Вы находитесь на странице: 1из 12

Typhoid Fever

1. Definisi Demam Tyfoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh salmonella typi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang invasi bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multipikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar usus halus dan peyer patch. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. Terjadinya penularan salmonella typi sebagian besar melalui minuman / makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja (melalui rute oro fekal ).

2. Etiologi Salmonella typi adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagel, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagel antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4C selama satu jam, dan 60C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella memunyai

karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa.

3. Patogenesis Patogenesis demam typhoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu : 1. Penempelan dan invasi sel sel M peyers patch 2. Bakteri bertahan hidup dan bermultipikasi di makrofag peyers patch, nodus limfatikus mesenterikus dan organ organ ekstra intestinal system

retikuloendotelial 3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP didalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air kedalam lumen intestinal. Bakteri Salmonella typi masuk kedalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <2) banyak bakteri yang mati, tetapi dalam keadaan alkorhidria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamine H2, proton pomp inhibitor (PPI) atau antasid dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi (bakteri yang mati). Sehingga bakteri akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyenum. Sel sel M yaitu epitel khusus yang melapisi peyers patch, yang merupakan tempat masuknya Salmonella typi. Bila bakteri mencapai folikel limfe usus halus, yang mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES (Retikulo Endotelial Sistem) di organ hati dan limpa. Salmonella typi mengalami multipikasi di dalam sel fagosit mononuclear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe. Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun penjamu maka salmonella typhi akan ke luar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan ini bakteri salmonella typhi dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang paling disukai adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan peyers patch dari ileum terminal.

Peran endotoksin Diduga endotoksin dari salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, system vascular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi system imunologik. 4. Manifestasi klinis Pada anak, periode inkubasi demam typhoid antara 5 40 hari dengan rata rata antara 10 14 hari. Gejala diawali dengan demam, tampilan demamnya mempunyai tanda khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidus, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke- 4 demam turun perlahan secara lisis kecuali bila terjadi infeksi lain seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien melaporkan bahwa demam tinggi saat sore dan malam hari. Pada saat demam sudah tinggi, dapat disertai penurunan kesadaran mulai apati sampai koma. Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokkan. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi kemudian disusul diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedangkan tepi dsan ujungnya tampak kemerahan. Rose spot, suatu ruam mukopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang putih, tidak pernah ditemukan pada anak Indonesia. Bradikardi relative jarang dijumpai pada anak.

5. Pemeriksaan penunjang Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.

a. Pemeriksaan Darah Tepi Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia normokrom normositik, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.

b. Identirikasi kuman melalui isolasi / biakan Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah. Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.

c. Identifikasi kuman melalui uji serologi Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri.
4

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik. a) Uji Widal Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbedabeda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. 2,11 Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau nonendemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. b) Tes TUBEX Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang. c) Metode ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap
5

IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

d) Metode ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

e) Pemeriksaan DIPSTIK Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
6

prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

f) Identifikasi kuman secara molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. Typhi. Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).

6. Komplikasi a. Intra intestinal : Perforasi usus terjadi 0,5 3 % kasus, perdarahan usus terjadi 1 10 % kasus. Perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen local pada kuandran kanan bawah. Kemudian diikuti muntah, nyeri perabaan abdomen, deface muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda tanda peritonitis yang lain. Tetapi beberapa manifestasi perforasi tidak jelas gejala klinisnya. b. Ekstra intestinal : a) Komplikasi neuropsikiatri, bermanisfestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, stupor bahkan koma. b) Miokarditis, berupa aritmia, perubahan ST T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung.
7

c) Hepatitis tifosa asimtomatik, dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan peningkatan kadar transminase yang tidak mencolok. d) Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transminase, kolesistitis akut dan kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier). e) Sistitis, pielonefritis f) Pneumonia, penyulit paling sering, karena infeksi sekunder dari kuman lain. g) Trombositopeni, koagulasi intravascular desiminata, hemolytic uremic syndrome (HUS)

7. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi Salmonella typhi dari darah.

8. Diagnosis banding Stadium dini : influenza, gastroenteritis, bronchitis, bronkopneumonia Tuberculosis, infeksi jamir sistemik, malaria Demam typhoid berat : sepsis, leukemia, limfoma

9. Tatalaksana A. Medikamentosa a. Antibiotic Antibiotic lini pertama adalah choramphenicol, amoxicillin atau

cotrimoxazole. 1. Kloramfenikol (drug of choice) 50 100 mg/kgBB/hari), oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis, selama 10 14 hari. (bayi < 2 minggu. 25 mg/kgBB/hari) 2. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, oral atau intravena, dalam 3 dosis selama 10 14 hari 3. Kotrimoksasol 50 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sampai 3 hari bebas demam, selama 10 14 hari.

Antibiotic

lini

kedua

adalah

golongan

fluoroquinolone

(ofloxacin,

ciprofloxacin atau golongan cephalosporine (cefriaxone, cefixime atau cefotaxime. 1. Ofloxacin 15 mg/kgBB/hari p.o selama 2 hari 2. Ciprofloxacin 2 x 750 mg sampai 4 minggu, untuk menanggulangi karier, karena pasien dapat menularkan secara fecal - oral (typhoid mary). Tidak boleh diberikan pada pasien dengan usia kurang dari 15 tahun, karena bisa menyebabkan penutupan epifise tulang lebih cepat. 3. Cefriaxon 50 mg/kgBB/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari selama 5 hari. 4. Cefixime 10 15 mg/kgBB/hari, oral dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari b. Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran. Deksametason 1 3 mg/kgBB/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik. c. Antipiretik (bila perlu) : paracetamol 10 mg/kgBB/hari

B. Bedah, Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus C. Suportif Demam tyfoid ringan dapat dirawat di rumah, dengan : Tirah baring Isolasi memadai Kebutuhan cairan dan elektrolit di cukupi

Demam typhoid berat harus dirawat inap di rumah sakit : a. Cairan dan kalori a) Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung. b) Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan dengan kadar natrium rendah. c) Penuhi kebutuhan volume cairan intravascular dan jaringan dengan pemberian oral/parentral d) Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik e) Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
9

f) Pelihara keadaan nutrisi g) Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit b. Antipiretik, diberikan apabila demam > 390C, kecuali pada riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal c. Diet Makanan tidak berserat dan mudah dicerna Seteleh demam reda, dapat segera diberikan makanan yang yang lebih padat dengan kalori cukup. d. Transfusi darah : kadang kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Lain lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya) Konsultasi bedah anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus.

10. Monitoring a. Terapi Evaluasi demam reda dengan memonitoring suhu. Apabila pada hari 4 5 setelah pengobatan demam tidak reda, maka harus segera dievaluasi kembali komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S. typhi terhada antibiotic, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis. Pasien dapat dipulangakn apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan dirumah. b. Tumbuh kembang Infeksi demam typhoid yang akut sehingga relative tidak mengganggu tumbuh kembang anak.

11. Prognosis Penyembuhan sempurna adalah peran pada anak sehat yang berkembang gastroenteritis Salmonella. Bayi muda dan penderita dengan gangguan imun sering mempunyai keterlibatan sistemik, dalam perjalanan penyakit yang lama, dan komplikasi. Prognosis jelek pada anak dengan meningitis Salmonella (angka mortalitas 50%) atau endokarditis.

10

12. Pencegahan a. Meningkatkan hygiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan buangan limbah feses b. Vaksin, ada 3 macam : 1. Vaksin yang berisi kuman salmonella typhi, s. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine). Cara pemberian suntuk subkutan ; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebakan yang terbatas, disamping efek samping local pada tempat suntikan yang cukup sering. 2. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty 21a) diberikan peroral 3 kali dengan interval pemberian selang sehari, member daya perlindungan 6 tahun. Diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuscular memberikan perlindungan 60 70 % selama 3 tahun.

11

DAFTAR PUSTAKA

Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi kedua. 2008. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.

Yuslam Herawati. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi pertama. 2004. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Prasetyo Risky Vitria, Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. Surabaya. Di unduh di www.pediatri.com/buletin pada bulan september 2011

12

Вам также может понравиться