Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1 Definisi Aneurisma aorta abdominal didefinisikan sebagai pelebaran aorta infra renal minimal 1,5 x diameter normal/ minimal 50% dari diameter normal aorta sesuai umur dan jenis kelamin yang bersifat permanen dan ireversibel. Ectasia adalah diltasi arteri kurang dari 50% dari diameter normal. Terdapat true aneurysm dan false aneurysm. Pada true aneurysm melibatkan ketiga lapisan dinding arteri yaitu intima/endotel, media, dan adventisia. Sedangkan false aneurysm atau pseudoaneurisma hanya melibatkan lapisan terluar dari dinding arteri yaitu tunika adventitia.Insidens AAA berkisar antara 1,8% hingga 6,6% pada populasi pria diatas 60 tahun. Seiring dengan bertambahnnya angka harapan hidup, insidens AAA diperkirakan meningkat sebesar 0,15% pertahun. II.2 Etiologi Lebih dari 90% aneurisma aorta didasari oleh proses aterosklerosis, namun terdapat beberapa faktor risiko lain yang juga berperan, diantaranya inflamasi, infeksi (mycotic aneurisym), trauma, vaskulitis, diseksi, rokok, dan connective tissue disorders seperti sindrom Marfan, sindrom Ehlers Danlos. Sindrom Marfan adalah suatu penyakit jaringan ikat yang ditandai adanya abnormalitas dari skletal, katup jantung, dan mata. Individu dengan penyakit ini memiliki resiko untuk terbentuknya aneurisma terutama anurisma aorta torakalis. Sindrom Marfan merupakan kelainan genetik autosomal dominan dimana terjadi abnormalitas dari fibrilin suatu protein struktural yang ditemukan di aorta. Sindrom Ehler-Danlos tipe IV merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh defisiensi kolagen tipe III, dan individu dengan penyakit ini dapat memiliki resiko terbentuknya aneurisma di bagian manapun dari aorta. II.3 Patogenesis Secara hemodinamik, keadaan dilatasi aneurisma dan peningkatan stress dinding sesuai dengan hukum Laplace. Spesifiknya, hukum Laplace
menyatakan bahwa tekanan dinding proporsional terhadap tekanan dikali radius dari arterial (T = P x R). Peningkatan diameter, diikuti dengan peningkatan tekanan dinding, sebagai respon terhadap peningkatan diameter. Meningkatnya tekanan, maka meningkat pula risiko ruptur. Peningkatan tekanan (hipertensi sistemik) dan meningkatnya ukuran aneurisma memicu tekanan pada dinding dan lebih lanjut meningkatkan risiko ruptur. Patogenesis dari pembentukan aneurisma aorta belum dimengerti secara baik. Aneurisma aorta dikarakteristikkan dengan destruksi elastin dan kolagen pada tunika media dan adventitia, hilangnya sel otot polos tunika media dengan penipisan dinding pembuluh, dan infiltrat limfosit dan makrofag transmural. Atherosclerosis adalah gambaran utama yang mendasari aneurisma Terdapat beberapa mekanisme dalam patogenesis aneurisma aorta: A. Degradasi proteolitik dari dinding jaringan ikat aorta pembentukan aneurisma melibatkan proses yang komplek dari destruksi tunika media aorta dan jaringan penyokongnya melalui degradasi elastin dan kolagen. Pada model in vivo dari pembentukan aneurisma aorta abdominalis, meliputi aplikasi calcium chloride dan perfusi elastase intraluminal, telah digunakan untuk meningkatkan peran berbagai protease selama pembentukan aneurisma. Model tersebut, sebaik yang telah dipelajari juga pada jaringan aorta manusia, menunjukkan bahwa berbagai matrix metalloproteinase proteinases (MMPs), berasal dari makrofag dan sel otot polos aorta, memainkan peran terintegrasi dalam pembentukan aneurisma. Disolusi kolagen intersisial mengikuti ekspresi dari collagenase MMP-1 dan MMP-13 pada aneurisma aorta abdominalis manusia. Elastase MMP2 (gelatinase A), MMP-7 (matrilysin), MMP-9 (gelatinase B), dan MMP12 (elastase makrofag) juga meningkat pada jaringan aneurisma aorta. Matrix metalloproteinase proteinases-12 (MMP-12), diekspresikan tinggi pada aneurisma aorta abdominalis manusia dan dapat berperan penting dalam inisiasi aneurisma. Sebagai tambahan, tingginya kadar MMP-2, ditemukan pada aneurisma aorta yang kecil, menunjukkan peran MMP-2 pada pembentukan awal aorta. Terakhir elastase MMP-9 yang dapat
diinduksi meningkat pada jaringan aorta, juga pada serum pasien aneurisma. Selama pembentukan aneurisma, keseimbangan remodeling dinding pembuluh antara MMPs dan inhibitornya yaitu Tissue Inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs), menentukan degradasi elastin dan kolagen. Lebih lanjut mekanisme biologis yang menginisiasi proteolitik enzim pada aorta belum diketahui.
Pada tahap awal aneurisma aorta, peningkatan kadar kolagen disproporsional dimana kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan elastin. Fenomena ini mencerminkan peningkatan destruksi elastin oleh elastase, insufisiensi elastin disebabkan deplesi VCMCs, mempercepat tegangan dinding dan kompensasi dengan akumulasi kolagen. Akibat masa kolagen dan peningkatan lingkar aorta, serat elastin menyebar ke area yang lebih luas dan serat elstin gagal untuk mengimbangi beban hemodinamik. Semua perubahan lambat laun meningkatkan diameter aorta. Hal ini juga diketahui bahwa elastin memperkuat dinding aorta terhadap gelombang pulsatil. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa aktivitas elastase meningkat dalam aorta pasien dengan penyakit aneurisma. Jadi, elastolisis dapat menjadi gangguan utama yang mempengaruhi sifat mekanik aorta. Akibatnya, serat kolagen interstisial melakukan peran utama dalam bantalan tegangan mekanik. Namun, proses kompensasi ini memiliki sebuah titik akhir. Di luar batas ini, jaringan kolagen tidak dapat mengkompensasi dampak hemodinamik dan ekspansi aorta terus terjadi. B. Inflamasi dan respon imungambaran histologi yang menonjol dari aneurisma aorta abdominalis adalah infiltrasi transmural oleh makrofag dan limfosit. Dihipotesiskan bahwa sel ini secara simultan melepaskan kaskade sitokin yang menghasilkan aktivasi berbagai protease. Pemicu untuk influk dan migrasi leukosit belum diketahui, tetapi paparan produk degradasi elastin pada dinding aorta dapat berperan sebagai primary chemotactic attractant untuk infiltrasi makrofag. Konsep bahwa pembentukan aneurisma adalah respon autoimun didukung oleh infiltrat ekstensif dari limfosit dan monosit, juga deposisi imunogobulin G yang reaktif terhadap matriks protein ekstraselular pada dinding aorta. Tunika adventitia tampaknya adalah area utama yag menjadi tempat infiltrasi leukosit dan aktivasi inisial MMP. Sitokin dari makrofag dan limfosit meningkat pada dinding aneurisma aorta, meliputi IL-1, TFN-a, IL-6, IL8, MCP-1, IFN-g, dan GM-CSF. Sitokin inflamatori ini, bersama dengan plasminogen aktivator, menginduksi ekspresi dan aktivasi dari MMPs dan TIMPs.
C. Stress biokimia pada dindingletak terbanyak adalah infrarenal untuk pembentukan aneurisma aorta abdominalis menunjukkan perbedaan potensial pada struktur aorta, biologi dan stress disepanjang aorta. Peningkatan shear dan tension pada dinding aorta menghasilkan remodeling kolagen. Lebih lanjut, penurunan rasio elastin terhadap kolagen dari proksimal ke distal aorta dapat relevan secara klinis semenjak penurunan elastin berhubungan dengan dilatasi aorta, sementara degradasi kolagen adalah predisposisi untuk ruptur. Saat aneurisma terbentuk, maka peningkatan stress dinding adalah penting dalam percepatan dilatasi dan peningkatan risiko ruptur. -blockers berperan untuk mengurangi stress dinding dan telah diperkirakan berperan protektif untuk dilatasi aneurisma dan ruptur pada model binatang. D. Molekular genetikfamilial cluster dan subtype HLA menunjukkan baik peran genetik dan imunologis dalam patognesis aneurisma. Yang terbaru, tidak ada polimorfisme gen tunggal atau defek yang dapat diidentifikasi sebagai denominator yang paling sering untuk aneurisma aorta abdominalis. Beberapa fenotip telah ditemukan berhubungan dengan pembentukan aneurisma aorta abdominalis. Sebagai contoh, Hp-2-1 fenotip haptoglobin dan defisiensi a1-antitrypsin berasosiasi dengan pembentukan aneurisma. Sebagai tambahan, adanya penurunan frekuensi aneurisma pada pasien dengan Rh-negative blood group dan penngkatan frekuensi pada pasien dengan MN atau Kell-positive blood groups. E. Mekanisme gabungankombinasi dari faktor multipel meliputi stress hemodinamik lokal, fragmentasi tunika media, dan presdiposisi genetik, lewat mekanisme imunologi yang tidak diketahui menstimulasi sel-sel inflamasi kedalam dinding aorta. Sel inflamasi kemudian melepaskan chemokine dan sitokin menghasilkan influk lebih lanjut dari leukosit dengan ekspresi dan aktivasi protease, terutama MMPs. Protease ini menghasilkan degradasi tunika media dan dilatasi aneurisma. Peningkatan stress dinding kemudian melanjutkan proses proteolisis dan progresifitas dilatasi aneurisma dengan ruptur aorta jika tidak ditangani dengan tepat.
II.4 Klasifikasi Aneurisma dapat digolongkan berdasarkan bentuknya: sakular dan fusiform. Aneurisma sakular menyerupai kantong (sack) kecil, aneurisma hanya melibatkan sebagian dari lingkar arteri dimana aneurisma berbentuk seperti kantong yang menonjol dan berhubungan dengan dinding arteri melalui suatu leher yang sempit; aneurisma fusiformis menyerupai kumparan, dilatasi simetris dan melibatkan seluruh lingkar arteri.
Aneurisma aorta abdominal dibagi menjadi aneurisma aorta infrarenal ---aneurisma mengenai sebagian segmen aorta dibawah arteri renalis; aneurisma aorta juxtarenalmengenai seluruh segmen aorta dibawah arteri renalis; aneurisma aorta pararenalis--sampai mengenai pangkal arteri renalis; aneurisma aorta suprarenalisaneurisma meluas sampai diatas artei renalis. Pada aneurisma aorta abdominal lokasi tersering adalah infrarenal.
Gambar 3. Tipe aneurisma aorta abdominal. I) Infrarenalis; II) Juxtarenalis; III) Pararenalis; IV) Suprarenalis II.5 Gejala Klinis 60 80% penderita AAA tidak merasakan adanya keluhan (asimptomatik), dan AAA dideteksi secara kebetulan ketika dilakukan pemeriksaan fisik atau pencitraan pada daerah abdominal, baik dengan USG maupun dengan CT Scan. Sebagian kecil merasakan keluhan yang tidak spesifik, akibat penekanan pada organ sekitar, trombosis pada aneurisma, distal embolisasi atau diseksi. Sekitar 20 25% penderita AAA akan datang dalam kondisi rupture dengan 3 gejala klasik yang menonjol yaitu nyeri perut / punggung, massa abdominal yang pulsatil disertai adanya bruit, dan hipotensi. Ruptur posterior terbatas pada retroperitoneal dengan prognosis yang lebih baik daripda ruptur anterior ke rongga peritoneum. Sembilan puluh persen meninggal sebelum tiba di rumah sakit.
II.6 Diagnosis Pemeriksaan fisik yang mengarah pada kecurigaan AAA adalah terlihatnya/terabanya massa yang pulsatile di abdomen disertai adanya bruit pada auskultasi. Color Dupplex USG merupakan metode pencitraan non invasive yang sangat berguna dalam skrining maupun pemantauan AAA. Dengan sensitivitas dan spesifitas > 90%. Namun pemeriksaan ini kurang baik pada penderita obese maupun dengan usus yang berisi banyak gas. CT Angiografi merupakan gold standard untuk AAA dengan akurasi dan resolusi yang sangat baik, CT Angiografi sangat berperan dalam dateksi, rencana intervensi (bedah maupun non bedah) sarta evaluasi pasca intervensi. Informasi yang diperoleh dari CT berupa ukuran maksimal aneurisma, tipe/bentuk aneurisma (saccular/fusiform/mycotic), hubungannya dengan pembuluh darah lain (misalnya dengan arteri renalis untuk perencanaan intervensi), evaluasi arteri iliaca dan femoralis (untuk akses device intervensi). Magnetic Resonance Angiography (MRA) merupakan alternative pencitraan pada penderita dengan disfungsi ginjal, karena kontras yang digunakan (gadolinium) lebih aman untuk ginjal. Pemeriksaan aortografi secara invasive kini tidak lagi merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk diagnostik, hanya dikerjakan dalam rangkaian prosedur intervensi non bedah.
Gambar 5. Aortography aorta ascending menunjukkan aneurisma aorta asenden II.7 Tatalaksana Semua faktor risiko yang berhubungan dengan AAA harus dikendalikan dengan baik. Tekanan darah merupakan determinan utama yang harus dikendalikan untuk menghambat progresivitas anaeurisma aorta. Tekanan darah dan denyut nadi harus diturunkan hingga mencapai sistolik < 110 mmHg dan denyut nadi <60x/menit. Obat yang sebaiknya digunakan adalah ACEI/ARB dan BB. Beberapa obat lain juga dilaporkan dapat mengurangi progresivitas AAA yaitu kelompok statin doxycycline dengan mekanisme yang berhubungan dengan anti inflamasi dan inhibisi enzim metalloproteinase, enzim yang berperan dalam degenerasi kolagen aorta. II.8 Intervensi AAA dengan diameter < 5 cm sebaiknya dilakukan terapi medikamentosa sambil memantau perkembangan diameter AAA. Indikasi intervensi bila diameter > 5 cm/terdapat peningkatan diameter > 0,5 cm/tahun, karena kemungkinan diseksi/rupture akan meningkat secara signifikan. Teknik intervensi non bedah berupa EVAR (Endovaskular Aortic Repair) mempunyai beberapa keunggulan antara lain tidak memerlukan sayatan leher dan tidak menimbulkan jaringan parut, risiko periprosedural lebih kecil, masa
perawatan di rumah sakit lebih pendek, dan waktu mobilisasi lebih cepat. Kekurangan EVAR adalah pada AAA dengan turtousity/angulasi yang berat dan pada lesi anaeurisma yang melibatkan arteri renalis, karena stent graft yang digunakan dapat menutupi arteri renalis. Kini mulai dikembangkan dengan stent graft dengan profil yang lebih kecil dan flexible dilengkapi dengan desain khusus yang memungkinkan adanya percabangan menuju cabang cabang aorta (fenestrated/branched stent graft). Teknik EVAR, stent-graft dimasukkan ke dalam lumen aneurisma melalui arteri femoralis dan difiksasi ditempatnya pada leher aorta yang tidak mengalami aneurisma dan arteri iliaca dengan melebarkan stent atau balloon-expandable stents. Beberapa stent-grafts memiliki mata kail, pin, atau kait untuk fiksasi stent.