(Andi Batari) I. PENDAHULUAN Gastritis merupakan inflamasi atau infeksi pada mukosa lambung yang dapat disebabkan oleh ketidakteraturan diet, infeksi bakteri atau virus, reaksi dari kafein, alkohol atau obat-obatan. 1
Gastritis dapat dibedakan menjadi gastritis akut dan gatritis kronik. Kebanyakan anak-anak dengan gastritis kronik mengalami inflamasi sekunder atau ulkus mukosa. Dewasa ini, infeksi Helicobacter pylori diketahui menjadi penyebab tersering dari gastritis kronik (gastritis antrum) atau ulkus duodenum. H. Pylori dapat menyebabkan gastritis pada anak yang terinfeksi dengan manifestasi klinis yang tidak spesifik. 2 Di negara berkembang, prevalensi infeksi H.pylori pada anak-anak berusia di bawah 10 tahun besarnya sekitar 80% sedangkan di negara maju sekitar 10%. 3
II. DEFINISI Gastritis merupakan proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung, yang secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrat sel-sel radang pada daerah tersebut. 4,5 Gastritis dapat dibedakan menjadi gastritis akut dan gatritis kronik. Gastritis akut adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan erosi pada bagian superficial. Gastritis kronik adalah suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat menahun, yang diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu gastritis infeksius, dan gastritis non-infeksius. 5
III. EPIDEMIOLOGI Suatu penelitian di Kanada menunjukkan data kasus gastritis pada anak tercatat 1 dari 2500 pasien anak yang masuk ke rumah 2
sakit. 6 Pada penelitian yang dilakukan pada rumah sakit San Jose ditemukan bahwa H. pylori merupakan penyebab tersering gastritis kronik pada anak. Prevalensi infeksi H. pylori di kalangan anak-anak tercatat 60-90% bergantung status sosial ekonomi dan kesehatan. 4
Di negara berkembang, prevalensi infeksi H.pylori pada anak- anak berusia dibawah 10 tahun besarnya sekitar 80%, sedangkan di negara maju prevalensi infeksi H.pylori pada anak-anak prasekolah dan sekolah dasar besarnya sekitar 10%. 3,7 Di Jakarta, prevalensi infeksi H. pylori berdasarkan pemeriksaan serologi pada 150 murid Sekolah Dasar didapatkan angka sebesar 27% dan 90% dari mereka yang mempunyai seropositif ditemukan H. pylori pada lambungnya. 2 Faktor risiko infeksi H. Pylori di antaranya lahir di negara berkembang, status ekonomi lemah, lingkungan yang padat dan sanitasinya kurang bersih, hidup dalam keluarga besar, serta mereka yang sering terpajan dengan isi lambung orang yang terinfeksi H. Pylori (misalnya perawat, ahli endoskopi). Terdapat 3 kemungkinan cara penularan penyakit ini, yaitu transmisi feka-oral, oral-oral, dan kemungkinan terakhir adalah iatrogenik. 7,8
IV. ETIOLOGI Gastritis Akut Banyak faktor yang menyebabkan gastritis akut, seperti merokok, jenis obat (seperti Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid/OAINS), bakteri (seperti H. pylori (paling sering), H. heilmanii, Streptococci, Staphylococci, Protecus species, Clostridium species, E.coli, Tuberculosis, dan secondary syphilis), virus (Sitomegalovirus dan herpes), jamur (seperti Candidiasis, Histoplasmosis, dan Phycomycosis), stres akut, radiasi, alergi atau intoksitasi dari bahan makanan dan minuman, garam empedu, iskemia dan trauma langsung. 1,5
3
Gastritis kronik Penyebab pasti dari penyakit gastritsi kronik belum diketahui, tetapi ada dua predisposisi penting yang bisa meningkatkan kejadian gastritis kronik, yaitu: infeksi dan non infeksi. 5 1) Gastritis infeksi a) H. pylori. Beberapa peneliti menyebutkan bakteri ini merupakan penyebab utama dari gastritis kronik. 4,5,7
Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif berbentuk batang atau kokoid (beberapa kepustakaan menyebutnya spiral atau seperti huruf S), mempunyai flagel yang memungkinkan bakteri ini memiliki daya motilitas tinggi, dan bersifat mikroaerofilik. Tempat yang sesuai di dalam tubuh manusia adalah antrum.H.pylori dapat berkonversi dari bentuk batang ke bentuk kokoid. Secara biokimiawi, H.pylori memproduksi enzim urease. Enzim ini mengkatalisis proses hidrolisis urea yang terdapat pada mukosa lambung menjadi amonia dan CO2. Amonia diduga berperan sebagai mekanisme pertahanan hidup H.pylori dalam lingkungan asam. 3,7
Gambar 1. Bakteri Helicobacter pylori b) Helycobacter heilmannii, Mycobacteriosis, dan Syphilis c) Infeksi parasit. d) Infeksi virus (sitomegalovirus dan herpes). 2) Gastritis non-infeksi 5
a) Gastropati akibat kimia, dihubungkan dengan kondisi refluk garam empedu kronis dan kontak dengan OAINS atau Aspirin. 4
b) Gastropati uremik, terjadi pada gagal ginjal kronis yang menyebabkan ureum terlalu banyak beredar pada mukosa lambung dan gastritis sekunder dari terapi obat-obatan. c) Gastritis granuloma non-infeksi kronis yang berhubungan dengan berbagai penyakit, meliputi penyakit Crohn, Sarkoidosis, Wegener granulomatus, penggunaan kokain, Isolated granulomatous gastritis, penyakit granulomatus kronik pada masa anak-anak, Eosinophilic granuloma, Allergic granulomatosis dan vasculitis, Plasma cell granulomas, Rheumatoid nodules, Tumor amyloidosis, dan granulomas yang berhubungan dengan kanker lambung. d) Gastritis limfositik, sering disebut dengan collagenous gastritis dan injuri radiasi pada lambung
V. PATOGENESIS Mukosa barier lambung umumnya melindungi lambung dari pencernaan terhadap lambung itu sendiri, yang disebut proses autodigesti acid, prostaglandin yang memberikan perlindungan ini. Ketika mukosa barier ini rusak maka timbul gastritis. Setelah barier ini rusak terjadilah perlukaan mukosa dan diperburuk oleh histamin dan stimulasi saraf colinergic. Kemudian HCL dapat berdifusi balik kedalam mucus dan menyebabkan luka pada pembuluh yang kecil, yang mengakibatkan tercadinya bengkak, perdarahan, dan erosi pada lambung. 6
Mukosa gaster sebenarnya sangat terlindungi dari infeksi bakteri. Tetapi kumah H. pylori sangat pandai melakukan adaptasi terhadap hal ini, dengan caranya yang unik dapat masuk ke dalam lapisan mukus, kemudian melakukan perlekatan dengan sel epitel, evasi respon imun dan akhirnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten. 3
5
Setelah masuk gaster, bakteri ini harus melawan aktivitas asam untuk masuk ke lapisan mukus. Langkah awal penting pada proses infeksi ini adalah motilitas bakteri dan produksi ensim urease yang dapat mengkatalisis proses hodrolisis urea yang terdapat pada mukosa lambung menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia ini berperan sebagai mekanisme pertahanan hidup H. pylori dalam lingkungan asam. 3,7
Gambar 2. Proses masuknya H. pylori ke lapisan mukus lambung H. pylori dapat terikat erat pada sel epitel dengan adanya beberapa komponen yang berada pada permukaan bakteri. Setelah melekat, sebagian besar strain H. pylori dapat memproduksi vacuolating cytotoxin (VacA, suatu eksotoksin). Toksin ini masuk ke dalam membran sel epitel dan menyebabkan keluarnya bikarbonat dan anion organik yang diperlukan untuk nutrisi bakteri. Selain itu, VacA ini juga mempunyai target pada membran mitokondria yang menyebabkan terjadinya apoptosis. 7 Sebagian besar strain H. pylori mempunyai cag pathogenicity island (cag-PAI), suatu urutan DNA sepanjang 40 kB yang di dalamnya mengandung 40 gen, salah satu di antaranya adalah cytotoxin-associated gen A (cagA). 9 Suatu penelitian memperlihat bahwa cagA ini terlibat pada proses induksi kemokin pro-inflamasi yang dilepaskan oleh sel. Setelah melekat pada sel epitel, cagA ini terfosforilasi dan menyebabkan terjadinya respon seluler dan produksi sitokin oleh sel epitel gaster. H. pylori menyebabkan continous gastric 6
inflammation pada setiap individu yang terinfeksi. Respon inflamatori ini terdiri dari rekrutmen netrofil yang kemudian diikiuti oleh sel limfosit B dan T, sel plasma, makrofag, dan kemudian terjadi rusaknya sel epitel. Sel epitel gaster yang terinfeksi oleh H. pylori terdapat peningkatan sitokin interleukin-1B, interleukin-2, interleukin-6, interleukin-8, dan tumor necrosis factor. Interleukin-8 merupakan kemokin yang poten untuk aktivasi neutrofil. Infeksi H. pylori ini dapat menyebabkan pula terjadinya respon humoral sistemik dan mukosa. Produksi antibodi ini tidak mengakibatkan eradikasi bakteri tetapi menyebabkan kerusakan jaringan. Sebagian penderita dengan H. pylori mempunyai autoantibodi terhadap H + /K + -ATP-ase sehingga menyebabkan atrofi corpus gaster. Pada saat terjadi inflamasi ini apabila respon Th1 yang lebih dominan akan menyebabkan peningkatan produksi interleukin-8, dan ditambah dengan apoptosi akan mengakibatkan infeksi persisten H. pylori. 7,10
Gambar 3. Patogenesis infeksi H. pylori
VI. MANIFESTASI KLINIS Anak-anak yang menderita gastritis dapat menunjukkan gejala seperti mual, muntah, nyeri dan kram perut, nafsu makan hilang, 7
demam, lemah, nyeri dada yang tajam dan mengganggu, rasa asam di mulut dan kembung. 1
Secara klinis, sulit membedakan gastritis yang terinfeksi H. pylori dengan yang tidak terinfeksi H. pylori. Sebagian besar kasus infeksi H. pylori pada anak bersifat asimtomatis. Berbagai manifestasi klinis akibat infeksi H. pylori pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti sakit perut berulang di daerah epigastrium, mual, dan muntah. Gejala seperti sakit perut, muntah-muntah, hematemesis dapat dikaitkan dengan infeksi H. pylori. Beberapa gejala klinis di luar saluran cerna yang pernah dilaporkan pada anak terinfeksi H. pylori adalah anemia defisiensi besi, pusing, dan alergi makanan. Infeksi H. pylori dihubungkan pula dengan gangguan tumbuh kembang anak dan kejadian limfoma (mucosa associated lymphoid tissue/MALT) di kemudian hari. 3,7
VII. PENEGAKAN DIAGNOSIS Penegakan diagnosis gastritis utamanya gastritis akibat infeksi H. pylori terdiri atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang terdiri atas pemeriksaan noninvasif dan invasif. Anamnesis Dari anamnesis dapat ditemukan gejala seperti mual, muntah, nyeri dan kram perut, nafsu makan hilang, demam, lemah, nyeri dada yang tajam dan mengganggu, rasa asam di mulut dan kembung. Sementara kecurigaan adanya infeksi H. pylori apabila dari anamnesis ditemukan adanya gejala seperti sakit perut berulang di daerah epigastrium, hematemesis serta beberapa gejala klinis di luar saluran cerna seperti anemia defisiensi besi, pusing, dan alergi makanan. 1,3
Pemeriksaan Fisik Dari penampakan klinis, pasien dengan gastritis akan terlihat pucat, lemah, keringat dingin dan apabila dalam keadaan berat, pasien dapat saja mengalami penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan tanda 8
vital dapat ditemukan takikardi, takipnea, dan peningkatan suhu tubuh. Nyeri tekan pada regio epigastrik merupakan temuan klinis khas pada pemeriksaan fisik pasien dengan gastritis. 1,3
Metode Non I nvasif Tes serologi merupakan teknik non-invasif pertama yang dipakai untuk mendeteksi anti H. pylori IgG pada serum penderita. Pemeriksaan serologi IgG H. pylori murah dan nyaman, serta memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 79%. Adanya infeksi mukosa lambung karena H. pylori menyebabkan terjadinya peningkatan kadar IgG dan IgA dalam serum dan peningkatan kadar sekretori IgA dan IgM dalam perut. Pemeriksaan ELISA merupakan metode yang mudah dilakukan dan cukup sensitif. Pemeriksaan ini baik digunakan sebagai uji saring dan studi epidemiologi. Respon IgG terhadap infeksi H.pylori dapat tetap positif sampai 6 bulan setelah eradikasi. Oleh karena itu, cara ini tidak dianjurkan sebagai pemantau hasil eradikasi. 3,7,11
Uji C-urea nafas didasarkan pada kenyataan bahwa kuman H. pylori memproduksi urease. Urease adalah enzym yang memecah urea menjadi amonia dan CO2. Pemeriksaan uji urease pernafasan menggunakan 13C & 14C labeled urea meal. Bahan tersebut ditelan oleh pasien. Urea akan dihidrolisis menjadi amonia dan bikarbonat yang terlabel. Bikarbonat yang terlabel akan dibawa ke paru dan diekskresi dalam udara napas sebagai CO2 yang dapat diukur. Uji ini bersifat semikuantitatif. Uji C-urea nafas merupakan uji diagnostik yang realibel dan merupakan pilihan pertama dan dapat digunakan sebagai evaluasi terapi. Pemeriksaan UBT untuk mengetahui keberhasilan eradikasi sebaiknya dilakukan minimal 4 minggu setelah eradikasi untuk menghindari hasil negatif palsuUji ini memilki nilai sensitivitas sebesar 95-98% dan spesifisitas 98-100%. 3,7,8,11 9
Gambar 4. Uji C-urea Nafas Stool Antigen Test (SAT) adalah pemeriksaan enzimatik (ELISA) yang dapat mengidentifikasi antigen H. pylori pada feses. SAT terdiri atas metode poliklonal dan monoklonal untuk mendeteksi infeksi juga untuk monitoring pasca terapi H. pylori. Pemeriksaan SAT untuk mengetahui keberhasilan eradikasi dilakukan minimal 4 minggu setelah eradikasi tersebut. Keuntungan pemeriksaan SAT adalah membedakan infeksi aktif H. pylori dengan paparan, pemeriksaan non-invasif, penderita lebih nyaman, lebih murah daripada metode lain, mendeteksi antigen secara langsung, dapat digunakan sebagai alat untuk monitoring sebelum dan sesudah terapi dan akurasi lebih dari 95%. 7,11 Metode I nvasif Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan untuk dikerjakan pada kasus dengan gejala saluran cerna atas yang dicurigai suatu kelainan organik dan bila ditemukan H. pylori pada pemeriksaan endoskopi, maka pasien harus segera mendapat terapi. Endoskopi merupakan tindakan penting untuk mendapatkan jaringan untuk pemeriksaan histologi, biakan, atau uji urease. Endoskopi UGI dengan biposi masih merupakan baku emas diagnosis H. pylori. 2,7
Pemeriksaan invasif untuk menemukan adanya infeksi H. pylori dapat dilakukan dengan 3 cara yakni melalui rapid urease test, pemeriksaan histopatologi dan kultur. 11
10
Gastric Biopsi Test didasarkan pada aktivitas enzim urease yang memecah reagen urea tes untuk membentuk amonia. Uji urease dapat mendeteksi infeksi H. pylori dengan cepat. Uji ini mempunyai nilai spesifisitas yang tinggi, tetapi sangat tergantung pada ketepatan pengambilan sampel jaringan. 2,7,11 Pemeriksaan histopatologi selain dapat menilai derajat inflamasi juga dapat mengenali morfologi H. pylori. Sensitifitas histologi secara umum 90-95%. Jika biopsi dilakukan pada posisi kurang lebih 2-3 cm dari kurvatura lambung akan menunjukkan hasil positif lebih dari 90%. 2,7,11 Biakan organisme merupakan cara yang terbaik untuk menegakkan diagnosis setiap infeksi bakteri termasuk H. pylori. Bakteri ini dapat dibiak dari jaringan biopsi lambung dan duodenum. Walaupun demikian, biakan masih dianggap sebagai jenis pemeriksaan yang tidak praktis. Teknik biakan sulit, karena memerlukan suasana media yang mikroaerofilik (5% oksigen dengan 5-10% CO2) dan memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini yang menjadi hambatan bila digunakan sebagai prosedur rutin. Cara ini umumnya digunakan untuk kepentingan penelitian. Biakan mempunyai dua keuntungan yaitu kegunaan utama biakan adalah menentukan jenis antibiotik yang digunakan, sedangkan kegunaan lain adalah mengisolasi bahan dengan menggunakan kultur. Pemeriksaan ini tidak diperlukan pada saat awal terapi, tetapi mungkin diperlukan bila terdapat kegagalan eradikasi sebanyak 2 kali. 2,7,11
VIII. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dari gastritis adalah sebagai berikut: 4,8 Gastroentritis, biasanya terjadi akibat infeksi virus pada usus. Gejalanya meliputi diare, kram perut, dan mual atau muntah, juga ketidaksanggupan untuk mencerna. 11
Heart burn, rasa sakit seperti terbakar yang terasa di belakang tulang dada yang biasanya terjadi setelah makan. Hal ini terjadi karena asam lambung naik dan masuk ke dalam esofagus. Heart burn juga dapat menyebabkan rasa asam pada mulut dan terasa sensasi makanan yang sebagian sudah dicerna kembali ke mulut. Ulkus peptikum, rasa perih dan panas dalam perut terjadi terus- menerus dan parah, maka hal itu kemungkinan disebabkan karena adanya luka terbuka dalam lambung. Gejala yang paling umum adalah rasa sakit yang menjadi semakin parah ketika malam hari atau lambung sedang kosong.
IX. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan awal pada gastritis akut tanpa infeksi H.pylori pada anak adalah dengan pemberian antasida, istirahat yang cukup hingga gejala membaik, minum sesering mungkin utamanya susu dan air, hindari makanan yang pedas, asam dan makanan lain yang dapat memperberat gejala. 1 Tata Laksana Infeksi H. pylori Sampai sejauh ini belum terpapar kesepakatan dari para ahli gastroenterologi tentang pengobatan infeksi H.pylori pada anak. Beberapa kelompok ahli merekomendasi pengobatan eradikasi H. pylori pada anak dengan dispepsia fungsional dengan uji tapis positif, sedangkan kelompok lain merekomendasi hanya pada anak dengan ulkus. Berbagai jenis obat yang pernah digunakan adalah bismut, ranitidin bismut sitrat, H2 antagonis, PPI, dan beberapa antibiotik. Terapi yang diberikan sebaiknya sederhana, dapat ditoleransi dengan baik, dan memiliki tingkat eradikasi lebih dari 80%. Selain untuk mencegah terjadinya resistensi, penggunaan berbagai jenis obat akan memberikan hasil yang lebih efektif, karena terdapat mekanisme sinergis dari obat-obat tersebut. Dilaporkan tingkat eradikasi yang 12
dicapai dengan menggunakan kombinasi 3 jenis obat (PPI, klaritromisin dan amoksisilin) sebesar 87-92%, sedangkan bila hanya menggunakan 2 jenis obat (PPI dan amoksisilin) sebesar 70%. Kombinasi amoksisilin, bismut, dan metronidazol juga memberikan tingkat eradikasi yang tinggi, yaitu sebesar 96%.33 Oleh karena itu, kombinasi 3 jenis obat yang menggunakan PPI atau bismut direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama. Akan tetapi dalam penggunaannya , PPI lebih mudah diteloransi oleh anak dibanding dengan bismut. Bismut-salisilat tidak dianjurkan penggunaannya pada anak berumur di bawah 16 tahun karena ditakutkan terjadinya sindrom Reye. Kombinasi obat yang menggunakan PPI ternyata memperlihatkan penyembuhan ulkus yang lebih cepat. 2 North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, Nutrition (2000) mencoba merekomendasikan terapi untuk infeksi H. pylori yang digunakan selama 14 hari. 7
Regimen lini pertama, masing-masing diberikan dua kali sehari selama 10-14 hari: 7 Proton pump inhibitor (1-2 mg/kg/hari) + amoxicillin (50 mg/kg/hari) + clarithromycin (15 mg/kg/hari) Proton pump inhibitor (1-2 mg/kg/hari) + amoxicillin (50 mg/kg/hari) + metronidazole (20 mg/kg/hari) Proton pump inhibitor (1-2 mg/kg/hari) + metronidazole (20 mg/kg/hari) + clarithromycin (15 mg/kg/hari) Di negara Belanda dan Belgia digunakan kombinasi omeprazole 0.6 mg/kg dua kali sehari, amoksisilin 30 mg/kg dua kali sehari, dan klaritromisin 15 mg/kg dua kali sehari, selama 7 hari. Pedoman terapi yang dilaksanakan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM mengacu kepada terapi yang diberikan oleh kedua negara tersebut. 2 Kejadian resistensi terhadap amoksisilin rendah, sedangkan kejadian resistensi terhadap golongan makrolid (klaritromisin) dan metronidazol cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya 13
penggunaan obat-obat tersebut. Pada daerah yang memiliki angka kejadian resistensi terhadap metronidazol lebih dari 30%, dianjurkan untuk langsung memberikan amoksisilin. Data terakhir memperlihatkan penggunaan lanzoprazol sebagai PPI. Kombinasi lanzoprazol, amoksisilin/metronidazol, dan klaritromisin memberikan tingkat eradikasi yang cukup baik (87%), tetapi penggunaannya pada anak belum dilaporkan secara luas. 2 Eradikasi dikatakan berhasil apabila ditemukan gambaran histologi yang normal, atau hasil biakan jaringan biopsi dan uji urea napas negatif. Uji diagnostik yang bersifat non invasif lebih dianjurkan. Sebagai uji baku digunakan uji urea napas. Evaluasi hasil eradikasi sebaiknya tidak dilakukan sebelum 4 minggu karena dapat memberikan hasil negatif palsu. Pemeriksaan serologi yang memperlihatkan penurunan kadar antibodi sebesar 50% sebagai petanda keberhasilan eliminasi bakteri harus dilakukan pada 6 bulan setelah eradikasi. Apabila eradikasi yang diberikan tidak memberikan hasil optimal, biakan dan uji resistensi diperlukan untuk menentukan jenis antibiotik selanjutnya. 2
X. PENCEGAHAN Hanya sekitar 1% penderita yang mengalami infeksi H.pylori akan berkembang menjadi kanker lambung. Untuk itu tidak dapat dibenarkan untuk melakukan penyaringan dan pengobatan secara luas untuk individu yang menderita infeksi H.pylori. Strategi lain untuk mencegah terjadinya infeksi H.pylori adalah pemberian vaksinasi. Vaksinasi yang potensial untuk mencegah infeksi H.pylori masih dalam taraf penyelidikan. Namun belum terbukti vaksinasi dapat mencegah infeksi pada manusia. Di samping itu, mengingat kecilnya prevalensi kanker lambung pada individu yang terinfeksi dapat mengakibatkan tingginya harga vaksin. 3 14
Pencegahan lebih ditujukan untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi H.pylori. Perbaikan status sosioekonomi, gizi dan lingkungan seperti penyediaan air bersih terbukti mampu menurunkan prevalensi infeksi H.pylori pada anak. Monitoring kecenderungan kolonisasi dan penyakit gastrointerstinal bagian atas pada berbagai populasi dapat memberikan gambaran kecenderungan terjadinya infeksi H.pylori. 3
XI. KOMPLIKASI Komplikasi gastritis dibagi menjadi dua yaitu gastritis akut dan gastritis kronik. 5
a. Gastristis akut komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas berupa hematemesis dan melena, dapat berakhir syok hemoragik. b. Gastritis kronik komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, perforasi dan anemia. Komplikasi dari infeksi H.pylori adalah gastritis nodular, ulkus peptikum, kanker lambung, dan limfoma MALT. 8
Gambar 5. Komplikasi gastritis dengan infeksi H. pylori
15
XII. PROGNOSIS Kebanyakan penderita gastritis dapat sembuh. Tergantung dari banyaknya faktor yang mempengaruhi, gejala gastritis dapat kambuh sewaktu-waktu. Pada umumnya, gastritis dengan gejala minimal dapat berespon baik denga terapi yang diberikan. 12 Pada beberapa kasus, gastritis dapat menjadi kasus yang serius bahkan dapat menjadi kasus darurat yang mengancam jiwa. Adanya gejala yang berkelanjutan dan perdarahan terus-menerus dapat menjadi tanda bagi praktisi kesehatan untuk mencari penyebab dasar dari kasus tersebut. 12