Вы находитесь на странице: 1из 9

Tantangan Geologis Tol Semarang-Solo

rahmat petuguranApr 05,20110 Comments

Pembangunan konstruksi Jalan Tol Semarang-Solo rute Kota Semarang hingga Ungaran, Kabupaten Semarang, sepanjang lebih kurang 15 Km telah selesai pada Februari 2011. Setelah penyelesaian pembangunan konstruksi tersebut, sejatinya ruas tol tersebut akan menjalani uji teknis oleh tim dari Kementerian Pekerjaan Umum, sebelum dioperasikan. Bahkan, Gubernur Bibit Waluyo menyatakan jika ruas tol ini dinilai layak dioperasikan, maka pihak pengelola hanya akan membatasi jenis kendaraan yang untuk sementara diizinkan melaluinya. Ia menegaskan, untuk sementara hanya kendaraan pribadi saja yang diizinkan melintasi jalan tol tersebut. Salah satu pertimbangan utama, kata dia, antisipasi penumpukan lalu lintas di pintu keluar yang berada di titik pertemuan antara jalan utama Semarang-Solo. Jika jalur keluar ini dilakukan kendaraan berat atau truk, belum memungkinkan, katanya. Bahkan, lanjut dia, hal tersebut justru akan menimbulkan permasalahan kemacetan baru. Akan tetapi, sebelum seluruh rencana tersebut teralisasi, justru muncul retakan di salah satu titik, tepatnya di KM STA 5+500-5+700, di Gedawang, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Retakan di ruas jalan dengan panjang sekitar 200 meter tersebut terjadi hanya beberapa hari setelah pembangunan rute pertama konstruksi tol ini dinyatakan selesai. Gubernur Bibit Waluyo mengakui, retak yang muncul di salah satu titik ruas tol ini gagal diantisipasi. Ia menuturkan, perencanaan awal pada bagian ini kurang matang sehingga retakan yang terjadi ini gagal diantisipasi.

Kalau perencanaan awal hanya 60 persen, maka risikonya seperti ini. Kalau mengerjakan rencana besar, tentu risikonya juga besar, katanya. Kondisi Geologi Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah, Teguh Dwi Paryono mengatakan, terjadinya retakan terhadap konstruksi tol semacam itu, bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Menurut dia, terdapat dua kondisi geologi di sekitar lokasi pembangunan tol Semarang-Solo. Pertama, kata dia, terdapat struktur patahan yang sejajar dengan jalur tol di Kilometer 5. Keberadaan strutur patahan diperlihatkan dari kemunculan mata air di sekitar lokasi tol yang retak. Terdapat struktur patahan, namun sudah mati. Munculnya mata air tersebut menandakan adanya struktur patahan, katanya. Kondisi kedua, lanjut dia, terdapat struktur tanah lempung di bagian dalam tanah. Meski demikian, kata dia, longsor yang menyebabkan keretakan terhadap badan jalan tol ini bukan disebabkan oleh cekungan air tanah yang ada di bawah konstruksi. Pendapat senada disampaikan salah satu anggota tim teknis proyek Tol SemarangSolo, Imam A Sadisun. Konstruksi jalan tol ini berada di atas struktur patahan minor. Selain itu, menurut dia, konstruksi jalan ini dibangun di atas tanah yang merupakan sisa longsoran lama atau Paleo Landslinde. Faktor Hidrologi Ia mengatakan, kemunculan mata air di sekitar konstruksi jalan tol inilah yang harus mendapat perhatian dan upaya penanganan. Ia menjelaskan, setidaknya terdapat lima sendang atau mata air di sekitar kawasan itu. Masalah uatama dalam pembangtunan konstruksi ini yakni air. Air masuk dalam sela-sela timbunan tanah, kata Ketua Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung ini. Pendapat serupa disampaikan pakar hidrologi Universitas Diponegoro Semarang, Robert J Kodoatie. Konstruksi jalan tol ini berada di kawasan bukan cekungan air tanah. Menurut dia, mata air tersebut berasal dari aliran antara, yang hanya muncul saat musim penghujan.

Mata air ini hanya muncul saat musim penghujan. Saat kemarau, alirannya akan menghilang, kata Koordinator Presidium Lembaga Konsumen Jasa Konstruksi Jawa Tengah ini. Oleh karena itu, lanjut dia, dalam penanganan konstruksi jalan tol ini harus menitikberatkan pada pembangunan sistem drainase yang baik. Masalah utamanya adalah air, oleh karena itu harus buat sistem drainase, terutama di sekitar timbunan tanah, tambahnya. Permasalahan terhadap konstruksi tol ini diperparah oleh penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang dinilai tidak lazim. Sekretaris Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro, Dwi P.Sasongko menilai, terdapat sejumlah kenjanggalan dalam penyusunan amdal proyek ini. Pertama, menurut dia, amdal proyek ini tidak disusun secara terintergerasi, karena mendahului detail rancang bangun konstruksi dan tidak menyampaikan alternatif rute jika terjadi permasalahan konstruksi. Selain itu, lanjut dia, amdal tersebut juga tidak menyempaikan alternatif pemecahan jika terjadi persoalan seperti yang terjadi saat ini. Padahal, kondisi itu dapat berdampak terhadap aspek legalitas proyek ini. Perbaikan yang dilakukan oleh pelaksana proyek akan mengubah desain awal jalan tol ini, kata pakar geologi Universitas Diponegoro ini. Sementara, analisis yang disususn tersebut telah ditetapkan dalam suatu Peraturan Gubernur Jawa Tengah. Menerapkan suatu teknologi baru untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi berarti mengubah desain awal, katanya. Dengan demikian, katanya, amdal yang disusun sebagai dasar detail rancang bangun konstruksi tidak sesuai lagi dan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1999 tentang Penyusunan Amdal. Oleh karena itu, alternatif penanganan yang dapat dilakukan tanpa melanggar hukum yakni dengan mereview amdal saat ini. Dengan mereview amdal, maka berbagai hal yang belum tersentuh di dalamnya dapat dimasukkan, katanya. Kepala Bidang Pengkajian Dampak dan Pengembangan Teknologi Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah, Otniel Moeda, mengakui, penyusunan amsal proyek tol itu mendahului pembuatan detail rancang bangun konstruksi.

Cara ini sebenarnya tidak masalah, karena nantinya desain konstruksi akan mengacu pada amdal yang sudah disusun, katanya. Selain itu, katanya, penyusunan amdal juga didasarkan atas kondisi medan yang akan dilalui proyek tersebut. Upaya Penanganan Melihat berbagai tentangan dan persoalan yang dihadapi oleh pelaksana proyek jalan tol ini, Dinas Bina Marga telah melakukan upaya perbaikan terhadap ruas yang mengalami kerusakan tersebut. Kepala Dinas Bina Marga Jawa Tengah, Danang Atmodjo mengatakan, upaya untuk menangani timbulnya keretakan konstruksi jalan tol ini sudah dilakukan. Ia menuturkan, pelaksana proyek jalan tol Semarang-Solo mengeruk tanah pada Kilometer 5 ruas tol tersebut, untuk mengurangi ketinggian badan jalan tol yang sebelumnya mengalami keretakan. Ketinggian ruas tol di kilometer tersebut dikurangi sekitar tiga hingga lima meter, sepanjang 200 meter, kata Danang. Menurut dia, cara ini merupakan salah satu upaya teknis yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Ia menjelaskan, dengan teknik ini, maka beban jalan di titik tersebut diharapkan dapat berkurang, sehingga mengurangi pula risiko kerusakan yang lebih parah. Ia mengatakan, keputusan teknis untuk mengurangi ketinggian badan jalan tol ini didasarkan atas kesimpulan sejumlah pakar konstruksi yang dimintai pendapatnya. Perbaikan yang telah dimulai sejak Maret 2011 lalu, kata dia, diperkirakan akan memakan waktu sekitar satu bulan. Menurut perhitungan, perbaikan di ruas seksi I ini akan memakan waktu sekitar tiga minggu hingga satu bulan, kata Danang. Pelaksana proyek jalan tol ini, lanjut dia, membongkar seluruh badan jalan di sekitar retakan, sepanjang 300 meter. Bagian jalan yang dibongkar tersebut, kata dia, akan direkonstruksi dengan menggunakan struktur beton. Sementara itu, anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah, Sri Pratono meminta, pemerintah provinsi mengevaluasi pengerjaan Jalan Tol Semarang-Solo menyusul keretakan di kilometer 5 seksi Kota Semarang hingga Ungaran, Kabupaten Semarang. Menurut dia, keretakan tersebut kemungkinan tidak hanya terjadi pada satu titik. Pengecekan terhadap konstruksi jalan tol yang sudah jadi ini jangan hanya di satu titik, kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Ia menuturkan, dengan evaluasi secara menyeluruh, dapat diketahui masalah yang dihadapi serta pemecahan teknis yang mungkin dilakukan. Ia menambahkan, sejumlah akademisi telah dimintai penmdapatanya dalam pelaksaan proyek ini yang bertujuan untuk mengupayakan penyelasaian jalan tol Semarang-Solo. Aspek regulasi juga harus menjadi pertimbangan, agar tidak muncul masalah di kemudian hari, katanya. Oleh : Immanuel Citra Senjaya / Achmad Zaenal M Sumber: http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=42111

http://portalsemarang.com/tantangan-geologis-tol-semarang-solo

SEMARANG - Sekretaris Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro Drs Dwi P Sasongko MSi mengungkapkan, potensi terjadi ambles dan retakan pada pekerjaan jalan tol Semarang-Solo Seksi I (Semarang-Ungaran) di stasiun 5 + 500 sampai 5 + 700 di ruas Gedawang-Penggaron, tidak (Amdal). Dia membeberkan, dalam dokumen Amdal yang sudah pernah diprediksi dan dievaluasi dampaknya dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

mendapatkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dari Gubernur Jawa Tengah Nomor 665.1/15/2005 tanggal 5 Oktober 2005, tidak memiliki peta geologi dan geohidrologi yang terkait dengan kerentanan tanah.

Akibatnya, tidak ada prediksi kemampuan tanah untuk mendukung struktur badan jalan tol. Bila kondisi geologi lokal di sekitar tapak proyek sudah

diketahui sejak awal dan dituangkan dalam Amdal, mestinya perencanaan merupakan kelayakan pembangunan substansi jalan tol memiliki bagian beberapa dari studi alternatif rute. Alternatif rute dalam kajian Amdal jalan tol Amdal sebagai ekologis.

Namun, ternyata alternatif rute jalan tol ini tidak ada dalam Amdal, sehingga tidak ada rekomendasi pemilihan alternatif rute terbaik dari perspektif ekologis berdasarkan evaluasi dampak penting hipotetik aspek geologi, katanya. Tidak adanya uraian tentang struktur geologi yang terkait dengan jenis tanah/batuan, seperti adanya formasi kerek di lokasi tapak proyek, menurut Sasongko, menyebabkan tidak diketahuinya kohesivitas dan sudut geser dalam material serta daya dukung dan kemantapan lereng.

Tidak ada analisis kestabilan lereng sehingga prediksi dan evaluasi dampak dalam Amdal tidak memunculkan potensi pergerakan tanah atau longsoran. Akibatnya, tidak ada prediksi dan evaluasi zona kerentanan tanah di lokasi yang dilalui rute jalan Bidang Berdasarkan struktur geologi tapak proyek, tol. Gelincir lanjut dia,

seharusnya sudah diketahui adanya retak-retak di sekitar patahan (yang biasa disebut kekar), yang berpotensi menjadi bidang gelincir dan memicu pergerakan tanah bila ada penambahan Dokumen Amdal, beban ungkap dia, di ternyata tidak atasnya. memuat

rekomendasi tentang pemilihan rute alternatif terbaik dan

usulan penerapan rekayasa fondasi yang paling sesuai. Hal ini bisa terjadi karena dokumen Amdal tidak memuat komponen lingkungan geologi sebagai sumber dampak penting hipotetik. Berdasarkan review dokumen Amdal Jalan Tol Semarang-Solo, lanjut Dwi Sasongko, perlu dikaji ulang Amdal untuk merumuskan rekomendasi pengelolaan amblesan dan retakan tanah di ruas Gedawang-Penggaron Sta 5+500 sampai 5+700. Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Jateng Rukma Setia Budi mengungkapkan, pihaknya Kamis (31/3) ini akan mempertemukan para pakar yang pro dan kontra terhadap langkah yang ditempuh PT Transmarga Jateng dalam mengatasi problem Kami Jateng jalan mengundang dan tol pakar-pakar Jateng Semarang-Ungaran. Undip pun yang kami memiliki undang.

pandangan berbeda dengan Transmarga. Dari Dinas Bina Marga Transmarga kabarnya

Transmarga,

akan

menghadirkan

pakar-pakar

tekniknya dari Institut Teknologi Bandung. Tujuan dari pertemuan ini bukan untuk saling menyalahkan, tetapi guna mencari solusi terbaik, kata Rukma. (H30,H23-35)

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/03/31/141803/ Amdal-Tol-Tak-Sentuh-Peta-Geologi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - PT Jasa Marga (Persero) Tbk membantah keras bahwa kawasan Semarang-Ungaran yang kini dilalui Proyek Tol Semarang-Solo seksi 1 sebagai daerah patahan. "Kawasan itu bukan

daerah patahan. Silahkan cek datanya ke Geologi. Jika daerah rawan longsor memang benar," kata Direktur Pengembangan Usaha, PT Jasa Marga Tbk, Abdul Hadi di Jakarta, Rabu (23/3). Penegasan itu disampaikan terkait pernyataan sejumlah akademisi bahwa daerah tersebut sebenarnya masuk zona merah karena daerah patahan sehingga secara alami tidak layak untuk proyek seperti jalan tol. Pernyataan akademisi tersebut dipicu setelah ambles dan retaknya Tol Semarang-Ungaran seksi satu sepanjang 200 meter (km 05+500 hingga km 05+700), sesaat setelah selesai dikerjakan pada 27 Februari 2011 atau molor dari target pertengahan tahun lalu. Menurut Abdul Hadi, rute jalan tol tersebut ditetapkan oleh pemerintah dan merupakan opsi yang layak dari sisi teknis, sosial, lingkungan maupun finansial. Data penyelidikan tanah pada tahap perencanaan, lanjut Hadi, secara teknis kontruksi timbunannya pada derah tersebut hanya timbunan biasa dengan ketinggian hingga 25 meter tanpa perkuatan khusus. "Untuk itu, pada tahap konstruksi di kawasan itu sesuai saran ahli geoteknik dan pengalaman di tol Cipularang, dipasanglah 'borepile' (tiang beton bertulang) pada titik tertentu untuk penahan longsor," katanya. Senada dengan Hadi, Kepada Divisi Teknik Jasa Marga, Edy Bambang S menyebut, langkah penanganan saat ini adalah mengurangi beban timbunan dengan menggali atau menurunkan permukaan tanah. Pada kawasan itu dikenal sebagai daerah dengan lempung keras (clay shale) dan jika terkena air lalu melembek dan cenderung tergelincir sehingga tak bisa disebut sebagai daerah patahan. "Untuk itu, kita pasang sumuran setiap jarak 25 meter dan mengalirkan air dari sendang di sisi barat timbunan dengan drainase di bawah timbunan (subdrain)," katanya. Tidak hanya itu, pihaknya telah memasang alat pendeteksi getaran tanah (inclinometer) di kawasan itu. Edy yang juga Komisaris PT Trans Marga Jateng (TMJ), anak usaha PT

Jasa Marga, selaku pelaksana proyek tol Semarang-Solo ini menyatakan, apa yang terjadi di kawasan itu adalah lazim terjadi dalam pekerjaan pembuatan jalan. "Apa yang terjadi di Semarang-Ungaran seksi 1 ini tidak ada apa-apanya dibanding problem Cipularang," katanya. Namun, keduanya enggan merinci berapa total anggaran untuk melakukan penanganan tersebut. "Yang jelas, kejadian ini tak berpengaruh pada kelayakan finansial dan ekonomi proyek itu. Rate of Return-nya tetap terjaga," kata Hadi. Dia juga memastikan pihaknya telah mengantisipasi dana kontijensi sekitar 5-10 persen dari nilai proyek sehingga sama sekali tak menggangu yang bersumber dari APBN. Proyeksi investasi tol Semarang-Solo sepanjang 72 km sekitar Rp 7-8 triliun dan untuk seksi satu SemarangUngaran sepanjang 3-4 km sekitar Rp 400 miliar. Redaktur : Djibril Muhammad Sumber : Antara http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/nusantara/11/03/23/171689-proyek-tol-semarang-ungaranbukan-daerah-patahan-tapi-rawan-longsor

Вам также может понравиться