Вы находитесь на странице: 1из 16

ASURANSI Pendapat Ulama Tentang Asuransi Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin)

untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya. Hampir semua ulama sepakat mengenai pentingnya asuransi dalam kehidupan sosial. Namun mereka berbeda pandangan ketika berbicara mengenai hukum dari Asuransi, dilihat dari sudut fiqh Islam. Secara umum, pandangan ulama terhadap asuransi terwakili dalam tiga golongan pendapat, 1. Golongan pendapat yang menghalalkan asuransi Diantara ulama yang menghalalkan asuransi adalah : Syekh Abdul Wahab Khalaf, Musthafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Bahjat Ahmad Hilmi dsb. Diantara alasan pendapat yang menghalalkan asuransi adalah: Tidak adanya nash Quran maupun hadits yang melarang. Peserta asuransi dan perusahaan sama-sama rela dan ridha. Tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak. Asuransi bahkan memberikan keuntungan kedua pihak. Asuransi termasuk akad mudharabah, peserta sebagai shahibul mal dan perusahaan asuransi sebagai mudharibnya. f. Usaha asuransi sangat menguntungkan kemaslahatan umum. a. b. c. d. e. 2. Golongan pendapat yang mengharamkan asuransi Diantara ulama yang mengharamkan asuransi adalah: Syekh Ahmad Ibrahim, Sayid Sabiq, Muhammad Abu Zahrah, Abdullah Al-Qalqili, Syekh Muhammad Bakhit Al-Muthii, dsb. Diantara alasan pendapat yang mengharamkan asuransi adalah: a. Asuransi mengandung unsur perjudian (maysir/ qimar) b. Asuransi mengandung unusr ketidakjelasan dan ketidakpastian (gharar). c. Asuransi mengandung unsur riba. d. Potensi terjadi dzulm bagi nasabah yang tidak bisa melanjutkan pembayaran premi, yaitu berupa hilang atau hangusnya premi yang telah dibayarkannya. e. Asuransi termasuk akad sharf, yaitu terjadinya tukar menukar uang, namun tidak sama dan juga tidak tunai.

3. Golongan pendapat yang memperbolehkan asuransi dengan syarat dan catatan tertentu Asuransi menurut golongan ketiga ini boleh tetapi dengan syarat dan catatan tertentu. Alasan mengapa golongan ketiga ini membolehkan asuransi dengan syarat tertentu adalah sbb: a. Dalam muamalah hukum asalnya adalah boleh (ibahah), selama tidak ada nash yang malarangnya. b. Asuransi sudah menjadi dharurah ijtimaiyah, khususnya di negera-negera maju. Diantara syarat-syarat diperbolehkannya asuransi yaitu: a. Menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan yang terdapat dalam asuransi, yaitu gharar, riba dan maisir. b. Merubah sistem asuransi yang bersifat jual-beli (tabaduli) menjadi sistem yang bersifat tolong menolong (taawuni), di mana peserta asuransi saling tolong menolong terhadap peserta lain yang tertimpa musibah. c. Konsekuensinya adalah menjadikan premi yang dibayarkan peserta sebagiannya dijadikan tabarru, (hibah/ derma) yang dikelola dalam satu fund khusus, yang peruntukannya khusus untuk memberikan manfaat asuransi. d. Pengelolaan dana atau investasinya haruslah pada proyek-proyek yang sesuai dengan syariah. Pendapat Yang Mengharamkan 1. Disimpulkan Bahwa Asuransi Sama Dengan Judi Padahal Allah Subhanahu Wa Taala dalam Al Quran telah mengharamkan perjudian, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat berikut: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. (QS. Al Baqarah: 219) Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al Maidah: 90). Karena menurut sebagian ulama bahwa pada prakteknya asuransi itu tidak lain merupakan judi, maka mereka pun mengharamkannya. Karena yang namanya judi itu memang telah diharamkan di dalam Al Quran. 2. Disimpulkan Bahwa Asuransi Mengandung Unsur Riba Sebagian ulama lewat penelitian panjang pada akhirnya mnyimpulkan bahwa asuransi (konvensional) tidak pernah bisa dilepaskan dari riba. Misalnya, uang hasil premi dari peserta asuransi ternyata didepositokan dengan sistem riba dan pembungaan uang.

Padahal yang namanya riba telah diharamkan Allah Subhanahu Wa Taala di dalam Al Quran, sebagaimana yang bisa kita baca di ayat berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al Baqarah: 278) Maka mereka dengan tegas mengharamkan asuransi konvensional, karena alasan mengandung riba. 3. Disimpulkan Bahwa Asuransi Mengandung Unsur Pemerasan Para ulama juga menyimpulkan bahwa para peserta asuransi atau para pemegang polis, bila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi. Inilah yang dikataka sebagai pemerasan. Dan Al Quran pastilah mengharamkan pemerasan atau pengambilan uang dengan cara yang tidak benar. Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan kamu membawa harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui.(QS. Al Baqarah: 188) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS. An-Nisa: 29) 4. Disimpulkan Bahwa Hidup dan Mati Manusia Mendahului Takdir Allah. Meski alasan ini pada akhirnya menjadi kurang populer lagi, namun harus diakui bahwa ada sedikit perasaan yang menghantui para peserta untuk mendahului takdir Allah. Misalnya asuransi kematian atau kecelakaan, di mana seharusnya seorang yang telah melakukan kehati-hatian atau telah memenuhi semua prosedur, tinggal bertawakkal kepada Allah. Tidak perlu lagi menggantungkan diri kepada pembayaran klaim dari perusahaan asuransi. Padahal takdir setiap orang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu Wa Taala sebagaimana yang disebutkan di dalam Al Quran. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan nya. Sesungguhnya Allah

melaksanakan urusan yang Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.(QS. Ath-Thalaq: 3) Dan Kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan. (QS. Al Hijr: 4) Itulah hasil pandangan beberapa ulama tentang asuransi bila dibreakdown isinya. Ada beberapa hal yang melanggar aturan dalam hukum muamalah. Pendapat Yang Membolehkan Namun kita juga tahu bahwa ada juga beberapa ulama yang masih membolehkan asuransi, tentunya dengan beberapa pertimbangan. Antara lain mereka mengatakan 1. Pada dasarnya Al Quran sama sekali tidak menyebut-nyebut hukum asuransi. Sehingga hukumnya tidak bisa diharamkan begitu saja. Karena semua perkara muamalat punya hukum dasar yang membolehkan, kecuali bila ada hAl hal yang dianggap bertentangan. 2. Karena pada kenyataannya sistem asuransi dianggap dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. 3. Asuransi telah nyata menyantuni korban kecelakaan atau kematian dalam banyak kasus, termasuk juga pada kerusakan atau kehilangan harta benda, sehingga secara darurat asuransi memang dibutuhkan. Kriteria Asuransi Yang Halal Asuransi sistem syariah pada intinya memang punya perbedaan mendasar dengan yang konvensional, antara lain: 1. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Di mana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (juAl beli antara nasabah dengan perusahaan). 2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga. 3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut. 4. Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.

5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa. 6. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.

HAK CIPTA MENURUT PANDANGAN ISLAM

hak cipta perspektif hukum di Indonesia dan Islam Di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang mewajibkan menyebar luaskan ilmu dan ajaran ajaran agama seperti dalam surat Al-Maidah ayat 67, Yusuf ayat 108. Dan disamping itu terdapat pula beberapa ayat yang melarang (haram), mengutuk dan mengancm dengan adzab neraka pada hari akhirat nanti kepada orang-orang yang menyembunyikan ilmu, ajaran agama dan mengkomersilkan agama untuk kepentingan kehidupan dunia seperti Ali Imran ayat 187, AlBaqarah ayat 159-160 dan ayat 174-175.[4] Ke-5 ayat di atas memang berkenanan dengan Ahli Kitab, namun sesuai dengan kaidah hukum Islam Yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafalnya (redaksi) bukan kekhususan sebabnya Maka peringatan dan ketentuan hukum dari kelima ayat tersebut juga berlaku bagi umat Islam artinya umat Islam wajib menyampaikan ilmu dan ajaran agama (dakwah Islamiyah) kepada masyarakat dan haram menyembunyikan ilmu dan ajaran agama.[5] Demikian pula terdapat beberapa hadits yang senada dengan ayat Al-Quran tersebut, antara lain yang diriwayatkan Hakim dari Abu Hurairah: Barang siapa ditanyai tentang sesuatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan diberi pakaian kendali pada mulutnya dari api neraka pada hari kiamat Yang dimaksud dengan ilmu yang wajib dipelajari (fardlu ain) dan wajib pula disebarkan ialah pokok-pokok ajaran islam tentang aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Di luar itu, hukumnya bisa berubah tergantung pada urgensinya bagi setiap individu dan umat.[6] Mengenai hak cipta seperti karya tulis, menurut pandangan Islam tetap pada penulisnya, sebab karya tulis itu merupakan hasil usaha yang halal melalui kemampuan berpikir dan menulis sehingga karya tulis itu dilindungi hukum. Sehingga bisa dikenakan sanksi hukuman terhadap siapapun yang berani melanggar hak cipta seseorang.[7] Seseorang diberi hak untuk mempertahankan hak miliknya dari gangguan orang lain. Bahkan jika dia mati di dalam membela dan mempertahankan hak miliknya itu dipandang sebagai syahid, suatu penghargaan dari Allah[8]. Dalam hadits disebutkan: - - - - . Dan siapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid (HR. Bukhari) [9] Islam sangat menghargai karya tulis yang bermanfaat untuk kepentingan agama dan umat, sebab itu termasuk amal shaleh yang pahalanya terus menerus bagi penulisnya, meskipun ia telah meninggal. Sebagaimana dalam hadits Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah:

Ketika manusia meninggal maka seluruh amal perbuatanya terputus kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anaj shalih yang mendoakanya. Karena hak cipta merupakan hak milik pribadi, maka agama melarang oang yang tidak berhak (bukan pemilik hak cipta) menfotokopi, baik untuk kepentingan pribadi maupununtuk kepentingan bisnis. Demikian pula menterjemahkannya ke dalam bahasa lain dan sebagainya dilarang, kecuali dengan izin penulisnya atau penerbit yang diberiha untuk menerbitkannya. Perbuatan memfotokopi, mencetak, menterjemahkan, membaca dan sebagainya terhadap karya tulis seseorang tanpa izin penulis sebagai pemilik hak cipta atau ahli warisnya yang sah atau penerbit yang diberi wewenang oleh penulisnya, adalah perbuatan tidak etis dan dilarang oleh islam. Sebab perbuatan semacan itu bisa termasuk kategori pencurian, kalau dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan diambil dari tempat penyimpanan karya tulis itu; atau disebut perampasan atau perampokan kalau dilakukan dengan terang-terangan dan kekerasan; atau pencopetan kalau dilakuan dengan sembunyi-sembunyi dan di luar tempat penyimpanannya yang semestinya; atau penggelapan/khianat kalau dilakukan dengan melanggar amanat/perjanjiannya, misalnya penerbit mencetak 10.000 eksemplar padahal menurut perjanjian hanya mencetak 5.000 eksemplar, atau ghasab kalau dilakukan dengan cara dan motif selain tersebut di atas.[10] Adapun dalil-dalil syarI yang dijadikan dasar melarang pelanggaran hak cipta dengan perbuatan-perbuatan tersebut di atas antara lain: 1. Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 188 ........ @t69$$/ N3oYt/ N3s9uqBr& (#q=.'s? wur 188. dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil. Al-Quran Surat An-Nisa ayat 29 M6oYt/ N3s9uqBr& (#q=2's? w (#qYtB#u %!$# $ygr't otpgB cq3s? br& Hw) @t69$$/ 4 N3ZiB <#ts? `t 29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Ayat di atas mengingatkan agar dalam memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam dan lingkungan itu, seseorang harus menghormati pula kepentingan serta milik orang lain. dengan kata lain, ia harus menempuh cara-cara yang sah dan halal dan tidak berlaku secara sembrono. Allah melarang memakan harta sesama dengan cara bathil. Memakan harta secara bathil ini meliputi semua cara mendapatkan harta yang tidak diizinkan atau dibenarkan Allah. Diantarnya denga cara menipu, menyuap, semua bentuk jual beli yang haram dan mencuri.[11] Termasuk di dalamnya pencurian karya orang lain melalui pelanggaran hak cipta. 2. Hadits Nabi riwayat Al-Darruquthni dari Anas (hadits marfu) Tidak halal harta sorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di atas pada dasarnya memberikan ketegasan tentang kepemilikan pribadi seseorang yang tidak boleh dirampas atau diambil tanpa seizinnya.

3.

Hadits Nabi : . : , . . Nabi bertanya: apakah kamu tahu siapakah orang yang bangkrut itu? jawab mereka (shahabat): orang bangkrut dikalangan kita adalah orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali. kemudian Nabi bersabda: sebenarnya orang yang bangkrut (amalnya) dari umatku itu adalah orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang baik, seperti sholat, puasa dan zakat. Dan iapun membawa pula berbagai amalan yang jelek, seperti memaki-maki, menuduh, memakan harta orang lain, membunuh dan memukul orang. Maka amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang pernah di zhalimi, dan apabila hal itu belum cukup memadai, maka amalan-amalan jelek dari mereka yang pernah di zhalimi itu ditransfer kepada si zhalim. Kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka. Ayat dan kedua hadits di atas mengingatkan umat Islam agar tidak memakai atau menggunakan hak orang lain dan tidak pula memakan harta orang lain kecuali dengan persetujuan. Dan pelanggaran terhadap orang lain termasuk hak cipta bisa termasuk kategori muflis, yakni orang yang bangkrut amalnya nanti di akhirat. Islam menghormati hak milik pribadi, tetapi hak milik pribadi itu bersifat social, karena hak milik pribadi pada hakikatnya adalah hak milik Allah yang diamanatkan kepada orang yang kebetulan memlikinya. Karenanya, karya tulis itupun harus bisa dimanfaatkan oleh umat, tidak boleh dirusak, dibakar atau disembunyikan oleh pemiliknya.[12] Penulis atau penerbit tidak dilarang oleh agama mencantumkam: Dilarang mengutip dan atau memperbanyak dalam bentuk apapun bila tidak ada izin tertulis dari penulis atau penerbit. Sebab pernyataan tersebut dilakukan hanya bertujuan untuk melindungi hak ciptanya dari usaha pembajakan, plagiat dan sebagainya yang menurut peraturan perundang-undangan di Negara kita juga dilindungi (UU No. 6 Tahun 1982 jo UU No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta).[13] Jadi, pernyataan tersebut jelas bukan bermaksud untuk menyembunyikan ilmunya, sebab siapapun dapat memperbanyak, mencetak dan sebagainya setelah mendapat izin atau mengadakan perjanjian dengan penulis atau ahli waris atau penerbitnya. Di dalam CD (Cairo Declaration) pasal 16 ditegaskan: setiap orang berhak untuk menikmati hasil karya ilmiah sastra, seni atau teknik dan berhak melindungi hasil karyanya baik yang berkaitan dengan kepentingan moral maupun material, asalkan hasil karya itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat[14] Di dalam UDHR (The Universal Declaration of Human Rights) pasal 27 juga ditegaskan: 1. Setiap orang berhak berpartisipasi di dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, untuk menikmati kesenian dan berperan serta dalam memajukan ilmu pengetahuan dan menikmati manfaatnya. 2. Setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan baik moral maupun material yang ia peroleh dari setiap usahanya dibidang keilmuan, kesustraan, kesenian, di mana ia menjadi penciptanya Di sini kelihatan suatu penekanan di dalam CD tentang hak menikmati hasil/ produk ilmu dan hak cipta ialah tidak bertentangan dengan prinsip syariat Islam.

MLM Dalam Pandangan Islam Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang menanyakan hukum melakukan transaksi jual beli dengan system MLM (Multi Level Marketing). Tulisan di bawah ini mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan tersebut: Pengertian MLM MLM adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung. Sistem penjualan ini menggunakan beberapa level (tingkatan) di dalam pemasaran barang dagangannya. Promotor (upline) adalah anggota yang sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan bawahan (downline) adalah anggota baru yang mendaftar atau direkrut oleh promotor. Akan tetapi, pada beberapa sistem tertentu, jenjang keanggotaan ini bisa berubah-ubah sesuai dengan syarat pembayaran atau pembelian tertentu. Komisi yang diberikan dalam pemasaran berjenjang dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi yang otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan mendapatkan bagian komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan bawahan. Harga barang yang ditawarkan di tingkat konsumen adalah harga produksi ditambah komisi yang menjadi hak konsumen karena secara tidak langsung telah membantu kelancaran distribusi. (http://id.wikipedia.org) Untuk menjadi keanggotaan MLM, seseorang biasanya diharuskan mengisi formulir dan membayar uang dalam jumlah tertentu dan kadang diharuskan membeli produk tertentu dari perusahaan MLM tersebut, tetapi kadang ada yang tidak mensyaratkan untuk membeli produk tersebut. Pembayaran dan pembelian produk tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan point tertentu. Kadang point bisa didapatkan oleh anggota jika ada pembelian langsung dari produk yang dipasarkan, maupun melalui pembelian tidak langsung melalui jaringan keanggotaan. Tetapi kadang point bisa diperoleh tanpa pembelian produk, namun dilihat dari banyak dan sedikitnya anggota yang bisa direkrut oleh orang tersebut, yang sering disebut dengan pemakelaran.

Transaksi jual beli dengan menggunakan sistem MLM hukumnya haram. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut : Alasan Pertama: Di dalam transaksi dengan metode MLM, seorang anggota mempunyai dua kedudukan: Kedudukan pertama, sebagai pembeli produk, karena dia membeli produk secara langsung dari perusahaan atau distributor. Pada setiap pembelian, biasanya dia akan mendapatkan bonus berupa potongan harga. Kedudukan kedua, sebagai makelar, karena selain membeli produk tersebut, dia harus berusaha merekrut anggota baru. Setiap perekrutan dia mendapatkan bonus juga. Pertanyaannya adalah bagaimana hukum melakukan satu akad dengan menghasilkan dua akad sekaligus, yaitu sebagai pembeli dan makelar? Dalam Islam hal itu dilarang, ini berdasarkan hadist-hadist di bawah ini: 1. Hadits abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:

Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian. ( HR Tirmidzi, Nasai dan Ahmad. Berkata Imam Tirmidzi : Hadist Abu Hurairah adalah hadist Hasan Shahih dan bisa menjadi pedoman amal menurut para ulama) Imam Syafii rahimahullah berkata tentang hadist ini, sebagaimana dinukil Imam Tirmidzi, Yaitu jika seseorang mengatakan, Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian

dengan syarat kamu harus menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu. (Sunan Tirmidzi, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz : 3, hlm. 533) Kesimpulannya bahwa melakukan dua macam akad dalam satu transaksi yang mengikat satu dengan yang lainnya adalah haram berdasarkan hadist di atas. 2. Hadist Abdullah bin Amr, bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu." (HR. Abu Daud) Hadits di atas juga menerangkan tentang keharaman melakukan dua transaksi dalam satu akad, seperti melakukan akad utang piutang dan jual beli, satu dengan yang lainnya saling mengikat. Contohnya: Seseorang berkata kepada temannya, Saya akan jual rumah ini kepadamu dengan syarat kamu meminjamkan mobilmu kepada saya selama satu bulan. Alasan diharamkan transaksi seperti ini adalah tidak jelasnya harga barang dan menggantungkan suatu transaksi kepada syarat yang belum tentu terjadi. (Al Mubarkufuri, Tuhfadh al Ahwadzi, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz : 4, hlm. 358, asy Syaukani, Nailul Author, Riyadh, Dar an Nafais, juz : 5, hlm: 173) Alasan Kedua: Di dalam MLM terdapat makelar berantai. Sebenarnya makelar (samsarah) dibolehkan di dalam Islam, yaitu transaksi di mana pihak pertama mendapatkan imbalan atas usahanya memasarkan produk dan pertemukannya dengan pembelinya. Adapun makelar di dalam MLM bukanlah memasarkan produk, tetapi memasarkan komisi. Maka, kita dapatkan setiap anggota MLM memasarkan produk kepada orang yang akan memasarkan dan seterusnya, sehingga terjadilah pemasaran berantai. Dan ini tidak dibolehkan karena akadnya mengandung gharar dan spekulatif. Alasan Ketiga: Di dalam MLM terdapat unsur perjudian, karena seseorang ketika membeli salah satu produk yang ditawarkan, sebenarnya niatnya bukan karena ingin memanfaatkan atau memakai produk tersebut, tetapi dia membelinya sekedar sebagai sarana untuk mendapatkan point yang nilainya jauh lebih besar dari harga barang tersebut. Sedangkan nilai yang diharapkan tersebut belum tentu ia dapatkan. Perjudian juga seperti itu, yaitu seseorang menaruh sejumlah uang di meja perjudian, dengan harapan untuk meraup keuntungan yang lebih banyak, padahal keuntungan tersebut belum tentu bisa ia dapatkan.

Alasan Keempat: Di dalam MLM banyak terdapat unsur gharar (spekulatif) atau sesuatu yang tidak ada kejelasan yang diharamkan Syariat, karena anggota yang sudah membeli produk tadi, mengharap keuntungan yang lebih banyak. Tetapi dia sendiri tidak mengetahui apakah berhasil mendapatkan keuntungan tersebut atau malah merugi. Dan Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam sendiri melarang setiap transaksi yang mengandung gharar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya ia berkata :

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan cara al-hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur gharar (spekulatif). (HR. Muslim, no: 2783) Alasan Kelima: Di dalam MLM terdapat hal-hal yang bertentangan dengan kaidah umum jual beli, seperti kaidah : Al Ghunmu bi al Ghurmi, yang artinya bahwa keuntungan itu sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan atau resiko yang dihadapinya. Di dalam MLM ada pihak-pihak yang paling dirugikan yaitu mereka yang berada di level-level paling bawah, karena merekalah yang sebenarnya bekerja keras untuk merekrut anggota baru, tetapi keuntungannya yang menikmati adalah orang-orang yang berada pada level atas. Merekalah yang terus menerus mendapatkan keuntungan-keuntungan tanpa bekerja, dan mereka bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Apalagi jika mereka kesulitan untuk melakukan perekrutan, dikarenakan jumlah anggota sudah sangat banyak. Alasan Keenam: Sebagian ulama mengatakan bahwa transaksi dengan sistem MLM mengandung riba riba fadhl, karena anggotanya membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar darinya, seakan-akan ia menukar uang dengan uang dengan jumlah yang berbeda. Inilah yang disebut dengan riba fadhl (ada selisih nilai). Begitu juga termasuk dalam kategori riba nasiah, karena anggotanya mendapatkan uang penggantinya tidak secara cash. Sementara produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada lain hanya sebagai sarana untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi tujuan anggota, sehingga keberadaannya tidak berpengaruh dalam hukum transaksi ini. Keharaman jual beli dengan sistem MLM ini, sebenarnya sudah difatwakan oleh sejumlah ulama di Timur Tengah, diantaranya adalah Fatwa Majma Al-Fiqh Al-Islamy Sudan yang dikeluarkan pada tanggal 17 Rabiul Akhir 1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M pada majelis no. 3/24. Kemudian dikuatkan dengan Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi pada tanggal 14/3/1425 dengan nomor (22935). Wallahu Alam. [PurWD/voa-islam.com]

Bisnis Franchise dalam Perspektif Islam

Dalam hukum Islam, kerja sama dalam hal jual beli dinamakan syirkah. Syirkah dibagi menjadi 3 bentuk yaitu : a. Syirkah ibahah, yaitu : persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang. b. Syirkah amlak (milik), yaitu : persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda, syirkah amlak dibagi menjadi 2. c. Syirkah akad, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian. Syirkah akad dibagi menjadi empat (4), yaitu : 1. Syirkah amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta. 2. Syirkah amal, yaitu perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi menjadi dua. 3. Syirkah wujuh, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar. 4. Syirkah mudharabah, yaitu kemitraan (persekutuan) antara tenaga dan harta, seorang (supplier) memberikan hartanya kepada pihak lain (pengelola) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi menurut kesepakatan kedua belah pihak. Dasarnya bentuk mudharabah adalah peminjaman uang untuk keperluan bisnis.

Syirkah mudharabah ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah dalam hal ini pemodal memberikan hartanya kepada pelaksana untuk dimudharabahkan dengan tidak menentukan jenis kerja, tempat dan waktu serta orang. Sedangkan mudharabah muqayyadah (terikat suatu syarat), adalah pemilik modal menentukan salah satu dari jenis di atas. Bila diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan waralaba (franchising) dapat dikemukakan bahwa perjanjian itu sebenarnya merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama (syirkah). Hal ini disebabkan karena dengan adanya perjanjian franchising, maka secara otomatis antara franchisor dan franchisee terbentuk hubungan kerja sama untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan bagi kedua belah pihak. Dalam waralaba diterpkan prinsip keterbukaan dan kehati-hatian, hal ini sesuai dengan prinsip transaksi dalam Islam yaitu gharar (ketidakjelasan).

Bisnis waralaba ini pun mempunyai manfaat yang cukup berperan dalam meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari segi kemashlahatan usaha waralaba ini juga bernilai positif sehingga dapat dibenarkan menurut hukum Islam.

JUAL BELI SAHAM 1. Pengertian Saham Dalam bahasa Belanda saham disebut aandeel, dan dalam bahasa Inggris disebut dengan share, dalam bahasa Jerman disebut aktie, dan dalam bahasa Perancis disebut action. Semua istilah ini mempunyai arti surat berharga yang mencantumkan kata saham didalamnya sebagai tanda bukti pemilikan sebagian dari modal perseroan.1[2] Saham adalah surat bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan yang melakukan penawaran umum (go public) dalam nominal dan porsentase tertentu. Sementara itu, saham adalah jumlah satuan dari modal kooperatif yang sama jumlahnya bisa diputar dengan berbagai cara berdagang, dan harganya bisa berubah sewaktu-waktu tergantung keuntungan dan kerugian atau kinerja perusahaan tersebut.2[3] Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa saham menunjukkan kepemilikan atas suatu perusahaan dan memberikan hak kepada pemiliknya. Kepemilikan tersebut memberikan kontribusi kepada pemegangnya berupa return yang dapat diperolehnya, yaitu keuntungan modal (Capital gain) atas saham yang memiliki harga jual lebih tinggi dari pada harga belinya, atau deviden atas saham tersebut. Disamping hak lainnya Non-finansialbenefit berupa hak suara dalam RUPS. Peluang untuk mendapatkan return dari capital gain ini memotifasi para investor untuk meelakukan perdagangan saham dipasar modal (Bursa Efek).3[4] Tentang saham ini, diatur dalam pasal 40, 41, 42, 43 KUHD. Dasar Hukum Jual-beli saham dalam islam pada dasarnya adalah merupakan bentuk Syirkah mudhorabah, diantara para pengusaha dan pemilik modal sama-sama berusaha yang nantinya hasilnya bisa dibagi bersama. Mudharabah, merupakan teknik pendanaan dimana pemilik modal menyediakan

2.

dana untuk digunakan oleh unit deficit dalam kegiatan produktif dengan dasar Loss and profit shearing.4[5] Dalil naqli tentang saham (mudharabah), Firman Allah swa dalam Q.S. Al-Muzammil: 20) Artinya: Dia mengetahui bahwa aka nada diantara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah swt (Q.S. AlMuzammil: 20) Kata al-Darbh, disebut juga Qiradh, yang berasal dari kata Qardhu, berarti al-Qathu (potongan) karena pemilik memotong sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh keuntungan. Menurut para Fuqhaha Mudharabah adalah akad antara dua pihak yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan. Dalam kumpulan fatwa DSN Saudi Arabia yang yang diketuai Oleh Syaih Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz Jilid 13 (tiga belas) Bab Jual beli (JH9) Halaman 20-321 fatwa nomor 4016 dan 5149 tentang hukum jual beli saham dinyatakan sebagai berikut: Artinya: Jika saham yang diperjualbelikan tidak serupa dengan uang secar utuh apa adanya, akan tetapi hanya refresentasi dari aset seperti tanah, mobil pabrik dan lain sejenisnya. Dan hal tersebut merupakan hal yang telah diketahui oleh penjual dan pembeli, maka dibolehkan hukumnya untuk diperjual-belikan dengan tunai maupun tangguh, yang dibayar secara kontan ataupun beberapa kali pembayaran, berdasarkan keumuman dalil tentang dibolehkannya jual-beli.5[6] Dengan demikian, jual beli saham dengan niat dan tujuan memperoleh penambahan modal, memperoleh aset likuid maupun pengharapan deviden, dengan memilikinya sampai jatuh tempo, dapat difungsikan sewaktu-waktu, dapat diperjual-belikan untuk mendapatkan keuntungan capital gain, hukumnya adalah boleh selama usahanya dalam hal yang halal, tidak melanggar syariat, dan tidak dijadikan sebagai alat spekulasi.

Вам также может понравиться