Вы находитесь на странице: 1из 15

BAB I PENDAHULUAN

Rata-rata kematian setelah 30 hari pasca operasi yang berhubungan dengan TURP sebesar 0.2% hingga 0.8%. Angka kematian ini kurang lebih sama pada pasien yang mendapat anestesi regional maupun umum. Dengan rata-rata terendah angka kematian sebesar 0.2%, masih dibutuhkan pasien untuk dipelajari dalam kasus TURP untuk menemukan kesimpulan dalam diagnosis dan penanganan komplikasi dari TURP itu sendiri.1,2,5 Morbiditas pasca operasi rata-rata dalam suatu penelitian sebesar 18%. Peningkatan morbiditas banyak ditemukan pada pasien dengan waktu reseksi yang cukup lama, yaitu melebihi dari 90 menit, ukuran kelenjar prostat yang besar (lebih dari 45g), retensi urin akut, dan usia pasien yang melebihi 80 tahun. Ashton dan rekannya mempelajari 250 laki-laki yang akan menjalani prosedur TURP dan menemukan satu pasien pasca operasi dengan infark miokard (0.4%) dan menyebabkan kematian.1,3,5 Insiden dari komplikasi postoperatif termasuk infark miokard, emboli pulmonal, kecelakaan cerebrovascular, TIA, gagal ginjal, insufisiensi hepar, dan butuhnya perpanjangan ventilasi serupa dengan membandingkan pasien yang mendapat anestesi spinal dengan anestesi umum. Perdarahan dan sindroma TURP merupakan komplikasi yang cukup sering ditemukan pada pasien yang sedang atau telah menjalani pembedahan dengan TURP.1,4,8

BAB II KOMPLIKASI TURP

Mortalitas TURP Mortalitas intraoperatif dan perioperatif setelah TURP telah mengalami penurunan dalam 30 tahun terakhir. Hominger et al, melaporkan tidak ada kematian intraoperatif dari 1.211 pasien yang menjalani TURP antara tahun 1988 sampai tahun 1991. Dari review 29 RCT yang mengikut sertakan 1.480 pasien tidak ditemukan adanya kematian intraoperatif.3,5,6 Komplikasi TURP dibagi menjadi komplikasi (1) intraoperatif, (2) perioperatif /segera postoperative dan (3) komplikasi jangka panjang.1,3

Komplikasi Intraoperatif 1. Perdarahan1,4,5,7,9 Perdarahan tetap merupakan komplikasi intraoperatif. Perkembangan teknik HF generators dan peralatan TURP (continuous-flow intruments, video TURP) menurunkan angka transfusi selama operasi. Meskipun berbagai penelitian pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1990 melaporkan angka transfuse 20%, namun angka ini menurun sampai 10% pada berbagai penelitian setelah tahun 2000. Pada 29 review RCT yang dipublikasikan antara 1986 dan 1998 angka rata-rata transfuse 8,6%, dengan angka kisaran 0-35%. Resiko perdarahan intraoperatif berhubungan dengan infeksi preoperatif dan retensi urin akibat kongensi gland penis, volume prostat, dan lamanya reseksi. Pada kasus dengan perdarahan peri dan postoperatif yang signifikan, balon kompresi (tekanan 500 cm3) merupakan metode terpilih. Kompresi rektodigital pada prostat berguna pada kasus tertentu. Perdarahan arteri dapat terjadi pada infeksi preoperative atau retensi urin akibat dari kongesti kelenjar. Perdarahan ini dapat dikurangi dengan agen anti-androgen dengan finasterife atau flutamide. Perdarahan vena terjadi akibat perforasi kapsular atau terbukanya sinusoid venosus. Jumlah perdarahan intraoperatif tergantung ukuran kelenjar dengan massa reseksi.

2. Sindrom Reseksi Transurethral ( TURP Sindrom ) Sindroma TUR dikarakteristikan dengan adanya penurunan status mental, mual, muntah, hipertensi, bradikardia dan gangguan penglihatan. Itu disebabkan oleh hiponatremia delusional (sodium serum 125mEq/l) karena perforasi segera dari kapsular vena atau sinus dengan influks cairan irigasi yang hipotonik. Pasien dalam pengaruh anastesi spinal dapat menunjukan tanda gelisah, gangguan cerebral atau menggigil. Pada sindroma TURP yang tidak ditatalaksanai dapat menyebabkan

konsekuensi yang berat seperti edema cerebral atau bronkial. Insidensi sindroma TURP telah menurun secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir dari 3-5% menjadi <1%. Pada pasien-pasien yang dicurigai mengalami sindroma TURP, pemeriksaan level sodium harus dilakukan segera. Pada kasus dengan hiponatremia yang signifikan prosedur TURP harus diberhentikan dan diberikan 20 mg furosemide dengan infus sodium klorida hipertonik.
Tabel 4. Sindrom TURP1 Manifestasi dari Sindrom TURP 1. Hiponatremia 2. Hipoosmolaritas 3. Overload cairan 4. Gagal jantung kongestif 5. Edema paru 6. Hipotensi 7. Hemolisis 8. Keracunan cairan 9. Hiperglisinemia 10. Hiperamonemia 11. Hiperglikemia 12. Ekspansi volume intravaskular

Patofisiologi dan Gejala Klinis

Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala sakit kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi dan seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi. Sindrom TURP bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi awal setelah pembedahan dimulai dan beberapa jam setelah pembedahan selesai Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi dipengaruhi beberapa faktor yaitu : tekanan hidrostatik dari cairan irigasi, jumlah venous sinus yang terbuka, lama reseksi / paparan dan perdarahan vena yang terjadi. Tekanan hidrostatis cairan irigasi yang rendah, semakin banyaknya vena yang terbuka saat reseksi dan semakin lama waktu reseksi meningkatkan absorbsi air ke dalam sistem sirkulasi. 1. Overload Sirkulasi 1 Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada setiap operasi TURP melalui venous netwok of prostatic bed. Absorbsi cairan diteliti dengan cara memeriksa udara ekspirasi dari etanol setelah penambahan etanol sampai dengan konsentrasi lebih dari 1% ke dalam cairan irigasi. Uptake dari 1 liter cairan dalam satu jam yang berkaitan dengan penurunan akut dari konsentrasi natrium serum 5-8 mmol/liter adalah jumlah volume yang secara statistic meningkatkan resiko gejala terkait absorpsi (absorption related symptoms). Reseksi biasanya berlangsung 45-60 menit dan rata-rata 20mL/menit dari cairan irigasi diserap / diabsorbsi selama operasi TURP. Karena volume sirkulasi yang meningkat, volume darah akan meningkat, tekanan sistolik dan diastolik meningkat dan dapat menyebabkan gagal jantung. Absorbsi cairan mendilusi protein serum dan menurunkan tekanan onkotik darah. Hal ini bersamaan dengan peningkatan tekanan darah mendorong cairan dari vaskular menuju ke kompartmen interstisial, menyebabkan edema paru dan serebri. Ditemukan pada absorbsi langsung ke dalam sirkulasi, hampir lebih dari 70% cairan irigasi terakumulasi dalam ruang interstisiil (periprostatik, retroperitoneal ). Untuk setiap 100 ml cairan yang memasuki ruangan interstisial 10-15 mEq Na ikut masuk ke dalamnya. Durasi operasi berpengaruh pada jumlah absorbsi dan overload sirkulasi. Morbiditas dan mortalitas ditemukan lebih tinggi pada operasi dengan waktu lebih dari

90 menit.

Absorbsi intravaskular dipengaruhi ukuran prostat sedangkan absorbsi

interstisial dipengaruhi integritas kapsul prostat. Overload sirkulasi terjadi apabila berat dari prostat lebih dari 45 gr. Faktor penting lainnya adalah tekanan hidrostatik dari prostatic bed. Tekanan ini dipengaruhi ketinggian kolom cairan irigasi dan tekanan dalam kandung kemih saat pembedahan. Tinggi yang ideal dari cairan adalah 60 cm sehingga kira-kira 300 ml cairan dapat dihasilkan per menit untuk mendapatkan penglihatan yang baik. 2. Water Intoxication 1 Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala intoksikasi air dan kelainan neurologis disebabkan karena peningkatan jumlah air dalam otaknya. Pasien awalnya menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Kejang dapat berkembang menjadi koma dalam posisi deserebrasi. Terdapat klonus dan respon Babinski positif. Papiledema, yaitu pupil yang terdilatasi dan bereaksi lambat dapat terjadi. EEG menunjukkan tegangan rendah bilateral. Gejala ini muncul apabila level Natrium turun sampai di bawah 15-20 mEq / liter di bawah level normal. 3. Hyponatremia Hiperosmolaritas 1,11 Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstra seluler akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi hipoosmotik dan berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler. Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel, terutama pada jantung dan otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami TURP mekanisme : 1. Dilusi serum Na akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi 2. Hilangnya Na menuju aliran cairan irigasi pada tempat reseksi prostat 3. Hilangnya Na menuju ruangan interstisial pada periprostat dan retroperitoneal 4. Jumlah besar glisin menstimulasi pelepasan atrial natriuretik peptida pada kelebihan volume cairan menyebabkan natriuresis.. Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan, inkoheren, koma dan kejang. Ketika Na serum turun sampai di bawah 120 mEq / liter, hipotensi dan penurunan melalui berbagai

kontraktilitas miokardial terjadi. Dibawah 115 mEq / l, bradikardi dan perluasan dari kompleks QRS pada EKG dapat terjadi, ektopik ventrikuler dan inversi gelombang T dapat terjadi. Di bawah 100 mEq / liter maka kejang umum, koma, henti nafas,

Ventricular Tachycardia (VT), Ventricular Fibrillation (VF) dan henti jantung terjadi. Kebutuhan Na dihitung berdasarkan formula :

Sodium Deficit = Normal serum Na - Estimated serum Na x Volume of body water

Namun gangguan fisiologis yang menyebabkan gangguan system saraf pusat bukanlah hiponatremia tersebut melainkan hipoosmolalitas yang terjadi. Seperti yang kita tahu bahwa sawar darah otak bersifat impermeabel terhadap natrium namun permeabel terhadap air. Edema serebri terjadi akibat hipoosmolalitas akut yang terjadi meningkatkan tekanan intrakranial, menyebabkan bradikardi dan hipertensi (Cushing reflex). 4. Glycine Toxicity 1 Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada jantung dan retina dan dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien glisin 1,5% berhubungan efek subakut dari miokardium, muncul sebagai depressi atai inverse gelombang T. pada EKG 24 jam setelah pembedahan. Absorbsi lebih dari 500 ml menunjukkan dua laki resiko jangka panjang acute myocardial infarction. ini yang menyebabkan jumlah mortalitas yang lebih tinggi antara operasi transuretra vs open prostatectomy masih diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional hypocalcemia juga dapat menjadi penyebab gangguan kardiovaskular ketika glisin di absorbsi. Namun kalsium dijaga tetap normal secara cepat dengan mobilisasi kalsium dari tulang. Glisin adalah asam amino yang berperan sebagai neurotransmitter utama pada system saraf pusat. Tempat kerja glisin adalah terutama pada batang otak dan medulla spinalis berbeda dengan neurotransmitter lainnya yaitu GABA yang bekerja pada area subkortikal dan kortikal area. . Mekanisme kerjanya diakibatkan dari hiperpolarisasi dari membran postsinaps dengan meningkatkan hantaran klorida. Pada konsentrasi tinggi menyebabkan efek pada sistem saraf pusat dan gangguan penglihatan. Glycolic acid, formal dan formaldehyde adalah metabolit lain dari glisin yang juga menyebabkan

gangguan penglihatan. Tanda seseorang mengalami toksisitas glisin adalah mual, muntah, respirasi lambat, kejang, spell apneoea dan sianosis, hipotensi, oligouria, anuria dan kematian. Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg / liter. Glycine toxicity jarang pada pasien TURP mungkin karena hampir seluruh glisin yang diabsorbsi ditahan pada ruang periprostatik dan retroperitoneal yang tidak memiliki efek sistemik. 5. Ammonia Toxicity1 Amonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin. Konsentrasi ammonia yang tinggi menekan pelepasan norepinefrin dan dopamine dalam otak. Hal ini menyebabkan encephalopati TURP syndrome. Namun hal ini jarang terjadi pada manusia. Karakteristik toksisitas yang terjadi adalah satu jam setelah pembedahan. Pasien tiba-tiba mual dan muntah dan menjadi koma. Ammonia darah meningkat menjadi 500 mikromol / liter (nilai normal : 11-35 mikromol / liter). Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam paska operasi karena glisin secara kontinu diabsorbsi dari ruang periprostat. Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh semua pasien yang mengalami TURP masih belum jelas. Hiperamonia mengimplikasikan bahwa tubuh tidak dapat memetabolisme glisin secara sempurna melalui glisin cleavage system., citric acid cycle dan konversi glycolic dan glioxylic acid. Makanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi arginin. Amonia normalnya diubah menjdi urea dalam hati melalui ornithine cycle. Arginin adalah produk intermediet dari siklus ini. Defisiensinya menandakan bahwa ornithine cycle tidak berlangsung sempurna dan terjadi akumulasi amonia. 6. Hipovolemi, Hipotensi1 Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi. Pelepasan substansi jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan asidosis mtabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi. Kehilangan darah saat Sindrom TURP akan menimbulkan hipovolemia, menyebabkan kehilangan kemampuan mengangkut oksigen

secara signifikan sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran kalenjar prostat yang direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari operator. Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi prostat. 7. Gangguan Penglihatan1 Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara, pandangan berkabut, dan melihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi dilatasi dan tidak merespons. Lensa mata normal. Gejala bisa muncul bersamaan dengan gejala lain dari Sindom TURP atau bisa juga menjadi gejala yang tersembunyi. Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan. Kebutaan TURP disebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena keracunan glisin. Karena itu persepsi dari cahaya dan refleks mengedipkan mata dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya dan akomodasi hilang pada kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi kortikal serebri. 8. Perforasi1 Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung kemih dan letusan didalam kantung kemih. Perforasi instrumen dari kapsul prostatik telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasien yang melakukan TURP. Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen, distensi dan nausea. Bradikardi dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggi kesalahan diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan gejala khas Pallor, diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa terjadi. Perforasi ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa terjadi. Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal, tidak cukup oksigen yang terdapat didalam kantung kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairan irigasi akan bisa berakibat timbulnya ledakan.

9. Koagulopati1 DIC (Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin menuju sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisis sekunder. Dilutional trombositopenia bisa memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada darah dengan timbulnya penurunan jumlah platelet, FDP (Fibrin Degradation Products) yang tinggi (FDP > 150 mg/dl) dan plasma

fibrinogen yang rendah (400 mg/dl) 10. Bakteremia, Septisemia dan Toksemia 1 Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan tekanan tinggi, maka bakteri akan masuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien, bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa terjadi secara temporer pada pasien ini. 11. Hipotermia1,10 Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang akan dilakukan TURP. Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi hemodinamika, yang mengakibatkan pasien menggigil dan peningkatan konsumsi oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utama dari hilangnya panas dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan penurunan suhu tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin. Pasien geriatri diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi dan asidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi terhadap manifestasi sistem saraf pusat. Menggigil juga bisa diperparah oleh pendarahan dari tempat reseksi.

Gambar 2. Skema Patofisiologi sindrom TURP 11

3. Ekstravasasi Hal ini dapat terjadi ketika kapsul dicederai atau ketika leher vesika dipisah. Ekstravasasi cairan irigasi dapat terletak di ekstra retroperitoneal. Selain itu, cairan irigasi juga dapat ditemukan pada daerah intraretroperitoneal (contohnya karena difusi dalam jumlah yang cukup besar atau ketika vesika mengalami cedera/jejas).

4. Cedera Orificium Lesi ini dapat terjadi ketika lobus tengah direseksi dan orificium uretral sulit untuk diidentifikasi.

5. Cedera Sfingter Eksternal Kebanyakan bentuk inkontinensia post operatif bukanlag disebabkan oleh trauma iatrogenic otot sfingter eksternal. Lesi biasanay muncul pada bagian ventral (pada arah jarum 12) letika veru montanum (duktus ejakulatori) tidak dapat terlihat. Juga, ada kemungkinan resiko meningkatnya cedera sfingter jika veru montanum direseksi.

KOMPLIKASI PERIOPERATIF 1. Tamponade Vesika urinaria Perdarahan rekuren dan persisten bisa mengakibatkan terbentuknya formasi klot dan tamponade vesika urinaria, hal ini membutuhkan evakuasi atau bahkan intervensi kembali. Kadang-kadang, hubungan antara kelainan koagulasi yang tidak terdeteksi saat preoperasi, tidak memberi reaksi terhadap masalah koagulasi saja. Pada beberapa situasi, pengguaan kompresi rektodigital bisa menghentikan perdarahan. Jika operasi reintervensi tidak berhasil, bisa dilakukan superselektif transfemoral embolisasi. 2. Infeksi Traktus Urinarius Angka kejadian infeksi traktus urinarius rendah, berdasarkan persentase dari beberapa literatur bervariasi dari 4 % sampai 20 %. Faktor resiko terjadinya infeksi traktus urinarius adalah berasal dari bakterimia perioperatif, durasi prosedur yang memanjang, penggunaan kateter preoperatif, pemajangan masa rawat inap di RS dan drainase kateter yang tidak tetap. Terapi antibiotik perioperatif secara rutin tidak direkomendasikan; pada kelompok yang beresiko yang disebutkan diatas, penggunaan antibiotik sebagai profilaksis mungkin disarankan. 3. Retensi Urin Retensi urin setelah pelepasan kateter terjadi pada sekitar 3-9 % kasus dan lebih disebabkan karena kegagalan detrusor daripada reseksi inkomplet., ditemukan pada obstruksi persisten. Indikasi TURP ulang seharusnya dilakukan dengan sangat hati-hati dan menunggu rekomendasi sekurang-kurangnya 4-6 minggu setelah operasi. Hanya sekitar 20% dari pasien mengalami obstruksi urodinamis setelah TURP primer. Pada kasus kegagalan otot detrusor, terjadinya BAK secara spontan setelah TURP primer yang baik kemudian diikuti TURP sekunder sangat minimal dan pasien harus berhatihati dengan keadaan ini.

KOMPLIKASI JANGKA PANJANG 1. Inkontinensia Urin Inkontinensia urin dapat terjadi sebanyak 30-40 % kasus pada minggu-minggu awal post operatif dan kebanyakan diakibatkan dari overaktivitas yang telah muncul sebelum operasi atau akibat dari ISK. Penanganan simtomatik termasuk memberikan obat anti kolinegrik dan antiinflamasi. Inkontinensia yang muncul > 60 bulan membutuhkan evaluasi yang lebih mendalam dengan sitoskopi dan urodinamik. Ada bebrapa penyebab dari inkontinensia urin yang menetap antara lain : inkontinensia urin (30%), overaktivitas detrusor (20%), inkontinensia campuran (30%), adenoma residual (5%), kontraktur leher vesika (5%) dan striktur uretra (5%). Penatalaksanaannya termasuk memberikan edukasi, feedback, duloxetine atau intervensi pembedahan. Jumlah inkontinensia urin akibat stress iatrogenic < 0,5 %. Untuk meminimalisir resiko inkontinensia aiatrogenik, maka bagian verumontarum harus selalu dicek secara berulang-ulang selama proses operasi.

2. Striktur Uretra Angka kejadian dari striktur uretra bervariasi sekitar 2% - 9%. Alasan utama berkaitan dengan lokasi,antara lain: 1. Mental Striktur, biasanya disebabkan oleh hubungan antara diameter dari instrument dan meatus 2. Striktur Bulbar, akibat dari trauma mekanik dan insufisiensi arus listrik. Oleh karena itu, hal ini dapat ditangani dengan penggunaan gel (saat prosedur TURP ketika waktu reseksinya

diperpanjang/diperlama). Pergerakan mekanik minimal dan restetoskopi in situ serta menghindari arus listrik yang terlalu tinggi.

3. Stenosis Leher Vesika Insidensinya bervariasi dari 0,3% - 9,2 % kebanyakan terjadi akibat terapi pada kelenjar-kelenjar yang berukuran kecil. Seperti yang telah dijelaskan, TUIP harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelenjar yang berukuran kecil. Penanganannya termasuk insisi leher vesika secara elektrik atau laser.

4. Disfungsi Seksual Ejakulasi retrograde terjaid pada > 90% kasus dan dapat dicegah jika jaringan pada veru montanum dipisah. Karenan adanya ejakulasi retrograde, indikasi TURP harus dipertimbangkan secara hati-hati pada pasien dengan usia yang lebih muda. Pada usia muda, TUIP harus dipertimbangkan karena angka kejadian ejakulasi retrograde lebih minimal. Menurut sebuah penelitian, Proporsi pasien yang mengalami gangguan seksual sebanyak 19% setelah melakukan prosedur TURP. Namun, penelitian lain melaporkan bahwa terjadi perbaikan dari fungsi seksualnya karena peningkatan kualitas hidup yang dialami.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amr Hawary, et al. Transurethral Resection of the Prostate Syndrome Almost Gone but Not Forgotten. Journal Of Endourology Volume 23, Number 12, December 2009 2. Mark Lynch1, et al. Postoperative haemorrhage following transurethral resection of the prostate (TURP) and photoselective vaporisation of the prostate (PVP). Accepted 20 April 2010. Published online 1 June 2010 3. Xin Li, et al. Selective Transurethral Resection of the Prostate Combined with Transurethral Incision of the Bladder Neck for Bladder Outlet Obstruction in Patients with Small Volume Benign Prostate Hyperplasia (BPH): A Prospective Randomized Study. Department of Urology, Urologic Institute of PLA, Southwestern Hospital, Third Military Medical University, Chongqing, China. May 14, 2013.

4. Ali Asghar Ketabchi, et al. The Effect of Modified TURP (M-TURP) in Intra and
Postoperative Complications. Nephrology and Urology Research Center; Published by Kowsar Corp. 13 Jul 2012.

5. Aruna V. Sarma, et al. Benign Prostatic Hyperplasia and Lower Urinary Tract
Symptoms. The New England Journal of Medicine. july 19, 2012

6. Sun-Kyung Park, et al. Fluid extravasation caused by bladder perforation during


bipolar transurethral resection using saline solution. Korean J Anesthesiol 2013 August 65(2): 163-166 7. Bozdar HR, et al. Outcome Of Transurethral Resection Of Prostate In Clinical Benign Prostatic Hyperplasia. Diunduh http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/194 PAST/22-4/Bozdar.pdf tanggal 2010;22(4) 8. Jeng-Sheng Chen, et al. Acute urinary retention increases the risk of complications after transurethral resection of the prostate: a population-based study. B J U I N T E R N A T I O N A L. 1 June 2012.

9. O. M. Aboumarzouk, et al. Should Finasteride Be Routinely Given Preoperatively for TURP. Hindawi Publishing Corporation ISRN Urology. 19 June 2013 10. Robert G. Hahn. Glycine 1.5% for Irrigation Should Be Abandoned. Urologia Internationalis, Published online: September 13, 2013 11. Jiawu Wang, et al. Risk of Bleeding Complications after Preoperative Antiplatelet Withdrawal versus Continuing Antiplatelet Drugs during Transurethral Resection of the Prostate and Prostate Puncture Biopsy: A Systematic Review and MetaAnalysis, Urologia Internationalis, Published online: July 18, 2012 12. Alessandro Del Rosso, et al. Resident training in urology: Bipolar transurethral resection of the prostate - a safe method in learning endosc Archivio Italiano di Urologia e Andrologia. 31 December 2012 13. SU Alhasan,et al. Transurethral resection of the prostate in Northern Nigeria, problems and prospects, BMC Urology 2008. 14. Claudio de Lucia, et al. Risk of acute myocardial infarction after transurethral resection of prostate in elderly, BMC Surgery 22 June 2013. 15. Brahim Boukatta. Et al. Transurethral resection of prostate syndrome: report of a case. Pan African Medical Journal. 2013, 09/01/2013

Вам также может понравиться