Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
2. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut : 1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM) 2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM) 3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya 4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)
3. Etiologi
Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum diketahui dengan pasti tetapi umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter memegang peranan penting. a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah). Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih tinggi atau adanya infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM.
Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau pulau langerhans pankreas, yang membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibody sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan peran munculnya penyakit ini (Brunner & Suddart, 2002) b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Riset melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan terjadinya NIDDM sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang besar. Pencegahan utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan sekunder berupa program penurunan berat badan, olah raga dan diet. Oleh karena DM tidak selalu dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada tahap awal tanda-tanda/gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan haus yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari berat badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila ditemukan peningkatan gula darah (Brunner & Suddart, 2002)
Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel-alfa, beta dan delta. Sel beta yang mencakup kira-kira 60 % dari semua sel terletak terutama ditengah setiap pulau dan mensekresikan insulin. Granula sel B merupakan bungkusan insulin dalam sitoplasma sel. Tiap bungkusan bervariasi antara spesies satu dengan yang lain. Dalam sel B , molekul insulin membentuk polimer yang juga kompleks dengan seng. Perbedaan dalam bentuk bungkusan ini mungkin karena perbedaan dalam ukuran polimer atau agregat seng dari insulin. Insulin disintesis di dalam retikulum endoplasma sel B, kemudian diangkut ke aparatus golgi, tempat ia dibungkus didalam granula yang diikat membran. Granula ini bergerak ke dinding sel oleh suatu proses yang tampaknya sel ini yang mengeluarkan insulin ke daerah luar dengan eksositosis. Kemudian insulin melintasi membran basalis sel B serta kapiler berdekatan dan endotel fenestrata kapiler untuk mencapai aliran darah (Ganong, 1995). Sel alfa yang mencakup kira-kira 25 % dari seluruh sel mensekresikan glukagon. Sel delta yang merupakan 10 % dari seluruh sel mensekresikan somatostatin (Pearce, 2000) Gambar anatomi pankreas dapat dilihat berikut ini :
Canalis Pylorica Corpus pankreatikus Ductus Ductus Cauda Pankreatis
Duodenum Pars
Processus uricinatus
b. Fisiologi Pankreas Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh berupa hormon-hormon yang disekresikan oleh sel sel dipulau langerhans. Hormonhormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang merendahkan kadar glukosa darah yaitu insulin dan hormon yang dapat meningkatkan glukosa darah yaitu glukagon. Fisiologi Insulin : Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau langerhans menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormone lainnya, contohnya insulin menghambat sekresi glukagon, somatostatin menghambat sekresi glukagon dan insulin.
Insulin dilepaskan pada suatu kadar batas oleh sel-sel beta pulau langerhans. Rangsangan utama pelepasan insulin diatas kadar basal adalah peningkatan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan normal adalah 80-90 mg/dl. Insulin bekerja dengan cara berkaitan dengan reseptor insulin dan setelah berikatan, insulin bekerja melalui perantara kedua untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa kedalam sel dan dapat segera digunakan untuk menghasilkan energi atau dapat disimpan didalam hati (Guyton & Hall, 1999)
3. Patofisiologi
a. DM Tipe I Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial. Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia). Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000) b. DM Tipe II Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa. Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000)
4. Manifestasi Klinik
a. Poliuria Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler,
aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria). b. Polidipsia Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia). c. Poliphagia Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia). d. Penurunan berat badan Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan secara otomatis. e. Malaise atau kelemahan (Brunner & Suddart, 2002)
2.
Cara pemeriksaan TTGO adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam. Periksa glukosa darah Berikan glukosa 75g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5 menit. Periksa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
WHO (1985) menganjurkan pemeriksaan standar seperti di atas, tetapi di Indonesia hanya memakai pemeriksaan glukosa darah 2 jam saja. Sedangkan, TTGO
pada anak seringkali tidak dibutuhkan karena gejala klinis yang khas. (Kapita Selekta Kedokteran, 2005) Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl) Bukan Belum DM DM pasti DM Kadar glukosa darah sewaktu <110 110-199 >200 Plasma vena <90 90-199 >200 Darah Kapiler Kadar glukosa darah puasa <110 110-125 >126 Plasma vena <90 90-109 >110 Darah Kapiler
1.
Perencanaan Makanan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu : 1) Karbohidrat sebanyak 2) Protein sebanyak 3) Lemak sebanyak 60 70 % 10 15 % 20 25 %
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%, sehingga didapatkan = 1) Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal 2) Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal 3) Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal 4) Gemuk = > 120% dari BB Ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB, kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja berat). Koreksi
status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam beberapa porsi yaitu : 1) Makanan pagi sebanyak 20%
2.
Latihan Jasmani Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.
3. 1. Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara : a. b. c. Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan. Menurunkan ambang sekresi insulin. Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih. Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orangtua karena resiko hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal. 2. Biguanid Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin. Sebagai obat tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih (imt 27-30) dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonilurea
Akan tetapi, perbedaan utama antara penatalaksanaan DM tipe 1 yang mayoritas diderita anak dibanding DM tipe 2 adalah kebutuhan mutlak insulin. Terapi DM tipe 1 lebih tertuju pada pemberian injeksi insulin. Penatalaksanaan DM tipe 1 menurut Sperling dibagi dalam 3 fase yaitu : 1. Fase akut/ketoasidosis koma dan dehidrasi dengan pemberian cairan, memperbaiki keseimbangan asam basa, elektrolit dan pemakaian insulin. 2. Fase subakut/ transisi Bertujuan mengobati faktor-faktor pencetus, misalnya infeksi, dll, stabilisasi penyakit dengan insulin, menyusun pola diet, dan penyuluhan kepada penyandang DM/keluarga mengenai pentignya pemantauan penyakitnya secara teratur dengan pemantauan glukosa darah, urin, pemakaian insulin dan komplikasinya serta perencanaan diet dan latihan jasmani.
3.
Fase pemeliharaan
Pada fase ini tujuan utamanya ialah untuk mempertahankan status metabolik dalam batas normal serta mencegah terjadinya komplikasi Untuk itu WHO mengemukakan beberapa sasaran yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan penyandang DM tipe 1, diantaranya : 1. 2. 3. Bebas dari gejala penyakit Dapat menikmati kehidupan sosial sepenuhmya Dapat terhindar dari komplikasi penyakitnya
Pada anak, ada beberapa tujuan khusus dalam penatalaksanaannya, yaitu diusahakan supaya anak-anak : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Dapat tumbuh dan berkembang secara optimal Mengalami perkembangan emosional yang normal Mampu mempertahankan kadar glukosuria atau kadar glukosa darah serendah mungkin tanpa menimbulkan gejala hipoglikemia Tidak absen dari sekolah akibat penyakit dan mampu berpartisipasi dalam kegiatan fisik maupun sosial yang ada Penyakitnya tidak dimanipulasi oleh penyandang DM, keluarga, maupun oleh lingkungan Mampu memberikan tanggung jawab kepada penyandang DM untuk mengurus dirinya sendiri sesuai dengan taraf usia dan intelegensinya
Keadaan ideal yang ingin dicapai ialah penyandang DM tipe 1 dalam keadaan asimtomatik, aktif, sehat, seimbang, dan dapat berpartisipasi dalam semua kegiatan sosial yang diinginkannya serta mampu menghilangkan rasa takut terhadap terjadinya komplikasi. Sasaran-sasaran ini dapat dicapai oleh sebagian besar penyandang DM maupun keluarganya jika mereka memahami penyakitnya dan prinsip-prinsip penatalaksanaan diabetes. Untuk mencapai tujuan ini penatalaksanaan dibagi menjadi : 1. 2. 3. 4. 5. Pemberian insulin Penatalaksanaan dietetik Latihan jasmani Edukasi Home monitoring (pemantauan mandiri )
1.
Pemberian Insulin
Diabetes tipe 1 mutlak membutuhkan insulin karena pankreas tidak dapat memproduksi hormon insulin. Maka seumur hidupnya pasien harus mendapatkan terapi insulin untuk mengatasi glukosa darah yang tinggi. Penghentian suntikan akan menimbulkan komplikasi akut dan bisa fatal akibatnya. Adapun indikasi pengobatan dengan insulin adalah : a. b. Pada semua pasien diabetes tipe I, yang pankreasnya tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan insulin pengganti. Pada pasien DM tipe 2 yang tidak berhasil dikelola hanya dengan diet dan atau antidiabetik oral dengan dosis maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien. Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dan insulin. Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis. DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet (perencanaan makanan). (Farmakologi 2007)
c. d.
Struktur kimia hormon insulin bisa rusak oleh proses pencernaan sehingga insulin tidak bisa diberikan melalui tablet atau pil. Satu-satunya jalan pemberian insulin adalah melalui suntikan, bisa suntikan di bawah kulit (subcutan/sc), suntikan ke dalam otot (intramuscular/im), atau suntukan ke dalam pembuluh vena (intravena/iv). Ada pula yang dipakai secara terus menerus dengan pompa ( insulin pump/CSII) atau sistem tembak (tekan semprot) ke dalam kulit (insulin medijector). (Kapita Selekta Kedokteran 2005)
3. Klasifikasi Insulin
Enam tipe insulin berdasarkan mulain kerja, puncak, dan lama kerja insulin tersebut, yakni : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Insulin Keja Cepat (Short-acting Insulin) Insulin Kerja Sangat Cepat (Quick-Acting Insulin) Insulin Kerja Sedang (Intermediate-Acting Insulin) Mixed Insulin Insulin Kerja Panjang (Long-Acting Insulin) Insulin Kerja Sangat Panjang (Very Long Acting Insulin)
Tabel 4. Insulin yang Tersedia dan yang Akan Tersedia di Indonesia Tipe Insulin Ultra Short Acting (Quick-Acting, Rapid Acting) Insulin Analogues Insulin Aspart (NovoRapid, Novolog) Insulin Lispro (Humalog) Short-Acting (Soluble, Neutral) Insulin Reguler, Actrapid, Humulin R Intermediate-Acting (Isophane) Insulatard, Humulin N, NPH Long-Acting Insulin (Zinc-based) Monotard, Humulin Lente, Humulin Zn Very Long Acting Insulin Insulin Glargine (Lantus) Insulin Detemir (Levemir) Mixed Insulin (Short + Intermedidiate-Acting Insulin) Mixtard 30/70, NovoMix, Humulin 30/70 Mulai Kerja 15-30 min Puncak 60-90 min Lama Kerja 3-5 hr
Insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe 1 dan beberapa DM tipe 2. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan, insulin dihancurkan di dalam
lambung sehingga tidak dapat diberikan per-oral (ditelan). Tetapi banyak pasien DM yang enggan disuntik, kecuali dalam keadaan terpaksa. Karenanya terapi edukasi pasien DM sangatlah penting, agar pasien sadar akan perlunya terapi insulin meski diberikan secara suntikan.
4. Efek Samping
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi akibat dosis insulin yang terlalu besar , tidak tepatnya waktu makan dengan tercapainya kadar puncak insulin , atau karena adanya faktor yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin , misal insufisiensi adrenal atau pituitari , ataupun akibat kerja fisik yang berlebihan. b. Reaksi alergi dan resistensi
Penggunaan insulin rekombinan dan insulin yang lebih murni ,telah dapat menurunkan insiden reaksi alergi dan resistensi. Meski demikian kadang-kadang reaksi tersebutmasih dapat terjadi akibat pasien sensitif terhadap senyawa yang ditambahkan pada proses formulasi preparat insulin (misal: Zn , protamin, fenol , dll). Reaksi alergi kulit umumnya dapat di atasi dengan antihistamin sedangkan bila reaksi tersebut hebat atau terjadi resistensi, dapat diberikan glukokortikoid. Tetapi tentu kortikosteroid ini tidak dapat di berikan terlalu lama karena efek hiperglikemianya. c. Lipoatrofi dan lipohipertrofi
Lipoatrofi jaringan lemak subkutan ditempat sntikan dapat timbul akibat variant respon imun terhadap insulin , sedangkan lipohipertrofi dimana terjadi penumpukan lemak subkutan terjadi akibat efek lipogenik insulin yang kadarnya tinggi pada daerah temapat suntikan. Hal ini di duga akibat adnya kontaminant dalam preparat insulin, dan reaksi ini lebih jarang terjadi pada penggunaan insulin yang lebih murni. Dan untuk mengatasinya pasien dianjurkan untuk menyuntikkannya pada tempat berbeda terutama di sekitar tempat yang terdapat atrofi tersebut (Farmakologi 2007)
DAFTAR PUSTAKA
FKUI, 2007, Farmakologi dan Terapi, FKUI, Jakarta Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. 2005. Kapita Selekta Kedokteran, FKUI, Jakarta Katzung. B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2, Salemba Medika, Jakarta Guyton dan Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, (Edisi 9), EGC, Jakarta Ganong, 1997, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta Price, S. A dan Wilson, L. M, 1995, Patofisiologi, EGC, Jakarta Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta Sherwood, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, (edisi 21), EGC, Jakarta