Вы находитесь на странице: 1из 9

Pengertian Perkawinan dan Tujuan Perkawinan

Pengertian Perkawinan
Perkawinan sering diartikan sebagai ikatan suami istri yang sah, menurut ensiklopedia Indonesia (Purwadarminta, 1976) diartikan sebagai perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Wantjik, 1976). Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 diatas maka seluruh seluk beluk tentang perkawinan di Indonesia diatur oleh undang-undang tersebut. UndangUndang Perkawinan itu dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tersebut diatas dan menjadi acuan tentang perkawinan di Indonesia. Dengan ini jelas juga bahwa yang diikat dalam perkawinan sebagai suami istri adalah seorang pria dan seorang wanita. Ini berarti jika ada dua wanita atau dua pria yang ingin diikat sebagai suami istri melalui perkawinan, menurut Undang-Undang Perkawinan tidak dapat dilakukan (Walgito, 2004). Setiap perkawinan, selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya. Hal ini berarti mereka juga harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, dan karenanya diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi, serta saling penyesuaian diri yang harmonis. Orang menikah bukan hanya mempersatukan diri, tetapi seluruh keluarga besarnya juga ikut. Proses pengenalan antar pasangan itu berlangsung hingga salah satu pasangan mati, dan dalam perkawinan terjadi proses pengembangan yang didasari oleh LOVE yaitu Listen, Observe, Value dan Emphaty (Wismanto, 2005). Dalam perkawinan dibutuhkan adanya ikatan lahir dan batin.

Ikatan lahir adalah ikatan yang nampak, ikatan formal sesuai dengan aturan yang ada, baik yang mengikat dirinya sendiri, suami atau istri, anak, maupun oarang lain. Oleh karena itu perkawinan biasanya diinformasikan kepada masyarakat luas agar masyarakat dapat mengetahuinya. Ikatan batin adalah

ikatan yang tidak nampak secara langsung, merupakan ikatan psikologis. Antara suami dan istri harus ada ikatan ini, saling mencintai satu sama lain sehingga ikatan batin ini dapat terbentuk. Kedua ikatan diatas harus ada dalam perkawinan dan bila tidak ada salah satu, maka akan menimbulkan persoalan dalam kehidupan perkawinan pasangan tersebut (Walgito, 2004). Ketika suami dan istri berikrar untuk menikah, berarti masing-masing mengikatkan diri pada pasangan hidup, dan sebagian kebebasan sebagai individu dikorbankan. Perkawinan bukan

sebuah titik akhir, tetapi sebuah perjalanan panjang untuk mencapai tujuan yang disepakati berdua. Tiap pasangan harus terus belajar mengenai kehidupan bersama. Tiap pasangan juga harus menyiapkan mental untuk menerima kelebihan sekaligus kekurangan pasangannya dengan kontrol diri yang baik. Pentingnya penyesuaian dan tanggung jawab sebagai suami atau istri dalam sebuah perkawinan akan berdampak pada keberhasilan hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap adanya kepuasan hidup perkawinan, sehingga memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam kedudukannya sebagai suami atau istri dan kehidupan lain di luar rumah tangga (Hurlock, 2002). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah bersatunya dua insan laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang sah untuk menjalani hidup bersama.

Tujuan Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingindicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian juga dalam hal perkawinan. Karena perkawinan merupakan dari suatu aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka ada kemungkinan bahwa tujuan mereka tentu tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat satu kesatuan dalam tujuan tersebut. Dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dengan jelas disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi apa sebenarnya tujuan perkawinan. Namun demikian seperti yang dikatakan diatas bahwa keluarga terdiri dari dua individu, dan dari dua individu ini mungkin berbeda tujuan, maka hal tersebut perlu mendapatkan perhatian yang cukup mendalam.

Jodoh yang Ideal


Siapa sih yang tidak ingin mendapatkan jodoh ideal? Tentu semua berharap bisa menemukan tambatan hatinya untuk menjadi pendamping hidupnya. Namun, tentunya dengan kriteria tertentu yang memenuhi aspek lahir dan batin. Lahir dalam artian pasangan bisa dipandang menyejukkan dan memiliki kesempurnaan sesuai takaran masing-masing. Sedangkan batin, adanya rasa cinta yang tumbuh dari naluri kemanusiaan dan naluri dari ilahi (rahmat). Dalam surat Ar-Rum ayat 21 Allah SWT berfirman, Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum berpikir. Dari ayat di atas, dapat disimpulkan salah satu hikmahnya bahwa jika kita sudah menemukannya, niscaya kita akan mendapatkan ketenteraman dan kebahagiaan bersamanya dalam menjalani bahtera keluarga. Rasa kasih sayang yang ditumbuhkan Allah di hati keduanya akan membuahkan keharmonisan sehingga kebahagiaan selalu menyertai keduanya. Kekurangan tidak lagi jadi sumber ganjalan dan kelebihan masing-masing tidak menjadi saling mendominasi. Inilah jodoh ideal dambaan semua orang. Jodoh yang bisa sama-sama dibawa menuju ridha Allah untuk menjadi pasangan yang selalu bersyukur dan mendekatkan diri kepada-Nya. Jodoh yang menjadi perhiasan yang paling berharga di dunia. Jodoh yang mampu mengundang malaikat rahmat bersemayam di dalam rumahnya. Jodoh yang bisa menjadi pemicu timbulnya semangat beramal shaleh. Namun masalahnya, bisakah kita menemukan jodoh seperti di atas? Tentu saja bisa. Hanya saja kita mesti mengetahui berbagai hal sebagai faktor penunjang agar jodoh ideal bisa ditemukan dengan mudah. Yang pertama ialah dimulai dari diri masing-masing. Mulai dari pembenahan niat, membenahi perbuatan hati dan tingkah laku, selalu berdoa, hingga diaplikasikan melalui ikhtiar. Kemudian, carilah calon pendamping Anda berdasarkan kriteria ideal, mulai dari aspek fisik, keluarga, keshalehan, hingga ilmu yang dimilikinya. Tentu penjelasan detailnya tidak akan cukup ditulis dalam satu artikel. Oleh karena itu, alangkah baiknya Anda berkesempatan membaca buku Muqadimah Cinta yang ditulis oleh Ummu Azzam. Buku ini akan menjelaskan kepada Anda secara mudah dan lengkap tentang resep mujarab menemukan jodoh ideal yang dicintai dan diridhai Allah SWT berdasarkan AlQur`an, hadits, dan pendapat para ulama kenamaan. Di dalam buku terbitan QultumMedia ini dibuka dengan pembahasan aspek dasar fitrah cinta dalam diri manusia. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan ikhitiar dalam mendapatkan jodoh ideal, proses taaruf nikah dan taaruf cinta, bimbingan istikharah cinta, khitbah cinta, dan ditutup dengan doa-doa mustajab sebagai senjata para pejuang cinta sejati. Buku ini akan membimbing Anda dalam mendapatkan jodoh ideal yang dicintai dan diridhai Allah SWT.

CARA MELAMAR Berbenah Diri Untuk Mendapatkan Yang Terbaik Penulis ingin membicarakan 2 jenis manusia ketika ditanya: Anda ingin menikah dengan orang shalih/shalihah atau tidak?. Manusia jenis pertama menjawab Ya, tentu saja saya ingin, dan inilah muslim yang masih bersih fitrahnya. Ia tentu mendambakan seorang suami atau istri yang taat kepada Allah, ia mendirikan shalat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ia menginginkan sosok yang shalih atau shalihah. Maka, jika orang termasuk manusia pertama ini agar ia mendapatkan pasangan yang shalih atau shalihah, maka ia harus berusaha menjadi orang yang shalih atau shalihah pula. Allah Azza Wa Jalla berfirman yang artinya: Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula [QS. An Nur: 26]. Yaitu dengan berbenah diri, berusaha untuk bertaubat dan meninggalkan segala kemaksiatan yang dilakukannya kemudian menambah ketaatan kepada Allah Taala. Sedangkan manusia jenis kedua menjawab: Ah saya sih ndak mau yang alim-alim atau semacam itu. Inilah seorang muslim yang telah keluar dari fitrahnya yang bersih, karena sudah terlalu dalam berkubang dalam kemaksiatan sehingga ia melupakan Allah Taala, melupakan kepastian akan datangnya hari akhir, melupakan kerasnya siksa neraka. Yang ada di benaknya hanya kebahagiaan dunia semata dan enggan menggapai kebahagiaan akhirat. Kita khawatir orang-orang semacam inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam sebagai orang yang enggan masuk surga. Lho, masuk surga koq tidak mau? Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para sahabat bertanya: Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?. Beliau bersabda: Yang taat kepadaku akan masuk surga dan yang ingkar terhadapku maka ia enggan masuk surga [HR. Bukhari] Seorang istri atau suami adalah teman sejati dalam hidup dalam waktu yang sangat lama bahkan mungkin seumur hidupnya. Musibah apa yang lebih besar daripada seorang insan yang seumur hidup ditemani oleh orang yang gemar mendurhakai Allah dan Rasul-Nya? Padahal Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Keadaan agama seorang insan tergantung pada keadaan agama teman dekatnya. Maka sudah sepatutnya kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman dekat [HR. Ahmad, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani] Bekali Diri Dengan Ilmu Ilmu adalah bekal penting bagi seseorang yang ingin sukses dalam pernikahannya dan ingin membangun keluarga Islami yang samara. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama tentunya. Secara umum, seseorang perlu membekali diri dengan ilmu-ilmu agama, minimal ilmu-ilmu agama yang wajib bagi setiap muslim. Seperti ilmu tentang aqidah yang benar,

tentang tauhid, ilmu tentang syirik, tentang wudhu, tentang shalat, tentang puasa, dan ilmu yang lain, yang jika ilmu-ilmu wajib ini belum dikuasai maka seseorang dikatakan belum benar keislamannya. Lebih baik lagi jika membekali diri dengan ilmu agama lainnya seperti ilmu hadits, tafsir al Quran, Fiqih, Ushul Fiqh karena tidak diragukan lagi bahwa ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Renungkanlah firman Allah Taala, yang artinya: Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat [QS. Al Mujadalah: 11] Secara khusus, ilmu yang penting untuk menjadi bekal adalah ilmu tentang pernikahan. Tata cara pernikahan yang syarI, syarat-syarat pernikahan, macam-macam mahram, sunnahsunnah dalam pernikahan, hal-hal yang perlu dihindari, dan yang lainnya. Siapkan Harta Dan Rencana Tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan membutuhkan kemampuan harta. Minimal untuk dapat memenuhi beberapa kewajiban yang menyertainya, seperti mahar, mengadakan walimah dan kewajiban memberi nafkah kepada istri serta anak-anak. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyianyiakan orang yang menjadi tanggungann ya. [HR. Ahmad, Abu Dawud]. Namun kebutuhan akan harta ini jangan sampai dijadikan pokok utama sampai-sampai membuat seseorang tertunda atau terhalang untuk menikah karena belum banyak harta. Harta yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qanaah (mensyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah [HR. Bukhari]. Disamping itu, terdapat larangan bermewah-mewah dalam mahar dan terdapat teladan menyederhanakan walimah. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya [HR. Ahmad]. Beliau Shallallahualaihi Wasallam juga, berdasarkan hadits Anas Bin Malik Radhiyallahuanhu, ketika menikahi Zainab Bintu Jahsy mengadakan walimah hanya dengan menyembelih seekor kambing [HR. Bukhari-Muslim]. Selain itu rumah tangga bak sebuah organisasi, perlu manajemen yang baik agar dapat berjalan lancar. Maka hendaknya bagi seseorang yang hendak menikah untuk membuat perencanaan matang bagi rumah tangganya kelak. Misalnya berkaitan dengan tempat tinggal, pekerjaan, dll.

Pilihlah Dengan Baik Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda : Tiga hal yang seriusnya dianggap benarbenar serius dan bercandanya dianggap serius : nikah, cerai dan ruju (Diriwayatkan oleh Al Arbaah kecuali Nasai). Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup. Kriteria yang paling utama adalah agama yang baik. Setiap muslim atau muslimah yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami atau istri yang baik agamanya, ia memahami aqidah Islam yang benar, ia menegakkan shalat, senantiasa mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam menganjurkan memilih istri yang baik agamanya Wanita dikawini karena empat hal : . hendaklah kamu pilih karena agamanya (keIslamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka. [HR. BukhariMuslim]. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam juga mengancam orang yang menolak lamaran dari seorang lelaki shalih Jika datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya (untuk melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah]. Selain itu ada beberapa kriteria lainnya yang juga dapat menjadi pertimbangan untuk memilih calon istri atau suami: Sebaiknya ia berasal dari keluarga yang baik nasabnya (bukan keluarga pezina atau ahli maksiat) Sebaiknya ia sekufu. Sekufu maksudnya tidak jauh berbeda kondisi agama, nasab dan kemerdekaan dan kekayaannya Gadis lebih diutamakan dari pada janda Subur (mampu menghasilkan keturunan) Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda: Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan jika engkau pandang [HR. Thabrani] Hendaknya calon istri memahami wajibnya taat kepada suami dalam perkara yang maruf Hendaknya calon istri adalah wanita yang mengaja auratnya dan menjaga dirinya dari lelaki non-mahram. Shalat Istikharah Agar Lebih Mantap Pentingnya urusan memilih calon pasangan, membuat seseorang layak untuk bersungguhsungguh dalam hal ini. Selain melakukan usaha, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Taala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Dan salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir

Radhiyallahuanhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan Al Quran [HR. Bukhari]. Datangi Si Dia Untuk Nazhor Dan Khitbah Setelah pilihan telah dijatuhkan, maka langkah selanjutnya adalah Nazhor. Nazhor adalah memandang keadaan fisik wanita yang hendak dilamar, agar keadaan fisik tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk melanjutkan melamar wanita tersebut atau tidak. Terdapat banyak dalil bahwa Islam telah menetapkan adanya Nazhor bagi lelaki yang hendak menikahi seorang wanita. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian meminang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah [HR. Abu Dawud]. Namun dalam nazhor disyaratkan beberapa hal yaitu, dilarang dilakukan dengan berduaan namun ditemani oleh mahrom dari sang wanita, kemudian dilarang melihat anggota tubuh yang diharamkan, namun hanya memandang sebatas yang dibolehkan seperti wajah, telapak tangan, atau tinggi badan. Dalil-dalil tentang adanya nazhor dalam Islam juga mengisyaratkan tentang terlarangnya pacaran dalam. Karena jika calon pengantin sudah melakukan pacaran, tentu tidak ada manfaatnya melakukan Nazhor. Setelah bulat keputusan maka hendaknya lelaki yang hendak menikah datang kepada wali dari sang wanita untuk melakukan khitbah atau melamar. Islam tidak mendefinisikan ritual atau acara khusus untuk melamar. Namun inti dari melamar adalah meminta persetujuan wali dari sang wanita untuk menikahkan kedua calon pasangan. Karena persetujuan wali dari calon wanita adalah kewajiban dan pernikahan tidak sah tanpanya. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan keberadaan wali [HR. Tirmidzi] Siapkan Mahar Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah mahar, atau disebut juga mas kawin. Mahar adalah pemberian seorang suami kepada istri yang disebabkan pernikahan. Memberikan mahar dalam pernikahan adalah suatu kewajiban sebagaimana firman Allah Taala yang artinya: Maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban [QS. An Nisa: 24]. Dan pada hakekatnya mahar adalah hadiah untuk sang istri dan mahar merupakan hak istri yang tidak boleh diambil. Dan terdapat anjuran dari Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam untuk tidak terlalu berlebihan dalam mahar, agar pernikahannya berkah. Sebagaimana telah dibahas di atas.

Perkawinan dan pola menetap sesudah kawin Prinsip perkawinan yang dianut oleh kesatuan sosial yang disebut keret itu adalah eksogami, artinya antara anggota-anggota warga satu keret tidak boleh terjadi perkawinan. Dengan demikian isteri harus diambil dari keret lain, apakah keret lain itu berada pada mnu yang sama atau bukan. Selanjutnya pola perkawinan ideal menurut orang Biak , terutama pada waktu lampau, adalah perkawinan yang disebut indadwer, atau exchange marriage, yaitu pertukaran perempuan antara dua keluarga yang berasal dari dua keret yang berbeda. Di samping pola perkawinan ideal tersebut, orang Biak mengenal juga bentuk perkawinan lainnya seperti perkawinan melalui peminangan dan perkawinan ganti tikar baik yang bersifat levirate maupun sororate. Bentuk perkawinan yang paling banyak terjadi adalah perkawinan melalui peminangan, fakfuken. Menurut tradisi pihak laki-lakilah yang berkewajiban untuk melakukan peminangan pada pihak perempuan. Unsur-unsur penting dalam proses peminangan adalah penentuan jumlah maskawin yag dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan penetuan waktu pelaksanaan perkawinan, apabila pihak yang disebut terakhir setuju dengan peminangan tersebut. Tentang pernyataan setuju atau tidak baik dari pihak calon penganten pria maupun calon penganten putri terhadap siapa ia akan dinikahkan tidak dipersoalkan dalam peminangan. Dengan kata lain orang itulah yang menentukan siap calon isteri atau calon suami anaknya. Keadaan yang dilukiskan di atas ini pada waktu sekarang sudah berubah, sebab anak-anak sendiri yang menentukan sendiri siapa yang akan menjadi calon pasangan hidupnya nanti. Biasanya penetuan pilihan itu didasarkan atas hubungan yang terjalin antar seorang pemuda dengan seorang pemudi sebelumnya. Penentuan pilihan itu kemudian disampaikan kepada pihak orang tua, terutama dari pihak laki-laki, yang selanjutnya diproses sampai kepada upacara perkawinan lewat peminangan biasa seperti tersebut di atas. Pola menetap sesudah kawin yang dianut adalah patrilokal, yaitu pasangan baru yang menikah menetap di rumah atau lokasi tempat asal suami. Sering terjadi juga bahwa sesudah menikah, pasangan baru itu menetap untuk waktu tertentu di rumah orang tua atau wali isteri. Hal ini disebabkan oleh karena sang suami dari keluarga baru itu harus melakukan pekerjaanpekerjaan tertentu misalnya membantu membuka kebun baru, membangun rumah baru atau melakukan suatu pekerjaan lain bagi orang tua isterinya sebagai pengganti maskawin yang belum lunas dibayar. Biasanya apabila pekerjaan tersebut sudah selesai dan dianggap tenaga yang dikeluarkan untuk melakukan pekerjaan itu layak sebagai pengganti sisa maskawin, maka pasangan baru itu kembali menetap di tempat asal sang suami.

Вам также может понравиться