Вы находитесь на странице: 1из 30

TB PARU DEFINISI Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.

Kuman tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia melalui udara pernapasan kedalam paru. Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran napas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru. ETIOLOGI Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat. PATOFISIOLOGI Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel, kuman ini tidak menghasilkan toksin yang di kenal. Dalam tetesan droplet yang terhirup dan mencapai alveoli. Penyakit timbul akibat menetapnya dan berproliferasinya kuman tersebut dan adanya interaksi dari tuan rumah, misalnya basil tidak virulen yang di suntikan contoh BCG hanya dapat hidup selama beberapa bulan atau tahun pada tuan rumah normal. Resistensi dan hipersensitivitas tuan rumah sangat mempengaruhi perkembangan penyakit. Penyakit ini dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel, sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit biasanya sel T adalah sel imunoresponsinya. Tipe imunitas seperti

ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang di aktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya.Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas atau reaksi lambat. Pembentukan dan perkembangan lesi-lesi dan penyembuhannya atau progresifnya terutama ditentukan oleh: 1. Jumlah kuman yang masuk dan perkembangbiakan selanjutnya. 2. Resistensi dan hipersensivitas dari hospes. Saat masuk ke tubuh manusia kuman mycobacterium tuberculosis akan membentuk dua tipe lesi utama: 1. Tipe eksudatif, ini terdiri dari reaksi peradangan akut, lekosit polimorfonuklir dan kemudian, monosit sekitar basil tuberkel. Tipe ini terlihat pada jaringan paru-paru, dimana lesi ini mirip dengan pnemonia bakterie, tipe ini dapat sembuh dengan resolusi sehingga seluruh eksudat di absorpsi sehingga mengakibatkan nekrosis massif dari jaringan atau dapat berkembang menjadi tipe produktif, selama fase ini tes tuberculin positif. 2. Tipe produktif, bila berkembang maksimal lesi ini akan menjadi suatu granuloma menahun yang terdiri dari 3 daerah: Daerah sentral yang luas, yang mempunyai sel sel inti banyak yang mengandung basil tuberkel. Daerah tengah terdiri dari sel-sel epiteloid pucat. Daerah perifer yang terdiri dari fibroblas, limfosit dan monosit kemudian terbentuk jaringan fibrosa perifer dan daerah sentral mengalami nekrosis dan membentuk kaverne, selanjutnya lesi ini sembuh dengan fibrosis atau kalsifikasi. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional, basil dapat menyebar lebih lanjut dan mencapai aliran darah yang selanjutnya menyebar ke seluruh organ, tetapi kuman ini mutlak hidup ditempat yang memiliki kandungan oksigen yang tinggi oleh karena itu lokasi utama penyakit ini adalah di paru.

Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan bersatu

sehingga

membentuk sel tuberkel epiteloid yang di kelilingi oleh limfosit, reaksi ini membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi seperti ini disebut dengan nekrosis kaseosa. Lesi primer paruparu dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Ini dapat dilihat pada orang sehat yang selalu menjalani pemeriksaan radiologi. Cara penularan kuman mycobacterium tuberculosis: 1. Kuman dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita TB menjadi droplet nuclei (partikel kecil yang merupakan gabungan antara sel tubuh dan sel yang sudah terinfeksi. Setiap kali penderita TB batuk akan dikeluarkan 3000 droplet yang infektif (memiliki kemampuan menginfeksi), partikel infeksi ini dapat hidup pada udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam suasana lembab kuman dapat hidup berhari-hari. 2. Kuman yang terhirup dapat menghindari pertahanan mekanik saluran napas bagian atas dan akan menuju alveoli dimana infeksi awal terjadi, kuman ini akan membentuk sarang primer dan di ikuti pembesaran kelenjar getah bening yang disebut komplek primer. 3. Komplek primer selanjutnya mengalami perjalanan penyakit tergantung virulensi, jumlah kuman, dan ketahanan tubuh penderita. Ini dapat sembuh sama sekali tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit jaringan paru atau berkomplikasi dan menyebar baik secara hematogen atau limfatogen. Tidak semua orang yang menghirup kuman TBC akan tertular penyakit tersebut. Pada orang yang sehat, biasanya kuman tersebut menjadi tidak aktif dan orang itu tetap sehat tetapi kuman tersebut akan jadi aktif bila: Kekurangan gizi Kondisi fisik yang lemah Terkena penyakit tertentu sepeti HIVdan Diabetes melitus

Pecandu obat-obat terlarang Menggunakan hormon steroid Perokok berat Kuman-kuman akan mulai berkembang-biak dan menimbulkan penyakit TBC.

Timbulnya penyakit bisa langsung terjadi setelah terinfeksi atau butuh waktu tahunan untuk berkembang.

Gambar1. Penyebaran bakteri tuberkulosis

Gambar2. Mycobacterium tuberculosis

MANIFESTASI KLINIS Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian. Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan: 1. Gejala Respiratorik Batuk lebih dari 3 minggu Dahak (sputum) Batuk darah Sesak nafas Nyeri dada Wheezing

2.

Gejala Sistemik Demam dan menggigil Penurunan berat badan Rasa lelah dan lemah (Malaise) Berkeringat banyak terutama di malam hari Tidak ada nafsu makan (Anoreksia) Sakit-sakit pada otot (Mialgia)

KLASIFIKASI TUBERKULOSIS PARU Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu : 1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru 2) Bakteriologi ; hasil pemeriksaan mikroskopis : BTA positif dan BTA negatif

3) Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat 4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah 1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai 2. Registrasi kasus secara benar 3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif 4. Analisis kohort hasil pengobatan Beberapa istilah dalam definisi kasus: 1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter. 2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk: 1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga 2. Mencegah timbulnya resistensi, 3. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga 4. Meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective) 5. Mengurangi efek samping.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum a. Tuberkulosis paru BTA ( + ) adalah : i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif ii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan hasil BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan ganbaran tuberculosis aktif iii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b. Tuberkulosis paru BTA (-) i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan Myccobacterium tuberculosis positif

c.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan minimal 1 bulan dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif atau BTA negatif. 4) Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

TB paru juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) TB Paru BTA (+) yaitu: Dengan atau tanpa gejala. Gambaran radiology sesuai dengan TB paru.

2) TB paru BTA (-) Gejala klinik dan gambaran radiologi sesuai dengan TB paru. BTA (-).

3) Bekas TB paru BTA (-). Gejala klinik tidak ada, ada gejala sisa akibat kelainan paru yang di tinggalkan. Radiolgi menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, terlebih gambaran serial menunjukan foto yang sama Riwayat pengobatan TB (+)

Sedangkan WHO membagi penderita TB atas 4 kategori: 1. Kategori I: kasus baru dengan dahak (+) dan penderita dengan keadaan berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, spondilitis dengan gangguan neurologik dan lain-lain. 2. 3. Kategori II: kasus kambuh atau gagal dengan dahak yang tetap (+).

Kategori III: kasus dengan dahak (-), tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus TB diluar paru selain kategori I.

4.

Kategori IV: tuberkulosis kronik.

KRITERIA DIAGNOSIS Diagnosis penyakit tuberculosis didasarkan pada: 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda: a. b. c. d. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronkhi basah). Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Secret di saluran nafas dan ronkhi. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronchus.

2. Laboratorium a. Kultur sputum.

b. Mantoux Test/Tuberkulin Test. c. Biopsi jarum pada jaringan paru.

3. Radiologis Foto Thoraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB yaitu:

a. b. c. d. e. f. g.

Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah. Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular). Adanya kavitas, tunggal, atau ganda. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru. Adanya kalsifikasi. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian. Bayangan milier.

Gambar3: Uji Tuberkulin PENATALAKSANAAN MEDIS Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Prinsip pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) Obat yang dipakai: 1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH Rifampisin Pirazinamid Streptomisin Etambutol

2.

Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) Kanamisin Amikasin Kuinolon Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain : o Kapreomisin o Sikloserino o PAS (dulu tersedia) o Derivat rifampisin dan INH o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Kemasan - Obat tunggal, Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. - Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet Dosis OAT Obat Dosis (Mg/Kg BB/Hari) Harian Intermitten (mg/ (mg/Kg/BB/kali) kgBB / hari) 10 5 25 15 15 10 10 35 30 15 1000 600 300 Dosis yg dianjurkan DosisMaks (mg) Dosis (mg) / berat badan (kg) < 40 4060 >60

R H Z E S

8-12 4-6 20-30 15-20 15-18

300 150 750 750 Sesuai BB

450 300

600 450

1000 1500 1000 1500 750 1000

Tabel 2. Jenis dan dosis OAT

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain: 1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal 2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja 3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar 4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit 5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap Fase intensif 2 bulan BB Harian RHZE Harian RHZ 3x/minggu RHZ Harian RH Fase lanjutan 4 bulan 3x/minggu RH 150/150 2 3 4 5

150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 30-37 38-54 55-70 >71 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 2 RHZE/ 6HE atau 2 RHZE / 4R3H3 Paduan ini dianjurkan untuk a. TB paru BTA (+), kasus baru b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru) Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 6 RHE atau 2 RHZE/ 4R3H3

TB paru kasus kambuh Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. TB Paru kasus gagal pengobatan Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru

TB Paru kasus putus berobat Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut : a. Berobat > 4 bulan 1) BTA saat ini negatif Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

2) BTA saat ini positif Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama b. Berobat < 4 bulan 1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama 2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT.

TB Paru kasus kronik - Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan. - Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup - Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan - Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru

Tabel 4. Ringkasan paduan obat Kategori Kasus I - TB paru BTA +, Paduan obat yang diajurkan 2 RHZE / 4 RH atau Keterangan

BTA - , lesi 2 RHZE / 6 HE luas *2RHZE / 4R3H3 II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil Bila uji resistensi atau 2RHZES / streptomisin Gagal 1RHZE / 5 RHE alergi, dapat pengobatan diganti -3-6 kanamisin, ofloksasin, kanamisin etionamid, sikloserin / 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE - TB paru putus Sesuai lama pengobatan berobat sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis,

II

bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau *2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3 III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau neg. lesi minimal 6 RHE atau *2RHZE /4 R3H3 IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan) Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup

IV

- MDR TB

Catatan : * Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB EFEK SAMPING OAT Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. 1. Isoniazid (INH)

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. 2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah : - Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang - Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare - Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus - Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang - Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir. 3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4.

Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.

5.

Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila

reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin. Tabel 5. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya

Efek samping

Kemungkina n Penyebab

Tatalaksana

Minor

OAT diteruskan

Tidak nafsu makan, mual, sakit perut

Rifampisin

Obat diminum malam sebelum tidur Beri aspirin /allopurinol Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mg perhari Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa Hentikan obat

Nyeri sendi

Pyrazinamid

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki

INH

Warna kemerahan pada air seni

Rifampisin

Mayor

Gatal dan kemerahan pada kulit

Semua jenis OAT

Beri antihistamin dan dievaluasi ketat

Tuli

Streptomisin

Streptomisin dihentikan Streptomisin dihentikan Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotekt or Hentikan semua OAT dan lakukan uji fungsi hati Hentikan etambutol Hentikan rifampisin

Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus) Ikterik / Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain disingkirkan)

Streptomisin

Sebagian besar OAT

Muntah dan confusion (suspected drug-induced pre-icteric hepatitis)

Sebagian besar OAT

Gangguan penglihatan

Etambutol

Kelainan sistemik, termasuk syok dan purpura

Rifampisin

PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan. 1. Pasien rawat jalan a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya) b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain. 2. Pasien rawat inap Indikasi rawat inap :

TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb : - Batuk darah masif - Keadaan umum buruk - Pneumotoraks - Empiema - Efusi pleura masif / bilateral - Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura) TB di luar paru yang mengancam jiwa : - TB paru milier - Meningitis TB Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat TERAPI PEMBEDAHAN lndikasi operasi 1. Indikasi mutlak a. b. c. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif

2. lndikasi relatif a. b. c. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan) Bronkoskopi Punksi pleura Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) EVALUASI PENGOBATAN Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat. Evaluasi klinik - Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan

- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit - Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan) Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik - Sebelum pengobatan dimulai - Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) - Pada akhir pengobatan Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: Sebelum pengobatan - Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) - Pada akhir pengobatan Evaluasi efek samping secara klinik . Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap . Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan . Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid . Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan) . Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan) . Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman Evalusi keteraturan berobat - Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga

dan lingkungannya. - Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. Kriteria Sembuh - BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat - Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan - Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

Pemantauan Hasil Kemajuan Pengobatan TB Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

b. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya

Pengobatan Lengkap

Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

Pindah Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

Default (Putus berobat) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS a. Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.

b. Ibu menyusui dan bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. c. Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mg).

d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).

e. Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik

Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

g. Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal.Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.

h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.

i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: Meningitis TB TB milier dengan atau tanpa meningitis TB dengan Pleuritis eksudativa TB dengan Perikarditis konstriktiva.

Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.

j. Indikasi operasi Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah: 1) Untuk TB paru: Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.

2) Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.

EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit: Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk

Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan menggunakan

obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat. PROGNOSIS 1. 2. Jika berobat teratur sembuh total (95%). Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 % yang mungkin relaps.

KOMPLIKASI Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu : 1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas. 2. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.

3.

Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.(3)

4.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Thoracic Society. Diagnostic Standard and Classification of Tuberculosis in Adults and Children. 2000. USA. 2. Bahar, A. Tuberkulosis Paru dalam Soeparman, WS. Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Balai Penerbit FKUI, 2003: Jakarta. 3. Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2007: Jakarta. 4. E, Jewetz, Mikrobiology Untuk Profesi Kesehatan edisi 16, Fransisico (terjemahan), EGC, 2004: Jakarta. 5. Wilson, Price, Patofisiologi,Konsep-konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ed,4. EGC, 2004: Jakarta. 6. World Health Organization. Treatment of Tuberculosis Guideline. 2010 : Geneva, Switzerland 7. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. 2011 : Geneva, Switzerland

Вам также может понравиться