Вы находитесь на странице: 1из 12

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi Trauma Maksilofasial Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak antara lain : 1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato. 2. Cedera saraf, cabang saraf fasial. 3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen. 4. Cedera kelopak mata. 5. Cedera telinga. 6. Cedera hidung.3,4

2.2 Anatomi Maksilofasial Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.1 Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah

maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.1 Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak (orbita).3 a. Bagian hidung terdiri atas : Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelahatas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam ronggahidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalahsambungan dari tulang tapis yang tegak.3,4 otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang

membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata

b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti : Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiridari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahangbawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatudi pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.3,4

Facial danger zones (Zona bahaya wajah) Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.3,6

2.3 Epidemiologi Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS

Dr.Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada lakilaki usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.1,4

2.4 Etiologi Trauma Maksilofasial Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua.1,3,4 Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).3,4 Klasifikasi Trauma Maksilofasial Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.3

2.5.1 Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3,5 1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab: a. Ekskoriasi b. Luka sayat, luka robek , luka bacok. c. Luka bakar d. Luka tembak 2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan 3. Dikaitkan dengan unit estetik Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

2.5.2 Trauma jaringan keras wajah Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3 1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.a a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus. b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula 2. Berdasarkan Tipe fraktur :9 a. Fraktur simpel Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.

b. Fraktur kompoun

Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.

c. Fraktur komunisi Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

d. Fraktur patologis keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan. 3. Perluasan tulang yang terlibat 3,9 1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang. 2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk ) 4 . Konfigurasi ( garis fraktur ) 7,9 1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal. 2. Oblique ( miring ) 3. Spiral (berputar) 4. Komunisi (remuk) 5. Hubungan antar Fragmen 3 1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat 2. Undisplacement, bisa terjadi berupa : a. Angulasi / bersudut

b. Distraksi c. Kontraksi d. Rotasi / berputar e. Impaksi / tertanam Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : 8 a. Dento alveolar b. Prosesus kondiloideus c. Prosesus koronoideus d. Angulus mandibula e. Ramus mandibula f. Korpus mandibula g. Midline / simfisis menti h. Lateral ke midline dalam regio insisivus

6. Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :5,9 a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita) b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III c. Fraktur segmental mandibula 2.6 Patofisiologi Trauma Maksilofasial1 Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak

rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.1

Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.

Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.

Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.7

Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.1,7

Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat mengakibatkan
1

fraktur

terisolasi

melibatkan

jahitan

zygomaticotemporal.

Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.

Patah tulang rahang atas : ini dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III.9

Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atas dan memisahkan proses alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas melalui sepertiga bagian bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding lateralis memperluas ke tulang palatina dan piring pterygoideus. Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung dan memperluas melalui tulang lacrimalis; ke bawah melalui jahitan zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral melalui rahang atas, bawah zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus. Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari semua tulang wajah dari dasar tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang, dan tulang hidung. Garis fraktur meluas melalui tulang ethmoid posterolaterally, orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina.9

Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.8

Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang bawah.1

Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.1

2.7 Manifestasi Klinis Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa : Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibula. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur. Rasa nyeri pada sisi fraktur. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus alveolaris. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.3,10

2.8 Diagnosis 2.8.1 Anamnesa 1 Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu, merupakan hal yang paling terakhir, dan peristiwa seputar cedera. Aspek yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: bagaimana mekanisme cedera? Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status mental? Jika demikian, untuk berapa lama? Apakah gangguan penglihatan, kilatan cahaya, fotofobia, diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau perubahan dengan gerakan mata? Apakah pasien mengalami tinnitus atau vertigo? Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung? Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah atau yang jelas-cairan dari hidung atau telinga? Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup mulut? Apakah ada rasa sakit atau kejang otot? Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan

pasien merasa seperti kedudukan gigi tidak normal? Apakah daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah? 2.8.2 Pemeriksaan Fisik1,3 A. Inspeksi Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah : Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. Luka tembus. Asimetris atau tidak. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. Otorrhea / Rhinorrheaf. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign. Cedera kelopak mata. Ecchymosis, epistaksisi. Defisit pendengaran. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas

B. Palpasi 1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil. 2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi. 3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas. 4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.

5.

Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis.

6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi. 7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema.

8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal. 9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak. 10. Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial. 11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi. 12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea cairan cerebrospinal. 13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign). 14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas. 15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. 16. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III. 17. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi. 18. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit. 19. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.

20. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur. 21. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.3 2.9 Pemeriksaan Penunjang3 1. Wajah Bagian Atas : CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D). CT-scan aksial koronal. Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala 2. Wajah Bagian Tengah : CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D). CT scan aksial koronal. Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles). 3. Wajah Bagian Bawah : CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D. Panoramic X-ray. Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi : - Posteroanterior (Caldwells). - Posisi lateral (Schedell). - Posisi towne.

Вам также может понравиться