrimitas bawah. Memberikan Levoplazol 750 obat gr infuse
/PO, Diet cair 200 cc/2 Dexametazon amp/IV. Mengobservasi TTV dan sat O2 120/70 35,50 C,RR = TD S: 28 jam, 1
mmHG, :
x/mnt, HR 70 x/mnt, Sat O2 98%, CRT < 3. Memonitor intake dan out put. Intake 1500 cc/24 jam dan output urine 60 cc/ jam, IWL 21 cc. Menghangatkan tubuh pasien dengan
21
memberikan m.kayu putih dan masase di ekstrimitas bawah. Melakukan suction Melakukan nebulizer dengan NaCl 0,9 % 2cc dan ventolin 1 cc Mengobservasi TTV dan sat O2 110/80 35,20 C,RR = TD S: 29
mmHG, :
x/mnt, HR 70 x/mnt, Sat O2 99% Memberikan Memberikan makanan susu 200 gr dan air putih 50 cc via sonde Memberikan Dexametazon obat 1 infuse
ampul IV, Ceftazidin ( IV). Memberikan m.kayu putih pada tubuh dan masase bawah. Mengobsercasi CRT ( < 3 det ). ekstrimitas
22
mmHG, :
liter/menit karena pada saat dilakukan suction biasanya udara akan tersedot melalui pipa suction sehingga akan mengurangi masukan oksigen kedalam tubuh. Pemberian fisioterapi dada juga dilakukan pada dengan tujuan melunturkan / melepaskan secret yang melekat di jalan nafas. Tindakan ini dilakukan dengan hati-hati bila kondisi TTIK masih dicurigai terdapat pada pasien akibat perdarahan cerebral masih berlangsung maka dilarang melakukan tindakan ini pada pasien post op craniotomy. Pemberian pengaturan posisi head up 300 membantu melapangkan ekspansi dada klien dan melancarkan aliran balik vena. Pada kasus juga dilakukan tindakan kolaboratif yaitu pemberian ventolin saat akan dilakukan nebulizer dan pemeriksaan AGD. Rasional pemberian ventolin adalah mengencerkan secret sehingga bisa dilakukan suction dengan mudah serta pemeriksaan AGD untuk menilai keadekuatan Oksigen dan Carbondioksida meliputi saturasi oksigen, PCO2,PO2 dan TCO2. Keseimbangan asam basa juga dapat dilihat dari hasil AGD sehingga dapat diberikan tindakan yang cepat. Ketidak seimbangan asam basa akan berakibat buruk pada metabolism sel-sel otak setelah operasi craniotomy. Salah satunya adalah menghindari terjadinya kerusakan sel otak akibat suasana yang asam dan penumpukan asam laktat di otak. Hal ini akan berpengaruh buruk pada perfusi jaringan otak. Secara fisiologis mekanisme tubuh terhadap adanya sumbatan jalan nafas antara lain dengan menaikkan frekwensi nafas sehingga terlihat cepat dan dangkal sebanyak 30 x/mnt. Bila terjadi dalam waktu yang lama maka akan terjadi proses patologis pada pasien : over working of breathing. Terjadi kelelahan pada otot-otot pernafasan pasien, dinding dada dan difragma. Bila terjadi sumbatan jalan nafas berlangsung dalam waktu 3 -5 maka akan terjadi kematian sel-sel jaringan otak dan penurunan fungsi organ vital lainnya seperti jantung, paru dan lainnya akibat kekurangan oksigen. Breathing diawali dengan jalan nafas yang baik. Proses pernafasan yang baik harus dipenuhi oleh pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Fungsi ventilasi ditentukan oleh paru, dinding dada dan diafragma, oleh sebab itu masing-masing komponen harus dievaluasi. Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada yang
24
mungkin mengganggu ventilasi. Breathing cepat dan dangkal (30 x/mnt), terdapat pernafasan diafragma dan tampak adanya bunyi ronchi saat ekspirasi. Menurut evidanc base oral health , ventilator associated Pneumonia and intra cranial pressure yang terlampir bahwa perlu sekali oral care pada pasien dengan intubasi karena meminimalkan masuknya flora yang menjadi patogen (enterobacter 43%, klebsiella pneumonia 36 % termasuk bacteria gram negative, sedangkan bakteri gram positif yaitu stafilokokus aureus) ke jalan nafas setelah 48 jam pemasangan intubasi. Bila tidak dilakukan oral care 2-3 kali sehari memberikan kontribusi/faktor pendukung yang buruk seperti terjadinya pneumonia pada pasien post intubasi. Dalam penelitian juga dikatakan oral care tidak berpengaruh merugikan terhadap adanya peningkatan intra cranial pada pasien dengan terpasang intubasi. Pada pasien dengan penurunan kesadaran atau yang terpasang ventilator sebaiknya dilakukan oral care dengan teratur selama 5-10 menit dan sangat hati-hati karena percikan cairan penggosok gigi dapat masuk ke dalam ETT dan juga hati-hati dengan kondisi mukosa mulut yang kering. Gunakan sikat gigi bayi dan pasta gigi yang tidak banyak mengandung mentol (mukosa mulut menjadi bertambah kering). Oral care harus dievaluasi setiap 72 jam setelah pemasangan intubasi didasarkan pada 8 item penilaian yaitu voice, swallow, lips, tongue, saliva, mucous membranes, gingiva, and teeth. Kombinasi antara kurangnya oral care dengan kebersihan peralatan alat bantu jalan nafas dapat meningkatkan resiko pneumonia pada pasien dengan pemakaian ventilator atau peningkatan TTIK.
2. Hipotermi Pada kasus ini dengan suhu 35 0C terdapat kondisi hipotermi ringan yaitu suhu tubuh diantara 32- 35 0 C. Kemungkinan penyebab hipotermi pada kasus ini setelah post op craniotomy akibat adanya kerusakan organ seperti trauma atau keganasan pada hipotalamus bagian posterior (termoregulasi) dapat menyebabkan mekanisme regulasi suhu tubuh mengalami gangguan. Sebagai contoh Vasokontriksi terjadi karena
rangsangan pada pusat simpatis hipotalamus posterior terangsang mengakibatkan penurunan suhu tubuh. Gangguan suhu pada termoregulasi dapat berupa hipertermi atau hipotermi. Faktor lain yang mendukung adalah pasien termasuk ke dalam cedera
25
otak berat dimana ada perubahan yang cukup signifikan dalam komposisi cerebral pasien. Suhu yang rendah dapat mengakibatkan metabolism sel-sel otak terganggu. Mitokondria tidak bekerja maksimal dibawah suhu tubuh normal (36,8). Kompensasi tubuh terhadap kondisi diatas adalah terjadi metabolism an aerob sehingga hasil akhir banyak tertumpuk asam laktat. Asam laktat menyebabkan terjadinya asidosis metabolic yang menghambat kondisi perbaikan perfusi jaringan otak yang masih baik. Kondisi hipotermi juga mengakibatkan aliran perfusi jaringan otak menjadi lambat sehingga bisa terjadi thrombus dan mempercepat terjadinya atropi jaringan otak. Penurunan kesadaran juga mengakibatkan penurunan rangsang laju
metabolism tubuh, mengakibatkan gesekan antar komponen otot / organ yang menghasilkan energi termal berkurang. Posisi tirah baring yang lama bisa menurunkan suhu tubuh pasien begitu pula sebaliknya latihan (aktivitas) dapat meningkatkan suhu tubuh hingga 38,3 40,0 C. Kemungkinan lain penyebab hipotermi adalah kerusakan pada syaraf simpatis dimana rangsangan saraf simpatis dapat menyebabkan kecepatan metabolisme menjadi 100% lebih cepat. Disamping itu, rangsangan saraf simpatis dapat mencegah lemak coklat yang tertimbun dalam jaringan untuk dimetabolisme. Hampir seluruh metabolisme lemak coklat adalah produksi panas. Umumnya, rangsangan saraf simpatis ini dipengaruhi stress individu yang menyebabkan peningkatan produksi epineprin dan norepineprin yang meningkatkan metabolisme. Postur tubuh yang kurus juga memberikan kontribusi penurunan suhu tubuh Dengan BB sekarang 50 kg dan TB 165 memiliki BB ideal 58.5 kg sehingga terdapat kekurangan 8.5 kg. Hal ini akan memberikan gambaran komposisi otot dan lemak yang kurang berfungsi sebagai autoregulasi tubuh. Diagnosa yang ditegakkan terhadap fenomena kasus diatas adalah hipotermi berhubungan dengan kerusakan organ cerebral (hipotalamus) sekunder dari perubahan fungsi termoregulasi. Kemungkinan penyebab hipotermi adalah adanya kerusakan dari otak terutama pusat termoregulasi di hipotalamus. Adapun intervensi yang diberikan antara lain dengan memberikan selimut pada tubuh, mengatur suhu ruangan ber-ac dengan baik serta meningkatkan metabolisme tubuh dengan memberikan intake makanan secara adekuat sesuai dengan
26
kemampuan metabolism tubuh pasien pasca craniotomy. Dengan mengkonsumsi makanan seperti susu akan memberikan panas/kalori tubuh pada pasien.
3. Hipernatremia Kondisi hipernatremia di tunjukkan oleh data Na 151 Meg/l. juga memperlihatkan adanya peningkatan tekanan darah yang fluktuatif setiap waktu masih dalam batas normal. Hal ini bisa disebabkan oleh pemberian cairan yang dibatasi hanya maintenance dimana intake cairan infuse sehari adalah sebanyak 1500cc/24 jam dengan pemberian RL dan NaCl 0,9 % secara bergantian. Akibat pembatasan cairan yang mengandung NaCl maka akan meningkatkan konsentrasi Natrium plasma dalam darah. Bila terjadi kenaikan natrium tubuh akan menjadi berbahaya bila pasien dalam kondisi kesadaran menurun karena dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi paru dan ginjal yaitu terjadi edema pulmonal dan paling berbahaya adalah central pontine Myelinolisis dengan gejala Dysathria/disphagia, penurunan status mental yang buruk Quadriparesis, Hipotensi dan yang fatal adalah berakibat kerusakan sel syaraf yang berat. Gejala terjadi setelah 1-3 hari pemberian natrium yang cepat. Gejala bersifat irreversible. Selain itu sifat dari Natrium menahan cairan di tubulus ginjal. Bila akan menurunkan tekanan hidrostatik dan
Hematum (SDH) sebagai akibat darah yang lisis, juga akan menarik cairan kedalam SDH. Kondisi tubuh dimana berlebihan cairan akan menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah terutama di otak. Semakin banyak cairan didalam komponen jaringan otak akan menimbulkan peningkatan tekanan intracranial ulang atau akan mengakibatkan terjadinya atropi jaringan otak yang cepat. Manifestasi klinis yang sangat mungkin timbul antara lain adalah sakit kepala yang hebat. Adapun gejala lain yang timbul antara lain adalah penurunan kesadaran, pupil an isokor, deficit neurologis, terutama gangguan motorik. Pada penderita diatas salah satu tindakan kolaboratif yang diberikan adalah pemberian manitol sebanyak 50 cc dalam 4 kali pemberian (Dosis manitol 0,25-0,5 gr/kg BB atau 1 gr/kg BB). Pemberian dalam waktu 10-20 menit dan dapat diulang sesuai dengan respon. Biasanya pemberian dilakukan setiap 6 jam. Efek terbesar
27
dalam pemberian manitol adalah menurunkan intra cranial pressure akibat edema otak. Selain itu juga manitol berfungsi untuk mengurangi kelebihan cairan tubuh. Tindakan selanjutnya yang paling penting pada adalah koreksi natrium secepatnya. Cairan yang diberikan rendah Natrium dan Desmopressin. Cara perhitungan koreksi Na tersebut adalah : Jumlah Natrium yang ada di pasien dikurangi jumlah Natrium yang ada di larutan pengganti (mis: 2A dibagi ( 0,6 x
50) + 1. Adapun kebutuhan maksimal Natrium tubuh adalah 10 meq. Bila di hiting Koreksi natrium pada didapatkan sebagai berikut : 151 77 ( 0,6 x 50 ) +1 = 10 2,38 = 4,2 l/hr dengan larutan 2 A
Larutan 2 A diberikan dengan cara infuse pump sebanyak 175 cc/jam sehingga dapat di control. Setelah pemberian cairan 2A koreksi selesai maka segera dilakukan pemeriksaan lab terhadap kadar Natrium tubuh. Tindakan lain yang diberikan adalah pengawasan terhadap tanda-tanda klinis kelebihan natrium seperti peningkatan TD, edema terutama di otak jangan sampai TTIK berulang. Bila terjadi kelebihan natrium pada pasien post craniotomy maka akan terjadi Central Pontine Myelinolisis dengan gejala Dysathria/disphagia, penurunan status mental yang buruk Quadriparesis, Hipotensi dan yang fatal adalah berakibat kerusakan sel syaraf yang berat. Gejala terjadi setelah 1-3 hari pemberian natrium yang cepat. Gejala bersifat irreversible. Terapi yang mungkin segera dilakukan adalah
tidak dilakukan oral care 2-3 kali sehari memberikan kontribusi/faktor pendukung yang buruk seperti terjadinya pneumonia pada pasien post intubasi. Dalam penelitian juga dikatakan oral care tidak berpengaruh merugikan terhadap adanya peningkatan intra cranial pada pasien dengan terpasang intubasi. Pada pasien dengan penurunan kesadaran atau yang terpasang ventilator sebaiknya dilakukan oral care dengan teratur selama 5-10 menit dan sangat hati-hati karena percikan cairan penggosok gigi dapat masuk ke dalam ETT dan juga hati-hati dengan kondisi mukosa mulut yang kering. Gunakan sikat gigi bayi dan pasta gigi yang tidak banyak mengandung mentol (mukosa mulut menjadi bertambah kering). Oral care harus dievaluasi setiap 72 jam setelah pemasangan intubasi didasarkan pada 8 item penilaian yaitu voice, swallow, lips, tongue, saliva, mucous membranes, gingiva, and teeth. Kombinasi antara kurangnya oral care dengan kebersihan peralatan alat bantu jalan nafas dapat meningkatkan resiko pneumonia pada pasien dengan pemakaian ventilator atau peningkatan TTIK. Dari hasil penelitian : kesehatan mulut, pengkajian mulut oleh peneliti menghasilkan data significant selama 48 jam post intubasi . Flora normal di orofaringeal berkembang menjadi pathogen bakteri setelah 48 jam. Selama intubasi kehadiran bakteri gram negative mengalami peningkatan. Insiden pemakaian associated ventilator pneumonia adalah 24 % diantara pasien dengan masa pemakaian 4 10 hari. Selama perawatan mulut pada peningkatan tekanan intra cranial tidak ada peningkatan. Diantara kasus dengan peningkatan intra cranial pressure lebih dari 20 mmHg sebelum oral care maka setelah dilakukan oral care peningkatan tekanan intra cranial mengalami penurunan selama dan setelah 30 menit prosedur dilakukan. Seorang perawat harus memonitor respon pasien dengan peningkatan intra cranial terhadap perawatan aktivitas dan modifikasi aktivitas yang dibutuhkan pasien. Selama penelitian, perawat tidak disediakan data pasien yang memiliki tekanan intra cranial lebih dari 20 mmHg sebab mereka konsentrasi pada efek stimulasi yang diberikan dalam
perawatan mulut. Karena itu data tentang respon Intra Cranial Pressure terkait dengan perawatan mulut, jika ada, data tersebut tidak valid.. Hal ini juga disebabkan kurangnya data evidence base standar pada perawatan oral care dengan intubasi Dapat disimpulkan intubasi dapat memberikan kontribusi buruk pada kesehatan
mulut diantara pasien yang di rawat pada intensif care unit syaraf. Hati-hati terhadap awal pemasangan (intubasi) sampai dengan pelepasan (ekstubasi). Pasien dengan pemasangan
29
intubasi harus dilakukan perawatan oral care. Pelaksanaan perawatan mulut tidak menunjukkan efek merugikan pada peningkatan tekanan intra cranial. Perawatan oral care harus digali lebih lanjut untuk meningkatkan kesehatan mulut dan sistemik yang baik pada pasien di unit intensif care syaraf dan terkait pengaruhnya pada pasien dengan ventilator.
secara tajam. Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak. Trias klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simptom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala. Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran.
31
KLASIFIKASI Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS) (1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15) (2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13) (3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)
BERDASAR MEKANISME Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrating. Sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan
32
kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrating lebih sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk. BERDASAR BERATNYA Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan kata-kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada definisi tersebut tidak dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total GCS 8 atau kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9 hingga 13 dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor GCS 14 hingga 15 sebagai ringan. BERDASAR MORFOLOGI Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi. Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, bahkan beberapa minggu setelah cedera. Fraktura Tengkorak Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT. Adanya tanda klinis membantu identifikasinya. Fraktura terdepres lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20 kali pada pasien tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat.
33
Lesi Intrakranial Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam Lesi Fokal Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena/sinus pada sepertiga kasus, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), namun harus selalu diingat dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam. Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining, laserasi permukaan atau substansi otak. Kerusakan otak yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera. Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering, hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas dilobus frontal dan temporal, walau dapat pada setiap tempat. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt and pepper klasik pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Ingat, kontusi bukan diagnosis klinis. Cedera difusa Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan, disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang paling sering. Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering tidak
34
dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun post traumatika. Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran. Selalu disertai amnesia retrograd dan post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan. Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca trauma yang lama (lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan, sedang dan berat. CAD ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk CAD paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD. CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling mematikan. 36% dari semua pasien dengan CAD. Koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang terjadi. PEMERIKSAAN GCS Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi. Respon membuka mata (eye) (4). Spontan dengan adanya kedipan (3). Dengan suara (2). Dengan nyeri (1). Tidak ada reaksi
35
Respon bicara (verbal) (5). Orientasi baik (4). Disorientasi (mengacau/bingung) (3). Keluar kata-kata yang tidak teratur (2). Suara yang tidak berbentuk kata (1). Tidak ada suara Respon bicara (verbal) untuk anak-anak (5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek (4). Menangis, tapi bisa diredakan (3). Teriritasi secara menetap (2). Gelisah, teragitasi (1). Diam saja Respon motorik (motor) (6). Mengikuti perintah (5). Melokalisir nyeri (4). Menarik ekstremitas yang dirangsang (3). Fleksi abnormal (dekortikasi) (2). Ekstensi abnormal (decerebrasi) (1). Tidak ada gerakan Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk) PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT 1. Oksigen dan Tekanan darah Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mm Hg) adalah parameter yang nyata berkaitan dengan outcome yang buruk Oksigenasi darah : Prosentase saturasi oksigen darah diukur dengan oksimeter denyut nadi (bila ada). Tekanan darah sistolik dan diastolik diperiksa sesering yang dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan. Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi dan sangat mempengaruhi outcome. 2. Skor Skala Koma Glasgow
36
GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya dengan perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal GCS tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2 poin dimana GCS sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk. GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada pasien yang tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial (pada penilaian inisial dapat digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik), setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi. GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome buruk. 20 % dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional. 4. Pupil Pupil asimetri perbedaan kiri dan kanan 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula adanya trauma orbital. Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi. Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi. Kelainan pupil membantu menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan darurat untuk menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk (ipsilateral) dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen yang membawa sinyal dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya langsung, disaat respons konsensual utuh. Hipoksemia, hipotensi dan
37
hipotermia juga berhubungan dengan dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga disertai tidak adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau biasanya disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 % tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan baik. TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT Jalan napas, ventilasi, dan oksigen Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90 %) harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi dengan memberikan oksigen suplemen.
Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak terkoreksi dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif mempertahankan jalan nafas. Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya bila terjadi herniasi otak seperti posturing ekstensor atau kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak setelah hipotensi atau hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi (dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2) dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral (CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika biasanya aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah serebral hingga berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis gas darah akan menuntun tingkat ventilasi.
38
Resusitasi Cairan Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk mencegah hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi sesingkat mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik 90 mm Hg. Pada anak dengan cedera otak traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan usia 13-16 < 90 mm Hg. Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra rumah sakit digunakan kristaloid isotonik. Diberikan sejumlah yang dibutuhkan dalam mempertahankan tekanan darah normal. Volume cairan yang tidak adekuat atau dibawah daya resusitasi dapat mempresipitasi hipotensi mendadak hingga harus dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin hipertonik dengan atau tanpa dekstran memberikan hasil menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat pra rumah sakit, kecuali pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen pada fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD. Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada tindakan lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat. Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan keterancaman otak atas berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen juga gagal. Intervensi resusitatif dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan darah. Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil hipotensi. Sayangnya hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi kebanyakan orang 90 mm Hg, bagi orang lain mungkin 80 atau 100. Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan atau kehilangan cairan lainnya, maka volume intravaskuler tampaknya cara terbaik untuk memperbaiki tekanan darah. Kristaloid untuk memperkuat preload jantung, mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau salin normal sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan kehilangan darah sekunder akibat bergesernya klot hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi dapat memperburuk keadaan pada trauma tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal adalah tidak menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi.
39
RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor dan dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg dengan infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS < 9, atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap hipoksemik walau suplemen oksigen diberikan, memerlukan intubasi endotrakheal. Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol seperti pada tindakan pra rumah sakit rujukan. Sekali monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah disesuaikan dengan pengelolaan tekanan perfusi serebral. INDIKASI MONITORING TEKANAN INTRAKRANIAL (TIK) Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal. Cedera kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai hematoma, kontusi (memar), edema atau sisterna basal yang terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua atau lebih hal berikut : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm Hg. Monitoring tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat, kecuali untuk adanya lesi massa traumatika tertentu. Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder bisa beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan ICU. TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang besar, karena berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.
40
HIPERVENTILASI Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah. Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang.
Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik. INTERVENSI FARMAKOLOGI Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta tidak adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil berdilatasi, tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada pasien dengan GCS inisial < 9). Hiperventilasi adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak. Status neurologis memerlukan penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda herniasi otak, hiperventilasi dihentikan. Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat mekanisme indirek (cedera sekunder) seperti hipoksemia, hipotensi dan edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang bersamaan seperti hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan cedera neuronal. Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk mengontrol peninggian tekanan intrakranial. Namun belum jelas manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau mekanisme kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah bahwa mannitol merupakan plasma expander kerja cepat dan efek osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan menurunkan hematokrit dan viskositas darah dengan akibat meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan dasar resusitasi otak. Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa terakumulasi diotak dengan akibat reverse osmotic shift yang berpotensi meninggikan tekanan intrakranial (karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol
41
lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga bahwa mannitol berpotensi menimbulkan hipotensia. 1. Lidokain Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat intubasi endotrakheal. Namun tidak ada bukti peninggian tekanan intrakranial transien saat manipulasi intubasi berpengaruh pada outcome. Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl (50 g, q2-3 menit) atau thiopental (3-5 mg/kg). Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah sakit, terutama bila perjalanan memerlukan waktu panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah atau mengamuk adalah menilai dan mengoreksi hipotensi, hipoksemia, hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak dianjurkan dan meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien penting dalam transport yang aman, berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila sarana tersedia). Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan. Pra rumah sakit bisa diberikan droperidol 5 mg intravena. Blok neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang nyeri akan meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan tanpa risiko disamping mempengaruhi GCS. Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala. Hipoglikemia ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri kepala dan kelemahan pada 75 % pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang bisa terjadi. Kadar 30 mg/dl tampil dengan konfusi atau delir. Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma dalam yang mungkin irreversibel. Kontroversi terjadi pada akurasi strip pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa, serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik. Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi empirik, kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien mengalami gangguan status mental tanpa disertai defisit fokal. Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku atau cubitan ketiak dengan fleksi abnormal atau respons motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil asimetris dan atau berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan hiperventilasi. Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi O2 nya dipertahankan > 90.
42
Tekanan darah sistolik dipertahankan diatas 90 mm Hg pada dewasa dan usia 12-16; 80 mm Hg bagi usia 5-12; 75 mm Hg bagi usia 1-5; dan 65 mm Hg untuk bayi kurang dari 1 tahun. Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap setiap 5 menit dan tindak atau ubah tindakan bila perlu. 2. Sedasi Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan transport, namun masing-masing mempengaruhi pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler digunakan bila sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi pendek. Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua jenis tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja bisa berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung terhadap resusitasi, seperti misalnya diuretika. 3. Manitol Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320 mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu. Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau nyata ada peninggian tekanan intrakranial. 4. Barbiturat Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan koma
43
barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak. 5. Anti Kejang GCS < 10, Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT, Fraktur tengkorak terdepres, Hematoma subdural, Hematoma epidural, Hematoma intraserebral, Cedera tembus tengkorak, Kejang dalam 24 jam sejak cedera. Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter. Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti kejang pertama membentuk fokus kejang permanen. Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan Fenitoin atau carbamazepin seperta pra rumah sakit. INDIKASI OPERASI Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral yang mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Hematoma kecil dengan pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa terjadi perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan segera. Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral, gangguan respons okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan. Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi segera. Hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan operasi dini. Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK. Dari angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi :
44
1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih. 2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media berapapun jauhnya. 3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan herniasi tentorial dengan sangat cepat. 4. Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila terjadi herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia, fraktura terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih dari 1 tabula atau lebih dari satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila pergeseran garis tengah serta massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun mengalami perburukan atau sisterna basal terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi mati batang otak. JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko. Beberapa tindakan dilakukan bersamaan segera. Termasuk mengontrol suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala tempat tidur, pencegahan obstruksi vena juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis, mempertahankan oksigenasi arterial yang adekuat, serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70 mm Hg atau lebih. Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus merupakan tindakan pertama menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila ada, lakukan monitor aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian cairan. Selama tindakan tetap waspada akan kemungkinan terjadinya massa yang perlu tindakan bedah. Bila tindakan tesebut gagal,
45
pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif namun dengan komplikasi nyata seperti barbiturat, atau yang efektif namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi hingga PaCO2 dibawah 30 mm Hg serta terapi hipertensif. Referensi : Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996. Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000. Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.
http://www.ilmukeperawatan.com/asuhan_keperawatan_cedera_kepala.html, diakses 11 januari 2011.
Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 14011424. Guidelines for Prehospital Management of Traumatic Brain Injury. Brain Trauma Fondation, New York. 2000, Brain Trauma Fondation. American Association of Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. 2000, Brain Trauma Fondation.
46
47