Вы находитесь на странице: 1из 9

Fisiologi Limpa

Limpa adalah organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri melalui darah dan tubuh belum
atau sedikit memiliki anti bodi. Kemampuan ini akibat adanya mikrosirkulasi yang unik pada limpa. Sirkulasi ini
memungkinkan aliran yang lambat sehingga limpa punya waktu untuk memfagosit bakteri, sekalipun
opsonisasinya buruk. Antigen partikulat dibersihkan dengan cara yang mirip oleh efek filter ini Dan antigen ini
merangsang respon anti bodi lg M di centrum germinale. Sel darah merah juga dieliminasi dengan cara yang sama
saat melewati limpa.
Pada usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan sel darah putih.
Fungsi ini akan hilang pada masa dewasa. Namun limpa mempunyai peran penting dalam memproduksi sel darah
merah jika hematopoiesis dalam sumsum tulang mengalami gangguan seperti pada gangguan hematologi. Secara
umum fungsi limpa di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Fungsi Filtrasi (Fagositosis)
Lien berfungsi untuk membuang sel darah merah yang sudah tua atau sel darah merah yang rusak misalnya sel
darah merah yang mengalami gangguan morfologi seperti pada spherosit dan sicled cells, serta membuang bakteri
yang terdapat dalam sirkulasi. Setiap hari limpa akan membuang sekitar 20 ml sel darah merah yang sudah
tua.selain itu sel-sel yang sudah terikat pada Ig G pada permukaan akan di buang oleh monosit. Limpa juga akan
membuang sel darah putih yang abnormal, platelet, dan sel-sel debris.
2. Fungsi Imunologi
Limpa termasuk dalam bagian dari sistem limfiod perifer mengandung limfosit T matur dan limfosit B. Limfosit T
bertanggung jawab terhadap respon cell mediated immune (imun seluler) dan limfosit B bertanggung jawab
terhadap respon humoral. Fungsi imunologi dari limpa dapat di singkat sebagai berikut:
a. Produksi Opsonin
Limpa menghasilkan tufsin dan properdin. Tufsin mempromosikan Fagositosis. Properdin menginisiasi
pengaktifan komplemen untuk destruksi bakteri dan benda asing yang terperangkap dalam limpa. Limpa adalah
organ lini kedua dalam sistem pertahanan tubuh jika sistem kekebalam tubuh yang terdapat dalam hati tidak
mampu membuang bakteri dalam sirkulasi.
haile, ugs

b. Sintesis Antibodi
Immunoglobulin M (Ig M) diproduksi oleh pulpa putih yang berespon terhadap antigen yang terlarut dalam
sirkulasi
c. Proteksi terhadap infeksi
Splenektomi akan menyebabkan banyak pasien yang terpapar infeksi, seperti fulminan sepsis. Mengenai
bagaimana mekanismenya sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya.
d. Tempat Penyimpanan
Pada dewasa normal sekitar sepertiga (30 % ) dari pletelet akan tersimpan dalam limpa.

Imaging Pada Trauma Limpa (Trauma tumpul abdomen)
Computed Tomography Scan (CT-Scan) Abdomen
Meskipun banyak pemeriksaan radiologi yang dapat diusulkan pada trauma limpa, CT-Scan merupakan modalitas
radiografi utama yang sering digunakan oleh sebagian besar rumah sakit. CT-Scan yang digunakan sebaiknya
bersamaan dengan kontras secara intravena untuk memaksimalkan perbedaan densitas antara parenkim limpa dan
hematoma. Pemeriksaan ini memberikan penilaian limpa dan jaringan sekitar yang terbaik. Tujuan tambahan dari
pemeriksaan ini adalah kemampuannya dalam melihat semua organ-organ abdomen secara bersamaan yang juga
kemungkinan terkena trauma sekunder.(17)
Keterbatasan penggunaan pemeriksaan ini sangat sedikit tapi sangat penting. Keterbatasan yang mengganggu
tingkat kepercayaan interpretasi dari CT-scan adalah gerakan pada waktu pengambilan foto. Sensitifitas
pemeriksaan ini menurun jika pasien tidak dalam keadaan diam pada meja scan. Sedasi yang adekuat sangat
penting dilakukan pada beberapa pasien. Secara keseluruhan sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan ini
dalam mendeteksi trauma limpa mendekati 100%, sesuai dengan beberapa pengalaman para ahli. Beberapa
kekurangan dari pemeriksaan ini biasanya dihasilkan oleh misinterpretasi informasi.(17)
Sistem klasifikasi derajat trauma limpa telah beberapa kali dibuat, yang pertama kali dibuat oleh Buntain dan
kawan-kawan. Berdasarkan American Association For The Surgery Of Trauma (1994), klasifikasi derajat dari
trauma limpa adalah sebagai berikut :(17)
- Derajat 1 :
a. Terdapat hematoma subkapsuler kurang 10% pada area permukaan.
b. Ukuran kapsul kurang dari 1 cm.
- Derajat 2 :
a. Hematoma subkapsuler sekitar 10-50% pada area permukaan.
b. Diameter hematoma intraparenkim kurang dari 5 cm.
c. Ukuran laserasi sekitar 1-3 cm dan tidak mengenai pembuluh darah trabekula.
- Derajat 3 :
a. Hematoma subkapsuler lebih dari 50% area permukaan atau terdapat rupture subkapsuler atau hematoma
parenkim.
b. Hematoma intraparenkim lebih dari 5 cm atau lebih.
c. Ukuran laserasi lebih dari 3 cm dan mengenai pembuluh darah trabekula.
- Derajat 4 : Laserasi pada bagian segmental atau hillum pembuluh darah dengan devaskularisasi limpa yang lebih
dari 25%.
- Derajat 5 : Limpa mengalami kerusakan atau trauma pada hilum pembuluh darah.
Ultrasonografi (USG) Abdomen
Tujuan utama penggunaan USG limpa dalam pemeriksaan trauma tumpul abdomen adalah untuk mengetahui
adanya darah dalam kuadran kiri atas.
Darah akut akan terlihat sebagai gambaran hiperechoic dan dapat anechoic. Untuk membedakan darah yang
terdapat pada subkapsuler dan perisplenik cukup sulit, tetapi terdapat beberapa perbedaan seperti berikut :
- Gambaran bulan sabit halus yang memenuhi garis tepi limpa, dipertimbangkan sebagai perdarahan subkapsuler.
- Darah yang terdapat pada ekstrakapsuler biasanya berbentuk ireguler.
- Meskipun efek massa dapat dihasilkan oleh kedua kasus, darah pada subkapsuler lebih dapat mengubah bentuk
limpa.
- Membran pada perdarahan subkapsuler biasanya sangat tipis dan tidak dapat digambarkan. Oleh karena itu, jika
ditemukan gambaran seperti itu, diagnosis lainnya dapat disingkirkan.
Dalam beberapa jam, pembekuan darah akan terjadi. Echogenisitas akan meningkat sebagai thrombus. Hematoma
yang matur memperlihatkan echogenisitas yang sama atau lebih tipis dibandingkan jaringan parenkim dan tanda-
tanda ini akan bertahan sekitar 48 jam sampai lisis dimulai. Fase echogenik didapatkan ketika foto dilakukan pada
waktu keadaan akut. Sebagai hasil lisis, hematoma akan kembali ke echogenisitas cairan, dan keadaan patologi
dapat kembali dilihat dengan jelas.
Abnormalitas parenkim limpa biasanya tidak terlihat (sangat halus). Gambaran laserasi dari parenkim terlihat
sebagai daerah hiperechoic, yang dapat berbentuk ireguler atau linear. Pada infark limpa akan terlihat gambaran
yang sama, tetapi biasanya hal ini memiliki makna yang lebih baik.

Indikasi untuk splenektomi
I ndikasi operasi (Modul)
ruptur lien grade III dengan hemodinamik tidak stabil
ruptur lien grade IV-V

Indikasi dilakukannya splenektomi dapat dilihat sebagai berikut.
1. Elektif :
- Kelainan hematologis
- Bagian dari bedah radikal dari abdomen atas
- Kista/tumor limpa
- Penentuan stadium limfoma (jarang dikerjakan)
2. Darurat:
- Trauma
Pendekatan terhadap limpa yang ruptur berbeda dari suatu splenektomi elektif. Pasien yang mengalami
trauma limpa harus ditangani pertama kali dengan protokol ATLS (advanced trauma life support) dengan kontrol
jalan napas,pernapasan dan sirkulasi. Bilas peritoneum atau pemeriksaan radiologis harus digunakan untuk
menilai cedera abdomen sebelum operasi.
Kontraindikasi open splenektomi
1. Tidak ada kontraindikasi absolute terhadap splenektomy
2. Terbatasnya harapan hidup dan pertimbangan resiko operasi



Teknik Operasi (Sumber : Modul)
SPLENEKTOMI DAN SPLENORAFI
- Posisi pasien supinasi, dilakukan anestesi general
- Dilakukan tindakan aseptik pada seluruh abdomen dan dada bagian bawah
- Lapangan operasi dipersempit dengan linen steril
- Dilakukan insisi dilinea mediana mulai dari proses xiphardern hingga subrapubis
- Insisi diperdalam hingga mencapai cavum peritaneum
- Darah yang ada dalam cavum peritoneum dihisap keluar sehingga lien tampak jelas
- Pasang beberapa kasa tebal di postera lateral lien sehingga lien terdorong ke arah apevator
- Identifikasi hilus lien, lakukan kompresi, sehingga perdarahan dapat dikontrol
- Dilakukan evaluasi derajat cidera lien
- Bila derajat ruptur grade I, II atau III dapat dilakkan penyakit dengan benang chronic git 2-0
- Bila derajat ruptur gradr IV atau lebih, dilakukan pemasangan beberapa klem pada hilus lien. Vasa lienalis,
vasugostrica brevis dan ligamentum gastrosplemik dipotong sedekat mungkin dengan lien
- Selanjutnya ligamentum splenokolik, splenorektal, splenophonik diklem dan dipotong. Lien dibebaskan dari
perekatannya dengan jaringan retroperitoneal
- Evaluasi sumber-sumber perdarahan dan lakukan hemostasis secara cermat
- Cavum peritoneum dibersihkan dari sisa-sisa perdarahan denganNael steril
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis

Open splenektomi (Sumber : Atlas Teknik Bedah Umum)
Langkah pertama dan terpenting adalah memotong ligamen lieno-renalis. Dengan berdiri di sebelah kanan
pasien, dan dengan asisten menarik perlahan pinggir kiri dari luka operasi, jalankan satu tangan pada limpa ke
bawah sampai ligamen lieno-renalis. Dengan lembut, tarik limpa dan potong ligamen lieno-renalis, mulai dari
bagian bawah dan bergerak ke atas kutup atas dengan menggunakan gunting dengan gagang panjang
Splenektomi darurat
Pada kasus ruptur limpa, perdarahan massif bisa mengaburkan inspeksi.Prosedur pertama adalah
mengevakuasi bekuan secara manual dan dengan bantuan suction. Jalankan tangan anda ke hilus untuk
mengendalikan perdarahan dengan menekan arteri dan vena lienalis di antara telunjuk dan ibu jari. Jika
perdarahan tidak berhenti, gunakan klem non-crushing untuk menjepit hilus. Ini memungkinkan penilaian
terhadap tingkat kerusakan limpa. Jika tatalaksana konservatif tidak berhasil, maka harus dilakukan splenektomi
formal.

Komplikasi splenektomi
I. Komplikasi sewaktu operasi
A. Trauma pada usus.
1. Usus. Karena flexura splenika letaknya tertutup dan dekat dengan usus pada lubang bagian bawah
dari limpa, ini memungkinkan usus terluka saat melakukan operasi.
2. Perlukaan pada gaster dapat terjadi sebagai trauma langsung atau sebagai akibat dari
devascularisasi ketika pembuuh darah pendek gaster dilepas.
B. Perlukaan vaskular adalah komplikasi yang paling sering pada saat melakukan operasi.
dapat terjadi sewaktu melakukan hilar diseksi atau penjepitan capsular pada saat dilakukan retraksi limpa.
C. Bukti penelitian dari trauma pancreas terjadi pada 1%-3% dari splenektomi dengan melihat tigkat enzim amylase.
Gejala yang paling sering muncul adalah hiperamilase ringan, tetapi tidak berkembang menjadi pankreatitis fistula
pankeas, dan pengumpulan cairan dipankreas.
D. Trauma pada diafragma. Telah digambarkan selama melakukan pada lubang superior tidak menimbulkan kesan
langsung jika diperbaiki. Pada laparoskopi splenektomi, mungkin lebih sulit untuk melihat luka yang ada di
pneomoperitoneum. Ruang pleura meruapakan hal utama dan harus berada dalam tekanan ventilasi positf untuk
mengurangi terjadinya pneumotoraks.

II. Komplikasi setelah operasi
1. Koplikasi pulmonal hampir terjadi pada 10% pasien setelah dilakukan open splenektomi, termasuk didalamnya
atelektasis, pneumonia dan efusi pleura.
2. Abses subprenika terjadi pada 2-3% pasien setelah dilakukan open splenektomi. Tetapi ini sangat jarang terjadi
pada laparoskopi splenektomi (0,7%). Terapi biasanya dengan memasang drain di bawak kulit dan pemkaian
antibiotic intravena.
3. Akibat luka seperti hematoma, seroma dan infeksi pada luka yang sering terjadi setelah dilakukan open splenektomi
adanya gangguan darah pada 4-5% pasien. Komplikasi akibat luka pada laparoskpoi splenektomi biasanya lebih
sedikit (1,5% pasien).
4. Komplikasi tromsbositosis dan dan trombotik. Dapat terjadi setelah dilakukan laparoskopt splenektomi.
5. Ileus dapat terjadi setelah dilakukan open splenektomi, juga pada berbagai jenis operas intra-abdominal lainnya.
6. Infeksi pasca splenektomi (Overwhelming Post Splenektomy Infection)adalah komplikasi yang lambat terjadi
pada pasien splenektomi dan bisa terjadi kapan saja selama hidupnya. Pasien akan merasakan flu ringan yang
tidak spesifik, dan sangat cepat berubah menjadi sepsis yang mengancam, koagulopati konsumtif, bekateremia,
dan pada akhirnya dapat meninggal pada 12-48 jam pada individu yang tak mempunyai limpa lagi atau limpanya
sudah kecil. Kasus ini sering ditemukan pada waktu 2 tahun setelah splenektomi.
7. Splenosis, terlihat adanya jaringan limpa dalam abdomen yang biasanya terjadi pada setelah trauma limpa.
8. Pancreatitis dan atelectasis.
Usaha pencegahan akibat infeksi yang bisa terjadi akibat splenektomi.
Infeksi pasca splenektomi biasanya sering disebabkan oleh bakteri tak berkapsul yaitu Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae, dan Neisseria meningitides. Patogen lainnya seperti Escherichia coli dan
Pseudomonas aeruginosa, Canocytophagia canimorsus, group B streptococci, enterococcus spp, dan protozoa
seperti plasmodium.
Infeksi Post-splenektomi pertama kali dituliskan oleh King dan Schumaker 1952. Insiden ini diperkirakan
antara 0,18-0,42% pertahun, dengan resiko seumur hidup 5%. Dari 78 studi yang telah dilakukam oleh Bisharat
dkk, tahun 1966-1996. Terdapat 28 data yang berhubuingan dengan insiden, angka kehidupan dan kematian dan
dampak dari infeksi pada usia yang berbeda-beda. Dari 19680 pasien yang telah dilakukan splenektomi, 3,2%
berkembangmenajdi infeksi yang infasif, dan 1,4% meninggal. Waktu antara terjadinya splenektomi dan infeksi
rata-rata antara 22,6 bulan. Insiden infeksi tertinggi terjadi pada pasien dengan tallasemia mayor (8,2%) dan sikel
sel anemia (7,3%) dibanding dengan pasien yang mengalami idiopatik trombositopenia (2,1%), dan pada anak
dengan tallasemia mayor (11,6%), sikel sel anemia (8,9%) dibandingkan pada pasien dewasa dengan penyakit
yang sama (7,4% dan 6,4%).
Infeksi dari post splenektomi dapat dicegah dengan memberikan pendekatan pada pasien dan imunisasi
rutin, pemberian antibiotic profilaksis, edukasi dan penanganan infeksi yang segera.

PERAWATAN PASCA SPLENEKTOMY
Banyak pasien yang tidak mengalami komplikasi post splenektomy. Pada umumnya jumlah trombosit
meningkat sangat tajam sampai 2 juta per mm3 dan tidak diperlukan terapi khusus selain hidrasi yang cukup. Jika
diperlukan dapat diberikan obat pencegah agregasi platelet seperti asam salisilat, dipridamol, dekstran atau jika
pasien resiko tinggi dipakai heparin (trunkey, 1990; Schwartz, 1997). Penulis lain mengatakan bahwa jika jumlah
trombosit lebih dari 1 juta mm3 sebaiknya deberikan aspirin dosis rendah atau heparin (Danne, 1999; Irving,
1996). Pasien yang mengalami efusi dan kolapnya lobus bawah paru kiri biasanya memberikan respon yang baik
dengan fisioterapi.
Peningkatan insidensi sepsis umumnya disebabkan oleh H influenza, pnemokokkus,
meningikokkus, Stapilokokkus dan H influenza pada anak perlu diberikan antibiotika propilaksi melawan H
influenza sampai dewasa (Schwartz, 1997). Amoksilin 250 mg perhari atau penoksimetilpenisilin 250 mg 2 kali
sehari dapat diberikan, walaupun belum ada kesepakatan apakah obat ini akan diberikan selama hidup atau 5
tahun saja. Waktu pemberian vaksinasi masih kontroversi. Beberapa penulis merekomendasikan anatara 3 sampai
4 minggu pasca operasi. Dan setelah 5 tahun dilakukan vaksinasi ulang pnemovax (Boone and Peitzman, 1998).

Autotransplantasi Limpa
Autotransplantasi masih merupakan kontroversi pada penanganan trauma limpa. Sebaiknya
autoransplantasi dilakukan, karena ada beberapa bukti fungsi sebagian limpa dapat kembali yaitu sebagai
penyaring sel darah merah. Produksi opsonin kemungkinan sedikit sekali atau bahkan tidak ada lagi, tetapi hal ini
masih diperdebatkan.
Terdapat juga bukti bahwa penanaman jaringan limpa secara luas pada peritoneum atau
SPLENOSIS tidak melindungi pasien dari overwhelming infeksi Splenosis dapat terjadi diseluruh abdomen dan
paling sering ditemukan secara kebetulan saat laparatomy oleh sebab lain. Splenosis berbeda dengan limpa
asesoria secara histologis yakni kehilangan elastisitas dan serabut otot polos pada kapsulnya. Beberapa fakta
menyatakan bahwa limpa hasil implan tidak dapat terjadi bila tidak tersedia massa jaringan yang baik dan adanya
vaskularisasi yang sangat berbeda dari sirkulasi limpa yang normal (Schwartz).
Reimplantasi merupakan aurotransplantasi jaringan limpa yang dilakukan setelah splenektomy. Caranya
ialah dengan membungkus irisan parenkim limpa dengan slices 1-mm (Boone and Peitzman, 1998) diameter 0,5
cm (Schwartz, 1997) dengan omentum atau menanamnya di pinggang belakang peritoneum (Karnadiharja,
1997). Viabilitas dari hasil implantasi ditunjukkan dengan kembalinya tuftsin, opsonin komplemen, dan lg M ke
level normal (Schwartz, 1997), radionuclide scan 3-4 bulan post operasi untuk melihat fungsi, ukuran , dan
lokasinya ( Skandalakis, 1995) Fakta menunjukkan bahwa autotransplantasi jaringan limpa pada omemtum pada
akhirnya fungsi limpa secara imunologis akan baik. Sebuah tinjauan tentang masalah ini manyimpulkan bahwa
studi pada manusia dan binatang yang dilakukan autotransplantasi limpa relatif aman dan mudah dilakukan yang
memulihkan kelevel dasar beberapa parameter hematologi dan imunologi. Beberapa aspek dari fungsi
reticuloendotelial juga membaik. Studi radiosotop menunjukan pada banyak pasien autotransplantasi pada
omentum majus menghasilkan jaringan yang tumbuh secara bermakna.


Manifestasi Klinis
Robekan atau kerusakan lien pada penderita dengan ruptur lien traumatika dapat bermacam yaitu dari robekan
transversal yang kecil sampai besar. Robekan tranversal melalui hilus robekan longitudinal, haematoma subsuplair
sampai terputusnya lien dari arteri dan vena lienalis. Kebanyakan dari robekan lien tadi berjalan tranversal,
sehingga tidak terlalu banyak merobek pembuluh darah yang didalam lien. (3)
Gambaran klinisnya mencakup tanda-tanda perdarahan nyeri abdomen pada kuadran atas kiri, dan nyeri pada bahu
kiri, sehingga dapat dibagi menjadi 2 kelas yaitu :
1) Kematian cepat
Lien hancur sangat rusak. Pasien datang dengan kehabisan darah atau mati sebelum dapat dimulai resusitasi atau
dilaksanakan laparaptomi.
2) Syok dan tanda-tanda robekan limpa
Syok merupakan kelompok terbesar dan kira-kira tiga perempat dari semua kasus termasuk kelas ini. Pasien
memperlihatkan tanda hipovolemia yang menunjukkan adanya bencana intra abdomen yang parah tidak selalu
dapat dinyatakan dengan tepat organ yang rusak, tetapi terdapat sebagian besar kejadian tanda-tanda fisik harus
mengarah kepada organ lien.
Pasien pucat, abdomen tegang. Kekakuan abdomen bervariasi, dengan rentang antara kekakuan umum sampai
terlokalisasi pada kuadran atas kiri dan meluas sampai ke panggul.
Rasa nyeri yang bervariasi, biasanya terasa jika bernafas dalam. Denyut nadi tidak melebihi 90 dan tekan darah
sering tidak terpengaruh selama beberapa jam. Nyeri menjalar pada bahu kiri merupakan gejala yang penting ;
hampir selalu ada dan sering tidak ditanyakan kepada pasien karena tidak mengeluh, yang dirasakan hanya nyeri
abdomen sangat mencolok. (2)

II.6. Diagnosis
Robekan atau kerusakan lien akibat trauma tumpul abdomen dapat bervariasi yaitu robekan tranversal melalui
hilus, robekan longitudinal dengan hematom subcapsular sampai terputusnya arteri dan vena lienalis.
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan :
A. Dalam anamnesa didapatkan adanya trauma :
Trauma tersebut dapat berat atau ringan. Langsung atau tidak langsung akibat kecelakaan atau jatuh dari
ketinggian.
Trauma tadi dapat menimbulkan jejas atau tidak terdapat jejas pada dinding perut. Jejas tersebut dapat juga selain
pada perut bagian kiri atas (contre coupe).
B. Pada pemeriksaan fisik
1. Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur lien tergantung adanya organ-organ lain yang ikut cedera, banyak
sedikitnya perdarahan dan adanya kontaminasi rongga peritoneum. Ditemukan masa di kiri atas. Terdapat darah
bebas dalam rongga perut secara klinis hal ini penting dan dapat diketahui dengan cara :
- Tensi yang menurun, nadi yang meningkat, dengan ada atau tidaknya tanda-tanda syok dan anemia akibat
perdarahan yang hebat.
- Pekak sisi dengan shifting dullness pada rongga perut akibat adanya hematom subcapsular atau omentum yang
membungkus suatu hematom subcapsuler disebut tanda Ballance.
- Darah bebas yang memberi rangsangan pada peritoneum sehingga gejalanya tegang otot perut dan rasa nyeri
mencolok.
Pada ruptur yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda perdarahan intra abdomen, atau
dengan gambaran seperti ada tumor intra abdome. Pada bagian kiri atas yang nyeri tekan disertai tanda anemia. (1)
2. Pada pemeriksaan lokal yaitu didapatkan nyeri perut bagian atas tetapi pada sepertiga kasus mengeluh nyeri
perut kuadran kiri atas atau punggung kiri.
Bila darah mengumpul pada perut kiri atas pada daerah lien akan memberikan rasa nyeri pada bahu kiri
(ke.sign) sign dijumpai 50%. Semua penderita ruptur lien dan nyeri bahu kiri baru timbul pada posisi
trendelenberg.
Pengumpulan darah pada rongga peritoneum dapat diketahui dengan menggunakan pita ukur untuk mengukur
lingkar perut yang bertambah setiap jamnya. (1)
C. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah rutin, yaitu kadar Hemoglobin, Hematokrit, angka Leukosit kareana terjadi perdarahan maka
akan terjadi penurunan hemoglobin, hematokrit dan disertai leukosit.
Hemoglobin diperiksa berulang kali secara serial untuk mengetahui penurunan yang bertahap (kapita selekta).
- Untuk membantu menentukan adanya darah bebas didalam rongga peritoneum yang meragukan dapat dilakukan
:
Peritoneum lavage adalah tindakan melakukan bilasan rongga perut dengan memasukkan 1l cairan air garam
fisiologis yang steril melalui kanul dimasukkan kedalam rongga peritoneum, setelah 10-15 menit cairan tadi
dikeluarkan lagi, bila cairan yang keluar berwarna merah, maka kesimpulannya adalah ada darah dalam rongga
perut. Menurunnya hematokrit disertai dengan perasaan nyeri yang tetap pada perut kiri atas, ada kalanya
memerlukan peritoneal lavage yang kedua meskipun peritoneal lavage yang pertama memberi hasil yang negatif.
(3)
- Pemeriksaan foto abdomen, yaitu foto polos abdomen 3 posisi
Yang perlu diperhatikan adalah adanya gambaran patah tulang iga sebelah kiri peninggian diafragma kiri,
bayangan lien yang membesar dan udara bebas intra atau retroperitoneal.
Pada foto polos abdomen memperlihatkan pendorongan lambung atau kolon transversa, dan peningkatan suatu
bayangan opak di hipokondrium atas kiri, obliterasi pada ginjal kiri, bayangan psoas kiri dan hemidiafragma kiri
naik. (kapita selekta dan ortopedik) (6)
- Pemeriksaan angiografi, khususnya pada penderita yang gawat dimana dapat diketahui dengan pasti adanya
kerusakan-kerusakan pada lien baik kerusakan berat maupun ringan.
- Pemeriksaan CT sanning dengan cara sekarang yang sangat populer ini dapat kita menentukan diagnosa pasti
dari ruptur lien. Selain untuk mendiagnosa, scanning dapat dipakai untuk mengevaluasi berat ringannya
kerusakan, untuk pengamatan lebih lanjut dan untuk melihat penyembuhan dan kerusakan pada lien. Hal ini
sangat berguna bila kita mengobati penderita ruptur lien secara konservatif. (2)
- Dengan scanning dapat dilihat bahwa 2 sampai 5 bulan setelah trauma pada lien, gambaran lien dapat sudah
normal kembali apabila dibandingkan dengan angiografi, scanning mempunyai ketelitian yang sama dengan
morbiditas yang lebih rendah. (3)

II.7. Diagnosa Banding
- Tumor lien
- Ruptur lien spontan akibat penyakit infeksi dan penyakit hematologik.

II.8. Penatalaksanaan
Dengan majunya teknik bedah, maka pandangan bahwa setiap ruptur lien harus dibuang telah diubah pandangan
sekarang bahwa sedapat mungkin lien harus dipertahankan, kecuali bila hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
Splenoktomi total bukan lagi merupakan pengobatan yang paling tepat dengan alasan :
a). Kecenderungan terjadinya overwhelming post splenectomy infection sindrome (opsi) pada penderita post
splenektomi baik pada penderita bayi maupun penderita orang dewasa.
b). Fungsi lien yang melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri, terutama organisme-organisme yaitu
pneumococcus dan meningacoccus yang mempunyai kapsul dan dianggap sebagai benda asing.
c). Adanya kemungkinan perdarahan pada lien dapat berhenti spontan.
d). Lien yang robek dapat disembuhkan dengan penjahitan. (3)
Dengan demikian maka terapi pada ruptur lien adalah :
1). Non operatif atau konservatif
Hal umum yang perlu mendapat pertolongan segera pada pasien trauma yaitu :
a). Evaluasi terhadap saluran pernafasan dan tulang vertebra
Dengan memperhatikan adanya sumbatan pada saluran pernafasan kebawah dan mencakup larynx, serta benda
asing yang harus dikeluarkan dan adanya kemungkinan fraktura vertebra cervicalis, sehingga dilakukan
hiperekstensi kepala dan leher pasien untuk membentuk atau mempertahankan saluran pernafasan atau untuk
memasukkan pipa endotrachea atau cara sederhana dengan satu metode dengan mengangkat dagu. Bila tindakan
ini gagal untuk menghilangkan obstruksi, maka pipa endotrachea dipasang melalui hidung untuk mencegah
hiperekstensi leher pada fraktur vertebrae cervicalis.
Bila intubasi trachea nasal tidak berhasil, maka diindikasikan krikotiroidotomi bedah dengan membuat insisi kulit
vertikal atau tranversa yang meluas melalui ligamentum crioothyroidea yang diikuti pemesangan pipa trakeostomi
kecil.
b). Pertukaran udara
Perhatian selanjutnya pada tercukupinya pertukaran udara, pemberian oksigenasi yang adekuat.
c). Sirkulasi
Nadi dipalpasi dan dinilai .., kecepatan, irama dilakukan pemeriksaan terhadap tensi atau pengukuran untuk
mengetahui adanya tanda-tanda syok yang perlu segera dilakukan tranfusi darah dan terapi cairan yang seimbang
diberikan secara cepat untuk mengatasi syok hipovolemik.
d). Pemasangan pipa lambung (NGT) untuk mencegah muntah dan aspirasi dan pemasangan kateter untuk
mengosongkan kandung kencing dan menilai jumlah urin yang keluar. (5)
2). Operatif
a). Splenektomi total
b). Splenektomi partial
c). Splenorrhapi

2.a). Splenektomi total
Splenoktomi total dilakukan jika terdapat kerusakan parenkim lien yang luas, avulsi lien, kerusakan pembuluh
darah hilum, kegagalan splenorapi dan splenoktomi parsial.
Tindakan splenektomi total tidak perlu diragukan, meskipun ada kemungkinan terjadinya Opsi. Insiden untuk
terjadi opsi lebih berarti bila dibandingkan dengan bahaya maut karena perdarahan yang hebat.
Lebih dari 50% dari semua ruptur lien memerlukan splenektomi total untuk mengurangi opsi dikemudian hari ada
pendapat-pendapat yang menganjurkan :
1). Autotranplantasi/reimplantasi jaringan lien, yaitu jaringan lien yang telah robek di implantasikan kedalam otot-
otot pada dinding perut atau di pinggang di belakang peritoneum. Caranya ialah : jaringan lien tadi dimasukkan
kedalam injeksi spuit dan melalui injeksi spuit tadi jaringan lien dimasukkan kedalam otot-otot dinding perut.
2). Polyvaleat pneumococcal vaccine atau pneumovaks dapat dipakai untuk mencegah terjadinya opsi. Cara-cara
dan optimal untuk pemberian suntikan booster belum diketahui.
3). Prophylaksis dengan antibiotika
Pemberian antibiotika (denicilline, erythomycin, trimethroprim-sulfomethoxazole) setiap bulan dianjurkan,
terutama kali ada infeksi yang menyebabkan demam diatas 38,5C. juga ada laporan mengenai opsi yang
disebabkan karena organisme-organisme yang sensitif penicilin, pada penderita post splenektomi yang telah diberi
penicilin profilaksis.
4). Yang lebih praktis adalah agar setiap penderita post splenektomi dianjurkan supaya segera memeriksakan ke
dokter setiap kali menderita panas. Penderita tersebut supaya langsung diberi pengobatan antibiotika dan
dievaluasi lebih lanjut, untuk mendapat perawatan medis yang sempurna.
2.b). Splenektomi partial
Bila keadaan dan ruptur lien tidak total sedapat mungkin lien dipertahankan, maka dikerjakan slpenektomi partial
dianggap lebih menguntungkan daripada splenektomi total.
Cara : eksisi satu segmen dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera masih vital.
2.c). Splenorrhapi
Splenorrhapi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional dengan tehnik bedah.
Tindak bedah ini terdiri dari membuang jaringan non vital, mengikat pembuluh darah yang terbuka dan menjahit
kapsul lien yang terluka. Luka dijahit dengan jahitan berat asam poliglikolat atau polidioksanon atau chromic
catgut (0-0, 2-0, 3-0) dengan simple jahitan matras atau jahitan figure of eight.
Jika penjahitan laserasi kurang memadai, dapat ditambahkan dengan pembungkusan kantong khusus dengan atau
tanpa penjahitan omentum. (3)

Вам также может понравиться