Вы находитесь на странице: 1из 7

Kelas Profesional 3

Kelompok 9 : 1. Megawati

13/358933/EE/06620

2. Noor Riefma H

13/358818/EE/06533

3. Praja Hadi S

13/MPA-XXVIIIC/68

KASUS MANAJEMEN LABA PT INDOFARMA TBK


Kasus
Kasus ini bermula dari penelaahan Bapepam mengenai dugaan adanya pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal terutama berkaitan dengan penyajian
laporan keuangan yang dilakukan oleh PT Indofarma Tbk.
Kasus Indofarma ini bermula saat perusahaan yang memproduksi 80% (delapan puluh
persen) obat generik itu mengalami kerugian sebesar Rp. 20,097 (dua puluh koma sembilan
puluh tujuh) miliar pada akhir tahun 2002. Padahal hingga kuartal III tahun yang sama, laba
bersih Indofarma mencapai Rp. 88,57 (delapan puluh delapan koma lima puluh tujuh) miliar.
Kerugian ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kekeliruan yang dilakukan oleh manajemen
pada tahun-tahun sebelumnya yang pada akhirnya berdampak pada tahun-tahun berikutnya.
PT Indofarma Tbk mencatat rugi bersih sebesar Rp 59,825 miliar untuk tahun buku 2002,
atau turun signifikan dari laba bersih Rp 122,542 miliar yang dibukukan pada 2001. Kerugian
tersebut jauh melebihi perkiraan rugi sebelumnya sebesar Rp 20,097 miliar. Dalam laporan
keuangan 2002 Indofarma hasil audit yang diumumkan di media masa, Kamis (12/6), diketahui
rugi bersih tersebut disebabkan tingginya beban pokok penjualan, beban usaha, dan beban
pinjaman perseroan. Selama 2002, penjualan bersih perusahaan farmasi milik pemerintah itu
meningkat menjadi Rp 687,983 miliar dari Rp 615,425 miliar pada 2001.
Namun beban pokok penjualan selama 2002 mencapai Rp 564,821 miliar naik
hampir dua kali dari Rp 311,632 miliar pada 2001. Hal itu menyebabkan laba kotor perseroan
hanya tercatat sebesar Rp 123,161 miliar pada 2002 atau turun dibandingkan Rp 303,792 miliar
pada tahun sebelumnya. Indofarma juga membukukan rugi usaha sebesar Rp 52,257 miliar,
merosot dari laba usaha 2001 sebesar Rp 172,333 miliar. Perseroan juga menanggung beban

pinjaman sebesar Rp 32,255 miliar, sehingga beban lain-lain tercatat sebesar Rp 19,575 miliar
walaupun hasil investasi dan keuntungan kurs selama 2002 cukup tinggi. Hal itu menyebabkan
rugi sebelum pajak tercatat sebesar Rp 71,833 miliar pada 2002, turun signifikan dari laba
sebelum pajak 2001 sebesar Rp 175,864 miliar. Rugi bersih yang dibukukan Indofarma per 31
Desember 2002, juga menyebabkan rugi per saham menjadi Rp 19 atau turun dari laba per saham
Rp 42 pada 2001.
Nilai Barang Dalam Proses (Work in Process) dinilai lebih tinggi dari nilai yang
seharusnya (overstated) dalam penyajian nilai persediaan barang dalam proses pada tahun buku
2001 sebesar Rp.28,87 (dua puluh delapan koma delapan puluh tujuh) milyar. Akibat overstated
persediaan sebesar Rp.28,87 (dua puluh delapan koma delapan puluh tujuh) milyar tersebut,
maka Harga Pokok Penjualan akan understated sebesar Rp.28,87 (dua puluh delapan koma
delapan puluh tujuh) milyar dan laba bersih juga akan mengalami overstated dengan nilai yang
sama pula.
Sebelumnya Direktur Utama Indofarma, Eddy Pramono, pernah mengatakan, kesalahan
pencatatan terjadi karena selama ini perseroan menggunakan

standar costing yang berlaku

sepanjang tahun untuk perhitungan Harga Pokok Produk (HPP). Sedangkan penerapan system
inventory perpetual hanya melalui stock opname atau inventory pada akhir tahun saja. Kondisi
tersebut membuat selisih antara hasil stock opname dengan buku pada akhir tahun akan
menambah harga pokok penjualan pada triwulan IV.
Menurut Eddy, kesalahan pencatatan itu tidak termasuk dalam pencatatan penjualan.
Pada triwulan I 2002, lanjutnya, penjualan Indofarma tercatat sebesar Rp 119,07 miliar,
sementara laba bersih yang sudah diumumkan sebesar Rp 15,92 miliar, padahal seharusnya Rp
6,61 miliar. Demikian pula dengan laba usaha yang diumumkan sebesar Rp 26,72 miliar
seharusnya Rp 12,78 miliar.
Untuk triwulan II 2002, penjualan tercatat sebesar Rp 267,73 miliar dengan
laba bersih Rp 45,31 miliar. Padahal seharusnya perseroan mengalami rugi bersih Rp 12,62
miliar. Sementara laba usaha yang dicatatkan sebesar Rp 69,03 miliar, seharusnya menjadi rugi
usaha sebesar Rp 9,20 miliar.
Sedangkan pada triwulan III 2002, penjualan sebesar Rp 444,08 miliar dengan
laba bersih Rp 88,57 miliar. Padahal seharusnya mengalami rugi bersih Rp 1,41 miliar dengan
laba usaha sebesar Rp 134,32 miliar seharusnya hanya Rp 17,10 miliar.

Akibat kesalahan pencatatan tersebut, menurut Eddy, kinerja Indofarma pada akhir 2002,
mengalami kerugian Rp 20,097 miliar dengan penjualan sebesar Rp 700,455 miliar dan laba
usaha sebesar Rp 3,770 miliar.
Faktor penyebab kerugian itu menurut manajemen Indofarma:
1. Adanya perubahan regulasi pemerintah,yaitu:
a. Sejak dihapuskannya subsidi pengadaan obat generik yang diberlakukan secara efektif
sejak tahun 2001
b. Penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah yang mengharuskan tender pengadaan obat
generic dilakukan secara desentralisasi di tingkat Kabupaten dan Kota atau hilangnya
captive market.
2. Persaingan yang semakin ketat antar produsen obat dan mengarah pada terjadinya peran harga
dengan memberikan diskon yang pada akhirnya mengakibatkan beban pokok penjualan
meningkat.
3. Komposisi portofolio produk yang sangat bergantung pada obat generik yang saat ini
mencapai lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari total penjualan dan penjualan obat
generik ini menurun sejalan adanya pe-rubahan regulasi pemerintah ditambah dengan kondisi
pasar yang over supply selama tahun 2003.
4. Pengembangan 40 (empat puluh) jenis obat-obat ethical yang berharga murah dengan merek
(low-price branded generic) sampai sekarang belum membuahkan hasil yang maksimal.
5. Inefisiensi produksi yang disebabkan oleh kapasitas menganggur (idle cpacity) dari fasilitas
produksi.
6. Adanya peningkatan persediaan (obat jadi, bahan baku, alat-alat kesehatan dan Iain-lain) tapi
tidak melalui perencanaan yang baik dan juga tidak didukung oleh kebutuhan atau daya serap
pasar khususnya alat-alat kesehatan.
Analisis Kasus & Bukti Bapepam
Awal mula dari kasus ini karena selama 2 (dua) tahun berturut-turut Indofarma mengalami
kerugian yaitu pada tahun 2002 dan 2003. Padahal tahun 2001 perusahaan farmasi tersebut
meraih laba yang cukup besar. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Bapepam ternyata telah
adanya kesalahan dalam penyajian informasi di dalam Laporan Keuangan 2001. Kejadian ini

merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasar Modal (UUPM dan peraturan
Bapepam) dan Pedoman Standar Akuntan Publik (PSAK).
Neraca adalah laporan yang berisi harta, utang dan modal perusahaan pada suatu saat tertentu.
Harta yang disajikan dalam neraca disusun berdasarkan likuiditas yaitu tingkat kecepatan
harta tersebut menjadi uang, dalam kegiatan perusahaan. Sedangkan utang disusun atas jangka
waktu pembayaran dan modal disusun berdasarkan tingkat kekekalan/lamanya bertahan dalam
perusahaan.
Catatan atas laporan keuangan disajikan secara sistematis, setiap pos dalam laporan realisasi
anggaran, neraca, dan laporan arus kas harus mempunyai referensi silang dengan informasi
terkait dalam catatan atas laporan keuangan. Catatan atas laporan keuangan meliputi
penjelasan atau daftar terinci ata analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam laporan
realisasi anggaran, neraca, dan laporan arus kas. Termasuk pula dalam catatan atas laporan
keuangan adalah penyajian informasi yang diharuskan dan dianjurkan oleh standar akuntansi
pemerintah serta pengungkapan-pengungkapan lainnya yang diperlukan untuk penyajian yang
wajar atas laporan keuangan, seperti kewajiban kontinjensi dan komitmen-komitmen lainnya.
Dalam pembuatan laporan keuangan ini juga ada pasal-pasal yang mengaturnya yaitu yang
diatur didalam PSAK, dimana bila melanggarnya maka dikenai sanksi sesuai dengan yang
telah ditetapkan.
Dalam hal ini terkait dengan adanya kesalahan penilaian terhadap barang-barang di dalam
kategori Work in Process. Barang-barang tersebut dinilai lebih tinggi dari nilai yang
seharusnya pada proses buku tahun 2001. Dengan demikian berakibat meningkatnya laba
bersih. Kesalahan penyajian tersebut merupakan fakta materiil yang dapat mempengaruhi
keberadaan Laporan Keuangan yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga efek di bursa.
Bahwa di dalam ketentuan Pasar Modal yaitu yang terdapat dalam Pasal 69 ayat (l) UUPM:
"Laporan Keuangan yang disampaikan kepada Bapepam wajib disusun berdasarkan prinsip
akuntansi yang berlaku umum."
PSAK Nomor 1 Paragraf 10 dinyatakan bahwa Laporan kauangan harus menyajikan secara
wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, perubahan ekuitas, dan arus kas perusahaan
dengan menerapkan PSAK secara benar disertai pengungkapan yang diharuskan PSAK
dalam Catatan Atas Laporan Keuangan

Dalam PSAK Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan khususnya
berkaitan dengan materialitas, paragraf 30 dinyatakan bahwa .informasi dipandang
material kalau kelalaian mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat informasi tersebut
dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai yang diambil atas dasar laporan
keuangan.
Dengan adanya penyampaian informasi materiil yang tidak benar atau tidak diungkapkan
merupakan suatu pelanggaran terhadap Pasal 90 huruf c UUPM. Bahwa kejadian ini
sebelumnya tidak diungkapkan kepada publik maka pihak-pihak yang mengetahui dapat
dikenakan sanksi yang terdapat pada Pasal 107 UUPM karena ada sesuatu yang
disembunyikan tapi tidak diungkapkan.
Atas kejadian ini berdasarkan peraturan Bapepam Nomor VIII.G7 tentang Pedoman Penyajian
Laporan Keuangan yang bertanggung jawab dalam penyajian Laporan Keuangan adalah
manajemen dari Emiten atau Perusahaan Publik (Direksi). Oleh karenanya tindakan ini
sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari Direksi yang menjabat pada saat Laporan
Keuangan tersebut dikeluarkan. Sanksi yang diberikan oleh Bapepam merupakan kewajiban
dari Direksi yang menjabat pada waktu itu secara bersama-sama (tanggung renteng). Tidak
jelas apa yang menjadi latar belakang dari Bapepam hanya memberikan sanksi administrative
berupa membayar denda pada kasus ini. Dalam press releasenya Bapepam hanya
menyebutkan bahwa telah terjadi penilaian barang yang lebih tinggi dari harga seharusnya.
Dengan demikian tidak diketahui apakah tindakan tersebut merupakan suatu kesengajaan atau
tidak dari manajemen untuk memberikan Laporan Keuangan dengan kinerja yang bagus
kepada publik.
Adapun cara pemecahan masalahya:
1. Segera membenahi atau menyusun system pengendalian internal dan system akuntansi
perusahaab yang memadai untuk menghindari timbulnya permasalahan yang sama
dikemudian hari. Pembenahan dan atau penyusunan system pengendalian internal dan system
akuntansi perusahaan yang memadai tersebut sudah harus diselesaikan selambat-lambatnya
pada akhir semester 1 tahun baku 2005.
2. Penyusunan system pengendalian internal dan system akuntansi perusahaan untuk
menyampaikan laporan perkembangan atas pembenahan dan atau penyusunan system

pengendalian internal dan atau system akuntansi perusahaan tersebut secara berkala setiap
akhir bulan kepada Bapepam.
3. Menunjuk akuntan public yang terdaftar di Bapepam untuk melakukan audit khusus untuk
melakukan penilaian atas system pengendalian internal dan system akuntansi tersebut apabila
perusahaan telah selesai melakukan pembenahan dan atau penyusunan system pengendalian
internal dan system akuntansi perusahaan dan hasil auit khusus tersebut wajib disampaikan ke
Bapepam sehingga Bapepam dapat menemukan titik terang kasus PT. Indofarma.
Kesimpulan:
Menilai baik atau buruknya manajemen laba tergantung pada teknik yang digunakan dalam
melakukan manajemen laba serta motivasi dan tujuan dilakukannya manajemen laba tersebut.
Informasi dikatakan andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material,
dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang jujur dan apa adanya. Informasi
yang relevan tetapi tidak dapat diandalkan berpotensi menyesatkan para pengguna informasi
tersebut. Agar dapat diandalkan, informasi harus menggambarkan dengan jujur transaksi serta
peristiwa lainnya yang seharusnya. Selain itu, informasi harus diarahkan pada kepentingan
umum pemakai, dan tidak bergantung pada kepentingan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha
untuk menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak dan merugikan pihak lain
yang mempunyai kepentingan berlawanan.
Praktik-praktik manajemen laba dapat memengaruhi relevansi penyajian laporan keuangan
sehingga laporan keuangan tidak membantu bahkan dapat menyesatkan para pemakainya
dalam mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan karena penyusun laporan
keuangan, dalam hal ini manajer, tidak menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa
lainnya.
Manajemen laba membuat laporan keuangan tidak dapat diandalkan, menyesatkan,
mengandung kesalahan material, dan bukan merupakan penyajian yang jujur dan apa adanya.
Selain itu, informasi yang disajikan pada laporan keuangan diarahkan pada kepentingan pihak
tertentu yang menguntungkan beberapa pihak dan dapat merugikan pihak lain yang
mempunyai kepentingan berlawanan.
Dalam menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu, penyusun laporan
keuangan yang melakukan manajemen laba tidak menggunakan pertimbangan sehatnya dalam

penyusunan laporan keuangan, tidak mengutamakan unsur kehati-hatian dalam melakukan


pekiraan dalam kondisi ketidakpastian, melainkan bertindak berdasarkan pertimbangan
kepentingannya, sehingga aset atau penghasilan dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban atau
beban tidak dinyatakan rendah, atau sebaliknya.
Referensi:
1. http://dspace.library.uph.edu:8080/
2. http://www.slideshare.net/
3. www.bapepam.go.id/old/old/news/.../indo_farma.pdf
4. PSAK 1,2,3, dan 6

Вам также может понравиться