Вы находитесь на странице: 1из 24

BAB I ILUSTRASI KASUS

I.

Identitas Pasien Nama Umur : Ny. ER : 61 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Ruang RM Diagnosis Tindakan II. Anamnesis Riwayat Operasi - Tahun 1985 operasi Ca mammae - Tahun 1988 operasi appendiksitis Riwayat Alergi Alergi debu dan dingin : Gema Tengah : 612079 : Sinusitis : Fess + choncoplasty

Riwayat Penyakit Penyerta -

III.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran BB : Pasien tampak sakit sedang : Compos Mentis : 60 kg

Tanda Vital TD : 110/70 mmHg RR : 20 x/menit Mata Mulut Nadi : 84 x/menit Suhu : afebris

: CA (-/-) , SI (-/-) : Mallampati I, dapat membuka mulut 3 jari Gigi goyang (-), Gigi palsu (-)

THT Leher Paru Jantung Abdomen Ekstremitas

: otorhea -/-, rinorhea -/: Pembesaran KGB (-), Ekstensi maksimal (+) : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) : BJ I & II (N), murmur (-), Gallop (-) : Datar, lemas, BU (+) : akral hangat, edema (-/-)

IV.

Pemeriksaan Laboratorium Lab darah : Hb Ht Leukosit Trombosit BT/CT : 12.4 g/dl (N) : 36 % (N) : 8.300 /mm (N) : 305.000/dl (N) : 5/7 mnt (N) Ureum Kreatinin : 28 mg/dl (N) : 1,1 mg/dl (N)

SGOT/SGPT : 17/20 (N) GDS : 107(N)

EKG SR, Q patologis (-), ST-T change (-), HR 73x/menit

Rontgen Thorax : Bronkovaskular agak kasar dengan lesi ground glass tampak di paracardial kiri, tidak terlihat penebalan-penebalan pleura /fibrokalsifikasi. Jantung tidak membesar dengan aorta elongasi disertai kalsifikasi. Kedua sinus lancip dan diafragma licin, thoracic cage intak. Kesan : sugestif pneumonia basal kiri.

CT scan hidung : tampak penebalan mukosa di sinus frontal kiri, ethmoid kanan kiri dan maksilaris kanan kiri. Tampak pula perselubungan di sinus sphenoid kanan. Tidak tampak deviasi septum nasi, tampak penebalan mukosa concha nasalis media dan inferior kanan kiri. Tulang tak tampak destruksi. Kesan : pansinusitis, hipertrofi concha nasalis, media dan inferior bilateral.

V.

Diagnosis Kerja Sinusitis Tindakan : Fess + choncoplasty

VI.

Status Fisik Setelah dilakukan kunjungan pre-op anastesi, dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan melihat hasil pemeriksaan penunjang maka status fisis pasien ini adalah ASA I.

VII.

Anestesi General anestesi dengan GA ETT dengan teknik hipotensi terkendali Premedikasi : Midazolam 2 mg Fentanyl (1 - 2 g/kgBB) 1 x 60 = 60 g 2 x 60 = 120 g 100 g Sediaan 2 cc : 50 g/cc 2 cc Hypotensy agent Catapres ( 1 - 3 g/kgBB ) 1 x 60 = 60 g 3 x 60 = 180 g 150 g Sediaan 1cc : 150 g/ 1cc 1 cc

Induksi : Propofol (2 - 3 mg/kgBB) 2 x 60 = 120 mg 3 x 60 = 180 mg 150 mg Sediaan 20 cc: 10 mg/ml Pelumpuh Otot : Atracurium (0,5-0,6 mg/kgBB) 0,5 x 60 = 30 mg 0,6 x 60 = 36 mg 30 mg Sediaan 2,5cc: 10 mg/ml 3 cc Rumatan (0,1 mg/kgBB) 0,1 x 60 = 6 mg 5 mg = 0,5 cc Ventilasi positif N2O : O2 2 : 1, lalu ditambahkan isofluran 1,5 vol%. Pemasangan ETT Yang digunakan pada pasien ini ukuran 7 mm. Maintenance : N2O & O2 serta isofluran 1,5 Vol% BMR O2 : 3-5 ml/kgBB 3 x 60 = 180 ml 5 x 60 = 300 ml 300 ml N2O : O2 = 2 : 1 = 0,6 L : 0,3 L ~ 1 L : 0.5 L Monitoring : Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesia : Pengamatan tanda klinis (kualitatif) seperti pergerakan dada, observasi reservoir breathing bag, serta pastikan stabilitas ETT tetap terjaga. Pemantauan adekuat tidaknya oksigenasi selama anestesia : Pemantauan dibantu dengan pemasangan pulse oximetri untuk mengetahui saturasi O2. Pemantauan adekuat tidaknya fungsi sirkulasi pasien : Pemantauan tekanan darah arterial dan denyut jantung
4

150 mg 10 mg/ml

= 15 cc

Pemantauan EKG secara kontinu mulai dari sebelum induksi anestesi. Setiap pasien yang mendapat anestesi, selain dari metode pemantauan (monitor), bisa dilakukan perabaan denyut nadi atau auskultasi bunyi jantung.

BAB II PEMBAHASAN KASUS

Pada operasi sinusitis ini, metode anestesi yang dipilih adalah anestesi umum dengan intubasi ETT dengan teknik hipotensi terkendali. Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan napas bagian atas atau trakea. Indikasi penggunaan ETT pada pasien ini adalah : Operasinya termasuk operasi resiko sedang, serta sasaran daerah operasi yang ingin dicapai merupakan daerah yang sulit, jadi kemungkinan membutuhkan waktu yang lama. Daerah operasi berada di daerah leher, sehingga pada kasus ini sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah. Tujuan penggunaan ETT pada pasien ini : Menjaga jalan napas karena durasi pembedahan diperkirakan > 60 menit Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

1. Premedikasi Untuk mengurangi rasa cemas dan memberikan efek sedasi pada pasien ini maka diberikan obat-obat premedikasi seperti midazolam dengan dosis 1 - 2mg. Penggunaan dosis yang minimal dalam range dosis hal ini berdasarkan karena pasien tidak terlalu gelisah dan untuk mengurangi efek yang berlebihan yaitu 2 mg. Sedangkan untuk mengurangi rasa nyeri pada saat intubasi maka diberikan fentanyl dosisnya 1 2 g/kgBB dan dosis yang diambil yaitu cukup 100 g, untuk mendapatkan efek analgesi saat intubasi. Namun jika ternyata dalam pelaksanaanya dosis yang diberikan kurang maka dapat ditambahkan namun tetap dalam range dosis.

2. Hipotensi agent Karena dalam operasi ini dilakukan dengan teknik hipotensi terkendali, maka pasien mendapat obat tambahan catapres ( 1-3 g/kgBB ) dosis yang diambil 150 g untuk menurunkan tensi pasien.

3. Induksi Induksi Anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan untuk dimulainya pembedahan. Dilakukan induksi dengan propofol yang berdasarkan hasil perhitungan didapatkan range dosisnya 180 mg 300 mg dengan dosis yang dipakai adalah 150 mg. Induksi dilakukan sampai pasien masuk ke dalam stadium 3 anestesi plana I yaitu stadium pembedahan. Pencapaian stadium ini dapat dinilai dari melihat refleks bulu mata yang menghilang.

4. Ventilasi positif Setelah dilakukan induksi, kemudian dipastikan reflek bulu mata menghilang, maka diberikan ventilasi positif, serta pastikan tidak ada sumbatan jalan napas dengan tidak adanya suara napas tambahan, dan dada mengembang, dan ditambahkan isofluran 1,5 vol% untuk menjaga keadaan hipnosisnya.

5. Pemasangan ETT Pasien wanita dewasa dengan berat badan 60 kg, maka ETT yang dipakai adalah size 7. Pemasangan intubasi difasilitasi dengan obat pelumpuh otot (nondepol intermediate acting), yaitu Atracurium sebanyak 30 mg. Sambil menunggu kerja Atracurium, dilakukan ventilasi positif kembali, hingga otot mulai melemas + 3 menit, agar lebih mudah untuk memasang ETT.

6. Maintenance Maintenance dengan menggunakan O2, N2O serta isofluran. O2 yang digunakan ditentukan berdasarkan BMR pasien, yang dimana didapatkan rangenya yaitu 180-300 ml, lalu diambil hasil yang terbesar yaitu 300 ml kemudian karena dianggap terjadi kebocoran maka dinaikkan serta digenapkan untuk memudahkan pemberiannya menjadi 300 ml. Perbandingan N2O dan O2 yang digunakan yaitu 2:1 1 L : 0.5 L. Sistem anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah closed system, dengan gas anestesi yang digunakan adalah isofluran karena isofluran lebih aman dan memiliki efek depresi kardiovaskular lebih rendah daripada enfluran.

7. Monitoring Operasi berlangsung selama 4 jam 45 menit dengan posisi pasien telentang. Dari hasil monitoring pada pasien ini, selama operasi pemantauan jalan nafas aman, ETT stabil, dan
7

pernafasan terlihat pada reservoir breathing bag serta pergerakan dinding dada yg simetris, tanda vitalnya stabil, hasil EKG juga selalu normal, perdarahan minimal, infus dipasang pada kaki kanan dan kaki kiri, jumlah yang dihabiskan selama operasi berlangsung sebanyak 4 botol infus ringer laktat dan 2 botol gelofusin. Kebutuhan cairan pasien Berat badan : 60 kg Maintenance : 4 x 10 = 40 2 x 10 = 20 1 x 40 = 40 100 cc / jam Operasi sedang : (stress operasi 4-6 ml/kgBB) 4 x 60 = 240 ml Puasa : Lama puasa x maintenance 8 x 100 = 800 ml

Kebutuhan cairan pada jam pertama Maintenance + Operasi + Puasa 100+240+ 800 = 740 cc

Kebutuhan cairan pada jam kedua dan ketiga Maintenance + Operasi + Puasa 100+240+ 800 = 540 cc

Kebutuhan cairan pada jam keempat Maintenance + Operasi 100 + 240 = 340 cc

Total kebutuhan cairan (maintenance) = 740 ml + 540 ml + 540 ml + 340 ml = 2.160 ml


8

Cairan yang diberikan selama anestesi : RL jumlah 3000 cc Gelofusin jumlah 1000 cc Cairan yang keluar selama operasi Urine 400 ml Perdarahan 900 ml Total jumlah cairan keluar 1200 ml

Penggantiannya : Koloid 1000 ml perdarahan = 900 ml sisanya = 100 ml * Penggantian koloid 3x dari kristaloid = 100 ml x 3 = Kristaloid 3000 ml urin yang keluar 400 ml sisanya = = Maintenance = = 300 ml 2.600 ml + 2.900 ml 2.160 ml + 740 ml

Setelah dilakukan penghitungan menggunakan rumus terapi cairan, didapat pada pasien ini, jumlah terapi cairan yang diberikan berlebih sekitar +740 ml.

8.

Setelah operasi pasien, pasien kemudian dipindahkan ke ruang UPPA (Unit Perawatan Pasca Anestesi) untuk diobservasi serta dilakukan penilaian pulih dari anestesi dengan aldrette score. Aldrette score yang didapat pada pasien ini adalah 8.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

SINUSITIS Peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Sinusitis banyak ditemukan pada penderita hay fever yang mana pada penderita ini terjadi pilek menahun akibat dari alergi terhadap debu dan sari bunga. Sinusitis juga dapat disebabkan oleh bahan bahan iritan seperti bahan kimia yang terdapat pada semprotan hidung serta bahan bahan kimia lainnya yang masuk melalui hidung. Jangan dilupakan kalau sinusitis juga bisa disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri.

Etiologi Sinusitis dapat terjadi bila terdapat gangguan pengaliran udara dari dan ke rongga sinus serta adanya gangguan pengeluaran cairan mukus. Adanya demam, flu, alergi dan bahan bahan iritan dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan pada ostia sehingga lubang drainase ini menjadi buntu dan mengganggu aliran udara sinus serta pengeluaran cairan mukus. Penyebab lain dari buntunya ostia adalah tumor dan trauma. Drainase cairan mukus keluar dari rongga sinus juga bisa terhambat oleh pengentalan cairan mukus itu sendiri. Pengentalan ini terjadi akibat pemberiaan obat antihistamin, penyakit fibro kistik dan lain lain. Sel penghasil mukus memiliki rambut halus (silia) yang selalu bergerak untuk mendorong cairan mukus keluar dari rongga sinus. Asap rokok merupakan biang kerok dari rusaknya rambut halus ini sehingga pengeluaran cairan mukus menjadi terganggu. Cairan mukus yang terakumulasi di rongga sinus dalam jangka waktu yang lama merupakan tempat yang nyaman bagi hidupnya bakteri, virus dan jamur.

Klasifikasi Sinusitis dapat dibagi menjadi dua tipe besar yaitu berdasarkan lamanya penyakit (akut, subakut, khronis) dan berdasarkan jenis peradangan yang terjadi (infeksi dan non infeksi). Disebut sinusitis akut bila lamanya penyakit kurang dari 30 hari. Sinusitis subakut bila lamanya penyakit antara 1 bulan sampai 3 bulan, sedangkan sinusitis khronis bila penyakit diderita lebih dari 3 bulan. Sinusitis infeksi biasanya disebabkan oleh virus walau pada beberapa kasus ada pula yang disebabkan oleh bakteri. Sedangkan sinusitis non infeksi
10

sebagian besar disebabkan oleh karena alergi dan iritasi bahan bahan kimia. Sinusitis subakut dan khronis sering merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak mendapatkan pengobatan adekuat.

Gejala Gejala sinusitis yang paling umum adalah sakit kepala, nyeri pada daerah wajah, serta demam. Hampir 25% dari pasien sinusitis akan mengalami demam yang berhubungan dengan sinusitis yang diderita. Gejala lainnya berupa wajah pucat, perubahan warna pada ingus, hidung tersumbat, nyeri menelan, dan batuk. Beberapa pasien akan merasakan sakit kepala bertambah hebat bila kepala ditundukan ke depan. Pada sinusitis karena alergi maka penderita juga akan mengalami gejala lain yang berhubungan dengan alerginya seperti gatal pada mata, dan bersin bersin.

Komplikasi Komplikasi yang serius jarang terjadi, namun kemungkinan yang paling gawat adalah penyebaran infeksi ke otak yang dapat membahayakan kehidupan.

Pengobatan Untuk sinusitis yang disebabkan oleh karena virus maka tidak diperlukan pemberian antibiotika. Obat yang biasa diberikan untuk sinusitis virus adalah penghilang rasa nyeri seperti parasetamol dan dekongestan. Curiga telah terjadi sinusitis infeksi oleh bakteri bila terdapat gejala nyeri pada wajah, ingus yang bernanah, dan gejala yang timbul lebih dari seminggu. Sinusitis infeksi bakteri umumnya diobati dengan menggunakan antibiotika. Pemilihan antibiotika berdasarkan jenis bakteri yang paling sering menyerang sinus karena untuk mendapatkan antibiotika yang benar benar pas harus menunggu hasil dari biakan kuman yang memakan waktu lama. Lima jenis bakteri yang paling sering menginfeksi sinus adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pyogenes. Antibiotika yang dipilih harus dapat membunuh kelima jenis kuman ini. Beberapa pilihan antiobiotika antara lain amoxicillin, cefaclor, azithromycin, dan cotrimoxazole. Jika tidak terdapat perbaikan dalam lima hari maka perlu dipertimbangkan untuk memberikan amoxicillin plus asam klavulanat. Pemberian antibiotika dianjurkan minimal 10 sampai 14 hari. Pemberian dekongestan dan mukolitik
11

dapat membantu untuk melancarkan drainase cairan mukus. Pada kasus kasus yang khronis, dapat dipertimbangkan melakukan drainase cairan mukus dengan cara pembedahan.

KUNJUNGAN PRE-ANASTESI Anamnesis Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mualmuntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah, sehingga dapat direncanakan anestesia berikutnya dengan lebih baik.

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

Pemeriksaan Penunjang Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor. Pada usia pasien di atas 40 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thorax.

PREMEDIKASI Sebagaimana pasien rawat inap, maka premedikasi juga diberikan pada pasien bedah sehari dengan tujuan untuk : Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anestesia Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Mengurangi mual dan muntah pasca bedah Meminimalkan jumlah obat anestetik Menciptakan amnesia Mengurangi isi cairan lambung Mengurangi refleks yang membahayakan
12

Dengan dosis dan indikasi yang tepat, maka premedikasi yang diberikan tidak akan menyebabkan memanjangnya waktu pulih sadar. Obat-obat Premedikasi diantaranya : Midazolam Midazolam bekerja cepat karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan. Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB. Pada orangtua dan pasien lemah, dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB. Opioid Fentanyl merupakan golongan opioid yang biasanya digunakan untuk premedikasi. Fentanyl kekuatannya 100x morfin. Lebih larut dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan lebih luas. Efek depresi nafasnya lebih lama dibanding efek analgesianya. Dosis 1-2 g/kgBB analgesianya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan untuk anesthesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Ondansetron Baik untuk pencegahan dan pengobatan mual dan muntah terutama pasca bedah. Merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT 3 selektif. Efek sampingnya yaitu hipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewasa 4 mg.

Induksi Merupakan suatu usaha untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sampai stadium III (pembedahan). Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui : Intravena Cara ini paling banyak dikerjakan, apalagi sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi IV dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose. Induksi IV sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis tertentu sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari full dose ataupun maksimal dose. Obat-obat induksi IV, antara lain : Propofol
13

Propofol (2,6-diisopropylphenol) bekerja menghasilkan efek anestesi melalui fasilitasi kerja neurotransmitter GABA. Suntikan IV sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg IV. Bolus disuntikkan dalam kecepatan 30-60 detik. Propofol IV dengan kepekatan 1% dosisnya 2,5-3 mg/kgBB. Kelarutannya yang tinggi dalam lemak, menyebabkannya memiliki waktu kerja cepat. Pulih sadar berlangsung cepat pula, yakni sekitar 2-8 menit. Propofol tidak menyebabkan hangover pada masa pulih sadar, sebagaimana tiopental / etomidate, sehingga amat baik diaplikasikan pada pasien bedah sehari. Inhalasi Isofluran merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.

Pelumpuh Otot (Relaksan) Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesia umum inhalasi, melakukan blokade saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blokade neuro-muskular. Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif) berikatan dengan reseptor nikotinikkolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin berikatan dengan reseptornya. Golongan non-depol ini akan dibagi lagi berdasarkan lama kerja masingmasing obat: 1. Short-acting nondepolarizes : Mivacurium 2. Intermediate-acting nondepolarizes : Atracurium, Rocuronium 3. Long-acting nondepolarizes : Pancuronium, Doxacurium Atracurium adalah obat pelumpuh otot yang sering digunakan. Dosis awal adalah 0,5-1 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya sekitar 30-45 menit, dengan kecepatan efek kerja 1-2 menit. Berikut adalah beberapa sifat dan manfaat dari obat-obat NDMR (Non Depolarizes Muscle Reflex), yaitu : 1. Fasilitasi intubasi
14

2. Mampu mencegah fasikulasi yang ditimbulkan oleh Suksinilkolin 3. Memelihara kondisi relaksasi selama operasi berlangsung 4. Obat anestesi inhalasi mempotensiasi kerja obat-obat NDMR.

INTUBASI ENDOTRAKEAL Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan.

Tujuan Intubasi Endotrakhea Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada

dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal : Mempermudah pemberian anestesia. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk). Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. Mengatasi obstruksi laring akut.

15

Gambar 1. Intubasi ETT

Indikasi Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain : Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigenmelalui masker nasal. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada ketegangan. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.

16

Alat-alat Untuk Intubasi Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakhealantara lain : a. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskop yaitu : i. Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa

ii. Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill) mempunyai teknik yang berbeda. Biasanya digunakan pada pasien bayi dan anak-anak karena mempunyai epiglotis yang relatif lebih panjang dan kaku. Trauma pada epiglotis dengan blade lurus lebih sering terjadi.

Gambar 2. Laringoskop

b. Pipa endotrakheal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi. Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujunga distalnya.

Gambar 3. Endotracheal Tube

17

c. Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa.

Komplikasi Intubasi Endotrakheal A. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi

laringeal cuff. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

B. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi laringeal cuff. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung Malfungsi tuba berupa obstruksi.

C. Komplikasi setelah ekstubasi Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring. Gangguan refleks berupa spasme laring

OBAT HIPOTENSI CATAPRES Nama Generik : clonidine Clonidine merupakan derivat imidazolin dan tergolong ke dalam senyawa mesomerik. Nama kimianya adalah 2 - hidroklorida (2,6-dichlorophenylamino)-2-imidazolin.

18

Farmokinetik Tingkat plasma puncak clonidine sekitar 3 sampai 5 jam dengan waktu paruh plasma berkisar 12-16 jam. Peningkatan paruh hingga 41 jam pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat. Setelah sekitar 40-60% dari dosis yang diserap, obat di dalam urin tidak berubah dalam 24 jam. Sekitar 50% dari dosis yang diserap dimetabolisme di dalam hati.

Indikasi Untuk terapi pada hipertensi

Kontraindikasi Catapres tidak boleh digunakan pada pasien dengan hipersensitivitas clonidin.

Efek Samping detak jantung berdebar; detak jantung yang sangat lambat (kurang dari 60 denyut per menit); sesak napas, bahkan dengan tenaga ringan; bengkak, pertambahan berat badan yang cepat; kebingungan, halusinasi; demam, kulit pucat, pingsan; buang air kecil kurang dari biasanya atau tidak sama sekali

TEKNIK HIPOTENSI TERKENDALI Merupakan suatu teknik pada anestesi umum dengan menggunakan agen hipotensi kerja cepat untuk menurunkan tekanan darah serta perdarahan saat operasi. Prosedur ini memudahkan operasi sehingga membuat pembuluh darah dan jaringan terlihat serta mengurangi kehilangan darah. Teknik hipotensi adalah suatu teknik yang digunakan pada operasi yang meminimalkan kehilangan darah pada pembedahan, dengan demikian menurunkan kebutuhan transfusi darah. Prosedur ini dapat diterapkan dengan aman pada kebanyakan pasien, termasuk anakanak, dan untuk beberapa jenis prosedur operasi. Teknik ini memerlukan kontrol pada
19

tekanan darah yang rendah sehingga tekanan darah sistolik diantara 80-90 mmHg. Definisi lainnya adalah menurunkan Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure=MAP) sampai 50-70 mmHg pada pasien normotensi.

Cara menjaga hipotensi yang ingin dicapai Metode utama dari teknik ini adalah posisi yang benar, tekanan udara positif, dan penggunaaan obat hipotensi. Posisi elevasi terhadap bagian yang akan dioperasi akan mengurangi tekanan darah pada bagian tersebut. Peningkatan tekanan intrathoraks melalui udara bertekanan positif akan menurunkan venous return, cardiac output, dan mean arterial pressure. Beberapa obat efektif menurunkan tekanan darah: gas anastesi, simpatetik antagonis, calcium channel bloker, ACE-I. karena onsetnya cepat dan durasinya pendek.

Gambar 4. Tekanan Arteri dan Vena

Anestetik volatile dan antagonis adrenergik bekerja baik untuk menekan MAP pada 60-70 mmHg. Elevasi kepala setinggi 15O dapat mengurangi kongesti vena dan penggunaan epinefrin sebagai vasokonstriktor umumnya dapat mempengaruhi kondisi operasi.

Indikasi teknik hipotensi terkendali Teknik hipotensi terkendali telah terbukti berguna untuk operasi perbaikan aneurisma cerebral, pengangkatan tumor otak, total hip artroplasty, dan operasi lainnya yang berhubungan dengan resiko kehilanggan darah yang banyak. Penurunan ekstrafasasi darah di perkirakan akan meningkatkan hasil operasi plastik menjadi lebih baik. Indikasi lainnya adalah:

20

Operasi telinga, hidung, tenggorokan serta operasi daerah mulut Gynecology : operasi pelvis radikal Urology : prostatektomy

Kontra indikasi teknik hipotensi terkendali Teknik hipotensi terkendali tidak dianjurkan pada pasien-pasien yang mempunyai penyakit yang dapat menurunkan perfusi organ seperti: anemia hipovolemia penyakit jantung koroner insufisiensi hepar dan ginjal penyakit serebrovaskular penyakit jantung bawaan gagal jantung kongestif hipertensi tidak terkontrol peningkatan TIK.

Batas aman untuk teknik hipotensi Batas amannya tergantung dari pasien. Pasien yang muda dan sehat dapat mentolerasi tekanan darah arteri sampai 80-90 mmHg serta MAP sampai 50-60 mmHg tanpa komplikasi. Sedangkan pada pasien yang menderita hipertensi kronik tidak lebih rendah dari 20-30% nilai normalnya.

Yang dimonitor selama hipotensi terkontrol Yang dimonitor adalah tekanan darah, EKG, pertukaran gas, dan temperatur. Pada EKG perhatikan resiko akan terjadinya takikardi, bradikardi, aritmia, serta perubahan ST-segment. Pertukaran gas juga perlu diamati dengan menggunakan kapnograph dan pulse oximetry.

21

Terapi farmakologi untuk teknik hipotensi Tunggal o Inhalation anaesthetics o Sodium nitroprusside o Nitroglycerin o Trimethaphan o Prostaglandine E1 o Adenosine o Remifentanil Tunggal atau kombinasi o Calcium channel antagonists o Beta-Blockers o Fenoldopam Kombinasi o ACE inhibitors o Clonidine

Komplikasi Gangguan perfusi organ utama: thrombosis Cerebral Hemiplegia Nekrosis hepar masif kebutaan Retinal artery thrombosis Ischemic optic neuropathy

Komplikasi operasi Reactionary hemorrhage Hematoma formation

22

Hasil Perundingan Mengenai Teknik Hipotensi Hipotensi terkontrol merupakan suatu metode yang berhubungan dengan penurunan tekanan darah arteri yang dapat diprediksi dan sengaja. Maksud dari hipotensi sengaja adalah mengurangi pendarahan dan sebagai fasilitas operasi dan mengurangi jumlah transfusi darah. Dalam prosedur operasi, khususnya operasi telinga tengah, jumlah pendarahan tidak besar untuk area operasi yang tidak diketahui dan membahayakan. Komplikasi dari dilakukannya teknik hipotensi ini yaitu mortalitas vaskular dengan persentase 0.02-0.06%. Menurut Hampton et al, komplikasi yang berhubungan dengan teknik hipotensi terkontrol adalah pusing, penundaan pemulihan, trombosis. Yang menjadi parameter fisiologis perdarahan pada teknik ini adalah rata-rata tekanan arteri (MAP), Aliran darah, densitas dari kapiler darah dan pembuluh vena. Untuk mengurangi terjadi perdarahan posisi pasien sebaiknya kepala dimiringkan 10-15 (head rest position).

Post Operasi Pasien dipindakan ke UPPA (Unit Perawatan Pasca Anestesi). Keluhan-keluhan dan atau komplikasi pasca pembedahan yang mungkin timbul di ruang pemulihan, kiranya patut dipertimbangkan. Mencegah timbulnya nyeri pasca bedah baik sewaktu masih di rumah sakit ataupun sudah di rumah pasien diperlukan pendekatan multifaktorial, misalnya saat pembedahan dengan anestesi umum dikombinasikan dengan opioid kuat (fentanil, sufentanil) dan pasca bedah menggunakan analgetik kuat nonopioid (ketorolac). Perlu dicatat, ansietas umumnya timbul akibat si pasien mengalami mual muntah sedemikian rupa, dan mualmuntah tersebut dapat timbul akibat pasien mengalami nyeri pasca operasi. Penanganan nyeri yang baik dapat mengurangi gejala nausea. Di ruangan ini pasien juga dilakukan penilaian pulih dari anestesi dengan Aldrette Score. Kriteria pasien dapat keluar dari UPPA adalah jika nilainya 9 atau 10. Perawatan post operasi adekuat dengan fasilitas resuscitation termasuk kebutuhan. Post operasi, yang perlu diperhatikan sebaiknya maintenance airway, oksigenase, analgesia, monitoring, positioning dan keseimbangan cairan. Hipertensi, terutama dengan analgesia yang tidak adekuat menjadi perhatian selama periode ini.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Diakses dari : http://www.scribd.com/doc/37914069/anestesi. Diunduh tanggal 31 Maret 2012. 2. Diakses dari : http://www.scribd.com/doc/31437005/Intubasi-Endotrakeal-by-HafizIbrahim. Diunduh tanggal 31 Maret 2012. 3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Ed 2. Jakarta: 2009. 4. Boulton, Thomas. B. Anestesiologi. Ed 10. Jakarta: EGC. 1994. 5. Diakses dari :http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/deliberate+hypotension. Diunduh Tanggal 31 Maret 2012. 6. Diakses dari : http://books.google.co.id/books?id=Pv-AOESozgC&pg=PA312&lpg=PA312&dq=hypotensive+anesthesia+in+head+surgery&s ource=bl&ots=bxn3nnp3O&sig=XCU6hSek6xA_GenGE5qyBlH4qOg&hl=id&ei=O_tQTb_hM8birAedpt CvCA&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=8&ved=0CF8Q6AEwBzgK#v=on epage&q&f=false. Diunduh Tanggal 31 Maret 2012. 7. Edward morgan.clinical anesthesiology. Ed 4. Jakarta: 2006. 8. Peter F. Dunn. Clinical Anesthesia Procedure of the Massachusetts General Hospital. 7th Edition. 2007. 9. Jong, Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah ed.2. Jakarta : EGC : 2005. 10. Diakses dari : http://www.laserspineinstitute.com/back_problems/hnp/cervical.

Diunduh tanggal 31 Maret 2012. 11. Jurnal controlled hypotensive anaesthesia university of Kwazulu-Natal by Gobind R. diunduh tanggal 31 Maret 2012. 12. Diakses dari : http://www.blogdokter.net/2008/01/30/sinusitis/ diunduh tanggal 31 Maret 2012.

24

Вам также может понравиться