Вы находитесь на странице: 1из 18

BASAL MENINGOCELE

Oleh Ferry Wijanarko, dr, Sp BS DR M. Arifin Parenrengi, dr, Sp BS

BEDAH SARAF SOLO


Secretariat : Neurosurgery Subdivision Dr Moewardi Hospital Surakarta phone 0271 9208606/ fax 0271 637654 e-address : bedahsarafsolo@yahoo.com

www.bedahsarafsolo.com

BASAL MENINGOCELE Ferry Wijanarko*, M. Arifin Parenrengi** ABSTRACT Basal meningocele is a rare midline bony defect of the base of the skull which may allow protrusion of the meninges and their contents. Herniated meninges in such cases may be found in the nasal cavity, nasopharynx, the sphenoid and ethmoid sinuses, the orbit, and the pterygopalatine fossa, the site depending on the location and size of the bony defect. The basal meningocele frequently escapes the diagnosis and may be detected at adult age. MRI is the imaging diagnostic procedure of choice since it allows to precisely identifying the presence of meninges, brain parenchyma and blood vessels inside the bone defect. Besides, it provides broad encephalic anatomic evaluation which facilitates the identification of other anomalies. Basal meningocele are classified in accordance with their location as transsphenoidal, sphenoorbital, sphenoethmoidal, transethmoidal, or sphenomaxillary. Although the transethmoidal is the most frequent, these are all rare anomalies, accounting for about l 5% of all encephaloceles. Basal meningocele are often associated with other midline anomalies such as hypertelorism, broad nasal root, cleft lip, and cleft palate. We report here case of a child, 55-day-old, with a transethmoidal meningocele with the chief complaint of getting cyanotic when he was drinking milk. This meningocele may presents as a mass in the nasopharynx, masquerading as nasal polyps or enlarged adenoids.

Key word : basal meningocele * Staf Medis Fungsional Sub Bagian Bedah Saraf RSUD Dr Moewardi Surakarta **Staf Medis Fungsional Departemen Bedah Saraf RSUD Dr Soetomo Surabaya

I.

PENDAHULUAN Abnormalitas bawaan susunan saraf pusat adalah salah satu kelompok dari

kasus cacat kongenital yang paling menonjol dengan frekuensi 3-4% dari seluruh kasus abortus spontan dan kira-kira 1 dari 200 kelahiran hidup. Secara menyeluruh kecacatan susunan saraf bawaan mempunyai varian kompleksitas gabungan beberapa faktor etiologis seperti abnormalitas kromosom, kelainan genetik, dan faktor lainnya. Berdasarkan patoembriologik dibagi atas tiga kelompok anomali yaitu : (1) malformasi perkembangan, (2) defek tabung neural, dan (3) hidrosefalus kongenital(2,9). Wawasan permasalahan yang mencakup deteksi dini dan implikasinya, bila dihadapkan dengan hak dan prognosa kualitas kehidupan kasus masa mendatang, tampaknya merupakan tantangan yang membutuhkan pemikiran pertimbangan yang unik dan kebijaksanaan filosofis yang luhur (2). Ensefalokel merupakan malformasi kongenital yang ditunjukkan dengan adanya protrusi dari meningens dan atau jaringan otak pada defek tulang kepala. Ensefalokel merupakan salah satu dari kelainan defek tuba neural selain anensefali dan spina bifida(8). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Juga disebutkan bahwa tidak ditemukan dua kasus meningokel pada keluarga yang sama atau keluarga dekat lainnya. Meningokel merupakan defek multifaktorial dimana peranan lingkungan sangat berperan penting (10). II. Laporan Kasus Seorang anak laki laki berusia 55 hari, masuk RSU Dr Soetomo Surabaya pada tanggal 30 April 2008 dengan keluhan wajah kebiruan setelah minum susu satu minggu setelah lahir. Pasien merupakan kiriman dari RS Husada Utama Surabaya. Pasien lahir tanggal 18 Maret 2008, lahir spontan, cukup bulan, di RS AURI Surabaya. Satu minggu setelah lahir ibu pasien mengeluh bahwa pasien sering kebiruan setelah diberi minum susu. Keluarga membawa pasien ke dokter spesialis anak di RS AURI. Kemudian pasien dirujuk ke RS Husada Utama Surabaya. Waktu
1

masuk di RS tersebut pasien ditangani oleh dokter spesialis anak dan spesialis THT, oleh karena adanya polip di lubang hidung kanan. Pada saat dilakukan pemeriksaan penunjang MRI didapatkan hasil adanya meningokel mulai di lamina kribrosa sinus etmoidalis kanan yang meluas ke bawah sampai orofaring (lubang paling atas) disertai adanya meningokel. Parenkim otak dalam batas normal dan tidak ditemukan tanda hidrosefalus. Saat itu pasien mulai ditangani oleh ahli Bedah Saraf. Kemudian pasien dirujuk ke RSDS untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut pada tanggal 30 April 2008, lalu dirawat di NICU GBPT (gambar 1) RSU Dr. Soetomo Surabaya. Riwayat kehamilan cukup umur/bulan dan lahir spontan di RS AURI Surabaya dengan berat lahir 2300 kg. Riwayat ibu menderita penyakit TORCH selama kehamilan tidak jelas. Buang air besar normal tidak mencret, kencing juga dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah dengan tanda tanda vital nadi : 140 kali/menit, RR : 30 kali/menit, suhu aksila : 36,7o C. Pada pemeriksaan kepala tidak terdapat anemia, ikterus, sianosis maupun dyspneu, serta ubun-ubun besar belum menutup. Pada pemeriksaan leher tidak tampak adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan dada (regio thoraks) didapatkan keadaan simetris antara dada kanan dan kiri, tidak terdapat retraksi dada. Cor didapatkan S1 S2 tunggal, tidak didapatkan suara gallop maupun murmur. Pada pemeriksaan paru tidak didapatkan suara ronkhi maupun wheezing. Pada pemeriksaan perut/abdomen dirasakan perut dalam kondisi supel (tidak ada defans muskuler) dan tidak didapatkan meteriorismus, serta bising usus dalam batas normal. Pada pemeriksaan ekstremitas tidak didapatkan udem dan akral dalam kondisi hangat, kering, dan merah (HKM). Pada pemeriksaan neurologis didapatkan GCS 456, reflek cahaya +/+, pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm, tidak terdapat lateralisasi dan maupun hemiparese. Dari pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan leukositosis (leukosit 14.200/ul), trombositopenia (trombosit 60.000/ul), hemoglobin 11,9 g/dl, eritrosit 4,27 juta/ul, albumin 3,7 g/dl. Sedangkan pada pemeriksaan darah yang
2

lainnya seperti blood urea nitrogen, serum kreatinin, SGOT, SGPT, dan faal hemostasis dalam batas normal.

Gambar 1. Perawatan di NICU GBPT RSU Dr. Soetomo Surabaya Pada pemeriksaan MRI kepala (gambar 2) didapatkan adanya meningokel mulai di lamina kribrosa sinus etmoidalis kanan yang meluas ke bawah sampai orofaring disertai adanya meningokel. Luas lubang saat ini 6 mm. Parenkim otak dalam batas normal dan tidak ada tanda hidrosefalus.

Gambar 2. MRI Kepala


3

Pada pemeriksaan foto kepala lateral (gambar 3) didapatkan sela tursika normal. Tak tampak tanda peningkatan TIK. Jaringan lunak mengisi nasofaring hingga orofaring, ekstensi ke posterior dengan penekanan berat pada trakhea bagian atas.

Gambar 3. Foto kepala lateral Pada pemeriksaan ekhokardiografi didapatkan hasil atrial sinus solitus. AV dan VA concordance. Drainase vena normal. Ruang dan katup jantung normal. Tidak tampak ASD/VSD/PDA. Fungsi sistolik LV dalam batas normal. Arkus aorta di kiri normal. Kesimpulan : ekhokardiogram normal. Konsultasi dengan bagian bedah anak dilakukan untuk pemasangan axillary line (gambar 4) guna kepentingan masuknya cairan selama dilaksanakannya operasi (satu hari sebelumnya).

Gambar 4. Pemasangan axillary line


4

Berdasarkan semua data keadaan pasien diatas, maka direncanakan operasi trepanasi dan eksisi cele bekerja sama dengan teman sejawat THT. Sebelum operasi trepanasi dimulai dilakukan pemasangan endotrakheal tube melalui celah trakhea (trakheostomi) untuk memastikan bahwa jalan nafas dalam kondisi bebas selama dilangsungkannya operasi (gambar 5).

Gambar 5. Pemasangan trakheostomi Trepanasi dimulai setelah sebelumnya dilakukan desinfeksi dengan savlon dan betadine. Kemudian dilakukan insisi bikoronal lapis demi lapis/tandas tulang pada regio frontal (gambar 6) dan dilanjutkan dengan dilakukan burrhole 4 lubang bifrontal kanan dan kiri (gambar 7).

Gambar 6. Insisi bicoronal

Gambar 7. Burrhole 4 lubang Setelah itu dilakukan eksplorasi frontonasal dan didapatkan defek intima 1x1.5 cm di daerah etmoid kanan dengan adanya defek tulang (gambar 8), lalu dilanjutkan dengan subfrontal osteotomi. Setelah subfrontal osteotomi selesai dilanjutkan dengan eksisi leher meningokel/tutup defek intima (gambar 9), lalu diteruskan dengan jahit duramater.

Gambar 8. Defek tulang

Gambar 9. Tutup defek intima dengan tulang parietal Defek intima ditutup dengan memasang tulang tambahan (bone graft) kalvaria (gambar 9) pada defek tulang yang diambil dari tulang kalvaria regio parietal sinistra. Setelah itu dilakukan hitchstich sekeliling duramater (gambar 10). Tulang dipasang dan difiksasi dengan kawat (wire). Setelah dipasang redon drain kemudian lapangan operasi ditutup lapis demi lapis.

Gambar 10. Jahit duramater Setelah operasi trepanasi selesai dilanjutkan dengan operasi eksisi cele di regio nasal dan nasofaring oleh teman sejawat THT (gambar 11) dan diakhiri dengan pemasangan tampon pada lubang hidung.

Gambar 11. Eksisi cele nasal

Gambar 12. Isi cele nasal Selanjutnya pasien dirawat di NICU GBPT. Hari ketiga tampon lubang hidung dilepas. Hari kelima paska operasi pasien alih rawat kembali ke RS Husada Utama Surabaya.

Gambar 13. Perawatan hari ketiga pasca operasi di NICU GBPT

III.

DISKUSI Ensefalomeningokel dan meningokel adalah herniasi selaput otak dengan atau

tanpa jaringan otak melalui defek tulang kranium. Pada umumnya meningokel adalah lunak, berpulsasi dan isi kantungnya dapat ditekan ke dalam ruang intrakranial, sedangkan ensefalomeningokel adalah sebaliknya. Herniasi ini bisa melalui tulang wajah, kranium ataupun tulang dasar tengkorak (5,10). Gejala meningokel pada pasien sangat bervariasi. Beberapa pasien dengan meningokel mempunyai gejala seperti penyakit spina bifida, sedang pada beberapa orang lain tidak mempunyai gejala apa-apa. Beberapa pasien juga dilaporkan mengeluhkan paralisis inkomplit dengan disfungsi urin dan usus. Pada beberapa kasus meningokel didiagnosis sebelum lahir. Tes tes yang digunakan tersebut antara lain pemeriksaan FP serum ibu trimester kedua, USG foetus, pemeriksaan marker lainnya, dan amniocentesis (8). Meningokel basalis (MB) merupakan meningokel yang herniasinya melalui defek tulang kepala pada tulang dasar tengkorak. CT scan dan MRI memegang peranan penting pada diagnostik untuk anomali ini karena kemampuannya untuk mengevaluasi seluruh kepala dan struktur isi herniasi. Kasus MB sangat jarang ditemui, kadang hanya dapat didiagnosis pada usia dewasa muda. Pada ensefalokel transfenoidal, defek tulang terjadi karena hasil kondrifikasi dari defek sinkondrosis intersfenoidalis pada tulang sfenoid, menyebabkan persisten dari kanalis kraniofaringealis, yang biasanya menutup sendiri pada usia kehamilan 50 hari. Gejalanya berkembang saat periode neonatal dan merupakan proses ekspansi dari epifaring dan pituitary dwarfism(7). MB merupakan kasus defek tulang kepala sebelah basal yang terletak pada garis tengah. Kasus ini jarang dijumpai. MB menyebabkan protrusi dari meningen dan semua isinya. Herniasi dari meningen ini dapat terjadi pada kavum nasal, nasofaring, sinus sfenoidalis dan etmoidalis, orbita, dan fosa pterigopalatina. Ensefalokel ini sering berbentuk massa di nasofaring sehingga sering disalahartikan
10

sebagai polip nasi atau adenoid yang membesar, dan sering dihubungkan dengan cleft palate
(7)

. Adanya defek atau celah pada tabung neural cenderung menyebabkan

kelainan penonjolan isi kranium melalui celah tersebut (sefalokel). Bila yang menonjol adalah meningens dan cairan likuor maka dinamakan meningokel, sedangkan bila jaringan otak ikut keluar maka dinamakan sebagai ensefalomeningokel (2,9,10). Pada perkembangan embriologi normal, dasar fosa kranii anterior terbentuk dari pars orbitalis os frontal, lamina kribrosa os etmoidal dan ala minor dan pars anterior korpus osis sfenoidalis. Lamina kribrosa yang menyilang bidang tengah, terletak antara dua pars orbitalis os frontal. la memisahkan fosa kranii anterior dari atap kavum nasal yang dibentuknya. Di sebelah anteriornya terletak suatu peninggian yang disebut krista galli. Foramen cecum terletak tepat di depan krista galli, umumnya mengalami obliterasi dan kadang-kadang tetap paten dan dilewati vena emissarii (5). Kantong meningeal terdiri dari duramater normal yang melekat pada tepi defek tulang. Pada kebanyakan kasus, kantong meningeal mengandung jaringan otak, biasanya bagian medial dari kedua lobus frontalis dan jarang ditemukan isi kantong meningeal yang hipervaskular. Pemeriksaan histologis isi kantong menunjukkan jaringan otak, jaringan glia dan jaringan ikat (5). Celah atau defek tabung neural sendiri menampilkan kelainan yang dinamakan sebagai kranium bifidum. Patomekanisme adanya defek tabung neural sendiri masih belum dapat dijabarkan dengan pasti, namun B.N. French mengemukakan empat teori dugaan atas kejadian tersebut sebagai berikut (2) : 1. Terhentinya perkembangan embrio (developmental arrest). Dalam hal ini neuroporus anterior gagal menutup sempurna (biasanya paling lambat hari ke24), sehingga menyebabkan ada bagian-bagian otak yang keluar dan terjepit di sana. 2. Teori hidrodinamik. Diduga meningokel terjadi akibat distensi tabung neural yang berlebihan sehingga akhirnya ia tetap meninggalkan celah atau defek. 3. Neuroskhisis. Menjabarkan bahwa celah terjadi akibat terbelahnya tabung neural setelah ia menutup sempurna.
11

4. Herniasi sekunder. Teori ini menerangkan bahwa meningokel terbentuk pada stadium perkembangan bayi yang sudah lanjut. Hampir seluruh kasus meningokel terjadi pada daerah dekat garis tengah mulai dari bagian anterior sampai posterior bahkan juga basis kranii, namun ada pula yang dijumpai menonjol keluar melalui sutura dan foramen-foramen yang ada pada tulang tengkorak. Meningokel dapat dikelompokkan berdasarkan lokasinya menjadi yaitu : (1) tempurung kepala (oksipital, interfrontal, parietal, fontanel anterior/posterior, temporal), (2) frontaletmoidal (nasofrontal, nasoetmoidal, nasoorbital), (3) basis kranii/basalis (transetmoidal, sfenoetmoidal, transfenoidal, frontosfenoidal/sfenoorbital)(2). Beberapa penulis mengklasifikasikan MB dalam lima tipe secara anatomis, yaitu (a) transfenoidalis - melalui tulang sfenoidalis ke sinus sfenoidalis atau epifaring; (b) sfenoorbital - melalui fisura orbitalis superior ke orbita; (c) sfenoetmoidalis - melalui tulang sfenoidalis dan etmoidalis ke kavum nasal posterior; (d) transetmoidalis - melalui lamina kribrosa ke kavum nasal anterior; dan (e) sfenomaksilaris - melalui fisura orbitalis inferior ke fosa pterigopalatina (8). Walaupun MB tipe transetmoidal paling sering dijumpai (sekitar 15% dari seluruh kasus ensefalokel), tetapi secara umum dikatakan MB merupakan kasus meningokel yang jarang ditemui di masyarakat. MB sering dihubungkan dengan anomali garis tengah yang lain, seperti hipertelorisme, cleft lip, dan cleft palate. Kelainan nervus optikus seperti diskus optikus yang pucat, lubang pada nervus optikus, displasia nervus optikus, dan megalopapilla dilaporkan pada beberapa pasien yang menderita MB (7,8). MB jarang menyebabkan rinorea dan meningitis rekuren. Defek transetmoidalis terletak di sebelah anterior pada garis tengah atau di sepanjang tulang kribiformis dan tidak melibatkan sela tursika. Kantung cele berlanjut ke inferior ke sinus dan kavum nasal. Bayi dan balita dapat menunjukkan manifestasi klinis berupa obstruksi nasal unilateral, chronic nasal discharge, atau nyeri kepala setelah bersin dengan kuat. Para praktisi kesehatan seringkali melakukan mispresentasi antara MB
12

dengan polip nasi dan hal ini sangat berbahaya bila dilakukan tindakan polipektomi(12).

Gambar 14. Representasi potongan koronal pada ensefalokel sfenoidalis

Gambar 15. Representasi potongan sagital pada ensefalokel sfenoidalis

Gambar 16. Gambar anak usia 1 tahun 5 bulan dengan fistula palatum residual

13

Pemeriksaan penunjang diagnostik yang sering dilakukan adalah pemeriksaan foto polos kepala untuk mencari defek pada tengkorak, dimana kadang juga diperlukan pemotretan sisi tertentu. Selain itu pemeriksaan ini juga ditujukan untuk mendeteksi keadaan patologis penyerta lainnya seperti tekanan tinggi intrakranial, disproporsi kraniofasial, dan sebagainya (2,4). Pemeriksaan USG adalah salah satu alternatif untuk mendeteksi defek dan isi meningokel, bahkan pada bayi yang ubun-ubunnya masih belum menutup maka diharapkan dapat memberikan informasi lebih lengkap mengenai struktur intrakranial. Dalam dekade terakhir, USG cenderung berperan lebih luas untuk mendeteksi kelainan-kelainan semacam ini sewaktu bayi masih dalam kandungan (2,13). Sedangkan pemeriksaan ventrikulografi dan angiografi saat ini sudah ditinggalkan sehubungan dengan adanya terobosan-terobosan alat diagnostik yang non invasif seperti USG dan CT scan
(2)

. CT scan adalah pemeriksaan penunjang diagnostik terpilih untuk kasus-

kasus meningokel yang dalam hal ini hampir seluruh informasi dapat diperoleh secara lengkap(2,3). Akan tetapi meskipun scanning merupakan pemeriksaan penunjang yang aman pada foetus, kadangkala resolusi dari otak dan atau susunan saraf pusat dibatasi oleh bentuk tubuh ibu, cairan amnion/ketuban, dan posisi dari foetus. MRI dapat memberikan gambaran lebih detail pada pemeriksaan foetus secara non invasif. MRI sangat membantu pada pemeriksaan kelainan intrakranial seperti meningokel, malformasi Chiari, holoprosensefali, malformasi Dandy Walker, stenosis akuaduktus, agenesis korpus kalosum, dan kelainan yang lain (11). Penanganan terapi merupakan tindakan operasi yang dilakukan sedini mungkin di mana penderita telah laik untuk menjalaninya. Pada penderita meningokel dengan tanda-tanda adanya infeksi (ada luka yang terbuka), maka perlu dilakukan perawatan lokal dan pemberian antibiotika dosis tinggi. Kasus-kasus dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial kiranya membutuhkan tindakan drainase atau pemasangan pintas ventrikulo-peritoneal meningokelnya(1,2,3,4).
14

terlebih

dahulu

sebelum

dilakukan

operasi

reseksi

Indikasi terapi definitif meliputi alasan kosmetik, pencegahan kerusakan otak lebih lanjut, pencegahan ulserasi, ruptur dan kebocoran cairan serebrospinal serta indikasi perawatan penderita(5,12). Beberapa anak-anak dengan meningokel diterapi dengan pembedahan (beberapa hari setelah lahir) untuk menutup defek dan menjaga infeksi atau trauma lebih lanjut. Kontraindikasi operasi adalah keadaan umum penderita yang jelek dan kerusakan otak hebat dengan hanya sedikit harapan perkembangan mental. Penyebab utama kerusakan otak adalah herniasi masif jaringan otak yang disertai anomali otak dan hidrosefalus (5). Teknik operasi disesuaikan perindividu berdasarkan hasil evaluasi pemeriksaan diagnostik. Pada kasus yang mempunyai defek tulang relatif kecil dan tanpa disertai adanya gejala peningkatan tekanan intrakranial maupun infeksi, biasanya dapat dilakukan reseksi langsung (2,6,10). Prognosis meningokel sangat bervariasi, secara umum berdasarkan literatur yang ada, 53% meningokel tanpa disertai kelainan intrakranial mempunyai prognosis perkembangan fisik dan mental yang cukup baik, 28% perkembangan mentalnya normal walaupun ada gangguan fisik dan 19% sisanya mengalami retardasi mental. Adanya hidrosefalus sangat berperan dalam menentukan prognosis keadaan mental dari kasus di masa mendatang. Hampir separuh dari kasus meningokel juga didapati hidrosefalus (terjadi pasca operasi reseksi penutupan defek). Mortalitas meningokel berkisar antara 1-10%, dimana komplikasi tersering adalah infeksi dan komplikasi shunt. Ukuran dan isi meningokel ikut pula berperan dalam prognosis kasus. Kelainan fisik yang seringkali muncul adalah epilepsi, gangguan visus sampai buta, gangguan pendengaran, strabismus, gangguan penciuman, gangguan motorik, dan gangguan bicara (2,4,10).

15

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. Lindsay Kenneth, Bone Ian, Callander Robin, 1991. Neurology and Neurosurgery Illustrated, 2nd Ed., Churchill Livingstone, UK Listiono LD, Satyanegara, 1998. Cacat Otak Bawaan, Ilmu Bedah Saraf, Ed. 3, PT Gramedia, Jakarta Wilkin RH, Rengachary SS, 1996. Encephaloceles, Neurosurgery II, Mc Graw Hill Co, New York,. pp 3573-3580 Greenberg MS. Developmental anomalies. In: Greenberg MS, editor. Handbook of Neurosurgery 6th Editon. New York: Thieme; 2001.p. 94-125. Arifin M, 1995. Pembedahan Ensefalokel Frontoethmoidal. Penelitian Komparatif Tehnik Osteotomisubfrontal Dengan Eksisiekstrakranial, Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf 6. 7. 8. 9. Suwanwela C, Sukabote C, Suwanwela N: Frontoethmoidal Encephalomeningocele. Surgery 1971, 69:617-625. Caprioli,J. and Lesser, RL. Basal Encephalocele And Morning Glory Syndrome. British Journal of Ophthalmology, 1983, 67, 349-351. Etster AD, Branch CL. Transalar Sphenoidal Encephaloceles: Clinical and Radiologic Findings. Radiology 1989; 170:245-247 Hayashi T, Utsonomiya H, Hashimoto T. Transethmoidal Encephalocele. Surg Neurol. 1985;24:651655. 10. Pollock JA, Newton TH, Hoyt WF. Transsphenoidal and Transethmoidal Encephaloceles. Radiology I 968; 90:442-453. 11. Gudinchet F, Brunelle F, Duvoisin B, Ernest C, Couly G, Renier D. The value of CT and MRI in the assessment of basal encephaloceles in children. Schweiz Rundsch Med Prax 1992; 81: 1196-1201. 12. Garg P, Rathi V, Bhargava SK, Aggarwal A. CSF Rhinorrhea and Recurrent Meningitis Caused by Transethmoidal Meningoencephaloceles. Indian Pediatrics 2005; 42:1033-1036
16

Вам также может понравиться