Вы находитесь на странице: 1из 9

Haji dan Ajaran dalam Kawih

Ibadah haji memang ditegaskan di dalam Alquran hanya bagi orang yang mampu tanpa pandang bulu agamanya. Ini bukanlah mampu dalam arti memiliki harta, tetapi mampu menjalankan yang immaterial. Kalau kemampuan untuk menjalankan ibadah haji itu berupa kemampuan material, maka orang-orang yang tinggal di sekitar Mekah pasti dengan mudah menjalankannya. Bukan hanya sekali, tetapi ibadah itu akan dapat dilaksanakan setiap tahun seumur hidup. Oleh karena berupa tantangan spiritual, maka tempat tinggal tidak menjadi halangan. Olehk karena itu, marilah kita perhatikan ayat tentang haji, yaitu QS. lu Imrn [3]:97 di bawah ini.

F hi yt bayyint maqm ibrhm wa man dakhalahu kna mina wa li allh al al-ns hijj al-bayt man istatha ilayhi sabla wa man kafara fa inna allh ghaniyy an al-lamn. Di dalam rumah itu terdapat ayat yang nyata, di antaranya maqam (spiritual) Ibrahim, dan orang yang memasukinya pasti aman. Mengerjakan haji merupakan kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mengetahui (istatha) jalan (sabl) ke rumah itu. Barang siapa yang mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah mahakaya dari alam semesta. Jelas sekali, bahwa yang diwajibkan itu adalah haji ruhani. Oleh karena kewajiban itu berupa haji ruhani, maka haji tidak tergantung pada kekayaan material. Baik orang kaya maupun orang miskin, dia berkewajiban haji apabila mengetahui jalan menuju rumah Allah itu. Dan, rumah Allah atau Kabah yang hakiki ternyata bukan di Mekah sana, tetapi di dalam hati kita sendiri. Bila rumah itu berupa Kabah yang di Mekah, orang Mekah dan sekitarnya pasti mengetahuinya. Tetapi, rumah Allah yang di dalam hati itulah yang harus diketahui. Orang yang berhaji, diperintahkan di dalam ayat itu, memasuki rumah yang di Bakkah. Jadi, kalau sudah berada di dalamnya pasti aman, lantaran

kita berada di maqam Ibrahim, yaitu maqam qalb salm. Pada saat berada di maqam qalb salm inilah taman kebahagiaan didekatkan.1

87Dan,

janganlah Engkau hinakan aku (Ibrahim) pada hari mereka dibangkitkan. 88Di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. 89Kecuali orang-orang yang datang kepada Allah dengan hati yang damai. 90Dan, didekatkanlah taman kebahagiaan kepada orang-orang yang bertakwa. Perhatikan doa Ibrahim kepada Tuhannya, yaitu bangkit hidup tidak terhina ketika orang-orang yang membencinya dibangkitkan. Dalam hal ini, Ibrahim menyadari sepenuhnya bahwa datang kepada Allah itu dalam keadaan hati yang damai. Kemudian dipertegas bahwa taman kebahagiaan yang biasa disebut surga oleh orang Indonesia, yang didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa. Dengan demikian, bukan kita yang mengejar surga tetapi surgalah yang didekatkan. Dengan kata lain, kebahagiaan akan datang dengan sendirinya bila kita mampu kembali kepada Tuhan kita dengan hati yang damai. Mari kita perhatikan ayat tentang haji, QS. Al-Baqarah [2]:197.

Ibadah haji dilakukan dalam beberapa bulan yang dimaklumi Syawal, Dzul Qadah dan Dzul Hijjah barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan, apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang albb.

QS. Al-Syuar [26]:87-90.

Ada kaitan antara hakikat dan syariat. Yang hakikat dapat dikerjakan oleh siapa pun yang sudah dewasa dan berakal sehat, tidak tergantung kekayaan material. Hal inilah yang harus ditunaikan lebih dulu sebelum dapat menjalankan syariatnya. Dengan kata lain, bilamana seseorang secara material tidak mungkin bisa melaksanakan ibadah haji, maka esensi haji itu harus dijalankan dalam kehidupannya sehari-hari. Esensi haji dalam ayat itu disebut secara tegas, yaitu larangan untuk berbuat rafats, fusuq, dan jidal. Rafats adalah perbuatan kotor, tak pantas, tak santun, atau cabul. Fusuq artinya mencaci-maki, menghina, merendahkan orang lain, membenci orang lain, atau memandang dirinya lebih baik daripada orang lain. Dan, yang dimaksud dengan jidal ialah pertengkaran, pertikaian, gemar dalam membuat perkara, atau berbantah-bantahan dalam kehidupan beragama. Bahkan pada saat berihram seseorang tidak boleh membunuh hewan apa pun dengan sengaja, dan juga tidak boleh merusak tanaman. Perbuatan untuk tidak rafats, fusuq dan jidal, serta tidak membunuh binatang maupun merusak tanaman merupakan jalan yang ditempuh dalam berhaji. Dengan demikian, haji adalah perjalanan ruhani. Orang yang benarbenar berhaji meskipun belum pernah secara lahiriah beribadah haji ke Mekah akan selalu berusaha menjaga dirinya untuk berkata baik, tidak menyakiti orang lain, dan bahkan tumbuh rasa cinta sejati dalam kehidupan ini. Intinya orang yang telah berhaji akan selalu berbuat kebajikan. Hal ini ditegaskan dalam ayat tersebut yang menyatakan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Di Mekah ada urutan untuk berhaji yaitu dimulai dengan berihram. Pada saat berihram seorang pelaku haji harus menjaga dirinya untuk tidak melakukan hal-hal yang terlarang. Lalu, dia menuju padang Arafah, yang artinya tahu dan mengenal sesuatu. Syariat ketika berada di Arafah inilah yang harus dihayati secara hakikat, yaitu upaya untuk berintrospeksi diri dan akhirnya mengenal Allah dengan sebenarnya. Di Arafah inilah seseorang harus berjuang untuk merasakan kehadiran Allah. Ketika di padang Arafah, salat syariat pun hanya dilakukan secara jamak-qashar, dan sebagian besar waktunya digunakan untuk berzikir dan bertafakur. Itulah sebabnya ibadah ritual di Padang Arafah cukup dilakukan dengan jamak qasar. Antara waktu lohor dan magrib hanya diisi dengan zikir, tafakur, dan itikaf. Hal ini berarti salat syariat hanya dilakukan secara pendek dan digabung, dan setelah itu dilakukan salat hakikat. Selepas magrib pelaku haji berkemas-kemas menuju Muzdalifah atau Masyaril Haram, yaitu mencari kerikil untuk jumrah, sambil melakukan perenungan hingga tengah malam. Sebenarnya, bagi yang berhaji secara fisik, ia wajib melakukan introspeksi diri dan membangkitkan kesadaran, dan itulah makna masyar al-harm. Ya, sadar terhadap hal-hal yang terlarang dalam kehidupan bersama maupun secara pribadi. Bila sebelumnya pernah melakukan yang terlarang, maka hal itu tak akan terulang karena kesadaran telah bangkit. 3

Di Muzdalifah kita kembali merenung dan beristigfar.2 Di Muzdalifah pelaku haji diperintah untuk berzikir kepada Allah. Berzikir dengan menyebut asma Allah sebanyak-banyaknya. Dalam makrifat Jawa, di Muzdalifah ini pelaku haji melakukan salat hakikat, yaitu melakukan meditasi dengan pengosongan pikiran melalui penyebutan asma Allah secara kontinyu dan sebanyakbanyaknya. Hal ini dimaksudkan agar ada kesempatan baginya untuk menyadari kehidupan di padang pasir kehidupan. Dari Muzdalifah menuju Minna untuk bermalam, minimal dua malam. Minna berarti anugerah atau kebaikan. Ada pula yang mengartikan cinta atau setia. Dengan bermalam di Minna diharapkan bisa menumbuhkan rasa cinta kepada semua makhluk Allah. Itulah sebabnya sesampai di Minna, pelaku ibadah haji diwajibkan melempari tugu atau dinding yang merupakan simbol dari setan. Menurut riwayat, Ibrahim diganggu oleh setan di tiga tempat, dan pada tempat-tempat itu dibangun tugu (sejak 2008 tugu telah diganti dinding) sebagai simbol setan. Gangguan setan di tiga tempat itu pun merupakan simbol dari godaan yang paling kecil hingga yang paling besar, yaitu godaan harta, takhta, dan dorongan nafsu seksual. Jika kita bisa menahan ketiga jenis godaan itu dalam hidup kita, maka kita akan mampu mengorbankan keakuan kita yang dilambangkan dengan pengorbanan Ismail. Jadi, hal inilah yang harus dihayati, dan bukan hanya pelaksanaan ritualnya. Dari Minna menuju Kabah untuk thawaf, yang sebenarnya merupakan simbol datang kepada Allah. Ketika thawaf kita harus melepaskan ego untuk mendapatkan petunjuk hidup yang sebenarnya dari Tuhan semesta alam. Tetapi, yang terjadi dewasa ini adalah formalitas ibadah haji sehingga tidak tampak nilai-nilai haji pada saat thawaf. Padahal, dalam tawaf itu kita dianjurkan mencium hajar aswad secara fisik atau dengan melambaikan tangan. Inilah simbol manusia untuk sungkem atau menghormati ibunya. Thawaf adalah ritual mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali dengan arah yang berlawanan jarum jam. Tetapi, kata thawaf ( )tidak hanya berarti mengelilingi, melainkan juga membimbing atau memberikan bimbingan. Oleh karena itu, orang yang memberikan bimbingan dalam melaksanakan ibadah haji di Mekah disebut muthawif. Nah, secara ruhani orang yang thawaf adalah orang yang memohon bimbingan kepada Tuhan YME, agar pada tahap berikutnya dia bisa membimbing orang lain. Kemudian, dilanjutkan dengan sai ( )dari bukit Safa ke Marwah. Inilah simbol usaha keras dalam menghadapi kehidupan ini bila menginginkan kesuksesan dalam hidup ini. Syai merupakan simbol keteguhan iman dalam memperjuangkan kehidupan yang benar. Sai dimulai dari Shafa yang artinya sesuatu yang terang atau murni. Ini berarti, dalam hidup ini kita harus memulai dengan niat atau iktikad yang benar, yang murni lahir dari hati. Yang dituju dalam bersai adalah Marwah yang seakar dengan muruwah (muruah) yang
2

QS. Al-Baqarah [2]: 198.

artinya kemanusiaan yang mulia. Jadi, niat yang tulus untuk mencapai kehidupan yang mulia itu tak boleh diputus, tetapi terus-menerus saling berkaitan. Dan, barulah tahalul, yaitu memotong beberapa helai rambut sebagai simbol kita hidup di jalan yang halal. Dihalalkannya melepaskan pakaian ihram. Dalam hal inilah Islam mengajarkan kesucian hidup. Artinya, kehidupan duniawi ini pun harus diraih dengan perjuangan keras, namun tetap berada di jalan yang benar. Panggilan Haji Di dalam Alquran seruan haji tidak berupa perintah langsung dari Tuhan semesta alam. Bila dilihat dari tuturan ayat Alquran tentang ibadah haji, maka kita mengetahui bahwa Nabi Ibrahim diperintah oleh Tuhan untuk menyeru manusia beribadah haji. Seruan haji atau panggilan untuk menunaikan haji ada di QS. Al-Hajj [22]:27, yaitu: Dan, berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, Sebagian ahli tafsir meyakini bahwa perintah untuk menyeru manusia untuk menunaikan ibadah haji itu ditujukan kepada Nabi Ibrahim. Hal ini dilandasi oleh ayat 22:26 yang menyatakan perintah Tuhan terhadap Nabi Ibrahim agar Ibrahim tidak menyekutukan-Nya dan membersihkan bait-Nya untuk mereka yang menjadi al-thifn (), al-qimn (), dan rukkais syujd () . Kandungan senada ada di ayat Q. 2:125, yaitu perintah Tuhan kepada Ibrahim dan Ismail untuk membersihkan bait-Nya untuk al-thifn, al-kifn (), dan rukkais syujd. Al-qimn dalam 22:26 digantikan oleh al-kifn. Arti literal qimn adalah orang-orang yang berdiri kokoh di suatu tempat. Oleh karena bait yang sebenarnya bukanlah rumah batu yang disebut Kabah, maka qimn adalah orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai luhur yang telah ditetapkan oleh Tuhan semesta alam. Hal ini sesuai dengan makna kifn yang berarti orang yang mengikatkan diri di suatu tempat, atau mengabdi sepenuhnya. Jadi, bait Allah itu harus bersih dari segala kotoran dan gangguan untuk orang yang mengabdi kepada-Nya. Jika panggilan haji ini bersifat fisik atau jasmani, maka Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail akan menjadi tukang bersih-bersih Kabah bagi al-thifn, al-kifn dan rukkais syujd yang datang memenuhi panggilan Nabi Ibrahim. Dan, panggilan haji itu pun hanya berlaku selama Nabi Ibrahim hidup. Bilamana baitNya itu hanya sebesar Kabah, maka itu benar-benar merendahkan Allah yang 5

bertakhta di atas Arsy. Apalagi bangunan Kabah itu hanya bangunan batu yang tidak dilandasi pengetahuan arsitektural. Yang disebut bait-Nya pasti bukanlah rumah batu yang secara ukuran panjang, lebar, dan tingginya tidak beraturan. Banyak candi megah di P. Jawa yang digunakan sebagai tempat beribadah atau pemujaan kepada Tuhan semesta alam tidak disebut sebagai bait-Nya. Dengan demikian, bait yang pertama kali dibangun untuk beribadah kepada Tuhan pasti tidak berupa bangunan batu, tetapi sebuah sistem. Bait inilah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim pada Bakkah yang diberkati. Jika bukan rumah batu, lalu bait apa yang dibangun oleh Ibrahim? Ya.., ya.., tentunya yang dibangun oleh Ibrahim adalah inna awwala bayt wudhia li a-nsi lalladz bi bakkata mubraka () .3 Biasanya ayat ini diterjemahkan: sesungguhnya rumah (untuk ibadah) yang pertama kali dibangun untuk manusia adalah yang berada di Mekah. Ini adalah klaim sepihak orang Arab. Secara arkeologi banyak rumah pemujaan kepada Tuhan yang dibangun lebih tua daripada Kabah. Jadi, ayat itu sebenarnya bermakna sistem yang dibangun untuk memberikan perlindungan kepada manusia adalah sistem yang dilandasi keyakinan yang kuat yang diberkati (bakkah mubrak). Sistem inilah yang disebut baiti atau sistem-Ku, alias sistem dari Tuhan untuk manusia dalam mendarmabaktikan hidupnya di dunia ini. Sistem inilah yang harus dibersihkan oleh Ibrahim dan Ismail dari segala aturan main yang kotor atau aturan main yang korup, agar massa manusia yang ingin membaktikan dirinya dalam hidup ini terlindungi dan aman. Jadi, al-thifn, al-kifn dan rukkais syujd tidak berarti orang-orang yang thawaf, yang itikaf, yang rukuk, dan yang sujud; tetapi massa manusia yang berpegang teguh pada sistem Ilahi dengan rendah hati dan pasrah. Nah, sistem inilah yang harus dibersihkan oleh Ibrahim dan Ismail. Dengan demikian, al-thifn pada ayat Q. 2:125 bukanlah orang-orang yang thawaf (mengelilingi Kabah). Al-thifn adalah massa atau kelompok manusia. Kelompok manusia inilah yang disebut sebagai al-qimn atau alkifn. Mereka adalah orang-orang yang berkehendak untuk berpegang teguh pada sistem yang telah ditetapkan Allah pada Ibrahim dan orang-orang yang mengikutinya. Mereka inilah yang dalam hidupnya bersikap rendah hati dan berserah diri kepada Tuhan mereka, yang disebut dalam bahasa Arab rukkais syujd. Kata hajji ( )dalam pemakaian sehari-hari bangsa Arab berarti ziarah. Jika kata ziarah dikaitkan dengan datang kepada Nabi Ibrahim atau Nabi Muhammad, maka artinya akan semakin menyimpang. Sebab, tak ada kewajiban ziarah ke kuburan Nabi Ibrahim atau Nabi Muhammad dalam
3

QS. lu Imrn [3]:96.

agama Islam. Haji yang hakiki bukanlah ziarah ke Mekah atau Madinah, melainkan ke bait seperti yang ditegaskan dalam QS. Alu Imrn [3]:97. Dengan demikian, Nabi Ibrahim atau Nabi Muhammad diperintah Tuhan untuk meyeru manusia melaksanakan haji yang sebenarnya, dan bukan mengikuti jejak penyembah berhala. Mereka yang diseru bukan untuk datang ke sosok Nabi Ibrahim atau Nabi Muhammad, melainkan datang untuk memasuki sistem (bait) yang telah ditetapkan oleh Allah. Di dalam sistem itulah ada tanda-tanda yang nyata, yt bayyint. Di antaranya adalah maqm Ibrhim, yaitu kedudukan spiritual Ibrahim.4 Nah, kita harus menjadikan maqm Ibrhim itu sebagai landasan bagi diri kita untuk menjadi orang yang berkomitmen dalam menegakkan kebenaran.5 Sistem yang telah ditetapkan Allah untuk perlindungan bagi kemanusiaan dan keamanan. Berhaji dalam makna hakikat adalah menempuh tantangan dalam sistem yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, hanya orang yang menguasai cara-cara untuk mencapai tantangan dalam sistem Allah itulah yang diwajibkan. Allah tidak mengalami kerugian sedikit pun bila ada manusiamanusia yang mengingkari sistem-Nya. Sistem yang telah ditetapkan oleh Allah dan diajarkan kepada Nabi Ibrahim inilah yang diingkari oleh orang-orang yang berpedoman kepada kitab-kitab-Nya. Berhaji secara hakiki digambarkan sebagai orang yang berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang justru datang dari seluruh penjuru yang jauh. Bila dikaitkan dengan ayat Q. 3:97, bagaimana kaitan antara berhaji dan masuk ke dalam sistem Ibrahim? Baik Q. 2:125 dan Q. 3:97 menegaskan bahwa memasuki sistem Ibrahim itu akan membuat manusia aman hidupnya. Pada Q. 3:97 ini ditegaskan bahwa berhaji adalah kewajiban bagi manusia yang mengetahui jalannya. Bahkan berhaji itu tak boleh diingkari! Ini berarti bukanlah berhaji secara fisik, yang memerlukan materi dan biaya yang besar bagi orang yang jauh dari Mekah. Apalagi, kalau kita memperhatikan kembali ayat Q. 22:27, berhaji harus ditempuh dengan jalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. Lho, tak sesuai dengan kenyataan, kan? Hal ini lebih menunjukkan bahwa berhaji yang dimaksud oleh Islam itu berbeda jauh dengan yang dipahami oleh orang-orang jahiliah sebelum kedatangan Islam. Dalam hal ini kita harus memahami makna lain dari yang sudah biasa kita ketahui. Kata haji berasal dari kata hajja ( )yang artinya: berargumen, membantah, menuju suatu tujuan, tantangan. Yang jelas, dalam hal ini haji tentunya bukan dalam arti membantah atau berdebat atau berargumentasi.

4 5

QS. lu Imrn [3]:97. QS. Al-Baqarah [2]:125.

Berhaji adalah tantangan untuk mencapai suatu kedudukan spiritual yang pernah dilakukan oleh Ibrahim. Dalam kaitan dengan kedudukan spiritual ini, Nabi diperintah untuk menyeru umat manusia menuju Hakikat Muhammad. Menuju Hakikat Muhammad atau Nur Muhammad berarti menuju maqam terpuji atau kedudukan spiritual yang terpuji sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibrahim. Hal ini ditegaskan pada QS. Al-Nis [4]:125. Dan, siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun seorang muhsin dan ia mengikuti pandangan hidup Ibrahim yang hanif? Dan, Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. Jelas sekali, bahwa Ibrahim adalah teladan utama bagi orang-orang yang memeluk agama Islam. Jalan Ibrahim adalah jalan orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun seorang muhsin. Orang yang muhsin adalah orang yang amal salehnya murni dan bukan disebabkan oleh pengaruh orang lain atau karena pamer, ikut-ikutan, atau juga demi kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya. Hidup ikhlas dan menjadi pelaku yang ihsan adalah millah Ibrahim. Untuk mencapai kedudukan spiritual yang terpuiji memang harus berjalan kaki artinya harus menanggalkan tri-indrianya (pikiran, hati, dan aneka keinginan). Dengan kata lain, posisi spiritual yang terpuji bukanlah posisi sebagai hasil hati dan pikiran, melainkan dari rasa-jati atau ruh. Oleh karena itu, kendaraan yang digunakan pun bukan unta yang gemuk melainkan unta yang kurus. Artinya, kendaraan itu bukan dari kekayaan material tetapi dari keyakinan yang benar. Itsbatul yaqn! Dari ayat itu pula akhirnya kita mengerti bahwa yang berhaji itu disebut datang dari penjuru dunia yang jauh. Ya, mereka adalah orang-orang yang sudah sanggup hidup jauh dari hiruk-pikuknya kehidupan materi. Haji yang demikianlah yang dikehendaki dalam Alquran, sebab haji yang demikian amat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup bersama. Haji yang demikian ini disebut sebagai orang yang datang dari tempat yang jauh. Berhaji merupakan upaya manusia untuk mencapai hidup yang mabrur, hidup yang penuh kebajikan. Berhaji adalah menggapai maqam Ibrahim, yang selanjutnya untuk mencapai kedudukan yang terpuji. Hal semacam ini juga telah diajarkan di masyarakat kuna di Nusantara ini, khususnya masih terekam dalam Kawih Paningkes. Inilah petikan ajaran untuk menjadi manusia yang benar dalam hidup ini. 1. 2. 3. 4. Lamun kabidas hayu Hamo kalangs asih Ku nu twah inya Lamun na geus jadi ratu 8

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

Pamoha geusan pahili sugih Tuluy kalulutan na tangkal Trh popo dina nyaho Ja kapihili ku sugih Kalawan nuturkeun tineung Kana ta na pangkalan papa Beuti mulah di sarira Lamun yatna di tangkal Metu ratu juputi Lamun nyaho di benerna Sinangguh ratu pandita Lamun sakitu nyakrawati Pawekas jati utama ma Deuket kawekas ning janma Apabila tercapai kebaikan Tak akan terhalang kasih sayang Oleh yang berbuat itu Jika telah menjadi pemimpin Tak mungkin tempat tertukar kekayaan Lalu terjerat pada permulaan Cepat lupa terhadap yang diketahui Karena tertukar oleh kekayaan Serta mengikuti keinginan Pada pangkal penderitaan Hasil perbuatan sendiri Jika waspada di awal Muncul pemimpin bawaan Jika tahu tentang kebenarannya Disebut raja pendeta Jika demikian berkuasa Tinggalah kebenaran tertinggi Mendekati puncak kemanusiaan Cilandak, Selasa 1 Oktober 2013 Wassalam, A. Chodjim

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

Вам также может понравиться