Вы находитесь на странице: 1из 17

BOOK READING I

URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA


Diterjemahkan dari Buku Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 8ed Bab 38 Halaman 422 - 430

Disusun oleh: Rangga Mudita

Pengampu: dr.Agnes Sri SIswati, Sp.KK (K)

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas kedokteran UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta 2013

URTIKARIA PAPULAR Urtikaria popular terjadi secara episodic, terdistribusi secara simetrik, pruritic, 310 papul urtikaria yang merupakan hasil rekasi hipersensitifitas dari gigitan serangga seperti nyamuk, lalat dan tungau. Kondisi ini muncul terutama pada anak. Lesi cenderung menggerombol pada area yang terekspos seperti ekstensor dari ekstrimitas. URTIKARIA / ANGIOEDEMA DIMEDIARI OLEH BRADIKININ, SISTEM KOMPLEMEN ATAU MEKANISME EFEKTOR LAINNYA KININ DAN DEFISIENSI C1 INHIBITOR. C1 inhibitor (C1 INH) adalah satusatunya inhibitor plasma faktor XIIa dan faktor XIIf, dan itu merupakan salah satu penghambat utama kallikrein serta faktor XIa. Dengan demikian, ketiadaan C1 INH, stimulus yang mengaktifkan jalur pembentuk kinin akan melakukan hal yang nyata; jumlah enzim aktif dan durasi kerja dari enzim yang berkepanjangan. Kekurangan C1 INH dapat familial, di mana adanya mutasi gen C1 INH, atau juga didapat. Kedua gangguan herediter dan akuisita memiliki dua subtipe. Untuk gangguan herediter, tipe I angioedema herediter (HAE) (85%) adalah gangguan autosomal dominan dengan gen mutan (seringkali dengan duplikasi, penghapusan, atau pergeseran frame) yang mengarah pada supresi kadar protein C1 INH sebagai akibat dari sekresi yang abnormal atau degradasi intraseluler. Tipe 2 HAE (15%) juga merupakan gangguan yang diturunkan secara dominan, biasanya dengan titik (missens) mutasi yang mengarah ke sintesis protein yang disfungsional. Kadar protein C1 INH mungkin normal atau bahkan meningkat, dan uji fungsional diperlukan untuk menilai aktivitasnya. Gangguan akuisita telah digambarkan sebagai memiliki dua bentuk, tetapi mereka jelas tumpang tindih dan memiliki kesamaan pada aktivasi sel B yang sering klonal. Satu kelompok dikaitkan dengan limfoma sel-B atau penyakit jaringan ikat, dimana ada konsumsi C1 INH. Contohnya adalah lupus eritematosus sistemik dan cryoglobulinemia, dimana aktivasi komplemen yang menonjol, dan limfoma sel-B, dimana kompleks imun yang dibentuk oleh antibodi anti-idiotypic untuk imunoglobulin monoklonal diekspresikan oleh limfosit B yang bertransformasi. Pada kelompok kedua sirkulasi antibodi IgG terhadap INH sendiri lebih menonjol, tapi ini dapat dilihat pada limfoma atau lupus eritematosus sistemik juga. Jenis akuisita mempunyai kadar C1q yang terdepresi, sedangkan jenis herediter tidak, dan kadar C4 yang terdepresi merupakan karakter dari semua bentuk defisiensi C1 INH. Subgrup autoimun akuisita memiliki produk pembelahan 95-kDa yang beredar dari C1 INH karena antibodi menekan fungsi C1 INH yang memungkinkan pembelahan oleh enzim dengan yang biasanya berinteraksi dengannya.

Sekarang jelas bahwa deplesi C4 dan C2 selama episode pembengkakan adalah penanda aktivasi komplemen tetapi tidak menyebabkan pelepasan peptida vasoaktif yang bertanggung jawab atas pembengkakan. Pada kenyataanya, Bradikinin adalah mediator dari pembengkakan dan bukti untuk mendukung kesimpulan ini terangkum di bawah. Pasien dengan HAE berespon berlebihan pada injeksi kulit oleh kallikrein. Mereka telah meningkatkan bradikinin, dan menurunkan kadar prekallikrein dan HK selama serangan pembengkakan. Peningkatan aktivasi komplemen terlihat pada saat-saat aktivasi C1r dan C1s oleh faktor XIIf. Adanya aktivitas yg menyerupai kallikrein pada lepuh yg terinduksi pada pasien dengan HAE juga mendukung gagasan ini, seperti halnya pembentukan yang progresif dari bradikinin pada inkubasi HAE plasma dalam tabung plastik (noncontact-activated) serta adanya faktor XII yang teraktivasi dan kadar HK yang terbelah terlihat selama serangan. Satu keluarga yang unik telah dijelaskan di mana terjadi mutasi titik dalam C1 INH (A1a 443 Val) menyebabkan ketidakmampuan untuk menghambat komplemen tetapi penghambatan faktor XIIa dan kallikrein normal. Tidak ada anggota keluarga pada mutasi tipe 2 ini yang memiliki angioedema, meskipun adanya aktivasi komplemen. Dalam studi terbaru, tingkat bradikinin plasma telah terbukti meningkat selama serangan pembengkakan baik pada herediter dan akuisita defisiensi C1 inhibitor, dan pembentukan bradikinin lokal telah tercatat pada lokasi pembengkakan. Hal ini tidak diketahui apakah pembentukan bradykinin terutama terlihat pada fase cairan, terjadi di sepanjang permukaan sel (endotel), atau pada keduanya. Sebuah model tikus dari HAE menunjukkan bahwa angioedema dapat dicegah dengan "knockout" dari B-2 reseptor. Gambar 38-7 menggambarkan pasien dengan pembengkakan wajah karena HAE. Gambar 38-8 adalah diagram yang menggambarkan langkah-langkah dalam kaskade pembentukan bradikinin yang dapat dihambat oleh C1 INH. Sebuah bentuk estrogen-dependen dari herediter angioedema telah diakui yang sekarang dikatakan sebagai tipe 3 HAE. Salah satu laporan pertama melibatkan satu keluarga dengan tujuh individu yang terkena dalam tiga generasi, yang menunjukkan pola keturunan (autosomal dominan). Gambaran klinis mencakup angioedema tanpa urtikaria, edema laring, dan nyeri perut dengan muntah. Serangan terjadi selama kehamilan dan dengan pemberian estrogen eksogen. Sejumlah laporan berikutnya mendukung pengamatan ini. Dalam satu subkelompok, ada mutasi pada faktor XII sehingga bentuk aktif (faktor XIIa) lebih kuat dari biasanya. Semua pasien ini mempunyai mempunyai kadar dan fungsi yang normal dari C4 dan protein C1 INH. Bradikinin adalah kemungkinan mediator; bagi mereka dengan mutasi faktor XII, enzim yang aktif mungkin sulit dihambat. Meskipun jarang, pria dengan gangguan tersebut telah dijelaskan dan

antagonis reseptor bradikinin (Icatibanit) telah memberikan terapi yang efektif untuk episode akut.

Gambar 38-7. ANgioedem herediter. Keterlibatan luas (A) adalah perbandingan dengan muka normal dari pasien (B).

Gambar 38-8. Jalur pembentukan bradikinin, mengindikasikan langkah-langkah yang dapat dihambat oleh C1 inhibitor, dan juga aktivasi komplemen oleh factor XIIf. ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS. Angioedema telah dikaitkan dengan pemberian inhibitor ACE. Frekuensi angioedema terjadi setelah terapi ACE inhibitor adalah 0,1% -0.7%. Ada kecenderungan untuk reaksi ACE inhibitor pada populasi Afrika-Amerika yang mungkin berhubungan dengan polimorfisme pada gen encoding enzim lain yang mengkatabolisme bradikinin

seperti aminopeptidase P atau neutral endopeptidase. Rendahnya tingkat ini akan mempengaruhi akumulasi bradikinin. Angioedema berkembang selama minggu pertama terapi pada 72% dari individu yang terkena dan biasanya melibatkan kepala dan leher, termasuk mulut, lidah, faring, dan laring. Urtikaria jarang terjadi. Batuk dan angioedema pada saluran pencernaan merupakan tanda-tanda klinis yang terkait. Ini mengemukakan bahwa terapi dengan ACE inhibitor merupakan kontraindikasi pada pasien dengan riwayat angioedema idiopatik, HAE, dan defisiensi C1 INH akuisita. Ini tampak pada pembengkakan juga merupakan konsekuensi dari peningkatan kadar bradikinin, namun akumulasi dari bradikinin menyebabkan defek pada degradasi daripada produksi yang berlebihan. ACE, mirip dengan kinase II, adalah enzim utama yang bertanggung jawab akan degradasi bradikinin (lihat gambar 38-1.2 pada edisi online) dan walaupun terdapat pada plasma, endothelium vascular dari paru-paru tampaknya merupakan tempat utama terjadinya aksi tersebut. Aksi dari ACE selalu mengarah pada pembentukan dari produk-produk degradasi dengan tanpa aktivitas, dimana kinase I saja menyebabkan produksi des-arg, yang mampu menstimulasi reseptorreseptor B1. Akumulasi berlebihan dari bredikinin menunjukkan produksi sedang berlangsung, dengan aktivasi dari kaskade plasma atau pelepasan dari kallikrein jaringan mengganggu inaktivasi bradikinin kemudian yangn nantinya akan meyebabkan pembengkakan. Turnover yang terus menerus dari kaekade plasma ditunjukkan dengan data menunjukkan aktivasi sepanjang permukaan sel-sel dan ekspresi seluler atau sekresi dari activator prekallikrein selain factor XIIa. URTICARIAL VENULITIS Urtikaria kronik dan angioedema dapat bermanifestasi sebagai necrotizing venulitis kutaneus, yang biasanya disebut sebagai urticarial venulitis. Gejala klinis yang terkait diantaranya demam, malaise, arthralgia, nyeri abdominal, dan yang jarang seperti konjungtivitis, uveitis, diffuse glomerulonephritis, penyakit pulmonary restriktif dan obstruktif, dan hipertensi intrakranial jinak. Istilah hypoclomentemic urticarial vasculitis syndrome biasa digunakan pada pasien dengan manifestasi klinis yang lebih berat dari urticarial venulitis dengan hypocomplementemia dan C1q-precipitin berat molekul rendah yang teridentifikasi sebagai sebuah autoantibodi IgG yang langsung menyerang daerah mirip-kolagen dari C1q. SERUM SICKNESS Serum sickness, adalah sebuah reaksi berat sebagai akibat dari masuknya serum heterologous ke manusia, tetapi dapat mirip terjadi setelah masuknya obat. Serum sickness terjadi 7-12 hari setelah masuknya agen pemicu, dan termanifestasi

dengan demam, urtikaria, limfadenopati, myalgia, arthralgia, dan arthritis. Gejalagejala biasanya sembuh dengan sendirinya dan berlangsung 4-5 hari. Lebih dari 70% pasien dengan serum sickness mengalami urtikaria yang bias pruritic ataupun nyeri. Manifestasi awal dari urtikaria dapat timbul pada tempat penyuntikkan. REAKSI PADA PEMBERIAN PRODUK-PRODUK DARAH Urtikaria/angioedema dapat berkembang setelah pemberian produk-produk darah. Ini biasanya merupakan hasil dari pembentukkan komplek imun dan aktivasi komplemen yang mengarah langsung pada alterasi vaskuler dan otot polos, secara tidak langsung melalui anafilatoksin, pada pelepasan mediator sel mast. Agregat IgG bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi pada tubuh manusia pada immunoglobulin sebagai buktinya dengan fakta yaitu dengan pemberian IgG yang agregat telah dihilangkan, tidak berhubungan dengan urtikaria atau anafilaktik. Mekasime yang tidak biasa untuk berkembangnya urtikaria setelah pemberian produk-produk darah adalah pada tranfusi IgE dari donor langsung mengarah pada antigen resipien yang kemudia terekspos. Mekanisme lain mungkin karena tranfusi antigen terlarut terdapat pada preparasi donor masuk ke dalam resipien yang terlah sebelumnya tersensitisasi. INFEKSI Episode akut urtikaria dapat dihubungkan dengan infeksi virus saluran nafas atas, terutama pada anak. Akut urtikaria membaik dalam 3 minggu. Infeksi virus hepatitis B dikaitkan dengan episode urtikaria dapat berlangsung sampai 1 minggu yang diikuti dengan demam dan atralgia sebagai bagian dari gejala prodromal. Mekanismenya mirip dengan reaksi serum sickness dengan komplek imun virusantibodi. Mekanisme urtikaria terkadang dihubungan dengan infeksi monomucleosis juga mirip. URTIKARIA/ANGIOEDEMA SETELAH DEGRANULASI LANGSUNG SEL MAST Berbagai agen terapi dan diagnosis telah dihubungkan dengan urtikaria/angioedema. 8% pasien yang menerima media kontras mengalami reaksi tersebut, yang terjadi setelah pemberian intravena. Menurunnya kadar protein komplemen jalur alternative pada serum dan meningkatnya kadar histamine serum telah terditeksi pada pasien yang menerima media radiokontras. Analgesic opiate, polymyxin B, curare, dan d-tubocurarine menginduksi pelepasan histamine dari sel mas dan basophil.

URTIKARIA/ANGIOEDEM BERHUBUNGAN DENGAN ABNORMALITAS METABOLISME ASAM ARAKIDONAT Intoleransi terhadap aspirin termanifestasi sebagai terjadinya urtikaria/angioedema pada orang individu normal atau pada pasien engan rhinitis alergi dan atau asma bronkial. Urtikaria/angioedema pada respon terhadap aspirin dan obat anti inflamasi non steroid terjadi sekitar 10-20% individu yang dirujuk ke rumah sakit klinik dermatologi di Inggris. Pasien dengan intoleransi aspirin dapat bereaksi juga pada indomethacin dan NSAID lainnya. Reaksi terhadap aspirin berbagi dengan NSAID lainnya karena merefleksikan inhibisi dari prostaglandin endoperoxide synthase 1 (PGHS-1, cyclooxygenase I) yang juga sebagai inhibisi PGHS-2 yg terinduksi (cyclooxygenase). Sodium salisilat dan kolin salisilat basanya dapat tertoleransi, karena lemahnya aktivitas untuk melawan PGHS-1. PGHS-2 inhibitor biasanya tertoleransi baik pada orang-orang dengan urtikaria terinduksi NSAID. Reaksi pada NSAID menigkatkan kadar cysteinyl leukotriens, yang berhubungan dengan timbulnya urtikaria, walaupun perannya pada asma terinduksi NSAID mempunyai karakteritik yang lebih baik. Uji tusuk kulit bukan merupakan nilai diagnostik, reaksi transfer pasif adalah negative, dan antibodi IgG maupun IgE telah dihubungkan dengan penyakit klinis. Manifestasi klinis terpicu oleh pemberian aspirin pada pasien aspirin-intolerant terblok ketika pasien dilindungi olej cysteinyl leukotriene receptor blocker atau biosynthesis inhibitor; temuan ini mengkonfirmasi tentang peran patobiologi untuk cysteinyl leukotrienes. CHRONIC IDIOPATHIC URTICARIA DAN IDIOPATHIC ANGIOEDEMA Karena entitas klinis idiopatik urtikaria kronis (dengan atau tanpa angioedema) dan idiopatik angioedema sering ditemui, memiliki jalur yang berubah-ubah, dan mudah dikenali, mereka sering dikaitkan dengan peristiwa penyerta. Atribusi tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati. Meskipun infeksi, alergi makanan, reaksi negatif terhadap makanan aditif, kelainan metabolisme dan hormonal, kondisi ganas, dan faktor emosional telah diklaim sebagai penyebab, bukti hubungan etiologi mereka masih kurang. Diantara pertimbangan terakhir adalah urtikaria kronis sebagai akibat dari infeksi Helicobacter pylori. Kedua artikel mendukung dan menyangkal hubungan adalah banyak dan jawaban yang pasti tidak tersedia. Namun, tingkat infeksi H. pylori pada populasi pada umumnya jauh lebih besar daripada kejadian urtikaria kronis dan menurut pendapat penulis ini, hubungan tersebut bersifat palsu. Kontroversi ini telah dimasukkan ke dalam perspektif dengan M. Greaves. Idiopatik angioedema didiagnosis ketika angioedema adalah berulang, ketika urtikaria tidak ada, dan bila tidak ada agen

eksogen atau kelainan yang mendasari dapat diidentifikasi. Sebuah tinjauan ekstensif dari angioedema baru-baru ini diterbitkan. Angioedema episodik siklik telah dikaitkan dengan demam, berat badan, tidak adanya kerusakan organ tubuh, perjalanan penyakit jinak, dan darah perifer eosinophilia. Spesimen biopsi dari jaringan menunjukkan eosinofil, protein granul eosinofil, dan limfosit CD4 menunjukkan HLA-OR. Kadar IL-1, IL-larut 2 reseptor, dan IL-5 yang meningkat. Idiopatik angioedema ditandai dengan episode berulang angioedema dan tidak ditemukan adanya urtikaria, termasuk wajah (bibir, lidah, daerah periorbital, faring), ekstremitas, dan alat kelamin, tetapi tidak terkait dengan edema laring atau lidah membesar / faring membengkak yang menghasilkan obstruksi jalan napas. Ini mungkin bukan sebuah lanjutan dengan urtikaria kronis dengan atau tanpa penyerta angioedema, seperti yang sering dianggap, karena kejadian pada pria dan wanita adalah sama dan adanya antibodi antitiroid atau antibodi reseptor anti-IgE adalah jauh lebih sedikit. Kasus-kasus ekstrim, terutama jika berhubungan dengan edema laring, dapat mewakili tipe 3 HAE pada pasien dengan mutasi baru (yaitu, tidak ada riwayat keluarga) atau varian idiopatik anafilaksis. LAIN-LAIN Sindrom Muckle-Wells terdiri dari urtikaria, amiloidosis, dan saraf ketulian dan ini disebabkan oleh cacat gen yang sama seperti yang terlihat pada familial cold urticaria. Schnitzler sindrom adalah urtikaria kronis dengan histologi menyerupai vaskulitis urtikaria berhubungan dengan demam, nyeri sendi, suatu protein monoklonal IgM, dan osteosclerosis. Antibodi terhadap IL-1 telah terbukti ada. PENDEKATAN PADA PASIEN Evaluasi pasien yang mengalami urtikaria / angioedema (Gambar 38-9) dimulai dengan sejarah yang komprehensif, dengan penekanan khusus pada penyebab yang diakui, dan pemeriksaan fisik. Beberapa varietas urtikaria dapat diidentifikasi dengan karakteristik penampilan mereka, seperti bercak kecil dengan ruam eritematosa besar dari urtikaria kolinergik, bentol yang linear pada dermographism, dan lokasi lesi di daerah terbuka pada light urticaria atau coldinduced urticaria. Sejarahnya, pemeriksaan fisik pada semua pasien dengan urtikaria harus mencakup tes untuk urtikaria fisik, seperti goresan cepat untuk memperoleh dermographism, penggunaan berat untuk memperoleh delayed pressure urticaria, dan penerapan stimulus dingin atau hangat untuk urticarial cold induced urticaria dan heat urticaria terlokalisasi, masing-masing. Latihan, seperti berlari di tempat, dapat menimbulkan urtikaria kolinergik dan, dalam

beberapa kasus, latihan menginduksi anafilaksis. Phototests untuk memperoleh solar urtikaria biasanya dilakukan di pusat-pusat rujukan, seperti beberapa tantangan untuk latihan-menginduksi anaphylaxis.

Gambar 38-9. Pendekatan pada pasien dengan urtikaria/angioedema. ACE= angiotensin-converting enzyme; IgE, immunoglobulin E; INH=inhibitor; = menurun. Ketika urtikaria telah hadir selama berhari-hari atau berminggu-minggu pada satu waktu ( tapi kurang dari 6 minggu ) atau terjadi berulang untuk interval yang sama, pertimbangan utama adalah reaksi alergi (dimediasi IgE) terhadap makanan atau obat-obatan. Pada anamnesis harus berhati-hati mengenai kemingkinan-kemungkinan adalah sangat penting. Tes kulit bisa menguatkan hipersensitifitas IgE-mediated terhadap makanan atau dapat memberikan kemungkinan ketika pada anamnesis tersebut tidak terungkap. Tantangan makanan yang dilakukan secara double-blind placebo-controlled dapat menunjukkan relevansi klinis dalam kasus dimana peran makanan tidak pasti. Penyebab urtikaria non-IgE-mediated termasuk reaksi merugikan yang tidak diinginkan dari NSAID dan opiat. Semua ini dapat dikaitkan dengan angioedema

penyerta atau, yang kurang umum , adanya angioedem tanpa adanya urtikaria. Anak-anak mungkin memiliki urtikaria akut dalam hubungannya dengan penyakit virus , tidak jelas apakah infeksi dengan bakteri seperti Streptococcus dapat menimbulkan urtikaria juga, tapi bentuk tidak terjadi pada orang dewasa dengan pengecualian urtikaria dalam hubungan dengan infeksi mononucleosis ( virus Epstein-Barr ) atau sebagai prodrome terhadap infeksi hepatitis B . Dalam setiap kondisi ini , lesi individu terakhir di mana saja dari 4 jam sampai 24 jam dan memudar tanpa terkait purpura. Jika gatal-gatal berlangsung kurang dari 2 jam , penyebabnya biasanya urtikaria fisik, yang paling umum adalah dermatographism, urtikaria kolinergik, dan urtikaria dingin. Pengecualian utama delayed pressure urticaria , di mana lesi biasanya 12-36 jam terakhir dan pertama kali muncul 3-6 jam setelah rangsangan dimulai . Setelah urtikaria berlanjut selama lebih dari 6 minggu ( terutama jika hadir selama berbulan-bulan atau tahunan ) maka disebut urtikaria kronis. Istilah urtikaria spontan kronis telah digunakan baru-baru ini untuk menghilangkan kebingungan dengan urtikaria fisik. Urtikaria kronis sekarang dibagi menjadi urtikaria idiopatik kronis yang penyebabnya belum ditemukan dan urtikaria autoimun kronis. Angioedema menyertai urtikaria kronis pada 40 % kasus dan lebih bermasalah dalam subkelompok autoimun. Pembengkakan dalam hubungannya dengan urtikaria kronis dapat mempengaruhi tangan, kaki, mata, pipi, bibir, lida , dan faring, tetapi tidak untuk laring. Ketika angioedema hadir dengan tidak ditemukannya antigen atau stimulus eksogen, entitas utama yang perlu dipertimbangkan adalah defisiensi C1 INH ( herediter atau akuisita ) dan idiopatik angioedema. Sekitar 0,5 % dari pasien memiliki vaskulitis urtikaria dengan purpura teraba atau stigmata lain dari kemungkinan vaskulitis, seperti demam, tingkat sedimentasi tinggi, petechiae atau purpura, jumlah sel darah putih, atau lesi durasi yang tidak biasa ( 36-72 jam . Diagnosis diferensial akut , kronis, dan urtikaria fisik / angioedema diringkas dalam Kotak 38-1 KOTAK 38-1 DIAGNOSIS BANDING DARI URTICARIA/ANGIOEDEMA ACUTE (<6 WEEK) Drug reaction o Immunoglobulin E (IgE) mediated o Metabolicidiosyncratic o Cellular immunity Food reactions o IgE mediated o Non-IgE mediated (e.g., scombroid poisoning) Intravenous administration o Blood products o Contrast agents

o Intravenous globulin Infection o Viral in children o Infectious mononucleosis or hepatitis B prodrome o Bacterial in children PHYSICAL Individual lesions last <2 hours o Cold urticaria o Cholinergic urticaria o Dermatographism o Local heat urticaria o Aquagenic urticaria o Cold-induced cholinergic urticaria o Cold-dependent dermatographism Lesions last >2 hours o Delayed pressure urticaria o Vibratory angioedema o Familial cold-induced syndromes, usually with fever CHRONIC (>6 WEEK) Autoimmune, often with antithyroid antibodies Idiopathic Urticarial vasculitis o Idiopathicskin only o Associated with other connective tissue disease Familial febrile syndromes with urticaria-like rash Schnitzlers syndrome

TEMUAN LABORATORIUM Pada kebanyakan pasien dengan urtikaria kronis/angioedema, tidak ada gangguan yang mendasari atau penyebab dapat dibedakan. Studi diagnostik harus berdasarkan pada temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Evaluasi urtikaria kronik/angioedema harus mencakup tes fungsi tiroid, tes untuk antibodi antimicrosomal dan antithyroglobulin, dan uji kulit autologus, bahkan dalam lingkungan kantor. Tes pemeriksaan laboratorium rutin sedikit bernilai. Histamin release assay untuk reseptor anti-IgE atau antibodi anti-IgE sekarang tersedia di laboratorium khusus. Serum hypocomplementemia tidak ditemukan dalam urtikaria autoimun kronik atau urtikaria idiopatik kronis dan berarti kadar serum IgE pada pasien ini tidak berbeda dengan populasi umum di mana kejadian atopi adalah 20%. Cryoproteins harus dicari pada pasien dengan urtikaria dingin akuisita. Sebuah tes antinuclear antibodi harus diperoleh pada pasien dengan solar

urtikaria. Penilaian protein komplemen serum dapat membantu dalam mengidentifikasi pasien dengan urtikaria venulitis atau serum sickness (C4-, C3-, C1q-binding assay for circulatory immune complexes), sebagaimana dengan mereka dengan bentuk herediter dan akuisita dari defisiensi C1 INH (C4, C1 INH protein dan fungsi, kadar C1q). Biopsi kulit dari lesi urtikaria kronis harus dilakukan untuk mengidentifikasi venulitis urtikaria atau untuk menilai ruam dimana sifat urtikaria tidak jelas. Ada sedikit peran dari pengujian rutin tusukan kulit atau tes radioallergosorbent dalam diagnosis spesifik sensitivitas antigen IgE-mediated pada urtikaria kronis/angioedema. Bahan inhalan adalah penyebab umum dari urtikaria/angioedema, dan tes kulit untuk makanan mungkin sulit untuk diinterpretasikan. Tes untuk obat terbatas untuk penisilin tetapi tidak dapat dilakukan pada pasien dengan dermographism. Uji radioallergosorbent harus disediakan bagi mereka yang tes kulit merupakan kontraindikasi, tidak tersedia, atau tidak terungkap meskipun dari anamnesis sangat dicurigai. Sebuah temuan dari pelepasan histamin dari leukosit basofil perifer telah mendukung diagnosis sensitivitas anafilaksis terhadap berbagai antigen, yang termasuk serbuk sari dan racun serangga. HISTOPATOLOGI Edema melibatkan bagian superfisial dari dermis adalah karakteristik dari urtikaria, sedangkan angioedema melibatkan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutan. Kedua gangguan yang berhubungan dengan dilatasi venula. Pada urtikaria kronis, infiltrasi sel-sel inflamasi dermal mungkin jarang atau padat dan mencakup CD4 lebih dari CD8 limfosit T, neutrofil, eosinofil, dan basofil, limfosit B atau tanpa sel-sel Natural killer (NK). Sel NKT belum dapat dinilai. Peningkatan ekspresi TNF- dan IL-3 pada sel endotel dan sel perivaskular terdeteksi pada dermis atas pada pasien dengan urtikaria akut, idiopatik urtikaria kronis, dan delayed-pressure urticaria dan pada satu pasien dengan urtikaria dingin. TNF- juga terdeteksi pada keratinosit epidermal pada lesi dan nonlesional spesimen biopsi. Dalam urtikaria idiopatik kronis, sel CD11b dan CD18 terdeteksi sekitar pembuluh darah di dermis superfisial dan dermis dalam. Tes direct imunofluoresence untuk imunoglobulin dan protein komplemen adalah negatif. Protein dasar utama dan protein kationik eosinofil, yang berasal dari granul eosinofil, hadir sekitar pembuluh darah dan tersebar dalam dermis pada lesi urtikaria akut, idiopatik urtikaria kronis, delayed-pressure urticarial, urtikaria kolinergik, dan solar urtikaria. Dalam urtikaria idiopatik kronis, butiran eosinofil

yang bebas berada dalam dermis meningkat pada bercak dengan durasi lebih dari 24 jam, dibandingkan dengan bercak yang berlangsung kurang dari 24 jam. Bentuk tersekresi dari protein kationik eosinofil dan eosinophil-derived neurotoxin terdeteksi pada sel-sel dalam jumlah yang lebih besar dalam spesimen biopsi dari pasien dengan urtikaria kronis tanpa autoantibodi dibandingkan pada mereka dengan autoantibodi. P-selectin, E-selectin, molekul adhesi interseluler 1, dan vascular cellular adhesion molecule 1 telah ditunjukkan pada endotel pembuluh darah dari pasien dengan urtikaria idiopatik kronis dan dermographism. Mayor histocompatability kompleks kelas II antigen juga diregulasi pada sel endotel pasien dengan urtikaria kronis, dan limfosit darah tepi telah meningkatkan ekspresi ligan CD40 dan lebih tinggi dari ekspresi Bcl-2, pengamatan ini menunjukkan augmentasi fenomena autoimun. Pada urtikaria papular, epidermis tebal dengan edema interseluler dan limfosit. Dalam dermis, ada edema dengan infiltrasi limfosit T, makrofag, eosinofil, dan neutrofil tanpa limfosit B atau pengendapan imunoglobulin, fibrin dan C3. TATALAKSANA Terapi urtikaria akut menggunakan antihistamin seperti yang dijelaskan dalam Gambar. 38-10, namun, ruam dapat parah dan menyeluruh, dan angioedema dapat hadir juga. Jadi, jika bantuan yang diberikan oleh antihistamin nonsedatif tidak mencukupi, seseorang dapat mencoba hydroxyzine atau diphenhydramine pada 25-50 mg empat kali sehari. Atau sebagai alternative dengan antihistamin nonsedatif bisa dicoba hingga 4-6 tablet / hari seperti yang telah dilaporkan untuk pengobatan urtikaria dingin. Sebuah regimen kortikosteroid dapat digunakan, misalnya, 40-60 mg / hari selama 3 hari dan diturunkan menjadi 5-10 mg / hari. Epinefrin dapat meringankan gejala urtikaria yang parah atau angioedema (urtikaria menyeluruh, pruritus parah, angioedema yang cepat) dan diindikasikan jika edema laring hadir. Edema pada lidah posterior dan atau edema faring dapat membingungkan. Yang ideal pada pengobatan urtikaria/angioedema adalah identifikasi dan menghentikan penyebabnya. Banyak pasien dengan urtikaria akut dan angioedema mungkin tidak dirawat oleh dokter karena penyebabnya diidentifikasi oleh individu itu sendiri atau keterbatasan pengalaman. Pengobatan urtikaria kronis berfokus pada langkah-langkah yang memberikan bantuan gejala. Dokter harus menyediakan tidak hanya obat-obatan tetapi juga dukungan dan kepastian. Dalam sebuah penelitian kuesioner, pasien dengan urtikaria idiopatik kronis mempertimbangkan aspek terburuk untuk menjadi pruritus dan sifat tak terduga dari serangan. Timbulnya angioedema wajah dapat sangat membingungkan dan

lidah dan atau edema faring sering dianggap mengancam kehidupan. Hal ini tidak terjadi dan ini membingungkan untuk potensi edema laring terlihat dengan anafilaksis, atau reaksi anafilaksis-seperti, defisiensi C1 INH, atau reaktivitasi terhadap ACE inhibitor. Individu yang terkena melaporkan adanya gangguan tidur, energi berkurang, isolasi sosial, dan perubahan reaksi emosional serta kesulitan dalam kaitannya untuk bekerja, kegiatan rumah, kehidupan sosial, dan kehidupan seks. Studi lain menunjukkan korelasi antara tingkat keparahan urtikaria idiopatik kronis dan depresi. Dalam sebuah penelitian kuesioner, individu dengan delayed-pressure urticarial dan urtikaria kolinergik memiliki paling sering mengalami gangguan kualitas-hidup. Mereka dengan urtikaria kolinergik menderita dengan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan olahraga dan hubungan seksual mereka. Meskipun urtikaria/angioedema bisa menjadi sumber frustrasi baik bagi dokter maupun pasien, sebagian besar individu dapat mencapai kontrol gejala yang masih dapat diterima pada penyakit mereka tanpa identifikasi penyebabnya. Pada beberapa individu, adalah penting untuk menghindari aspirin dan NSAID lainnya. Losion antipruritic, kompres dingin, dan es batu dapat memberikan bantuan sementara. Obat antihistamin tipe-H1 adalah andalan dalam pengelolaan urtikaria/angioedema. Semakin tua antihistamin tipeH1, dikenal sebagai klasik, tradisional, atau generasi pertama antihistamin tipeH1. Yang lebih baru, kurang sedatif, atau generasi kedua dan ketiga antihistamin tipe-H1 dengan mengurangi efek sedatif dan efek samping antikolinergik telah menjadi agen terapeutik pilihan awal. Obat ini harus diambil secara teratur dan tidak sesuai kebutuhan. Jika obat pilihan awal tidak efektif, agen dari kelas farmakologi yang berbeda harus digunakan dan antihistamin nonsedatif dapat dikombinasikan atau dosis salah satu dari mereka ditingingkatkan. Bila hal ini tidak efektif, dosis hydroxyzine atau diphenhydramine dalam mg empat kali sehari 25-50 mungkin dicoba. Hal yang sama berlaku untuk pengobatan dermatographism ketika sangat parah. Perlu dicatat bahwa jika pelepasan molar histamin pada kulit melebihi dari antihistamin yang disampaikan (seperti dapat dilihat dengan dermatographism), histamin akan menjaga reseptor yang terikat dalam bentuk aktif, dan kemanjuran terapi dengan antihistamin hanya akan dicapai ketika konsentrasi molar lebih besar dari histamin. Diphenhydramine adalah sebuah alternatif untuk hydroxyzine atau cetirizine untuk dermatographism tetapi tidak untuk urtikaria kolinergik. Urtikaria dingin dapat diobati dengan sebagian besar antihistaminics tetapi siproheptadin 4-8 mg tiga kali sehari atau empat kali sehari tampaknya sangat efektif. Hasil yang sangat baik baru-baru ini telah dilaporkan dengan desloratadine empat kali/hari. Local heat urticaria diterapi dengan antihistaminics, tidak ada rejimen yang sangat memuaskan. Meskipun laporan anekdotal menunjukkan bahwa delayed-pressure urticarial akan merespon NSAIDs, dapson, cetirizine, atau sulfasalazine, kebanyakan

membutuhkan kortikosteroid (digunakan seperti pada urtikaria kronis) untuk mengontrol gejala dan siklosporin dapat menjadi alternatif yang sangat efektif. Familial sindrom autoinflammatory dingin (urtikaria) merespon parenteral IL-1 reseptor antagonis (anakinra) seperti halnya beberapa kasus sindrom Schnitzler.

Gambar 38-10. Pengobatan idiopatik kronis atau urtikaria autoimun / angioedema. Perhatikan bahwa agen berikut diharapkan dapat menjadi jarang efektif, jika pernah: hydroxychloroquine, colchicine, dapson, sulfasalazine, mycophenolate mofetil. Hydroxychloroquine, bagaimanapun, obat pilihan untuk sindrom vaskulitis urtikaria hypocomplementemic. Vaskulitis urtikaria dapat berespon dengan dapson atau colchicine. Omalizumab (IgG anti IgE antibodi monoklonal), belum disetujui untuk pengobatan kronis urtikaria terjadi secara spontan dan angioedema seefektif siklosporin dengan toksisitas jauh lebih sedikit dan bila tersedia, akan menjadi kemajuan terapi utama. Pilihan pengobatan untuk urtikaria kronis (idiopatik atau autoimun) telah ditinjau dan diringkas dalam Gambar. 38-10. Hal ini penting untuk menggunakan antihistamin generasi pertama pada dosis maksimal jika antihistamin nonsedatif belum membantu sebelum beralih ke kortikosteroid atau siklosporin. Antagonis reseptor-H2 dapat menyebabkan beberapa reseptor tambahan histamin terblokade, meskipun kontribusi mereka biasanya sedikit. Efektivitas antagonis leucotriene masih kontroversial, dengan jumlah yang sama antara artikel yang pro dan kontra.

Jika steroid digunakan, penulis ini menganjurkan tidak melebihi 25 mg q.o.d atau 10 mg per hari. Dengan pendekatan yang baik, cenderung untuk perlahan menurunkan dosis harus dilakukan setiap 2-3 minggu. Satu mg tablet prednison bisa sangat membantu ketika dosis harian kurang dari 10 mg. Studi plaseboterkontrol double-blind siklosporin menunjukkan bahwa itu adalah alternatif yang baik untuk kortikosteroid, dan bisa lebih aman bila digunakan dengan tepat. Pengukuran tekanan darah, kadar nitrogen urea darah, dan kreatinin, dan urinalisis harus dilakukan setiap 6-8 minggu. Dosis dewasa pada awal adalah 100 mg b.i.d, bisa perlahan-lahan ditingkatkan sampai 100 mg tiga kali sehari, tetapi tidak lebih. Tingkat respon adalah 75% pada kelompok autoimun dan 50% pada kelompok idiopatik. Tidak ada studi yang sebanding (atau efek klinis) telah diperoleh dengan dapson, hydroxychloroquine, colchicine, sulfasalazine, atau metotreksat dan hanya sejumlah kecil kasus telah berhasil diobati dengan globulin intravena atau plasmapheresis. Keberhasilan pengobatan urtikaria autoimun kronis telah dilaporkan dengan Omalizumab dengan hasil yang sebanding dengan yang terlihat dengan siklosporin. Tingkat respon bisa sangat mencolok, misalnya, remisi dengan dosis tunggal. Artikel tambahan telah muncul, meskipun tidak terkendali. Urtikaria vaskulitis diobati dengan antihistamin dan jika berat, dengan kortikosteroid dosis rendah. Dapson atau hydroxychloroquine mungkin sebagai sparing dengan steroid. Ketika vaskulitis urtikaria merupakan bagian dari penyakit sistemik, pengobatan terfokus pada apa yang dibutuhkan untuk gangguan yang mendasarinya. Obat pilihan untuk sindrom vaskulitis urtikaria hypocomplementemic (dengan sirkulasi kompleks imun karena IgG anti-C1q) adalah hydroxychloroquine. Angioedema yang disebabkan oleh inhibitor ACE dapat menjadi akut darurat dengan edema laring atau lidah dan edema faring yang begitu luas hingga pasien tidak bisa mengelola sekresi dan diperlukan intubasi. Terapi suportif, epinefrin, dan dibutuhkan diperlukan jika; tidak ada respon terhadap antihistamin atau kortikosteroid. Agen antihipertensi lain dapat digantikan, termasuk obat-obat yang memblok reseptor angiotensin II. Serangan akut HAE tidak responsif terhadap antihistaminics atau kortikosteroid. Epinefrin dapat diberikan tetapi respon positif sebenarnya jarang. Intubasi atau trakeostomi mungkin diperlukan bila edema laring yang parah ditemui. Baru-baru ini, sebuah ppreparasi C1 INH (Berinert) telah disetujui di Amerika Serikat untuk infus intravena untuk mengobati serangan akut HAE. Hal ini efektif dan telah tersedia dan digunakan di Eropa dan Brasil selama lebih dari dua dekade. Icatibant, sebuah antagonis reseptor bradikinin B-2, telah disetujui untuk pengobatan akut di Eropa tapi tidak di Amerika Serikat. Hal ini diberikan dengan injeksi subkutan. Kalbitor, sebuah inhibitor kallikrein plasma (Ecallantide), telah disetujui untuk pengobatan serangan akut HAE di Amerika

Serikat. Juga dikelola oleh injeksi subkutan. Di masa lalu, fresh frozen plasma adalah pilihan. Telah digunakan dengan sukses baik selama bertahun-tahun, tapi kadang-kadang perburukan secara dramatis dari gejala telah dilaporkan karena semua faktor plasma yang diperlukan untuk pembentukan bradikinin juga ikut di dalamnya. Preparasi kedua C1 INH nanofiltered (Cinryze) telah disetujui di Amerika Serikat untuk pengobatan profilaksis jenis AHE I dan II. Ini diberikan melalui suntikan intravena hingga dua kali seminggu. Profilaksis dengan androgen seperti Danazol (200 mg tablet) atau Stanazolol (2 mg tablet) atau antifibrinolitik seperti asam E-aminocaprioc atau asam traneksamat telah berhasil digunakan selama bertahun-tahun. Androgen yang lebih umum digunakan-one watches for hirsutisum, haid tidak teratur, dan kimia hati yang abnormal, sebagai efek samping yang mungkin terjadi. Dalam jangka panjang, adenoma hati mungkin muncul. Peningkatan dosis dapat digunakan ketika pasien menjalani prosedur bedah elektif (misalnya, 3 tablet / hari selama 2-3 hari sebelum prosedur, hari prosedur, dan 1 hari setelah). Fresh frozen plasma adalah alternatif yang aman diberikan beberapa jam sebelum prosedur dan jelas konsentrat C1 INH dapat digunakan. Kekurangan C1 INH akuisita dapat diobati dengan androgen dosis rendah selain terapi pada kondisi yang mendasarinya. konsentrat C1 INH mungkin dapat membantu tetapi adanya anti-C1 INH akan membatasi respon terhadap dosis yang wajar. Plasmapheresis dan atau agen sitotoksik dapat digunakan. PENGAKUAN Saya ingin berterima kasih kepada Dr Nicholas Soter yang telah meninjau naskah ini, membuat banyak saran yang bermanfaat, dan memberikan kontribusi dua foto.

Вам также может понравиться