Вы находитесь на странице: 1из 42

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Cedera Kepala 1. Pengertian a. Cedera Kepala 1) Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansoer, 2000 : 3). 2) Trauma kepala yaitu suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secra langsung maupun tidak langsung pada kepala (www.wikipedia.com/ cederakepala/ diakses tanggal 07 Mei 2011). 3) Cedera kepala berat yaitu cedera pada kepala dimana GCS mencapai atau kurang dari 8 serta dijumpai penurunan kesadaran sampai terjadinya amnesia lebih dari 24 jam. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa cedera kepala berat yaitu cedera yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung dimana penderita dapat mengalami penurunan kesadaran dan amnesia lebih dari 24 jam dan GCS mencapai kurang dari 8 yang merupakan penyebab kematian utama pada usia produktif. b. Craniotomy 1) Craniotomy adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan pertumbuhan atau abnormalitas di dalam kranium, terdiri atas pengangkatan dan penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada struktur intracranial (Susan M, Tucker, Dkk. 1998) 2) Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak

(www.google.com/bedahsyaraf diakses tanggal 30 Juni 2011 jam 11.00 WIB)

3)

Post craniotomy yaitu suatu keadaan yang terjadi setelah pembedahan kraniotomy/post craniotomy (Dorlan, 1998 : 1479) Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa post craniotomy yaitu

suatu keadaan yang terjadi setelah proses pembedahan untuk memperbaiki abnormalitas didalam kranium untuk mengetahui kerusakan otak. 2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persyarafan terdiri dari otak, medula spinalis dan saraf perifer yang bertanggung jawab untuk kontrol dan koordinasi aktivitas sel tubuh melalui impuls elektrik. Otak yang sudah berkembang penuh merupakan sebuah organ besar yang terletak didalam rongga tengkorak. Otak dibagi menjadi 3 bagian besar : serebrum, batang otak dan serebelum (seperti dijelaskan pada gambar 2.1). Gambar 2.1

Gambaran otak dilihat dari luar

(Sumber : Corwin, 2009 : 219)

1) Serebrum Serebrum terdiri dari 2 hemisfer dan 4 lobus, sebagian besar hemisfer serebri (telensepalon) berisi jaringan sistem saraf pusat (SSP) yang mengontrol fungsi motorik tertinggi, yaitu terhadap fungsi individu dan intelegensi. Keempat lobus serebrum adalah : L. Frontal (mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan menahan diri), L.Parietal (Menginterpretasikan sensasi), L.Temporal (Mengintegrasikan sensasi, kecap, bau, pendengaran dan ingatan jangka pendek) dan L.Oksipital (Menginterpretasikan penglihatan) Diensepalon (fossa bagian tengah) berisi : (1) Talamus, yang berada pada satu sisi pada sepertiga ventrikel dan aktivitas primernya sebagai pusat penyambung sensasi bau dan nyeri, (2) Hipotalamus, terletak pada anterior dan inferior talamus, berfungsi mengontrol dan mengatur sistem saraf otonom. Hipotalamus juga bekerja sama dengan hipofisis untuk mempertahankan keseimbangan cairan, vasodilatasi dan vasokontriksi dan mempengaruhi sekresi hormon, dan (3) Kelenjar hipofisis (master gland) karena mengatur fungsi sejumlah hormon seperti ginjal, pankreas, tiroid, organ reproduksi dan kortex adrenal. 2) Batang Otak Terletak pada fossa anterior yang terdiri dari : a) Otak tengah (mesensefalon) : Yang menghubungkan pons dan sereberum dengan hemisfer serebrum yang berfungsi sebagai pusat refleks pendengaran dan penglihatan b) Pons : Terletak di depan serebrum yang berisi jaras sensori dan motorik yang berisi pusat-pusat terpenting dalam mengontrol jantung, pernapasan dan tekanan darah. c) Medula Oblongata : Yang meneruskan serabut-serabut motorik dari otak ke medula spinalis. 3) Serebelum Terletak pada fossa posterior, bertugas merangsang dan menghambat dan bertanggung jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus.

Selain tengkorak dan ruas-ruas tulang belakang, otak juga dilindungi 3 lapisan selaput meninges. Bila membran ini terkena infeksi maka akan terjadi radang yang disebut meningitis. Ketiga lapisan membran meninges dari luar ke dalam adalah sebagai berikut : 1) Durameter; terdiri dari dua lapisan, yang terluar bersatu dengan tengkorak sebagai endostium, dan lapisan lain sebagai duramater yang mudah dilepaskan dari tulang kepala. Di antara tulang kepala dengan duramater terdapat rongga epidural. 2) Arachnoidea mater ; disebut demikian karena bentuknya seperti sarang labahlabah. Di dalamnya terdapat cairan yang disebut liquor cerebrospinalis ; semacam cairan limfa yang mengisi sela sela membran araknoid. Fungsi selaput arachnoidea adalah sebagai bantalan untuk melindungi otak dari bahaya kerusakan mekanik. 3) Piameter. Lapisan terdalam yang mempunyai bentuk disesuaikan dengan lipatanlipatan permukaan otak. Ketiga lapisan membran meninges tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai berikut : Gambar 2.2

Gambaran Lapisan Otak Secara Melintang

(Sumber : www.google.com) 3. Etiologi Penyebab craniotomy akibat cedera kepala antara lain : kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, cedera saat berolahraga dan cedera kepala terbuka atau yang sering disebabkan oleh peluru atau pisau (Corwin, 2009 : 244).

4. Indikasi Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai berikut : a. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.

b. Mengurangi tekanan intrakranial. c. Mengevakuasi bekuan darah .

d. Mengontrol bekuan darah, e. f. Pembenahan organ-organ intrakranial, Tumor otak,

g. Perdarahan (hemorrage), h. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms) i. j. Peradangan dalam otak Trauma pada tengkorak.

5. Klasifikasi Menurut Corwin (2000: 175) terdapat beberapa jenis cedera kepala, sebagian

langsung menyebabkan kehilangan kesadaran sedangkan yang lainnya menimbulkan efek yang lambat. Sebagian cedera kepala menimbulkan perdarahan nyata di otak yang harus

dilakukan pembedahan yang lain tidak jelas memperlihatkan tanda kerusakan struktur tetapi gejala tetap ada. a. Cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio menyebabkan periode apneu yang singkat. Konkusio dapat ringan, sedang dan berat tergantung pada lama kesadaran hilang. Semakin lama kesadaran menghilang semakin buruk hasil akhirnya. Namun, bahkan pada konkusio ringan dapat terjadi perubahan kognitif atau perilaku yang samar, walaupun tidak jelas terdapat patologi di otak. Keadaan tersebut yang disebut Sindrom Pasca Konkusio dapat menetap selama lebih dari 1 tahun b. Hematom epidura Penimbunan darah diatas dura meter. Hematom epidura terjadi secara akut dan biasanya karena perdarahan arteri yang mengancam nyawa. c. Hematom Subdura Penimbunan darah dibawah dura meter, tetapi diatas membran arakhoid. Hematom ini biasanya disebabkan oleh perdarahan vena tetapi kadang-kadang terjadi perdarahan arteri subdura. Hematoma subdura dapat terbentuk secara tepat yang disebut hematom subdura akut, atau dapat terjadi akibat perdarahan lambat, yang disebut hematom subdura. Orang tua atau pecandu alkohol dapat menderita hematom yang tumbuh lambat selama beberapa bulan setelah suatu cedera kepala ringan dan mungkin tidak memperhatikan tanda-tanda yang jelas sampai hematom tersebut sangat besar. Hal ini disebut hematom subdura kronik. Hematom subdura kronik dapat terjadi karena orang tua dan pecandu alkohol mengalami penurunan masa jaringan otak yang memungkinkan kranium mengakomodasi hematom tampak mengalami peningkatan bermakna tekanan intra kranium. d. Perdarahan Subarakhoid Akumulasi darah dibawah membran arakhnoid, tetapi daiatas pia meter. Perdarahan subarakhnoid biasanya terjadi akibat pecahnya aneurisma intrakranium, hipertensi berat, malvormasi arteriovena atau cedera kepala. e. Hematom intra serebrum Adalah perdarahan didalam otak itu sendiri, hal ini dapat terjadi pada cedera kepala tertutup yang berat atau yang lebih sering cedera kepala terbuka. Hematom intra

serebrum dapat timbul akibat pecahnya suatu aneurisma atau stroke hemoragic. Perdarahan di otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial sehingga sel-sel neuron dan vesikular tertekan (seperti pada gambar 2.4 berikut). Gambar 2.4 Gambaran klasifikasi cedera kepala

(Sumber : www.google.com) Menurut Listiono (1998:153) Klasifikasi cedera kepala pada dasarnya

diklasifikasikan menurut keadaan patologis yang terjadi dan peristiwa tampilan klinis. a. Klasifikasi patologi cedera kepala Cedera kepala secara keseluruhan bukanhanya tergantung dari kerusakan mekanisme primer saja, melainkan juga ditentukan oleh kompleks interaksi berbagai peristiwa potofisiologi cedera kepala yang dikelompokkan menjadi : 1) Cedera Kepala Primer

Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera baik akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi (cidera otak primer ini dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder) jika cidera primer tidak mendapat penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder

a) Fraktur : linier, depresi, basis kranii b) Cedera Fokal : cedera kepala tertutup, hematom epidural, subdural intra serebral. c) Cedera Difusi : konkusi ringan, moderat berat. 2) Cedrera Kepala Sekunder Terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak mendapat penanganan dengan baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka cidera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi Edema serebri, Infrark serebri, Peningkatan tekanan intra kranial a) Gangguan sistemik akibat hipoksia-hipotensi, gangguan metabolisme dan kegagalan otoregulasi. b) Hematom reumatika akibat hematom epidural, hematom subdural (akut dan kronis), efusi subdural (akut dan kronis) serta hematom intra serebral. c) Edema serebral akibat perifokal dan generalisata Edema serebri Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel sel otak, pada kasus cidera kepala terdapat 2 macam edema serebri Edema serebri vasogenik, Edema serebri sitostatik Edema serebri vasogenik terjadi jika terdapat robekan dari blood brain barrier (sawar darah otak ) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan intra seluler. Akibatnya terjadi reaksi osmotik dimana cairan intraseluler, yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga terjadi edema ekstra seluler sedangkan sel-sel otak klasik cedera, aksonal, difusi ringan,

mengalami pengosongan. Edema serebri sitostatik Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak. Gambaran CT Scan dari edema serebri Ventrikel menyempit, Cysterna basalis menghilang, Sulcus menyempit sedangkan girus melebar. Tekanan intra krania Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang terisi 3 komponen yaitu Jaringan otak seberat 1200 gram, Cairan liquor serebrospinalis seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah seberat 150 gram. Menurut doktrin Monroe kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor, abses) maka sebagian dari komponen tersebut mengalami kompensasi/bergeser, yang mula mula ataupun canalis centralis yang ada di medullaspinalis yang tampak pada klinis penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat. Jika kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka terjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi dari pembuluh darah dan isinya yang bertujuan untuk mengurangi isi rongga intrakranial dengan cara ialah Vaso konstriksi yang berakibat tekanan darah meningkat, Denyut nadi menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari peningkatan tekanan intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan ganguan pola napas disebut trias cushing. Jika kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka jaringan otak akan melakukan kompensasi yaitu berpindah ketempat yang kosong (locus minoris) perpindahan jaringan otak tersebut disebut herniasi cerebri. Tanda - tanda klinis herniasi cerebri tergantung dari macamnya, pada umumnya klinis dari peningkatan tekanan intrakranial adalah Nyeri kepala, Mual, Muntah, Pupil bendung.

(Travelingdog.net. diakses 10 mei 2011 pukul 15.00) 3) Pergeseran otak (Brain Shift) akibat herniasi batang otak.

6. Patofisiologi

Ketika terjadi trauma kepala maka akan menyebabkan perlukaan dikulit kepala, serta akan menyebabkan hematoma pada kulit kepala akibat benturan yang akan menyebabkan cedera pada otak. Ketika terjadi trauma kepala disitu juga akan terjadi patahan/fraktur tulang kepala. Diantaranya fraktur linear, fraktur communited, fraktur depressed, dan fraktur basis yang akan menyebabkan tekanan intra kranial meningkat. Ketika terjadi trauma kepala akan menyebabkan kerusakan pula pada jaringan otak dan akan

menyebabkan hematom, edema, dan konkusio. Hal tersebut akan mnyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial. Dari semua itu maka akan ditemukan kelainan respon fisiologis otak yang berakibat pada cedera otak sekunder dan peningkatan kerusakan sel otak. Peningkatan TIK dapat pula dilakukan proses pembedahan untuk mencegah peningkatan TIK dapat dilakukan dengan 3 cara yang pertama kraniotomi, kraniektomi, kranioplasti. Dari proses pembedahan itu akan menyebabkan perlukaan pada kulit kepala yang merupakan tempat masuknya mikroorganisme yang dapat menyebabkan resiko tinggi infeksi. Dapat pula menyebabkan nyeri karena dari proses pembedahan itu menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan yang merangsang reseptor nyeri, biasanya pasien dengan kraniotomi akan mengalami intoleransi aktivitas karena kelemahan fisik akibat nyeri. Dari proses inflamasi juga akan didapatkan respon yang memungkinkan terjadinya edema otak yang akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Dari proses pembedahan dapat pula menyebabkan resti kekurangan cairan dan nutrisi akibat efek dari anastesi selama proses pembedahan. Prosedur anastesi dan pengguanaan ETT pada proses pembedahan akan menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan yang akan memungkinkan terjadinya resiko jalan napas tidak efektif. (Muttaqin, 2007: 152 dan Dongoes, 2000 : 271, Brunner & Suddarth. 2000)

Trauma Kepala

Bagan 2.1 Patofisiologi Post Kraniotomi Akibat Cedera Kepala

TIKmeningka t

Resiko tinggi infeksi

Minimnya(kurang informasi mengenai perawatan post operasi)

Mual, muntah

Kurang pengetahuan mengenaiperawatan pasca bedah

(Sumb er : Modifikasi Patofisiologi : Muttaqin, 2007 : 152, Doengoes, 2000 : 271, Brunner & Suddarth. 2000) 7. Manifestasi Klinis Menurut Brunner dan Suddarth (2000:65) gejala-gejala yang ditimbulkan pada klien dengan craniotomy antara lain : a. Penurunan kesadaran, nyeri kepala hebat, dan pusing

b. Bila hematoma semakin meluas akan timbul gejala deserebrasi dan gangguan tanda vital dan fungsi pernafasan. c. Terjadinya peningkatan TIK setelah pembedahan ditandai dengan muntah proyektil, pusing dan peningkatan tanda-tanda vital.

8. Penatalaksanaan Adapun penatalaksanaan post op craniotomy mencakup : a. Mengurangi edema serebral seperti pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area otak. Cairan ini kemudian disekresikan melalui

diuresis osmotik.Deksametason dapat diberikan melalui intravena setiap 6 jam selama 24 jam sampai 72 jam, selanjutnya dosisnya dikurangi secara bertahap. b. Meredakan nyeri dan mencegah kejang. Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu diatas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien mengalami sakit kepala setelah kraniotomy, biasanya sebagai akibat saraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama pembedahan. Kodein diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit kepala. c. Memantau TIK. Kateter ventrikel atau beberapa tipe drainase sering dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Pirau ventrikel kadang dilakukan sebelum prosedur bedah tertentu untuk mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada pasien dengan tumor fossa posterior.

9. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan post craniotomy meliputi hal-hal dibawah ini : a. Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X, CT scan atau MRI dapat dengan cermat

mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri (Corwin, 2000: 177) b. Angiografi Serebral. Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma. c. EEG Berkala. Electroencephalogram (EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi kelainan aktivitas elektrik otak (Campellone, 2006). d. Foto rotgen, mendeteksi perdarahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur garis (perarahan/edema), fragmen tulang. e. PET (Possitron Emission Tomography), mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak f. Kadar elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intra kranial g. Skrining toksikologi untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran

h.

Analisis Gas Darah (AGD) adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa. (Manjoer, 2008).

10. Dampak Post Craniotomy Terhadap Sistem Tubuh Lain a. Sistem Kardiovaskuler Craniotomy bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru. b. Sistem Pernafasan Adanya edema paru dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.Tingginya TIK dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan pernafasan ataksia (kurangnya koordinasi dalam gerakan bernafas). c. Sistem Eliminasi Pada pasien dengan post craniotomy terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Setelah tiga

sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan dapat timbul hiponatremia. d. Sistem Pencernaan Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan perdarah lambung. e. Sistem Muskuloskeletal Akibat dari post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur. Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau strip motorik . Di sini kedua bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah yang berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot-otot tertentu. Masing-masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan. Sehingga, pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini cidera. Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang pada saatnya dapat membuat komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur. B. Konsep Dasar Proses Keperawatan Proses keperawatan suatu modalitas pemecahan masalah yang didasari oleh metode ilmiah, yang memerlukan pemeriksaan secara sistematis serta identifikasi masalah dengan pengembangan strategi untuk memberikan hasil yang diinginkan dan merupakan suatu alat

bagi perawat untuk memecahkan masalah yang terjadi pada pasien. Ada 5 (lima) proses keperawatan yaitu: pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Hidayat, 1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematika dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status status kesehatan klien (Nursalam, 2001 : 17). Tahap proses keperawatan dimulai dengan pengkajian, menentukan diagnosa, membuat perencanaan, melakukan tindakan atau implementasi dan evaluasi. a. Pengumpulan Data 1). Identitas Klien Dikaji tentang identitas klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, nomor medrek, tanggal masuk Rumah Sakit dan tanggal pengkajian. Juga identitas penanggung jawab klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan terakhir dan hubungan dengan klien. 2). Riwayat Kesehatan a). Alasan Masuk Merupakan alasan yang mendasari klien dibawa ke Rumah Sakit atau kronologis yang menggambarkan perilaku klien dalam mencari pertolongan. b). Keluhan Utama Merupakan keluhan yang dirasakan klien saat dilakukan pengkajian, nyeri biasanya menjadi keluhan yang paling utama terutama pada pasien post op kraniotommy (Muttaqin, 2008 : 154). c). Riwayat Kesehatan Sekarang Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui metode PQRST dalam bentuk narasi: P: (Provokatif/Pariatif) : Hal yang memperberat atau 2003 : 8).

memperingan, nyeri yang dirasakan biasanya bertambah bila klien berjalan, bersin, batuk atau napas dalam. Klien dengan post craniotomy biasanya merasakan nyeri

semakin berat saat digerakan, dan nyeri dirasakan berkurang saat didiamkan. Q: (Quality/Quantity) : Kualitas dari suatu keluhan atau penyakit yang dirasakan. Biasanya nyeri yang dirasakan klien seperti ditusuk-tusuk. R: (Region/Redition) : adalah daerah atau tempat dimana keluhan dirasakan, apakah keluhan itu menyebar atau mempengaruhi ke area lain. Biasanya lokasi nyeri dirasakan sekitar kepala yang telah dilakukan pembedahan. S: (Saverity/Scale) : adalah keganasan atau intensitas (skala) dari keluhan tersebut. Skala nyeri antara 0-5. Nyeri yang dirasakan tergantung dari individu biasanya diukur menggunakan skala nyeri 0-5 T: (Time) : adalah waktu dimana keluhan dirasakan pada klien yang mengeluh nyeri tanyakan apakah nyeri berlangsung terus menerus atau tidak. Biasanya klien merasakan nyeri terus-menerus.

d). Riwayat Kesehatan Masa lalu Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif dan konsumsi alkohol berlebihan (Muttaqin, 2008 : 154). e). Riwayat Kesehatan keluarga Dikaji apakah anggota generasi terdahulu ada yang menderita hipertensi dan diabetes melitus, penyakit menular seperti tuberkulosis dan penyakit yang sama seperti klien.

3). Data Biologis

Data ini dapat diperoleh dari anamnesa baik dari klien atau dari keluarga yaitu menyangkut pola kebiasaan, meliputi: a). Pola Nutrisi Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan, riwayat alergi terhadap suatu jenis makanan tertentu. Pada klien post craniotomy biasanya terjadi penurunan nafsu makan akibat mual dan muntah (Brunner dan Suddarth, 2008). Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Minuman yang harus dihindari pasien post craniotomy akibat cedera kepala yaitu minuman beralkohol dan yang mengandung kafein karena dapat meningkatkan derajat dehidrasi dan dapat menimbulkan rasa pusing pada kepala. b). Pola Eliminasi Dikaji frekuensi BAB, warna, bau, konsistensi feses dan keluhan klien yang berkaitan dengan BAB. Pada klien post craniotomy pola defekasi

biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus (Muttaqin, 2008 : 160). Setelah pembedahan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan

mempergunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol spingter urinarius hilang atau berkurang (Muttaqin, 2008 : 160). c). Pola Istirahat dan Tidur Dikaji mengenai kebutuhan istirahat dan tidur, waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam tidur. Pada klien post craniotomy sering terjadi pusing dan sakit kepala dan hal ini mungkin akan mengganggu istirahat tidur klien. d). Pola Personal Hygiene Dikaji mengenai frekuensi dan kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi dan menggunting kuku. Pada klien post craniotomy kemungkinan dalam perawatan dirinya tersebut memerlukan bantuan baik sebagian maupun total. e). Pola Aktivitas sehari-hari

Dalam aktivitas sehari-hari dikaji pada pola aktivitas sebelum sakit dan setelah sakit. f). Pola Mobilisasi Fisik Dikaji dalam kegiatan yang meliputi pekerjaan, olah raga, kegiatan

diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan mengganggu aktivitas klien tersebut (Brunner dan Suddarth, 2001). 4). Pemeriksaan Fisik Setelah melakukan anamesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaikanya dilakukan secara persistem dengan fokus pada pemeriksaan fisik pada pemeriksaan sistem persyarafan yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien. Teknik yang digunakan ada 4, yaitu inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi. Pada klien dengan post craniotomy akan ditemukan kelainan pada beberapa sistem tubuh, diantaranya : a) Sistem pernafasan Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari perubahan jaringan serebral. Pada keadaan hasil dari pemeriksaan fisik sistem ini akan didapatkan hasil : (1) Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan alat bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan. Ekspansi dada : dinilai penuh atau tidak penuh dan kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen dan respirasi paradoks (retraksi abdomen pada saat inspirasi). Pola napas paradoksal dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada. (2) Pada palpasi frenitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain. (3) Pada perkusi adanya suara redup sampai pekak. (4) Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan

batuk yang menurun sehingga didapatkan pada klien dengan penurunan tingkat kesadaran. (5) Pada klien dengan post craniotomy dan sudah terjadi disfungsi pusat pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien dengan pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur keperawatan kritis. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian pada inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan. b) Sistem Kardiovaskuler Pengkajian ini pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik) Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien post craniotomy akibat cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menunjukkan adanya perubahan perfusi jaringan atau tanda-tanda awal dari syok. c) Sistem Persyarafan Post craniotomy akibat cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama akibat pengaruh peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan adanya perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural dan epidural. Pengkajian sistem persyarafan merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Pengkajian tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarapan. Pengkajian fungsi serebral. Pengkajian ini meliputi status mental , fungsi intelektual (biasanya pada beberapa keadaan klien cedera kepala didapatkan penurunan dalam memori jangka panjang dan pendek), lobus frontal (biasanya

pada klien dengan cedera kepala kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis terjadi jika trauma kepala yang mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal, kapasitas, memori atau kerusakan fungsi intelektual yang lebih tinggi), hemisfer (pada klien dengan cedera kepala biasanya mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehinga kemungkinan terjatuh ke sisi berlawanan tersebut). Pengkajian saraf kranial yang meliputi : Saraf I (pada keadaan post craniotomy klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman unilateral atau bilateral), Saraf II (hematom palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapang pandang dan menggangu fungsi saraf optikus), Saraf III, IV dan VI (terjadinya gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbita), Saraf V (pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerak mengunyah), Saraf VII (persepsi pengecapan mengalami perubahan, Saraf VIII (perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis), Saraf IX dan X (kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut, Saraf XI (bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik serta tidak ada artrofi otot), saraf XII (indera pengecapan mengalami perubahan). Pengkajian sistem motorik, pada saat inspeksi umum didapatkan hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda lain dari tonus otot, kekuatan otot dan keseimbangan dan koordinasi. Pengkajian refleks dilakukan pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon normal. Permeriksaan refleks patologis pada fase akut refleks sisi yang lumpuh akan menghilang. Pengkajian sistem sensorik kehilangan karena cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kemampuan untuk

merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam stimulus visual, taktil dan auditorius. d) Sistem Perkemihan Setelah post craniotomy klien mungkin mengalami inkontinesia urine, dapat terlihat dari produksi urine pada urine bag atau bllader,

ketidakseimbangan mengkomunikasi kebutuhan dan ketidak mampuan untuk menggunaan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. e) Sistem Pencernaan Klien dengan post craniotomy didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan muntah pada fase akut. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. f) Sistem muskuloskeletal Akibat dari post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan tubuh.

Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control vaolunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur. g) Sistem Integumen Adanya perubahan warna kulit, pucat dan sianosis pada klien menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus.. (Muttaqin, 2008 : 155-161). 5). Data Psikologis Data psikologis yang perlu dikaji adalah status emosional, konsep diri, mekanisme koping klien dan harapan serta pemahaman klien tentang kondisi kesehatan sekarang. Menurut Kelliat (2005 : 77), yang perlu dikaji pada aspek psikologis yaitu konsep diri. Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat orang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri terdiri dari :

a). Citra Tubuh (Body Image) Kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi masa lalu dan sekarang serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi. Biasanya klien dengan post craniotomy merasa ada yang berubah pada kepalanya.

b). Ideal Diri Persepsi individu tentang bagaimana dia seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu. Biasanya klien dengan post craniotomy berharap cepat sembuh dan fungsi sarafnya kembali seperti semula. c). Harga Diri Penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik prilaku seseorang sesuai ideal diri. Biasanya klien dengan post craniotomy mengalami penurunan harga diri. d). Identitas Serangkaian pola perilaku yang dihadapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial. Biasanya klien dengan post craniotomy merasa terganggu dengan keadaannya karena fungsinya tidak bisa berjalan dengan baik. e). Peran Pengorganisasian perinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu. Biasanya klien dengan post craniotomy klien merasa terganggu dalam melaksanaan tugas dan peran tersebut karena penyakitnya sekarang. 6). Data sosial dan budaya Perlu diamati penampilan klien secara umum, bagaimana hubungan interpersonal klien dan keluarga, sesama klien yag dirawat dalam satu ruangan serta tim kesehatan. Kaji kemampuan berkomunikasi dan peran klien dalam keluarga,

gaya hidup, faktor sosial serta support sistem yang ada pada klien dengan post craniotomy.

7). Data Spiritual Ada beberapa hal yang perlu dikaji untuk mendapatkan data spiritual, yaitu nilai-nilai atau norma-norma kegiatan keagamaan dan moral, serta menyangkut masalah keyakinan dan penerimaan diri terhadap penyakit dan keyakinan akan kesembuhan penyakitnya. 8). Data Penunjang Meliputi farmakoterapi dan prosedur diagnostik medik seperti pemeriksaan darah, urine, radiologi dan cystos copy. 9). Data Pengobatan a). Obat-obat Analgetik (obat anti nyeri) b). Obat-obat Antibiotik (anti mikrobal) c). Obat antiemetik (anti mual) b. Analisa Data Proses analisa adalah menghubungkan data yang diperoleh dengan konsep, teori, prinsip asuhan keperawatan yang relevan dengan kondisi klien (Hidayat, 2004:104). 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah (Nursalam, 2001 : 35). Diagnosa yang mungkin muncul pada post craniotomy akibat cedera kepala diantaranya : a. Ketidaefektipan pola pernapasan berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2 serta kegagalan

vensilator, kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial b. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan out put cairan berlebih via inhalasi sekunder akibat penggunaan alat bantu nafas (respirator). c. Resiko tinggi peningkatan Tekanan Intra Kranial berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intra serebral hematom, subdural hematom maupun epidural hematom. d. Perubahan keamanan : nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder, cedera. Inkontinuitas jaringan e. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, , penurunan TD sitemik/ hipoksia. f. Keterbatasan gerak berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/ kelemahan fisik, tirah baring/ imobilisasi, nyeri. g. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif, status cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons inflamasi tertekan. h. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yg diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik i. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi, kurang mengingat/ keterbatasan kognitif. (Muttaqin, 2008 :162 dan Doengoes M, 2000 : 271)

3. Perencanaan

Perencanaan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan yang meliputi tujuan perawatan, menetapkan masalah dan menentukan tujuan perencanaan untuk mengatasi masalah klien (Hidayat, 2003 : 30). Setelah merumuskan diagnosa keperawatan maka perlu dibuat perencanaan intervensi keperawatan berikut tujuan dan rasionalnya. Perencanaan keperawatan pada tahap ini dibahas rencana tindakan keperawatan berikut rasionalnya : a. Ketidaefektipan pola pernapasan berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2 serta kegagalan vensilator. Tujuan : adanya peningkatan pola nafas kembali efektif dengan kriteria : 1.

Frekuensi pernapasan efektif Mengalami perbaikan pertukaran gas dan paru Adaptif mengatasi faktor penyebab
Intervensi Rasional Berikan posisi yang nyaman 1. Meningkatkan inspirasi biasanya dengan peninggian kepala maksimal, meningkatkan pada tempat tidur ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit Distress pernapasan dan 2. Observasi fungsi pernapasan, catat 2. perubahan pada tanda vital dapat frekuensi pernapasan, dispnea atau terjadi sebagai akibat stres perubahan tanda-tanda vital fisiologis dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia 3. Pengetahuan apa yang 3. Jelaskan kepada klien tentang diharapkan dapat mengurangi etiologi adanya sesak atau kolaps ansietas dan mengembangkan paru-paru kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik 4. Membantu klien mengalami 4. Pertahankan perilaku tenang bantu efek fisiologi hipoksia yang klien untuk kontrol diri dengan dapat dimanifestasikan sebagai menggunakan pernapasan lebih ansietas lambat dan dalam 5. Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan. Jangan mematikan alarm 5. Ventilator yang memiliki alarm yang bisa dilihat dan didengar misalnya alarm kadar oksigen, tinggi rendahnya tekanan oksigen

Kantung resusitasi sangat berguna untuk mempertahankan 6. Letakkan kantung resusitasi di fungsi pernapasan jika terjadi samping tempat tidur dan manual gangguan pada alat ventilator ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat secara mendadak digunakan 7. Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas dalam, napas 7. Bantulah klien mengontrol pelan, napas perut, pengaturan pernasapan jika ventilator tiba-tiba posisi dan tekhnik relaksasi berhenti napas dapat membantu memaksimalkan fungsi dari sistem resopiratoria 8. untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, 8. auskultasi suara nafas, perhatikan kongesti, ata obstruksi jalan daerah hipoventilasi dan adanya napas yang membahayakan suara-suara tambahan yang tidak oksigenasi seebral atau normal (krekels, ronchi, mengi) menandakan terjadinya infeksi paru (umumnya merupakan komplikasi dari cedera kepal ).

6.

b. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan out put cairan berlebih via inhalasi sekunder akibat penggunaan alat bantu nafas (respirator). Tujuan : tidak ada tanda-tanda edema perifer paru dengan kriteria : TTV dalam batas normal TD : 120/80 mmHg, nadi : 60-20 x/menit, R : 16-20 x/menit, suhu : 36-370C
1. Intervensi Pertahankan secara ketat asupan dan keluaran Rasional 1. Untuk mencegah dan mengidentifikasi secara dini terjadi kelebihan cairan 2. Peningkatan berat badan merupakan indikasi berkembangnya atau bertambahnya edema sebagai manifesstasi dari kelebihan cairan 3. Adanya ronkhi basah, fokal fremitus menandakan adanya edema paru-paru 4. Kekurangan cairan dapat menunjukkan gejala peningkatan nadi dan tekanan darah menurun

2. Timbang berat badan setiap hari

3.

Kaji dan observasi suara napas, fokal fremitus, hasil torak foto

4. Monitor tanda-tanda vital

5.

Catatlah perubahan turgor kulit, kondisi mukosa mulut dan karakter sputum

6.

Hitunglah jumlah cairan yang masuk dan keluar

7.

Kolaborasi : berikan cairan per infus jika diindikasikan, monitor kadar elektrolit jika diindikasikan

5. Penurunan kardiak out put berpengaruh pada perfusi fungsi otak. Kekurangan cairan selalu di identifikasikan dengan turgor kulit berkurang, mukosa kulit kering dan sekret yang kental 6. Memberikan informasi tentang keadaan cairan tubuh secara umum untuk mempertahankan tetap seimbang 7. Mempertahankan volume sirkulasi dan tekanan osmotik, Elektrolit, khususnya potasium dan sodium dapat berkurang jika klien mendapatkan diuretik

c.

Resiko tinggi peningkatan Tekanan Intra Kranial berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intra serebral hematom, subdural hematom maupun epidural hematom. Tujuan : tidak terjadi peningkatan Tekanan Intra Kranial pada klien dengan kriteria : Klien tidak gelisah Klien tidak mengeluh nyeri kepala Klien tidak merasakan mual dan muntah Terjadi peningkatan GCS (mencapai 8) TTV klien dalam batas normal yaitu TD : 120/80 mmHg, nadi : 60-20 x/menit, R : 16-20 x/menit, suhu : 36-370C.
Intervensi Rasional 1. Kaji faktor penyebab dari keadaan 1. Deteksi dini untuk penurunan perfusi jaringan dan memprioritaskan intervensi, kemungkinan penyebab peningkatan mengkaji status neurologi atau TIK tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan Suatu keadaan normal bila 2. Memonitor tanda-tanda vital setiap 2. sirkulasi serebral terpelihara 4 jam dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan

3. 3. Evaluasi ketajaman cahaya pupil, amati ukuran, dan reaksi terhadap 4.

4. Monitor temperatur dan pengaturan 5. suhu lingkungan 5. Pertahankan kepala dengan posisi netral, usahakan dengan sedikit bantal

6. 6. Berikan perode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi 7. lamanya prosedur 7. Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang tenang 8. 8.

Palpasi pada pembesaran atau pelebaran bladar, pertahankan drainase urine secara paten jika digunakan dan juga monitor 9. Meningkatkan kerja sama terdapatnya konstipasi dalam meningkatkan perawatan 9. Berikan penjelasan kepada klien klien dan mengurangi cemas dan keluarga tentang sebab akibat 10. Penurunan kesadaran dapat tekanan intra kranial meningkat menunjukkan peningkatan TIK 10. Observasi tingkat kesadaran dan berguna menentukan lokasi dengan GCS dan perkembangan penyakit

merupakan tanda penurunan difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan saraf jika batang otak terkoyak. Panas merupakan refleks dari hipotalamus Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena serebral) untuk meningkatkan tekanan intrakranial. Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsangan kumulatif Memberikan suasana yang tenang dapat mengurangi respon psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah Dapat meningkatkan respon otomatik yang potensial menaikkan TIK

11. Mengurangi hipoksemia yang dapat meningkatkan Kolaborasi : vasodilatasi serebral dan 11. Pemberian O2 sesuai indikasi volume darah serta meningkatkan TIK 12. Mungkin diindikasi untuk mengurangi nyeri 13. mengurangi atau menurunkan 12. Berikan analgesik narkotik suhu tubuh. contohnya kodein 13. Berikan antipiretik contohnya asetaminofen

d. Perubahan keamanan : nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder Tujuan : Nyeri berkurang sampai dengan hilang, dengan kriteria : Klien tidak gelisah Skala nyeri 0 ( 0-5)
Intervensi Rasional

1. Jelaskan dan bantu klien dengan 1. Pendekatan dengan tindakan pereda nyeri menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi dan noninvasif nonfarmakologi telah menunjukkan kefektifan dalam mengurangi nyeri Posisi fisiologis dapat 2. Lakukan manajemen nyeri 2. meningkatkan asupan O2, keperawatan istirahat akan menurunkan kebutuhan O2, lingkungan yang tenang akan menurunkan stimulasi nyeri, distraksi dapat menurunkan stimulus internal, manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri 3. Istirahat akan merelaksasi 3. Berikan kesempatan waktu istirahat semua jaringan sehingga akan bila terasa nyeri dan berikan posisi meningkatkan kenyamanan nyaman 4. Pengetahuan yang akan 4. Tingkatkan pengetahuan tentang dirasakan membantu sebab-sebab nyeri dan mengurangi nyerinya dan dapat menghubungkan berapa lama nyeri membantu mengembangkan akan berlangsung kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik 5. Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang 5. Observasi tingkat nyeri dan respon objektif untuk mencegah motorik klien setelah pemberian kemungkinan komplikasi dan obat analgetik melakukan intervensi yang tepat 6. Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan 6. Kolaborasi dengan dokter berkurang pemberian nalgetik

e.

Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, , penurunan TD sitemik/ hipoksia. Hasil yang diharapkan atau kriteria hasil evaluasi klien akan: 1) Mempertahankan tingkat kesadaran, fungsi kognitif dan motorik atau sensorik 2) Mempertahankan tanda tanda vital dalam batas normal dan tidak adanya tanda tanda peningkatan TIK 3) Menunjukan tidak ada kekambuhan defisit
INTERVENSI 1. Tentukan faktor faktor yang berhubungan dengan keadaan atau penyebab khusus selama koma / penurunan perfusi serebral dan potensial terjainya peningkatan TIK RASIONAL 1. Mempengaruhi penetapan intervensi kerusakan atau kemunduran tanda atau gejala neourologis atau kegagalan memperbaiki setelah pase awal memerlukan tindaka pembedahan dan atau pasien harus dipindahkan ke ruangan perawatan kritis (ICU) untuk melakukan pemantauan terhadap peningkatan TIK 2. Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan mengetahui lokasi, luas dan kemajuan atau resolusi kerusakan SSP. Dapat menunjukan TIA yang merupakan tanda trombosis CVS baru 3. Variasi mungkin terjadi oleh karena tekanan / trauma serebral dan daerah vosomotor otak a. Hipertensi atau hipotensi postural dapat menjadi faktor pencetus, hipotensi dapat terjadi karena terjadi syok (kolaps sirkulaso vaskuler) b. Peubahan terutama danya bradikardi dapat terjadi sebagai akibat adanya kerusakan otak. c. Ketidak teraturan pernapasan dapat memberikan gambaran

2. Pantau atau catat status neurologis seserig mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya atau standar

3. Kaji perubahan TTV, seperti:

a.

Catat adanya hipertensi atau hipotensi, bandingkan tekanan darah yang terbaca pada kedua lengan

b. Catat frekuensi dan irama jantung, auskultasi adnya mur mur c. Catat irama dan pola

pernapasan, seperti adanya periode apne setelah pernapasan hiperventilasi, pernapasan cheyne-stokes 4. Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya

5. Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya kebutaan, gangguan lapang pandang dan kedalaman persepsi

6. Kaji fungsi fungsi yang lebih tinggi, seperti bicara jika pasien sadar

lokasi kerusakan serebral / peningkatan TIK 4. Reksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotori dan berguna dalam menentukan apakah batang otak masih baik, ukuran kesamaan dan pupil ditentukan oleh keseimbangan antara Persarafan simpatis dan parasimpatis yang mempersyarafinya 5. gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak mana yang terkena, mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian dan mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan 6. Perubahan dalam isi komunitif dan bicara merupakn indikator dari lokasi atau derajat gangguan serebral dan mungkin menindukasikan penurunan atau peningkatan TIK

f.

Keterbatasan gerak berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/ kelemahan fisik, tirah baring/ imobilisasi, nyeri. Hasil yang diharapkan atau kriteria evaluasi klien akan: 1) Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur, foot drop 2) Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena atau kompensasi
INTERVENSI 1. Kaji kemampuan skala fungsional atau luasnya kerusakan awalan dengan cara yang teratur. RASIONAL 1. Mengidentifikasikan kekuatan atau kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap intervensi, sebab teknik berbeda digunakan untuk paralis spastid dengan flaksid 2. Menurunkan resiko terjadinya trauma atau iskenik jaringan. Daerah yang terkena

2. Ubah posisi minimal setiap 2 jam (terlentang, miring), dan sebagainya dan jika

memungkinkan bisa lebih sering jika di letakan dalam posisi bagian yang terganggu

3. Letakan pada posisi telungkup satu kali atau dua kali jika pasien mentoleransinya

4. Ajarkan klien untuk melakukan latihan rentang gerak aktif pada ekstrenitas yang tidak sakit pada sedikitnya empat kali ehari, bila mungkin 5. Lakukan latihan rentang gerak pasif pada ekstrenitas yang sakit tiga sampai empat kali sehari, lakukan latihan dengan perlahan untuk memberikan waktu agar otot rileks dan sanggah ekstrenitas di atas dan di bawah sendi untuk mencegah regangan pada sendi dan jaringan, berhenti pada saat terjadi nyeri 6. Sokong ekstremitas dalam posisi fungssionalnya, gunakan papan kaki (foot board) selama periode paralisis flaksid. Pertahankan posisi kepala netral 7. Gunakan penyanggah lengan ketika pasien berada pada posisi tegak sesuai indikasi

mengalami perburukan atau sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi dan lebih besar menimbulkan kerusakan kulit atau dekubitus 3. Membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional, tetapi kemungkinan akan meningkatkan ansietas terutama kemampuan pasien untuk bernapas 4. Rentang gerak aktif meningkatakan masa tonus dan kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan 5. Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatan bila tak digunakan, kontraktur pada otot fleksor dan aduktor dapat terjadi karena otot ini lebih kuat dari ekstensor dan abduktor.

8. Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan 9. Tempatkan hand roll keras pada telapak tangan dengan jari jari dan ibu jari saling berhadapan

6. Mencegah kontraktur dan dapat mengganggu kepulihannya untuk menyanggah kepala, di lain pihak paralisis spatikdapat mengarah pada deviasi kepala kesah satu sisi 7. Selama paralisis flaksid, penggunaan pasnganggah dapat menurunkan resiko terjadimya subluksasio lengan sidrom bahu lengan 8. Mencegah aduksi bahu dan fleksi siku 9. Alas / dasar yang keras menurunkan stimulasi fleksi jari jari, mempertahankan jari jari dan ibu jari pada posisi normal 10. Mempertahankan posisi fungsional 11. Menilai kemampuan klien untuk melakukan perawatan diri dan mengurangi

10. Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi 11. Kaji kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri dengan bantuan total sedang,

sebagian atau mandiri 12. Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan klien, keramas, mandi dan menggosok gigi. 13. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri klien dan anjurkan keluarga untuk membantu klien dalam pemenuhan perawatan diri

ketergantungan 12. Membantu pemenuhan kebutuhan personal hygiene dengan tetap memandirikan klien 13. Memudahkan dalam memberikan kebutuhan perawatan diri klien.

g.

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif, status cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons inflamasi tertekan. Hasil Yang diharapkan 1) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen, atau eritema demam. 2) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam.
INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji dan pantau luka operasi setiap 1. Mendeteksi secara dini gejalahari gejala imflamasi yang mungkin timbul sekunder akibat adanya luka 2. Tehnik perawatan luka steril 2. Lakukan perawatan luka dengan dapat mengurangi kontaminasi tehnik steril kuman Mengurangi resiko kontak 3. Pantau dan batasi kunjungan pada 3. infeksi dari orang lain klien 4. Menunjukan kemampuan secara 4. Bantu perawatan diri klien dan umum, kemampuan otot, dan keterbatasan aktifitas sesuai merangsang pengembalian toleransi. Bantu program latihan. sistem umum Satu atau beberapa agens 5. Kolaborasi. Berikan antibiotika 5. diberikan tergantung pada sifat sesuai indikasi dari phatogen da infeksi yang terjadi.

h. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat

kesadaran), kelemahan otot yg diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik Hasil yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan : 1) Mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi tercegah. 2) Mempertahankan berat badan yang diinginkan.
INTERVENSI 1. Tinjau ulang patologi/kemampuan pasien menelan secara individual, catat luasnya paralisis parsial, gangguan lidah, kemampuan untuk melindungi jalan napas, timbang berat badan secara teratur sesuai kebutuhan 2. Tetapkan metode visual untuk mengkomunikasikan staf perawatan bahwa klien mengalami dispagia 3. Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses menelan yang efektif, seperti : b. Bantu pasien dengan mengontrol kepala RASIONAL 1. Intervensi nutrisi/pilihan rute makan ditentukan oleh faktorfaktor ini.

2. Resiko terjainya aspirasi dapat dikurangi bila staf perawat diingatkan. 3.

a. Menetralkan hiperkstensi,
membantu mencegah aspirasi dan meningkat kemampuan b. Menggunakan gravitasi untuk memudahkan proses menelan dan menurunkan resiko terjadinya aspirasi. c. Membantu dan melatih kembali sensori dan meningkatkan masukan.

c. Letakan pasien pada posisi duduk atau tegak selama dan setelah makan. d. Stimulasi bibir untuk menutup dan membuat mulut secara manual, dengan menekan ringan diatas bibir atau dibawah dagu jika dibutuhkan e. Letakan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu

d. Memperbaiki stimulasi
f. Sentuh bagaian pipi bagian dalam dengan spatel lidah / tempatkan es untuk mengetahui adanya kelemahan lidah. g. Berikan makan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang. sensori (rasa kecap yang dapat mencetuskan usaha untuk menelan dan meningkatkan masukan. e. Dapat meningkatkan gerakan dan kontrol lidah dan menghambat jatuhnya

h. Mulai untuk memberikan makanan peroral setengah cair, makanan lunak ketika pasien dapat menelan air. i. Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan j. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan kesukaan pasien.

lidah.

f. Pasien dapat berkonsentrasi


pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi. g. Makanan lunak atau cairan kental lebih mudah untuk mengendalikan di dalam mulut. h. Menguatkan otot pasial dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya tersedak. i. Menstimulasi upaya makan dan meningkatkan menelan atau masukan. 4. Jika usaha menelan tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan cairan dan makanan harus dicairkan metode alternatif untuk makan. 5. Dapat meningkatkan pelepasan endorfin dalam otak yang meningkatkan perasan senang dan meningkatkan nafsu makan.

4. Pertahankan masukan dan keluaran dengan akurat, catat jumlah kalori yang masuk.

5. Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan atau kegiatan.

i.

Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi, kurang mengingat/ keterbatasan kognitif. Hasil yang diharapkan : 1) Berpartisipasi dalam proses belajar 2) Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi atau prognosis dan aturan terapeutik 3) Mulai perubahan gaya hidup yang diperlukan
INTERVENSI 1. Evaluasi tipe atau derajat dari gangguan persepsi sensori 2. Ajarkan tentang kondisi penyebab dan tindakan yang dilakukan 3. Jelaskan tanda dan gejala RASIONAL 1. Defisit mempengaruhi pilihan metode pengajaran dan isi atau kompleksitas instruksi 2. Pengertian dapat menguatkan kebutuhan untuk mentaati regimen pengobatan. 3. Tanda dan gejala ini dapat

komplikasi dan tekanan kebutuhan untuk melaporkan segera : terjadinya letargi atau peningkatan kelemahan, letargi dispagia, afasia, masalah penglihatan, kusut fikir dan kejang. 4. Diskusi keadaan patologis yang khusus dan kekuatan pada individu

menunjukan peningkatan TIK atau hipoksia jaringan serebal

5. Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri 6. Rekomendasi pasien untuk meminta bantuan dalam proses pemecahan masalah dan memvalidasi keputusan sesuai kebutuhan.

7. Bahas dengan keluarga tentang kemungkinan stressor yang berkenaan dengan CVA dan tindakannya.

4. Membantu dalam membangun harapan yang realitis dan menungkatkan pemahaman terhadap keadaan dan kebutuhan saat ini. 5. Berbagai tingkat bantuan mungkin diperlukan/perlu direncanakan berdasarkan pada kebutuhan secara individual 6. Beberapa pasien terutama dengan CSV kanan mungkin mengalami gangguan dalam pengambilan keputusan yang memanjang dan perilaku inpulsif, kehilangan kemampuan untuk mengungkapkan keputusan yang dibuatnya 7. Penyakit yang serius dari anggota keluarga dapat menyebabkan gangguan fungsi keluarga

a. Perubahan tanggung jawab


peran b. Keuangan c. Ketergantungan d. Tanggung Jawab pemberi perawatan 8. Berikan informasi tentang atau lakukan rujukan pada sumber komunitas, misalnya konselor, institusi pelayanan kesehatan di rumah dan lain-lain.

8. Sumber tersebut dapat memberikan bantuan yang diperlukan dalam penatalaksanaan dan membatu meminimalkan efek destruktif potensial pada klien dan keluarga.

4. Pelaksanaan Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukkan pada nursing oders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien (Nursalam, 2001 : 63).

Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari tindakan perawatan yang telah ditetapkan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pelaksanaan tindakan tersebut diantaranya manajemen nyeri dengan cara memberikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi nyaman seperti relaksasi dan distraksi, mempertahankan perilaku tenang bantu klien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam, masase punggung, menciptakan lingkungan yang tenang dan menghitung jumlah cairan yang masuk dan keluar, membantu memenuhi kebutuhan oksigen, mencegah peningkatan tekanan intra kranial dengan cara meninggikan ranjang bagian kepala sekitar 15 30 derajat, hindari batuk, bersin dan muntah, dan hindari aktivitas yang menyebabkan perubahan posisi secara mendadak, mencegah terjadinya infeksi didaerah luka dengan cara melakukan perawatan luka setiap hari dengan teknik septic dan aseptic, mencegah untuk tidak terjadinya komplikasi dilakukan latihan kontraksi isotonik dan latihan kontraksi isometrik pada pasien yang tidak sadar.

5. Evaluasi Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai (Nursalam, 2001:71) Terdapat dua tipe dokumentasi evaluasi, diantaranya yaitu evaluasi formatif yang menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respons segera. Evaluasi sumatif yaitu merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status klien pada waktu tertentu. Evaluasi sumatif dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai berikut : S : Data Subjektif Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan O : Respons Objektif Respons Objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan A : Analisis ulang atas data subjektif dan yang menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang

kontraindikasi dengan masalah yang ada. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respons klien.

6. Catatan Perkembangan Pada hari berikutnya evaluasi dituliskan dalam catatan perkembangan. Catatan perkembangan merupakan catatan perkembangan keadaan klien yang didasarkan pada setiap masalah yang ditemukan pada klien. Pada tekhnik ini catatan perkembangan dapat menggunakan bentuk SOAPIER, sebagai berikut : S : Data Subjektif Perkembangan keadaan didasarkan pada apa yang dirasakan, dikeluhkan dan dikemukakan klien. O : Data Objektif Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat atau tim kesehatan lain. A : Analisis Data subjektif dan objektif dinilai dan dianalisis, apakah berkembang ke arah perbaikan atau kemunduran. Hasil analisis dapat menguraikan sampai dimana masalah yang ada dapat diatasi atau adakah perkembangan masalah baru yang menimbulkan diagnosa

keperawatan baru. P : Perencanaan Rencana penanganan klien dalam hal inbi didasarkan pada hasil analisis di atas yang berisi melanjutkan rencana selanjutnya apabila keadaan atau masalah belum teratasi dan membuat rencana baru bila rencana awal tidak efektif. I : Implementasi Tindakan yang dilakukan berdasarkan rencana. E : Evaluasi Evaluasi berisikan penilaian sejauhmana tindakan dan evaluasi telah dilaksanakan dan sejauhmana masalah bisa teratasi.

R : Reassement Bila hasil evaluasi menunjukkan masalah belum teratasi, pengkajian ulang perlu dilakukan kembali melalui proses pengumpulan data subjektif, data objektif dan proses analisisnya.

Catatan perkembangan dapat pula menggunakan format PIE atau pengisian status dari data yang menonjol dari tiap masalah. kepanjangan dari PIE adalah problem/masalah, intervensi, dan evaluasii asuhan keperawatan. Maksud dari pencatatan PIE, sebagai mana awalnya, adalah untuk menghilangkan rencana perawatan yang tradisional dan memasukan rencana perawatan yang kontinu ke dalam dokumentasi harian. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan proses dokumentasi, menyatukan rencana perawatan dan catatan perkembangan, serta menulis catatan ringkas mengenai asuhan keperawatan yang di rencanakan dan di berikan (Siegrist, Dettor, Stocks,1985). Rencana tindak lanjut dapat berupa : rencana teruskan jika masalah tidak berubah, rencana dimodifikasi jika masalah tetap, semua tindakan sudah dijalankan tetapi hasil belum memuaskan, rencana dibatalkan jika muncul, masalah baru dan bertolak belakang dengan masalah yang ada di diagnosa lama dibatalkan. Hasil yang diharapkan pada klien dengan post craniotomy akibat cedera kepala antara lain : a. Perubahan keamanan : nyeri akut teratasi dengan kriteria nyeri berkurang, klien gelisah dengan skala nyeri 0 (0-5). b. Ketidaefektipan pola pernapasan teratasi dengan kriteria adanya peningkatan pola nafas kembali efektif, frekuensi pernapasan efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas dan paru dan adaptif mengatasi faktor penyebab. c. Resiko tinggi peningkatan Tekanan Intra Kranial teratasi dengan kriteria tidak terjadi peningkatan Tekanan Intra Kranial, klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, klien tidak merasakan mual dan muntah, GCS 4,5,6 dan TTV klien dalam batas normal. d. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit teratasi dengan kriteria tidak ada tanda-tanda edema perifer paru, TTV dalam batas normal.

e. Gangguan perfusi jaringan teratasi dengan

kriteria klien akan mempertahankan

tingkat kesadaran, fungsi kognitif dan motorik atau sensorik, TTV dalam batas normal, tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK. f. Keterbatasan gerak teratasi dengan kriteria klien mampu mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur. g. Resiko tinggi terhadap infeksi teratasi dengan kriteria klien dapat mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen, atau eritema demam. h. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan kriteris klien mampu mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi tercegah, klien mampu mempertahankan berat badan yang diinginkan. i. Kurang pengetahuan teratasi dengan kriteria klien dan keluarga dapat berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang kondisi atau prognosis dan aturan terapeutik, mulai perubahan gaya hidup yang diperlukan

Вам также может понравиться