Вы находитесь на странице: 1из 18

Fixed Drug Eruption (FDE) / Exantema Fikstum

FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya Erupsi Obat Alergi yang selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia.1 Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang sering dijumpai ketiga. Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang berat dapat timbul bula. Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat.1 Lesi kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang bahkan sering menetap. Kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama.11

Gambar 4. Fixed drug eruption Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate, trimethoprim dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter hingga sentimeter. Dengan pemberian obat inisial, lesi soliter dapat terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak hanya pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.1

Gambar 5. Fixed drug erupsi pada genitalia akibat sulfonamide Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003 Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV. Terdapat peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor. Limfosit T helper / sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit yang nekrotik.5,7 Limfosit T yang menetap di lesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama. Ditemukannya keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan peningkatan ICAM 1 (yang terlibat dalam interaksi antara keratinosit dan limfosit) dan FILA-DR. Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi limfosit T ke epidermis. Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid, tetrasiklin, barbiturat, fenazon, fenitoin, trimetoprim, dan analgesik.1,5

VI. DIAGNOSIS Diagnosis erupsi obat berdasarkan : a. Anamnesis : adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat, kelainan yang timbul akut atau beberapa hari setelah konsumsi obat, rasa gatal yang dapat disertai demam yang biasanya subfebril. b. Pemeriksaan Klinis (Kelainan kulit yang ditemukan) : adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut. Perlu diperhatikan distribusi lesi yang menyebar, simetris atau setempat, bentuk kelainan yang timbul (urtikaria, purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodusum).

c. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.

VII. DIAGNOSIS BANDING 5 a. Dermatitis Kontak Iritan b. Pitiriasis Rosea c. Urtikaria, selain karena obat

VIII. PENGOBATAN Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam: a. Pengobatan kausal : Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk rnenghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka (satu golongan). b. Pengobatan simtomatik :Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe reaksi yang mendasarinya : 1. Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) : Bila terjadi syok dapat diberikan epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 0,5 ml secara subkutan atau intravena. Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan merupakan pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15 20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam berikutnya untuk mencegah komplikasi. 2. Pada reaksi tipe yang lain : Penghentian penggunaan obat tersangka umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-ringannya reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 100 mg/hari) dan antihistamin dapat dipertimbangkan.l

Pengobatan dapat diberikan secara 1: 1. Sistemik a) Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet prednisone(1 tablet=5mg). Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema fikstum, dan PEGA karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa adalah 3x10 mg prednisone sehari. Pada eritroderma dosisnya adalah 3x10 mg sampai 4x 10 mg sehari.

b) Antihistamin

Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan kortikosteroid.

2. Topikal Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Kalau keadaan kering, seperti ada eritema atau urtikaria, dapat diberikan bedak, contohnya bedak salisilat 2% ditambah dengan antipruritus, misalnya menthol - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis medikamentosa perlu dikompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum jika kelainan membasah dapat diberikan kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.

IX. PROGNOSIS Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya

eritroderma dan kelainan-kelainan sindrom Leyll dan sindrom Steven-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. 1

X. KESIMPULAN

Banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat, dan tiap obat dapat memicu timbulnya erupsi obat alergi. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi obat, harus dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta kerugian dari terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor resiko, manifestasi klinis EOA dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang tepat dapat menurunkan morbiditas EOA. Apabila terjadi EOA dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan, sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.

DAFTAR PUSTAKA 1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Cetakan ketiga. Jakarta : FK UI ; 2008. h 154-8. 2. Shear NH, Knowles SR, Shapiro L. Cutaneous Reactions to Drugs. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell, editor. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York : McGrawHill ; 2008. p 355-62. 3. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006 (cited 2013 July 19) Available from : http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf. 4. Partogi D. Fixed Drug Eruption. 2009 (cited 2013 July 19). Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3411/1/08E00858.pdf 5. Blume JE, Elston DM. Drug Eruption. New York : Emedicine (Updated 2013 April 8; cited 2013 July 19). 6. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions: Types and Treatment Options. Am Fam Physician. 2003 (cited 2013 July 18). Available from : http://www.aafp.org/afp/2003/1101/p1781.html. 7. Budi Iman. Erupsi Obat Alergik. 2008 (cited 2013 July 18). Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3400/1/08E00602.pdf. 8. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic Diseases. Edisi ke-5. Philadelpia : Lippincott-Raven Publisher ; 1997. p 317 352. 9. Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi ke-8. Jakarta : FKUI ; 2009. h 106 129. 10. Purwanto SL. Alergi Obat. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. (cited 2013 19 July). Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files-07AlergiObat006_pdf07AlergiObat006.mht 11. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005. 12. Revuz J, Allanore LV. Drug Reactions. In : Bolognia JL, et al, editor. Dermatology Volume 1. 2nd ed. Spain : Mosby Elsevier ; 2008. p 301-19. 13. James WD, Berger TG, Elston DM. Drug Eruption. In : Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2006. p 115-38. 14. Paller AS, Manchini AJ. The Hipersensitivity Syndromes. In : Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2011. p 454-69.

15. Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

FIXED DRUG ERUPTON Aidawati A. I. DEFINISI Fixed drug eruption (FDE) adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul pada tempat yang sama. FDE ditandai oleh makula hiperpigmentasi dan kadang kadang terdapat bulla atau vesikel di atasnya, yang dapat muncul kembali di tempat yang sama bila minum obat yang sama. Lesi kulit pada FDE biasanya ditemukan pada lengan, kaki,lidah, penis dan daerah perianal. Pasien umumnya akan mengeluh rasa gatal atau rasa seperti panas terbakar pada daerah lesi. Lesi yang sembuh biasanya akan menimbulkan hiperpigmentasi sehingga memberikan warna biru gelap dan keabu-abuan. Lesi juga biasanya ,muncul seawal 30 menit sampai 8 jam dan lebih lama setelah konsumsi obat. Pada konsumsi obat secara yang berulang , lesi tidak hanya timbul di daerah yang sama tetapi lesi yang baru juga biasanya muncul.skin focus.usu II. ETIOLOGI Banyak obat yang dapat menyebabkan FDE. Senarai obat obatan di bawah ini merupakan antara obat obat yang sering menyebabkan FDE.usu 2

TAbel 1: Daftar obat yang dapat menyebabkan FDE. (Dikutip dari kepustakaan usu) III. PATOGENESIS Pathogenesis FDE sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun diduga karena reaksi immunologi. Namun, beberapa literature juga mengemukakan teori pathogenesis reaksi obat berdasarkan proses immunologi dan nonimmunologi. Mekanisme immunologik yang terjadi pada reaksi obat dapat berupa IgE mediated drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction, cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated reaction.AAFp Reaksi imunologik dibagi 4 tipe oleh Coombs and Gell, yaitu sebagai berikut: 3

1. Tipe I adalah immunoglobulin E (IgE)dependendent reaction , yang menyebabkan urtikaria, angioedem, dan anafilaksis. Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan. Tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil.aafp,bolognia 2. Tipe II adalah reaksi sitotoksik, menyebabkan hemolisis dan purpura. Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem komplemen dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis. aafp, bolognia 3. Tipe III adalah reaksi komplek imun, yang hasilnya pada vasculitis, serum sickness, dan urtikaria. Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk komplek antigen antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistem komplemen terjadi pelepasan anafilatoksin yang merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen, akan terjadi kerusakan jaringan. aafp, bolognia 4. Tipe IV adalah reaksi alekgik seluler tipe lambat, menyebabkan pada dermatitis kontak, reaksi eksantema, dan reaksi fotoalergik. Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen. Terdapat 2 macam bentuk reaksi : reaksi tipe tuberkulin dan reaksi tipe kontak. aafp, bolognia 2. Mekanisme Non Imunologis Reaksi Pseudo-allergic menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Teori menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Reaksi yang terlibat ini secara klinis sukar dibedakan dengan 4

gambaran klinis pada reaksi hipersensitivitas tipe 1. Namun secara teoritisnya, reaksi pada mekanisme non immunologis ini tidak melibatkan IgE.aafp Selain itu, beberapa mekanisme lain juga turut berperan dalam mekanisme non immunologis ini, misalnya reaksi overdosis, reaksi akibat efek samping obat, cumulative and delayed toxicity, interaksi obat, reaksi akibat perubahan metabolisme dalam tubuh, dan eksaserbasi oleh penyakit. bolognia IV. DIAGNOSIS Anamnesis Anamnesis dan pemeriksaan fisis merupakan hal yang penting dalam mendiagnosis fixed drug eruption ini. Hal-hal yang sangat penting untuk ditanyakan saat berhadapan dengan pasien dalam kasus FDE ini adalah:

menkonsumsi obat tersebut.

pada kulit.111cases/usu Pada awalnya lesi biasanya bersifat soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama, maka lesi yang lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yangt baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya kembali lesi di tempat yang sama menjelaskan arti kata fixed pada nama penyakit tersebut. usu Pemeriksaan Fisis Pada inspeksi lesi pada FDE ini, didapatkan lesi bersifat soliter, berbentuk bulat atau coinshaped dan berwarna kemerahan atau eritematous. Terkadang lesi 5

disertai dengan vesikel atau bulla. Erupsi biasanya berlangsung mulai dari berhari hari sampai berminggu minggu. Ianya sering muncul pada daerah mukosa membran dengan predileksi pada daerah lengan , kaki, lidah, penis atau perianal.drug induced skin reaction Gambar 2: Tampak lesi bulat berbatas tegas. (Dikutip dari kepustakaan skin focus) Gambar 3: Merupakan lesi yang sama tapi dengan penampakan blister. (Dikutip dari kepustakaan skin focus) 6

Gambar 4: Tanda insipient blister pada genital. (Dikutip dari kepustakaan skin focus) Pemeriksaan Penunjang/Tambahan Patch testing telah digunakan untuk pasien dengan exanthematous eruptions yang diinduksi oleh ampicillin dan telah digunakan pula sebagai pembantu untuk mendiagnosis FDE. Patch testing memiliki sensitivitas yang lebih tinggi jika dilakukan pada area kulit yang terdapat lesi. Meski pada erupsi kulit yang minor dapat menjadi trigger review klinis untuk sistemik tubuh lainnya, karena derajat keseriusan dari keterlibatan sistemik tidak selamanya menggambarkan manifestasi yang terdapat pada kulit. Perubahan hepatik, renal, joint, respiratorik, hematologik dan neurologik seharusnya dapat diamati, dan apabila ada gejala sistemik atau tanda yang dapat diinvestigasi. Seperti biaasanya deteksi melalui full blood count, liver dan tes fungsi ginjal serta analisis urin tetap dilakukan.7,8,9 Gambar 5: Positif patch test Xyzal (levocetirizine) (Dikutip dari kepustakaan 7) 7

Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan penyebab. Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih.7,8,9 V. DIAGNOSA BANDING Dermatitis Kontak Alergik (DKA) Jumlah penderita dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitifitas). Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak erimatosa yang berbatas tegas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bulla. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fissure, batasnya tidak jelas.9 Gambar 6: Tampak peradangan pada daerah mata. (Dikutip dari kepustakaan 9) Herpes Simpleks Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks ( virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok 8

diatas kulit yang sembab dan erimatosa berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas.10 Gambar 7: Tampak vesikel pada daerah corpus penis. (Dikutip dari kepustakaan 10) Insect bite Insect bite merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh gigitan dari hewan. Kelainan kulit disebabkan oleh masuknya zat farmakologis aktif dan sensitasi antigen dari hewan tersebut. Dalam beberapa benit akan muncul papul persisten yang seringkali disertai central hemmoragic punctum. Reaksi bullosa sering terjadi pada kaki anak-anak.11 9

Gambar 8: Tampak lesi berbentuk bula. (Dikutip dari kepustakaan 11) VI. PENATALAKSANAAN Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh., epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut.3,4,5 Pengobatan Sistemik Pemberian kortikosteroid sistemik sangat penting. Dengan prednison 3 x 10 mg/hari. Untuk keluhan rasa gatal pada malam hari yang kadang mengganggu istirahat pasien dan orang tuanya dapat diberikan antihistamin generasi lama yang mempunyai efek sedasi.3,4,5 Pengobatan Topikal Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah. a) Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta 10

memberikan efek menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi tidak sampai menetes) selama 15-30 menit. Eksudat akan ikut mongering bersama penguapan. Biasanya pengompresan cukup dilakukan 2 sampai 3 hari pertama saja. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lain larutan NaCl 0,9%.3,4,5 b) Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1 % atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam jangka waktu lama.3,4 c) Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi yang akan diobati, misalnya daerah lipatan (aksila,popok) atau muka sebaiknya menggunakan potensi rendah sedangkan pada badan atau ekstremitas dapat diberikan potensi sedang.3,4,5 DAFTAR PUSTAKA 1. Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L. Cutaneus Reactions to Drugs. In: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6th ed. USA: The Mc Graw Hill Companies, Inc. 2003. p: 355-360 2. S.M. Breathnach. Chapter 75 Drug Reaction. In: Tony Burns, Stephen Breathnach, Christopher Griffiths,eds. Rook's Textbook of Dermatology. 11

8th Edition. U.S.A: A John Wiley & Sons Ltd. Publication: 2010; p. 75.1-75.29 3. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press.2006. Access on: June 3, 2007. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf 5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp 6. N Gantsho, NP Khumalo, Fixed Drug Eruption.In: Current Allergy & Clinical Immunology. August 2008 Vol 21, No. 3. P. 138-140 7. Mariana Cravo,Margarida Gonalo,Amrico Figueiredo, Fixed Drug Eruption To Cetirizine With Positive Lesional Patch Tests To The Three Piperazine Derivatives, International Journal of Dermatology 2007, 46,p.760762 8. B P Khoo, Y C Giam, Drug Eruptions in Children: A Review of 111 Cases Seen in a Tertiary Skin Referral Centre, Singapore Med J 2000 Vol 41(11) : p.525-529 9. William D. James, Timothy G.Berger, Dirk M.Elston, Andrews' Diseases of the Skin Clinical Dermatology, 10th Ed (2005),Chapter 6: Contact Dermatitis and Drug Eruption, p.94-96 10. Thomas P., Md. Habif, Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th edition (October 27, 2003), Capter 12:Warts,Herpes Simplex, and other Viral Infection,p. 9,17,306 11. David J.Gawkrodger, Dermatology An Illustrated Colour Text 3rd Ed,2002. DiseaseInfection Infestation p.58

Вам также может понравиться