Вы находитесь на странице: 1из 4

KONFLIK PERTAMBANGAN BATUBARA KALSEL

Posted on May 10, 2010 by HE. Benyamine

Oleh: HE. Benyamine Konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat setempat terjadi di beberapa tempat di wilayah Kalimantan Selatan. Seperti yang terjadi antara PT. Adaro berhadapan dengan masyarakat Tamiang dan Pulau Kuu terjadi di Kabupaten Tabalong dan PT. BCS vs masyarakat P. Sebuku di kabupaten Kotabaru (24/2/2004), PT. SKB vs warga Desa 16 di Kecamatan Tapin Selatan di Kabupaten Tapin (26/2/2004). Konflik ini terus terjadi hingga sekarang dan potensial untuk mendatang, seperti PT. Adaro Indonesia di Kabupaten Balangan dengan petani karet di Desa Maburai Kecamatan Murungpudak, karena kebun karet petani terendam akibat safety pond limbah batubara (17/3/2010). Beberapa konflik tersebut terjadi karena sistem industri pertambangan batubara di anggap menjadi sebab rusaknya mata pencaharian masyarakat setempat dan lingkungan hidup, seperti tercemarnya sawah mereka dan tercemarnya air sungai. Mengapa konflik ini masih terjadi, apalagi perusahaan seperti PT. Adaro termasuk industri besar dalam bidang pertambangan, yang merupakan investasi asing dari negara yang

mengkampanyekan kelestarian lingkungan hidup dan demokrasi. Di samping itu, keberadaan PT. Adaro tentunya sudah melalui peraturan yang berlaku, termasuk menyelenggarakan studi AMDAL, begitu juga dengan perusahaan lainnya. Dengan mengacu pada peraturan yang ada, yang mengarahkan untuk meminimalkan dampak yang mungkin dan yang memang dapat dirasakan saat ini, perusahaan pertambangan di atas seharusnya tidak lagi dipusingkan oleh adanya ketidakpuasan masyarakat setempat, karena keberadaan perusahaan sudah melalui tahap yang ditentukan oleh pemerintah dan peraturan yang berlaku, yang pada saat ini juga sudah melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Lalu, bagaimana mungkin masih ada tuduhan dari masyarakat bahwa keberadaan perusahaan tersebut memberikan dampat yang buruk pada kehidupan mereka? Sehingga, masyarakat (didukung Ornop) memblokir jalan PT BCS di pulau Sebuku, begitu juga dengan masyarakat Tamiang dan Pulau Kuu yang menutup jalan PT. Adaro. Konflik ini dengan sendirinya juga merepotkan aparat keamanan, yang sering diposisikan sebagai pembela perusahaan. Kedua pihak

sama-sama merasa kehilangan kepercayaan dan keamanan, seperti pihak perusahaan yang diwakili karyawannya merasa kelanjutan kehidupan mereka terganggu sama seperti masyarakat yang hanya marasaakan dampak buruknya saja. Namun, posisi masyarakat yang lemah (walaupun didukung Ornop) akan selalu dikalahkan (atau mengalah karena tidak berdaya) bila menghadapi perusahaan secara langsung, seperti penutupan jalan. Oleh karena itu, sudah saatnya posisi masyarakat yang lemah dan penerima dampak secara langsung dari adanya kegiatan pertambangan batubara tersebut mendapat perlakuan yang manusiawi dan adanya jaminan masa depan bagi kelangsungan hidup mereka, yang tentunya hal tersebut harus dan dapat dilakukan pemerintah daerah. Memperhatikan masyarakat di sekitar pertambangan batubara, dengan tingkat pendidikan yang rendah, yang hidupnya masih tergantung dengan sistem alam, dengan sistem ekonomi subsisten, dan rendahnya keterampilan selain bergumul dengan sistem alami; hal ini dapat dilihat dari sangat sedikitnya tenaga kerja yang terserap dalam industri seperti di Kabupaten Tapin karena alasan tidak mempunyai keterampilan (skill) untuk posisi strategis (15/3/2010), yang tentunya akan menempatkan mereka pada posisi yang tidak mampu dengan cepat beradaptasi dengan perubahan lingkungan hidup dan sistem industri yang serba cepat dan dalam skala besar dengan teknologi modernnya. Masyarakat di sekitar pertambangan batubara di Kalimantan Selatan, masih dapat dikatakan sebagai a significant part of the systems of nature, di mana mereka masih beradaptasi berdasarkan tersedianya makanan dan energi dari alam, yang membentuk berbagai bentuk kebudayaannya sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukan Howard T. Odum dalam bukunya Environment, Power, and Society (1971) bahwa etika, cerita rakyat, pelajaran agama, norma-norma, dan psikologi sosial masih membimbing setiap individu dalam partisipasinya di dalam bermasyarakat dan menjadi rujukan dalam penggunaan sumber energi secara efektif sebagai bagian dari sistem alam. Masyarakat P. Sebuku, Tamiang dan Pulau Kuu, warga Desa 16 Tapin Selatan, dan tempat lainnya inilah yang sedang berhadapan dengan sistem industrialisasi yang energinya dari bahan bakar fosil, batubara, dan minyak. Mereka menghadapi perubahan yang terlalu cepat, sehingga nilai, norma, etika, agama seperti tidak mampu menuntun mereka dalam menghadapi perubahan ini. Keadaan alam yang selama ini menjadi tempat kehidupan mereka, yang setiap ada perubahan atau sentuhan mereka masih cenderung bisa kembali kepada keadaan semula, yaitu

suatu keadaan equilebirium. Pembangunan pada dasarnya adalah gangguan terhadap sistem ekologi, sehingga terjadi perubahan dalam sistem tersebut sesuai dengan kehendak manusia, maka jadilah ekosistem buatan (man-made ecosystem), yang pada masyarakat masih terjaga daya dukung lingkungannya. Masyarakat di sekitar pertambangan batubara di atas telah ditempatkan pada posisi yang sulit, baik dilihat dari sudut pandang lingkungan hidup maupun kesejahteraan hidup. Pertambangan batubara, bagaimanapun teknologinya untuk saat ini, akan menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan hidup, karena sistem industri melakukannya dengan sangat cepat dan dalam skala besar. Sementara, ekosistem tidak mampu mengimbangi cepat dan besarnya gangguan tersebut untuk segera pulih, dan malah bisa menjadi ekosistem yang tidak dikehendaki, seperti menjadi lahan kritis. Dalam hal kesejahteraan hidup, masyarakat juga tidak lebih dari keadaan sebelum adanya pertambangan, bahkan mereka mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan hidup yang terbentuk saat tambang dan pascatambang. Jadi, sangat wajar akan selalu terjadi konflik antara masyarakat (tradisional) dengan perusahaan (modern). Oleh karena itu, pertambangan batubara perlu dipertimbangkan kembali keberadaannya dan pengelolaannya, terutama yang menyangkut keberadaan manusia dengan kebudayaannya. Pendekatan yang mengandalkan pemberian sejenis santunan dan ganti rugi, yang secara kualitas hanya bersifat jangka pendek, sementara sistem sosial kemasyarakat, budaya dan sistem adaptasi masyarakat mengalami perubahan total kalau tidak bisa dikatakan mengalami kehancuran dan juga malah dapat menghancurkan the ability to future generations to meet their own needs.

Bila ini diteruskan, sama saja kegiatan eksploitasi sumberdaya alam sebagai kegiatan yang mengubur masyarakat beserta seluruh kebudayaannya.
Oleh karena itu, adanya dan peran pemerintah daerah dalam keberpihakan kepada kepentingan masyarakat sudah seharusnya menjadi kebijakan yang utama, karena pemerintah daerah mempunyai sumberdaya yang dipercayakan kepadanya untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(Radar Banjarmasin, 30 April 2010:3)

Вам также может понравиться