Вы находитесь на странице: 1из 15

INFORM CONSENT

Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap pasien, hal lain
yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat,
yaitu Inform Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa tindakan
medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan
menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan
tindakan medis (pembedahan dan anastesi).
Meskipun mengandung resiko tinggi tetapi seringkali tindakan operasi tidak dapat dihindari
dan merupakan satu-satunya pilihan bagi pasien. Dan dalam kondisi nyata, tidak semua
tindakan operasi mengakibatkan komplikasi yang berlebihan bagi klien. Bahkan seringkali
pasien dapat pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat tanpa komplikasi atau resiko
apapun segera setelah mengalami operasi. Tentunya hal ini terkait dengan berbagai faktor
seperti: kondisi nutrisi pasien yang baik, cukup istirahat, kepatuhan terhadap pengobatan,
kerjasama yang baik dengan perawat dan tim selama dalam perawatan.
Inform Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung tinggi aspek etik hukum,
maka pasien atau orang yang bertanggung jawab terhdap pasien wajib untuk
menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan yang
dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga mengetahui manfaat dan
tujuan serta segala resiko dan konsekuensinya. ?Pasien maupun keluarganya sebelum
menandatangani surat pernyataan tersut akan mendapatkan informasi yang detail terkait
dengan segala macam prosedur pemeriksaan, pembedahan serta pembiusan yang akan
dijalani. Jika petugas belum menjelaskan secara detail, maka pihak pasien/keluarganya
berhak untuk menanyakan kembali sampai betul-betul paham. Hal ini sangat penting untuk
dilakukan karena jika tidak meka penyesalan akan dialami oleh pasien/keluarga setelah
tindakan operasi yang dilakukan ternyata tidak sesuai dengan gambaran keluarga.
Berikut ini merupakan contoh? form inform consent :
PERNYATAAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS/OPERASI NAMA PASIEN : (L/P)
No. RM :
UNIT RAWAT?? :
Saya yang bertnda tangan di bawah ini :
Nama : .................
Umur : .................. tahun
Jenis kelamin? : ................
Alamat : .................
Suami/istri/ayah/ibu /keluarga dari pasien yang bernama :
......................................................
1. Menyatakan? SETUJU/TIDAK SETUJU bahwa pasien tersebut akan dilakukan tindakan
medis operasi dalam rangka penyembuhan pasien.
2. Saya mengerti dan memahami tujuan serta resiko/komplikasi yang mungkin terjadi dari
tindakan medis/operasi yang dilakukan terhadap pasien dan oleh karena itu bila terjadi
sesuatu diluar kemapuan dokter sebagai manusia dan dalam batas-batas etik kedokteran
sehingga terjadi kematian/kecacatan pada pasien maka saya tidak akan menuntut siapapun
baik dokter maupun Rumah Sakit.
3. Saya juga menyetujui dilakukannya tindakan pembiusan baik lokal maupun umum dalam
kaitannya dengan tindakan medis/operasi tersebut. Saya juga mengerti dan memahami
tujuan dan kemungkinan resiko akibat pembiusan yang dapat terjadi sehingga bila terjadi
sesuatu diluar kemampuan dokter sebagai manusia ddan dalam batas-batas etik
kedokteran sehingga terjadi kematian/kecacatan pada pasien maka saya tidak akan
menuntut siapapun baik dokter maupu Rumah sakit.
Yogyakarta, ........................2007
Mengetahui,
Saya yang menyatakan,
Dokter yang merawat, Suami/istri/ayah/ibu /keluarga
____________________________________________________
(tanda tangan dan nama lengkap) (tanda tangan dan nama lengkap)
Saksi dari Rumah Sakit, Saksi dari keluarga,



_____________________________________________________
(tanda tangan dan nama lengkap) (tanda tangan dan nama lengkap)
coret yang tidak perlu

Informed Consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara
dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah
sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas
layanan yang ditawarkan pihak lain.[1]
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter
untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi
secukupnya.[2]
Tiga elemen Informed consent [3]
1. THRESHOLD ELEMENTS
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke
arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten
disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia
untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak
memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat
berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan
yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan
berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan
sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan
mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental
sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2. INFORMATION ELEMENTS
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan)
dan understanding(pemahaman).
Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada
tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien
dapat mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3
standar, yaitu :
o Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan
bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan
nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang tidak bermakna (menurut medis) tidak
diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
o Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional
medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
o Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3. CONSENT ELEMENTS
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan)
danauthorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien
juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah
akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya.
Consent dapat diberikan :
a. Dinyatakan (expressed)
o Dinyatakan secara lisan
o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di
kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko
mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang
persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus
memperoleh persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan
tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling
banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan
lengannya ketika akan diambil darahnya.
Proxy Consent
Adalah consent yang diberikan oelh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat
bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut
harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang
banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak,
orang tua, saudara kandung, dst.
Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.
Konteks dan Informed Consent
Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang
melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.
Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent.
Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk
dapat menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap
cakap menerima informasi yang benar apalagi membuat keputusan medis. Banyak
keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan
sakitnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap
kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan
sifat tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul,
hanya 40 % yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat menyebut
tindakan alternatif yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah
sakit yang diteliti, empat diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasanya
ditujukan untuk dapat dimengerti oleh mahasiswa tingkat atas atau sarjana dan satu lainnya
berbahas setingkat majalah akademik spesialis.
Keluhan pasien tentang proses informed consent :
o Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
o Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk
tanya jawab.
o Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna
informasi
o Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
Keluhan dokter tentang informed consent
o Pasien tidak mau diberitahu.
o Pasien tak mampu memahami.
o Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
o Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.


[1] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar,
Oktober 2005
[2] Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37
[3] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar,
Oktober 2005
http://yusufalamromadhon.blogspot.com/2008/01/informed-consent.html

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagian besar keluhan ketidakpuasan pasien disebabkan komunikasi yang kurang terjalin
baik antara tim medis dengan pasien dan keluarga pasien.
Apakah para pasien perlu sepenuhnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai
apa yang akan diperbuat dalam rangka pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan mereka. Apakah
mereka harus selalu dimintai persetujuan atas apa yang akan dilakukan oleh tenaga medis kepada
mereka. Seberapa jauh pasien perlu diberitahu mengenai resiko dan keuntungan dari langkah-
langkah pengobatan dan tindakan-tindakan lain yang harus diambil demi pemulihan
kesehatannya. Bagaimana dengan pasien yang kalau diberitahu toh tidak mengerti apa yang
dimaksud, atau pasien yang sengaja tidak mau tahu tentang keadaan dirinya yang sebenarnya dan
pokoknya dibuat enak badan, masih perlukah mereka diberitahu. Itulah beberapa pertanyaan
yang kadang muncul dalam praktek pelayanan medis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut erat
kaitannya dengan apa yang lazim disebut dengan informed consent. Oleh karena itu perlu
kiranya kita mengetahui apa itu informen consent.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , informed consent dirumuskan sebagai suatu
kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya
setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk
menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resikonya.
B. Komponen-komponen Informed Consent
Ada beberapa komponen-komponen informed consent antara lain :
1. Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah
syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Secara hukum
seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan
mental yang tidak di bawah pengampuan.
2. Information elements
Terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding(pemahaman).
Elemen ini berdasarkan pemahaman yang akurat membawa konsekuensi kepada tenaga medis
untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai
pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien,
dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
a. Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan informasi ditentukan
bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenga medis.
b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan.
c. Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup
apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan.
C. Bentuk Informed Consent
Ada dua bentuk informed consent :
1. Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum,
sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk laboratorium,
suntikan, atau hecting luka terbuka.
2. Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada
pihak pelaksana jasa tindakan medis untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi
tiga bentuk yaitu :
a. Persetujuan Tertulis
Biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana
ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI
No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup
besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya
(telah terjadi informed consent).
b. Persetujuan Lisan
Biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung
resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien.
c. Persetujuan dengan isyarat
Dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan
darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan
dilakukan terhadap dirinya.
D. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana dengan pengguna jasa tindakan medis maka
pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk :
1. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis
yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang
sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar
profesi medis.
2. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan
pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif,
walaupun tenaga kesehatan telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi
medik.
E. Fungsi Informed Consent
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia.
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien.
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter.
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional.
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan.
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
F. Ruang Lingkup Informed Consent
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien
saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang
berperan serta dalam pengobatan pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaantenaga kesehatan akan adanya penyakit
tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam
pemberian inform consent adalah :
1. Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang
hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk
mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.
2. Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh
seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang
tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Hak persetujuan atas dasar informasi
(Informed Consent) :
a. Hak atas rahasia medis.
b. Hak atas pendapat kedua (Second opinion).
c. Hak untuk melihat rekam medik.
d. Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental, anak dan remaja di
bawah umur).
e. Hak pasien dalam penelitian.
G. Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent
1. Bagi pasien :
a. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis.
b. Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian atau tidak ada waktu untuk tanya
jawab.
c. Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi.
d. Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
2. Bagi petugas kesehatan :
a. Pasien tidak mau diberitahu.
b. Pasien tak mampu memahami.
c. Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
d. Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.
H. Dasar Hukum dan Informed Consent
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No.
585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent. Hal ini tidak
berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif.
Dasar hukum informed consent :
1. UU No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
2. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam medis/ Medical
record.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan
Medis.
6. Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS
7. Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang Informed
Consent.
8. Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang Bedah Mayat
Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia.
I. Tidak Berlakunya Informed Consent
( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ) dan Informed Consent Konteks,
Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 4 keadaan antara lain :
1. Keadaan darurat medis.
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat.
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver).
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang
melepaskan haknya memberikan consent.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure
sebagai berikut :
1. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh tenaga kesehatan.
2. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan.
3. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
J. Contoh Kasus yang Harus Menggunakan Informed Consent
1. Subyektif :
Pasien G1P0A0 mengaku hamil 2 bulan datang dengan keluhan pendarahan dari jalan lahir
sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Awalnya darah hanya berupa bercak-bercak warna
merah segar. Namun 7 jam SMRS bercak darah disertai keluarnya gumpalan merah seperti
daging.
Pasien juga mengeluh mulas-mulas. Pasien mengaku mendapat haid terakhir tanggal 18
maret 2011. Riwayat berhubungan terakhir dengan suami 1 minggu sebelum masuk Rumah
Sakit, riwayat trauma disangkal, riwayat keputihan (+) sejak 2 minggu SMRS.
Selama ini pasien hanya satu kali berkunjung ke puskesmas untuk memeriksakan
kehamilannya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit paru, ginjal, kencing manis, darah tinggi disangkal.
Riwayat penyakit keluarga : ( - )
Riwayat Pernikahan : Pertama kali, dengan suami sekarang sudah menikah 1 tahun.
Riwayat Kontrasepsi : tidak pernah menggunakan kontrasepsi
Keterangan : Pasien datang hanya diantar oleh ibu dan kakak laki-lakinya, suami pasien sedang
melaut diperkirakan baru pulang sekitar 5 hari lagi dan tidak bisa dihubungi. Sehingga saat akan
dilakukan informed consent tindakan medis atas pasien terjadi kebingungan pada pasien.
Objektif :
Berdasarkan pemeriksaan di VK, didapatkan hasil berupa :
Pasien tampak lemah.
KU : Tampak Sakit Sedang.
Kesadaran : Composmentis.
Tanda Vital : TD = 100/70 mmHg, P = 20x/menit, N = 90x/menit, S= 36,70C.
Pemeriksaan generalis :
Kepala : rambut berwarna hitam merata.
Mata : Si -/-, Anemis -/-, RCL +/+, RCTL +/+
Cor : S1-S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo : SN vesikular +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : datar, supel, Nyeri tekan (-), Bising Usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat +/+, CRT < 2
Status Ginekologis :
Abdomen : Tinggi fundus uteri : dua jari di atas simfisis.
Inspeculo : Flour (+), Fluxus (+), ostium uteri externa terbuka 1-2 cm, jaringan(+).
Pemeriksaan VT : vulva/vagina tak ada kelainan, portio tebal lunak, pembukaan 1-2 cm, teraba
jaringan.

Assessment :
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosis pasien ini adalah G1P0A0 Hamil
8 Minggu dg Abortus Inkomplit.
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa. Pasien G1P0A0 hamil 2 bulan datang dengan
keluhan pendarahan pervaginam sejak 4 hari, 7 jam SMRS bercak darah disertai keluarnya
gumpalan merah seperti daging. mulas-mulas (+).
HPHT tanggal 18 maret 2011. Riwayat kontak sexual 1 minggu SMRS, riwayat trauma
disangkal, riwayat keputihan (+) sejak 2 minggu SMRS.
Hal ini sesuai dengan definisi abortus, yaitu ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di laur kandungan. Sebagai batasan adalah kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Pada kasus ini diagnosis mengarah ke abortus inkomplit karena dari anamnesis didapatkan
data : Perdarahan pada trimester pertama kehamilan, darah biasa berupa bercak-bercak, disertai
dengan mulas atau nyeri pinggang dan ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir.
Dari anamnesis juga didapatkan kemungkinan penyebab abortus pada pasien yaitu
keputihan. Seperti diketahui bahwa abortus pada wanita hamil bisa terjadi karena beberapa sebab
diantaranya :
Faktor Janin : gangguan pertumbuhan, gangguan kromosom
Faktor Ibu : Infeksi (keputihan, infeksi kronis), serviks inkompeten, hipertiroid, diabetes melitus,
defek uterus.
Pada pemeriksaan fisik diperoleh data, tanda vital pasien masih baik. TD = 100/70 mmHg,
P = 20x/menit, N = 90x/menit, S= 36,70C dengan sedikit penurunan tekanan darah. Status
ginekologis : Abdomen : Tinggi fundus uteri : dua jari di atas simfisis. Inspeculo : Flour (+),
Fluxus (+), ostium uteri externa terbuka 1-2 cm, jaringan (+). Pemeriksaan VT: vulva/vagina tak
ada kelainan, portio tebal lunak, pembukaan 1-2 cm, teraba jaringan. Pemeriksaan fisik lain
dalam batas normal. Diagnosis abortus inkomplit diperkuat dengan bukti pemeriksaan fisik
ditemukan flour dan fluxus, portio terbuka, dan ditemukan jaringan di jalan lahir. Jenis abortus
lain dapat disingkirkan, karena pada abortus iminens, insipiens dan komplit tidak ditemukan
jaringan pada jalan lahir.
Planning :
Penatalaksanaan : Pada kasus abortus penanganan utama adalah stabilisasi tanda vital atau
resusitasi jika terjadi syok hipovolemik akibat perdarahan masif dan tatalaksana yang harus
dilakukan pada pasien dengan abortus inkomplit yaitu evakuasi berupa tindakan kuretase, untuk
mengeluarkan sisa jaringan buah kehamilan.
Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien ini berupa antibiotika sebagai terapi
profilaksis untuk mencegah terjadinya infeksi yang mungkin terjadi akibat tindakan kuretase
yang dilakukan.
Selain itu diberikan juga golongan NSAID sebagai analgetik untuk mengurangi nyeri post
kuretase.
Komplikasi abortus yang dapat terjadi pada fase akut adalah perdarahan hebat yang dapat
menyebabkan syok sampai kematian. Komplikasi jangka panjang umumnya berupa infeksi dan
jaringan sisa dalam uterus.
Pada kasus abortus inkomplit pada umumnya masih terjadi perdarahan aktif akibat masih
terdapat sisa konsepsi di dalam uterus, sehingga perlu dilakukan tindakan medis berupa kuretase
segera agar tidak sampai terjadi anemia dan syok hipovolemik.
Untuk melakukan tindakan medis, diperlukan infomed consent.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta
Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:
a. Diagnosa yang telah ditegakkan.
b. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
c. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
d. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
e. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan
yang lain.
f. Biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Seorang pasien yang berhak memutuskan tindakan medis atas dirinya adalah pasien
dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah,
tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami
kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga
mampu membuat keputusan secara bebas.
Pada kasus ini pasien setelah dijelaskan mengenai kondisinya dan tindakan yang akan
dilakukan terhadapnya, pasien mengalami kebingungan karena suami pasien sedang melaut
diperkirakan baru pulang sekitar 5 hari lagi dan tidak bisa dihubungi, Sehingga pasien meminta
kakak dan ibu kandungnya sebagai penanggung jawab atas dirinya. Hal ini dibolehkan, jika
tidak ada suami, pengambilan keputusan bisa diserahkan kepada orang tua atau kakak kandung.
Sesuai Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta
Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. Pada bab 1 Mengenai Ketentuan
Umum, Pasal 1 yang berisi : Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung,
anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
Dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008 juga dijelaskan pengecualian terhadap
keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:
a. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
b. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.
2. Pasien wanita usia 35 tahun dengan status G4P3A0, usia kehamilan 38 minggu 4 hari, datang
dengan keluhan nyeri perut tembus belakang sejak pukul 01.00 dini hari, dari hasil anamnesis
didapatkan data bahwa keluar lendir darah (+), pecah air ketuban (-), nyeri perut hilang timbul
dan semakin sering. Riwayat hipertensi (-). DM (-). Riwayat ANC > 4x di PKM.
Riwayat Obstetri
Tahun 1996, ppn, laki laki, 2800 gr, bidan
Tahun 1998, ppn, perempuan, 3000 gr, bidan
Tahun 2000, ppn, perempuan, 3010 gr, bidan
Kehamilan sekarang
Pemeriksaan Fisik
KU : baik, sadar
Tanda vital : T : 120/80 mm/hg, P : 18 x/menit, N : 90x/menit, S : 37,2 C
Pemeriksaan Luar
TF : 3 jari bawah processus xiphoideus
Situs : memanjang
Punggung : kiri
Bagian terbawah : kepala
Perlimaan : 2/5
His : 3x10 (20-25)
Djj : 132 x/menit
Gerakan anak : + dirasakan ibu
Anak kesan : tunggal
TBJ : 35x101= 3535 gr
PDV
v/v : tak/ tak
Portio : melesap
Pembukaan : lengkap
Ketuban : -
Bag terdepan : muka
Posisi : mento anterior kanan
UUK : sulit dinilai
Penurunan : H III
Panggul dalam kesan : cukup
Pelepasan : lendir +, darah +
Diagnosa
G IV P III A0 gravid 38 minggu 4 hari inpartu kala II suspek anencephalus
Pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan USG :
Gravid tunggal hidup intrauterin, presentasi kepala, anencephalus, punggung kiri, djj 132
x/menit, plasenta di fuundus posterior, AFI kesan cukup (6,2 cm). EFW 3605 gr. GA 38
minggu 6 hari.
Setelah dievaluasi selama 60 menit, ternyata tidak didapatkan kemajuan persalinan dan terdapat
gawat janin, sehingga diupayakan jalan operasi perabdominam. Sebelumnya dilakukan informed
consent kepada ibu dan keluarga.
Informed consent :
Informasi yang diberikan kepada ibu dan keluarga mencakup :
a. Bayi yang dikandung ternyata mempunyai cacat bawaan yaitu kepala tidak berkembang.
b. Proses persalinan ibu tidak mengalami kemajuan, dimana dicurigai bahwa kepala bayi yang
tidak berkembang menyebabkan volume kepala berkurang. Volume kepala yang cukup besar
dibutuhkan untuk menekan dan membuka jalan lahir, dan pada kasus ibu, persalinan tidak bisa
maju karena hal tersebut. Selain itu didapatkan juga taksiran berat janin yang cukup besar yang
dapat menyebabkan distosia persalinan.
c. Perlu dilakukan tindakan operasi caesar untuk menolong ibu dan bayi.
d. Kemungkinan hidup bayi adalah kecil, atau mungkin masih hidup setelah di luar kandungan
tetapi biasanya tidak bertahan lama.
e. Kemungkinan bisa terjadi perlukaan ureter, kandung kemih, pembuluh darah dan jaringan
lainnya dikarenakan adanya kesulitan/perlekatan antar jaringan pada saat operasi dan tindakan
akan diambil pada saat tersebut atau menunggu tim tersendiri di kemudian hari.
f. Alergi terhadap obat/ transfusi yang diberikan kepada pasien baik obat untuk pembiusan
maupun untuk pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh pasien. Alergi dapat bersifat
ringan berupa rasa gatal, timbul bintik/ bentol merah pada kulit baik sebagian maupun seluruh
tubuh, ataupun alergi yang beratsehingga dapat menyebabkan penurunan kesadaran sementara
atau seterusnya, syok, koma, henti jantung, hingga kematian.
g. Perdarahan karena gerak otot yang jelek juga bisa terjadi, dan bila hal ini terjadi maka akan
dilakukan pengangkatan rahim dan pemberian tambahan darah.
Setelah operasi, mungkin :
a. Ibu bisa tidak langsung sadar dan butuh dirawat di icu selama beberapa hari.
b. Terjadi perdarahan lanjut yang memerlukan tambahan darah atau operasi kedua.
c. Infeksi sesudah operasi.
d. Luka operasi yang sulit sembuh yang akan dirawat dan bila perlu dilakukan jahitan ulang.
Setelah diberikan informed consent dan pasien mengerti serta menyetujui tindakan yang
hendak dilakukan, dokter yang memberikan penjelasan, pasien dan salah satu wali pasien (
suami/ ayah/ ibu/ saudara ) diminta untuk menandatangani formulir informed consent yang
tersedia.
3. Dalam melakukan tindakan medis, dokter memerlukan ijin dari pasien atau keluarganya
(informed consent). Pada kasus emergency (dalam hal ini kasus kecelakaan atau gawat darurat
lain) yang segera memerlukan perawatan di rumah sakit, dimana pasien tak sadarkan diri dan
tanpa di dampingi keluarga, bila diperlukan dokter demi menolong jiwa pasien harus melakukan
operasi walaupun tanpa informed consent dari pasien atau keluarganya. Dokter dan rumah sakit
dilarang menunda tindakan medik termasuk operasi dalam hal mendapatkan pasien yang tidak
mampu menyediakan uang pangkal. Dalam hal ini dokter berpendapat pasien secara ilmu
kedokteran tidak mungkin ditolong jiwanya. Dokter tetap harus melakukan upaya penyelamatan
dan meringankan penderitaan pasien. Bukanlah hidup mati seseorang ada di tangan Tuhan, tidak
hanya di tentukan oleh ilmu kedokteran.

Bab III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi
penjelasan. Dalam praktiknya, seringkali istilah informed consent disamakan dengan surat izin
operasi (SIO) yang diberikan oleh tenaga kesehtan kepada keluarga sebelum seorang pasien
dioperasi, dan dianggap sebagai persetujuan tertulis. Akan tetapi, perlu diingatkan bahwa
informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang didapat dari pasien, juga bukan
sekedar tanda tangan keluarga, namun merupakan proses komuniksi.
Manfaat informed consent adalah sebagai berikut :
1. Membantu kelancaran tindakan medis. Melalui informed consent, secara tidak langsung terjalin
kerjasama antara bidan dank lien sehingga memperlancar tindakan yang akan dilakukan.
2. Mengurangi efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi. Tindakan bidan yang tepat dan
segera, akan menurunkan resiko terjadinya efek samping dan komplikasi.
3. Mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit, karena si ibu memiliki pemahaman
yang cukup terhadap tindakan yang dilakukan.
4. Meningkatkan mutu pelayanan. Peningkatan mutu ditunjang oleh tindakan yang lancar, efek
samping dankomplikasi yang minim, dan proses pemulihan yang cepat.
5. Melindungi bidan dari kemungkinan tuntutan hukum. Jika tindakan medis menimbulkan
masalah, bidan memiliki bukti tertulis tentang persetujuan pasien.
B. Saran
Untuk semua kalangan medis terutama Bidan sebaiknya selalu menggunakan informed
consent sebelum melakukan tindakan asuhan kebidnan.

DAFTAR PUSTAKA
Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005. Bioetik dan Hukum Kedokteran,
Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar.
J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.
M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta. 1999.
Anonim. (2012). Persetujuan dan Penolakan terhadap Tindakan
Medis.http://informedconsent_a1.webs.com/persetujuanpenolakan.htm. Diakses pada tanggal 01
November 2012, pukul 11.35 WIB
Anonim. (2012). Mengenal Informed Consent. http://www.scribd.com/doc/ 22040447/All-About-
Informed-Consent. Diakses pada tanggal 01 November 2012, pukul 11.35 WIB
Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. P.T Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009
Konsil Kedokteran Indonesia. Penyelenggaraan Praktik Kedokteran yang Baik di Indonesia. DepKes.
Jakarta: 2006.
Hanafiah, M. Yusuf., Prof.Dr.SPOG & Amri Amir, Dr.SpF., 1999, Etika Kedokteran & Hukum
Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Norman F, Kenneth J,dkk. Obstetrics Williams (Editor), Steven L. Clark, Katharine D.
Wenstrom. Williams Obstetrics 23rd Ed: McGraw-Hill Professional.

Вам также может понравиться