Вы находитесь на странице: 1из 14

ANALISIS NERACA AIR LAHAN KERING UNTUK MENDUKUNG BUDIDAYA PADI SRI LAHAN

KERING (STUDI KASUS KECAMATAN JATINANGOR)



Land Waters Balance Analysis For Supporting Paddy Cultivation Using Dryland SRI Method (Case
Study Kecamatan Jatinangor).

M.Adrian Munaf Karim
1
, Edy Suryadi
2
, Sophia Dwiratna
2


1
Alumnus Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Pertanian
2
Staff Pengajar Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Jadwal dan pola tanam padi lahan kering yang diterapkan petani Kecamatan Jatinangor
mengacu pada kebiasaan menanam padi lahan kering pada awal musim hujan. Penelitian ini
mengambil analisis neraca air lahan periode tengah bulanan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi neraca air lahan bulanan pada kecamatan Jatinangor sehingga dapat diketahui
pola dan jadwal tanam yang tepat untuk budidaya padi lahan kering dengan metode SRI lahan kering
di Kecamatan Jatinangor. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analitik
deskriptif, yaitu dengan menganalisis neraca air lahan bulanan pada lahan kering di Kecamatan
Jatinangor, lalu mendeskripsikan neraca air lahan bulanan tersebut pada pola dan jadwal tanam
yang tepat untuk budidaya padi lahan kering dengan menggunakan metode SRI lahan kering pada
Kecamatan Jatinangor. Parameter yang dibutuhkan dalam analisis neraca air lahan terdiri dari curah
hujan, evapotranspirasi, kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang dan kadar air tanah pada
kondisi titik layu permanen. Penentuan kadar air tanah dilakukan berdasarkan jenis tanah yang
terdapat di Kecamatan Jatinangor: aluvial, dan latosol. Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi
neraca air lahan Kecamatan Jatinangor untuk jenis tanah aluvial dan latosol terdiri dari 7,5 bulan
surplus dan 4,5 bulan defisit. Pola dan jadwal tanam yang tepat untuk budidaya padi menggunakan
metode SRI lahan kering di Kecamatan Jatinangor untuk jenis tanah aluvial adalah padi lahan kering
+ jagung/singkong (MT I) jagung + kacang merah (MT II) - bera dan untuk jenis tanah latosol
adalah padi lahan kering + singkong/jagung (MT I) jagung/ubi jalar + kacang merah/jagung (MT II) -
bera. Hasil penelitian juga menunjukkan terjadi pergeseran awal musim tanam yang biasanya
dilakukan pada bulan Oktober I menjadi bulan Oktober II.

Kata kunci : pola tanam, jadwal tanam, neraca air lahan, Padi SRI Lahan kering

ABSTRACT

Schedule and pattern of cropping in dryland that was applied by farmers at Kecamatan
Jatinangor still based on their habbit which always plant dryland paddy at early raining season. In this
case, land waters balance that used was middle of the month period. This research is aimed to find
out the situation of land waters balance at Kecamatan Jatinangor so that the right cropping pattern for
paddy cultivation using SRI dryland method can be obtained. The experiment used the method
analysis descriptive by analyzed land waters balance at Kecamatan Jatinangor and describe it to the
right cropping pattern for paddy cultivation using SRI dryland at Kecamatan Jatinangor. The
parameters that needed were rainfall, evapotranspirate, ground water at field capacity and ground
water at permanent faded point. Determination of ground water was made based on the type of soil at
Kecamatan Jatinangor; aluvial, and latosol. The result showed that the situation of land waters
balance at Kecamatan Jatinangor is 7,5 month surplus and 4,5 deficit for all type of the soil. The right
cropping pattern for paddy cultivation using SRI dry land in type of soil aluvial is dryland paddy +
corn/cassava (CS I) corn + red bean (CS II) - unused and for type of soil latosol is dryland paddy +
cassava/corn (CS I) corn/sweet potato + red bean/corn (CS II) - unused. The result showed that the
shifting of the early cropping season happened, which that usually at Oktober I turned into Oktober II

Keyword : cropping pattern, planting schedules, land waters balance, field capacity and permanent
faded point.





PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang
mengandalkan padi sebagai komoditas utama
dalam bidang pertanian, karena hampir
seluruh lapisan masyarakat Indonesia
mengkonsumsi padi sebagai pangan utama.
Produksi padi itu sendiri untuk Indonesia pada
tahun 2011 mencapai angka 66 juta ton (BPS,
2012). Norsalis (2011) menyatakan bahwa
padi dapat dibedakan menjadi padi sawah dan
padi gogo (padi lahan kering).
Produksi dari padi sawah dan padi lahan
kering itu sendiri berbeda sangat jauh.
Sebagai contoh, BPS Jawa Barat (2012)
menyatakan bahwa produksi dari padi sawah
di Jawa Barat mencapai 11 juta ton dan
produksi dari padi gogo hanya mencapai 450
ribu ton. Berdasarkan data tersebut dapat
terlihat bahwa produksi padi lahan kering tidak
mencapai 50% produksi padi sawah
sedangkan luasan lahan kering Jawa Barat itu
sendiri mencapai 1,5 juta ha dan luasan padi
sawah hanya mencapai 900 ribu ha (BPS
Jawa Barat, 2012).
Kecamatan Jatinangor merupakan
daerah di Kabupaten Sumedang, Provinsi
Jawa Barat yang mempunyai luasan lahan
kering yang tidak terolah seluruhnya.
Kecamatan Jatinangor mempunyai luas lahan
kering mencapai 629 ha, dengan peruntukan
lahan untuk padi lahan kering mencapai 133
ha (BPS, 2010). Dengan produksi padi lahan
kering hanya mencapai 302 ton sedangkan
produksi padi sawah mencapai angka 5700
ton (Kecamatan Jatinangor, 2012).
Petani di Kecamatan Jatinangor dapat
dikatakan tidak sering menjadikan padi lahan
kering sebagai komoditas utama dikarenakan
harga jualnya yang berbeda jauh dengan padi
sawah, dan hasil panennya yang jauh dari
harapan.
Abdurachman et.al (2008) menyatakan
bahwa pemanfaatan lahan kering untuk
pertanian padi lahan kering sering diabaikan
oleh para pengambil kebijakan, yang lebih
tertarik pada peningkatan produksi beras pada
lahan sawah. Hal ini mungkin karena terdapat
anggapan bahwa meningkatkan produksi padi
sawah lebih mudah dan lebih menjanjikan
dibandingkan dengan padi lahan kering yang
memiliki risiko kegagalan lebih tinggi.
Hal yang sangat penting pada budidaya
padi lahan kering adalah ketersediaan air yang
mencukupi. Oleh karena itu, diperlukan
adanya informasi mengenai jumlah air yang
tersedia pada lahan kering tersebut agar padi
lahan kering tidak mengalami kekurangan air
dalam proses pertumbuhannya.
Hillel (1972) dalam Purbawa dan Wiryajaya
(2009) menyatakan bahwa pengelolaan lahan
kering melalui analisis neraca air lahan
merupakan sesuatu yang penti ng karena
neraca ai r merupakan peri nci an
t ent ang semua masukan, keluaran, dan
perubahan simpanan air yang terdapat
pada suatu lahan. Agar budidaya padi
metode SRI lahan kering dapat berkembang
secara baik maka diperlukan informasi
neraca air.
Penanaman padi pada lahan kering
hanya mengandalkan curah hujan sebagai
sumber air utamanya. Oleh karena itu pola
dan jadwal tanam dari pada padi lahan kering
tersebut harus tepat. Pola dan Jadwal tanam
adalah adalah suatu pedoman pengaturan
atau pergiliran jenis tanaman dan jadwal
tanam secara tetap pada suatu lahan dalam
kurun waktu satu tahun (Wirosoedarmo,
1985). Dalam hal ini, padi lahan kering akan
sangat tepat ditanam pada awal musim hujan.

METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah metode analitik deskriptif, yaitu
dengan menganalisis neraca air lahan bulanan
pada lahan kering di Kecamatan Jatinangor,
lalu mendeskripsikan neraca air lahan bulanan
tersebut pada pola dan jadwal tanam yang
tepat untuk budidaya padi lahan kering dengan
menggunakan metode SRI lahan kering pada
Kecamatan Jatinangor.

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan
September - November 2012 di Kecamatan
Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Provinsi
Jawa Barat khususnya, pada lahan penelitian
milik Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran

Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian secara garis
besar dijelaskan pada diagram alir berikut ini:
Mulai
Pengumpulan
data
Data Primer
Data
Sekunder
Wawancara
Uji Sampel
Tanah
Kapasitas
Lapang
Titik Layu
Permanen
Data curah
hujan (1998-
2011)
Data
klimatologi
(2000-2011
Analisis neraca air
lahan
Rekomendasi jadwal tanam
untuk budidaya padi gogo
metode SRI lahan kering
Curah Hujan
Bulanan
ETP dan
ETC
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

Pengumpulan Data
Data Primer
Data primer pada penelitian ini adalah
hasil wawancara dengan petani tentang jadwal
tanam padi gogo yang biasa ditanam oleh
petani sekitar Kecamatan Jatinangor dan uji
sampel tanah..
Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi :
Data curah hujan periode 1998-2011
di kecamatan jatinangor
Data tabuler klimatologi harian periode
2000-2011 stasiun Bandung
Analisis Data dan Perhitungan Neraca Air
Setelah semua data-data yang diperlukan
terkumpul, maka proses selanjutnya adalah
analisis data yang meliputi analisis curah
hujan, analisis evapotranspirasi, perhitungan
neraca air lahan bulanan, dan rekomendasi
jadwal tanam untuk budidaya padi gogo
dengan metode SRI lahan kering.
Analisis data Curah Hujan
Analisis curah hujan dilakukan dengan
menggunakan Metode Poligon Thiesen
Pengolahan data suhu
Data suhu diolah dengan menggunakan
metode pendugaan Braak.

Analisis Evapotranspirasi
Perhitungan ETP dilakukan dengan
menggunakan Metode Penman-Monteith.

Perhitungan neraca air lahan bulanan
Persamaan yang digunakan pada kajian
neraca air lahan bulanan ini adalah
persamaan Thornhtwaite dan Mather (1957).

Rekomendasi Pola dan J adwal Tanam
Setelah neraca air lahan bulanan
dihitung, maka langkah selanjutnya adalah
rekomendasi pola dan jadwal tanam
berdasarkan nilai surplus dari perhitungan
neraca air lahannya

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengolahan Data Curah Hujan dan
Pengolahan Data Suhu
Pengolahan Data Curah Hujan

Data hujan diperoleh dari Dinas Pengelolaan
Sumber Daya Air (PSDA) Jawa Barat, LAPAN
Tanjung Sari, dan Badan Meteorologi dan
Geofisika Stasiun Bandung, Jawa Barat. Data
stasiun hujan yang diambil meliputi stasiun
hujan Cibiru, Cicalengka dan Tanjung sari.
Pengolahan yang dilakukan adalah membuat
data tengah bulanan dari data harian yang
didapat, lalu membuat nilai curah hujan
wilayah untuk daerah Kecamatan Jatinangor
dengan menggunakan metode poligon
Thiessen.
Gambar 2 merupakan hasil pembuatan
poligon thiessen dari ketiga titik stasiun acuan
yang mewakili daerah Kecamatan Jatinangor.
Dapat dilihat bahwa Stasiun Cibiru yang
diwakili dengan warna hijau mewakili lebih dari
50% curah hujan wilayah Kecamatan
Jatinangor. Adapun nilai curah hujan wilayah
dengan menggunakan metode Poligon
Thiessen untuk Kecamatan Jatinangor dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Curah Hujan Wilayah Untuk
Kecamatan Jatinangor
Bulan
Curah
Hujan
Bulan
Curah
Hujan
Januari I 106.37 Juli I 20.39
Januari II 138.78 Juli II 24.63
Februari I 109.82 Agustus I 9.68
Februari II 121.78 Agustus II 12.20
Maret I 142.83 September I 19.81
Maret II 136.20 September II 24.22
April I 110.65 Oktober I 49.30
April II 95.28 Oktober II 87.38
Mei I 72.81 November I 118.92
Mei II 57.71 November II 135.57
Juni I 32.81 Desember I 149.24
Juni II 20.71 Desember II 116.39
Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat
dikatakan bahwa bulan Maret adalah puncak
dari musim hujan, dan bulan Agustus adalah
puncak dari musim kemarau. Berdasarkan
Tabel 1 Jumlah bulan basah di Kecamatan
Jatinangor adalah 8 bulan dan bulan kering
adalah 4 bulan.
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-
Ferguson Kecamatan Jatinangor terdapat 8
Bulan Basah (BB), dan 4 Bulan Kering (BK).
Apabila dikaitkan dengan klasifikasi iklim
menurut Schmidt-Ferguson maka Kecamatan
Jatinangor termasuk kedalam tipe iklim C,
dengan keadaan iklim dan vegetasi daerah
agak basah, dan daun gugur pada musim
kemarau. Keadaan tersebut mencukupi syarat
pertumbuhan padi lahan kering, Toha (2005)
menyebutkan bahwa padi lahan kering
memerlukan minimal 4 bulan musim hujan.

Pengolahan Data Suhu
Data suhu didapat dari Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMKG) untuk
stasiun Bandung periode 2000-2011. Data
tersebut merupakan data acuan yang
digunakan untuk metode pendugaan suhu
Braak. Data acuan suhu dan ketinggian
digunakan untuk menduga penyebaran suhu
di Kecamatan Jatinangor berdasarkan titik-titik
ketinggian wilayah
Tabel 2. Contoh Pendugaan Suhu
Berdasarkan Ketinggian
Titik Tinggi
(mdpl)
Suhu
(

C)
1
675 23,75
2
775 23,14
3
875 22,53
4
975 21,92
5
1075 21,31
6
1175 20,70
7
1275 20,09
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui
bahwa setiap kenaikan ketinggian 100 m di
atas permukaan laut, maka suhu mengalami
Gambar 2. Poligon Thiessen Untuk Kecamatan Jatinangor
penurunan sebesar 0,61

C. Data suhu yang


didapat menggunakan persamaan Braak
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Suhu Dengan Menggunakan
Metode Pendugaan Braak
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
22,95 22,77 23,03 23,21 23,52 22,79
Jul Ags Sep Okt Nov Des
22,69 22,85 23,47 23,67 23,30 23,11
Berdasarkan Tabel 3 tersebut maka
suhu di Kecamatan Jatinangor sudah
memenuhi syarat pertumbuhan padi lahan
kering. Toha (2005) menyebutkan bahwa padi
lahan kering bisa tumbuh pada daerah dengan
suhu 22 - 27C.
Uji Sampel Tanah
Uji sampel tanah diambil berdasarkan
jenis tanah di Kecamatan Jatinangor. Uji
sampel tanah dilakukan untuk mendapatkan
nilai Kapasitas Lapang (KL) dan Titik Layu
Permanen (TLP) yang dibutuhkan untuk
menghitung analisis dalam penelitian ini.
Pengambilan sampel dilakukan
menggunakan Random Sampling di mana
sampel yang dipilih berdasarkan jenis tanah di
Kecamatan Jatinangor jatinangor.
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa
Kecamatan Jatinangor terdapat 2 jenis tanah,
aluvial dan latosol.
Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara Undisturbed Sample, yaitu
sampel tanah tidak terganggu. Sampel tanah
tidak terganggu adalah sampel tanah yang
tidak mengalami pengolahan lahan
sebelumnya. Pengambilan sampel dilakukan
menggunakan ring sampel tanah pada
kedalaman 30 cm. Uji laboratorium untuk
sampel tanah pada penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor (IPB). Ringkasan hasil
uji lab sampel tanah dapat dilihat pada Tabel
4.
Tabel 4. Ringkasan Hasil Uji Sampel Tanah
Jenis
tanah
Titik
sampel
Nilai
KL
(%)
Nilai TLP (%)
Alluvial 1 40,35 26,50
2 37,65 25,20
3 38,54 28,94
Latosol 1 37,87 25,09
2 33,71 24,99
3 33,95 24,50
Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa
nilai dari kapasitas lapang dan titik layu
permanen dirata-ratakan sehingga didapatkan
nilai kapasitas lapang untuk tanah aluvial di
Kecamatan Jatinangor adalah 38,85% volume,
dan untuk tanah latosol adalah 35,18%
volume. Nilai tersebut di konversi menjadi
satuan mm, maka nilai kapasitas lapang untuk
tanah aluvial menjadi 19,42 mm dan untuk
tanah latosol menjadi 17,59 mm.
Untuk nilai titik layu permanen untuk
tanah aluvial di Kecamatan Jatinangor adalah,
26,88% volume dan untuk tanah latosol adalah
24,86 % volume. Nilai tersebut di konversi
menjadi satuan mm, maka nilai titik layu
permanen untuk tanah aluvial menjadi 13,44
mm dan untuk tanah latosol menjadi 12,43
mm.

Gambar 3. Peta Jenis Tanah Kecamatan Jatinangor
Perhitungan Evapotranspirasi Potensial
(ETP)
Tabel 5. Data Evapotranspirasi Tengah
Bulanan Kecamatan Jatinangor

Perhitungan evapotranspirasi potensial
menggunakan metode Penman-Monteith, Data
klimatologi yang dibutuhkan pada perhitungan
evapotranspirasi potensial penelitian ini
didapat dari dinas Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMKG) Stasiun Bandung dengan
periode pengamatan tahun 2000-2011. Nilai
evapotranspirasi tengah bulanan di
Kecamatan Jatinangor dapat dilihat pada
Tabel 5.
Analisis Neraca Air Lahan Metode
Thornwaite-Matter
Nilai analisis neraca air lahan dibagi
menjadi dua, yaitu analisis neraca air lahan
untuk tanah aluvial dan analisis neraca air
lahan untuk tanah latosol.
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat
bahwa kondisi neraca air lahan Kecamatan
Jatinangor untuk jenis tanah aluvial terdiri dari
7,5 bulan surplus dan 4,5 bulan defisit. Surplus
terjadi pada bulan Oktober II sampai dengan
bulan Mei II, sedangkan defisit terjadi pada
bulan Juni I sampai dengan bulan Oktober II.
Nilai surplus terbesar adalah 99,02 mm yang
terjadi pada bulan Desember I dan nilai
Jan I Jan II Feb I Feb II
58,72 62,63 51,78 48,33
Mar I Mar II Apr I Apr II
51,43 54,86 48,42 48,42
Mei I Mei II Jun I Jun II
47,53 50,70 47,73 47,73
Jul I Jul II Ags I Ags II
51,34 54,77 59,20 63,15
Sep I Sep II Okt I Okt II
63,26 63,26 60,78 64,83
Nov I Nov II Des I Des II
51,36 51,36 50,22 53,57
Gambar 4. Grafik Analisis Neraca Air Lahan Untuk Jenis Tanah aluvial
Gambar 5. Grafik Analisis Neraca Air Lahan Untuk Jenis Tanah Latosol
surplus terkecil adalah 7,01 mm yang terjadi
pada bulan Mei I.
Berdasarkan gambar 5 dapat dilihat
bahwa kondisi neraca air lahan Kecamatan
Jatinangor untuk jenis tanah latosol tidak
berbeda dengan kondisi neraca air lahan
Kecamatan Jatinangor untuk jenis tanah
aluvial. Jumlah bulan surplus terdiri dari 7,5
bulan, dan jumlah bulan defisit terdiri dari 4,5
bulan. Nilai surplus terbesar adalah 99,02 mm
yang terjadi pada bulan Desember I dan nilai
surplus terkecil adalah 7,01 mm yang terjadi
pada bulan Mei I.
Pola dan Jadwal Tanam Padi Lahan Kering
Di Kecamatan Jatinangor
Berikut ini adalah ringkasan hasil
wawancara yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Ringkasan Hasil Wawancara
Desa Pola Tanam
Eksisting
Jadwal
Tanam
Cibeusi padi lahan kering +
singkong - jagung -
bera
Okt I
(MT I) /
Feb I
(MT II)
Cipacing padi lahan kering +
jagung ubi jalar -
bera
Okt I
(MT I) /
Feb I
(MT II)
Cileles padi lahan kering +
singkong jagung -
bera
Okt I
(MT I) /
Feb I
(MT II)
Cilayung padi lahan kering +
singkong jagung -
bera
Okt I
(MT I) /
Feb I
(MT II)
Jatiroke padi lahan kering +
jagung jagung +
kacang merah -
bera
Okt I
(MT I) /
Feb I
(MT II)
Jatimukti padi lahan kering +
jagung ubi jalar
bera

padi lahan kering +
singkong jagung -
bera
Okt I
(MT I) /
Feb I
(MT II)
Pola dan Jadwal Tanam Eksisting
Pola dan Jadwal Tanam Eksisting Pada
Jenis Tanah Aluvial
Pada Kecamatan Jatinangor, desa dengan
jenis tanah Aluvial yang menanam padi lahan
kering hanya terdiri dari dua desa, yaitu Desa
Cipacing, dan Desa Cibeusi. Untuk Desa
Cipacing, pola tanam eksisting para petani
dalam menanam padi lahan kering di desa
tersebut adalah mereka menanam padi lahan
kering + jagung ubi jalar - bera. Petani
setempat untuk musim tanam I biasa mulai
menanam pada bulan Oktober I dan untuk
musim tanam II biasa mulai menanam pada
bulan Februari I sedangkan untuk pengolahan
tanah petani di desa Cipacing melakukannya 1
bulan sebelum musim tanam I. Neraca air
untuk jadwal dan pola tanam eksisting I pada
jenis tanah aluvial di Desa Cipacing dapat
dilihat pada Gambar 6.
Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat
bahwa pola dan jadwal tanam eksisting I yang
dilakukan di desa Cipacing terjadi defisit air.
Defisit air terjadi pada bulan Oktober I yang
mana merupakan awal dari pertumbuhan padi
lahan kering. Pada pola dan jadwal tanam
eksisting I tanaman padi kekurangan air pada
saat fase vegetatif yang harusnya sangat
membutuhkan air. Pola tanam eksisting I ini
untuk MT I petani menanam tanaman padi
lahan kering yang ditumpangsarikan dengan
jagung. Adapun jadwal tanam jagung
bersamaan dengan jadwal tanam padi lahan
kering. Untuk MT II petani hanya menanam ubi
jalar.
Apabila seperti ini, maka alternatif yang
dapat dilakukan agar tidak terjadi defisit air
yaitu dengan menggeser jadwal tanam sesuai
dengan ketersediaan air dan kebutuhan
tanaman padi lahan kering. Karena apabila
pola dan jadwal tanam eksisting I ini
dipertahankan kemungkinan produksi yang
dihasilkan tidak mencapai hasil yang optimum.
Untuk Desa Cibeusi, pola tanam eksisting
para petani dalam menanam padi lahan kering
di desa tersebut adalah mereka menanam
padi lahan kering + singkong - jagung - bera.
Para petani di Desa Cibeusi mulai menanam
pada bulan Oktober I dan untuk musim tanam
II biasa mulai menanam pada bulan Februari I.
Neraca air untuk jadwal dan pola tanam
eksisting II pada jenis tanah aluvial di Desa
Cibeusi dapat dilihat pada Gambar 7.
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat
bahwa pola dan jadwal tanam eksisting II yang
dilakukan di Desa Cibeusi terjadi defisit air.
Oleh karena itu, pola dan jadwal tanam yang
dilakukan di Desa Cibeusi tidak dapat
digunakan untuk seterusnya. Pola tanam
eksisting II ini untuk MT I petani menanam
tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan singkong. Adapun
jadwal tanam singkong bersamaan dengan
jadwal tanam padi lahan kering. Untuk MT II
petani hanya menanam jagung dengan
singkong lanjutan dari MT I.
Defisit air terjadi pada bulan Oktober I
yang mana merupakan awal dari pertumbuhan
padi lahan kering. Apabila seperti ini, maka
alternatif yang dapat dilakukan agar tidak
terjadi defisit air yaitu dengan menggeser
jadwal tanam sesuai dengan ketersediaan air
dan kebutuhan tanaman padi lahan kering.
Karena apabila pola dan jadwal tanam
eksisting II ini dipertahankan kemungkinan
produksi yang dihasilkan tidak mencapai hasil
yang optimum.
Pola dan Jadwal Tanam Eksisting
Pada Jenis Tanah Latosol
Pada Kecamatan Jatinangor, desa dengan
jenis tanah latosol yang menanam padi lahan
kering terdiri dari empat desa, yaitu Desa
Cilayung, Desa Cileles, Desa Jatimukti, dan
Desa Jatiroke. Untuk Desa Cilayung, pola
tanam eksisting para petani dalam menanam
Gambar 6. Grafik Neraca Air Lahan, Pola dan Jadwal Tanam Eksisting I Pada Jenis Tanah
Aluvial di Desa Cipacing
Gambar 7. Grafik Neraca Air Lahan, Pola dan Jadwal Tanam Eksisting II Pada Jenis Tanah
Aluvial di Desa Cibeusi

Gambar 8. Grafik Neraca Air Lahan, Pola dan Jadwal Tanam Eksisting I Pada Jenis Tanah
Latosol di Desa Cilayung
padi lahan kering di desa tersebut adalah
mereka menanam padi lahan kering +
singkong jagung - bera. Petani setempat
untuk musim tanam I biasa mulai menanam
pada bulan Oktober I dan untuk musim tanam
II biasa mulai menanam pada bulan Februari I.
Neraca air untuk jadwal dan pola tanam
eksisting I pada jenis tanah aluvial di Desa
Cilayung dapat dilihat pada Gambar 8.
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat
bahwa pola dan jadwal tanam eksisting I yang
dilakukan di desa Cilayung terjadi defisit air.
Defisit air terjadi pada bulan Oktober I yang
mana merupakan awal dari pertumbuhan padi
lahan kering. Pola tanam eksisting I ini untuk
MT I petani menanam tanaman padi lahan
kering yang ditumpangsarikan dengan
singkong. Adapun jadwal tanam singkong
bersamaan dengan jadwal tanam padi lahan
kering. Untuk MT II petani hanya menanam
jagung dengan singkong lanjutan dari MT I.
Apabila seperti ini, maka alternatif yang
dapat dilakukan agar tidak terjadi defisit air
yaitu dengan menggeser jadwal tanam sesuai
dengan ketersediaan air dan kebutuhan
tanaman padi lahan kering. Karena apabila
pola dan jadwal tanam eksisting I ini
dipertahankan kemungkinan produksi yang
dihasilkan tidak mencapai hasil yang optimum.
Untuk Desa Cileles, pola tanam eksisting para
petani dalam menanam padi lahan kering di
desa tersebut adalah mereka menanam padi
lahan kering + singkong jagung - bera yang
mana tidak berbeda dengan pola tanam di
Desa Cilayung. Petani setempat untuk musim
tanam I biasa mulai menanam pada bulan
Oktober I dan untuk musim tanam II biasa
mulai menanam pada bulan Februari I. Neraca
air untuk jadwal dan pola tanam eksisting II
pada jenis tanah latosol di Desa Cileles dapat
dilihat pada Gambar 9.
Berdasarkan gambar 9 dapat dilihat
bahwa pola dan jadwal tanam eksisting II yang
dilakukan di desa Cileles terjadi defisit air.
Defisit air terjadi pada bulan Oktober I yang
mana merupakan awal dari pertumbuhan padi
lahan kering. Pola tanam eksisting II ini untuk
MT I petani menanam tanaman padi lahan
Gambar 10. Grafik Neraca Air Lahan, Pola dan Jadwal Tanam Eksisting III Pada Jenis Tanah
Latosol di Desa Jatimukti
Gambar 9. Grafik Neraca Air Lahan, Pola dan Jadwal Tanam Eksisting II Pada Jenis Tanah
Latosol di Desa Cileles
kering yang ditumpangsarikan dengan
singkong. Adapun jadwal tanam singkong
bersamaan dengan jadwal tanam padi lahan
kering. Untuk MT II petani hanya menanam
jagung dengan singkong lanjutan dari MT I.
Apabila seperti ini, maka alternatif yang
dapat dilakukan agar tidak terjadi defisit air
yaitu dengan menggeser jadwal tanam sesuai
dengan ketersediaan air dan kebutuhan
tanaman padi lahan kering. Karena apabila
pola dan jadwal tanam eksisting II ini
dipertahankan kemungkinan produksi yang
dihasilkan tidak mencapai hasil yang optimum.
Untuk Desa Jatimukti, pola tanam
eksisting para petani terbagi menjadi dua
macam. Untuk pola tanam eksisting yang
pertama pola tanam petani dalam menanam
padi lahan kering di desa tersebut adalah
mereka menanam padi lahan kering + jagung
ubi jalar - bera. Petani setempat untuk
musim tanam I biasa mulai menanam pada
bulan Oktober I dan untuk musim tanam II
biasa mulai menanam pada bulan Februari I.
Neraca air untuk jadwal dan pola tanam
eksisting III pada jenis tanah latosol di Desa
Jatimukti dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat
bahwa pola dan jadwal tanam eksisting III
yang dilakukan di Desa Jatimukti terjadi defisit
air. Defisit air terjadi pada bulan Oktober I.
Bulan Oktober I merupakan awal dari
pertumbuhan padi lahan kering. Pada pola dan
jadwal tanam eksisting III tanaman padi
kekurangan air pada saat fase vegetatif yang
harusnya sangat membutuhkan air. Pola
tanam eksisting III ini untuk MT I petani
menanam tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan jagung. Adapun
jadwal tanam jagung bersamaan dengan
jadwal tanam padi lahan kering. Untuk MT II
petani menanam ubi jalar.
Apabila seperti ini, maka alternatif yang
dapat dilakukan agar tidak terjadi defisit air
yaitu dengan menggeser jadwal tanam sesuai
dengan ketersediaan air dan kebutuhan
tanaman padi lahan kering. Karena apabila
pola dan jadwal tanam eksisting III ini
dipertahankan kemungkinan akan produksi
yang dihasilkan tidak mencapai hasil yang
optimum.
Untuk pola tanam padi lahan kering yang
kedua di desa Jatimukti, para petani menanam
padi lahan kering + singkong jagung - bera.
Petani setempat untuk musim tanam I biasa
mulai menanam pada bulan Oktober I dan
untuk musim tanam II biasa mulai menanam
pada bulan Februari I. Neraca air untuk jadwal
dan pola tanam eksisting IV pada jenis tanah
latosol di Desa Jatimukti dapat dilihat pada
Gambar 11.
Berdasarkan Gambar 11 dapat dilihat
bahwa pola dan jadwal tanam eksisting IV
yang dilakukan di desa Jatimukti terjadi defisit
air. Defisit air terjadi pada bulan Oktober I
yang mana merupakan awal dari pertumbuhan
padi lahan kering. Pola tanam eksisting IV ini
untuk MT I petani menanam tanaman padi
lahan kering yang ditumpangsarikan dengan
singkong. Adapun jadwal tanam singkong
bersamaan dengan jadwal tanam padi lahan
kering. Untuk MT II petani hanya menanam
jagung dengan singkong lanjutan dari MT I.
Apabila seperti ini, maka alternatif yang
dapat dilakukan agar tidak terjadi defisit air
yaitu dengan menggeser jadwal tanam sesuai
dengan ketersediaan air dan kebutuhan
tanaman padi lahan kering. Karena apabila
pola dan jadwal tanam eksisting II ini
dipertahankan kemungkinan produksi yang
dihasilkan tidak mencapai hasil yang optimum.
Untuk Desa Jatiroke, pola tanam
eksisting para petani dalam menanam padi
lahan kering di desa tersebut adalah mereka
menanam padi lahan kering + jagung jagung
+ kacang merah - bera. Petani setempat untuk
musim tanam I biasa mulai menanam pada
bulan Oktober I dan untuk musim tanam II
biasa mulai menanam pada bulan Februari I.
Gambar 11. Grafik Neraca Air Lahan, Pola dan Jadwal Tanam Eksisting IV Pada Jenis Tanah
Latosol di Desa Jatimukti

Neraca air untuk jadwal dan pola tanam
eksisting V pada jenis tanah latosol di Desa
Jatiroke dapat dilihat pada Gambar 12.
Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat
bahwa pola dan jadwal tanam eksisting V yang
dilakukan di Desa Jatiroke terjadi defisit air.
Defisit air terjadi pada bulan Oktober I yang
mana merupakan awal dari pertumbuhan padi
lahan kering. Pola tanam eksisting V ini untuk
MT I petani menanam tanaman padi lahan
kering yang ditumpangsarikan dengan jagung.
Adapun jadwal tanam jagung bersamaan
dengan jadwal tanam padi lahan kering. Untuk
MT II petani menanam jagung yang
ditumpangsarikan dengan kacang merah.
Adapun jadwal tanam kacang merah
bersamaan dengan jadwal tanam jagung.
Apabila seperti ini, maka alternatif yang
dapat dilakukan agar tidak terjadi defisit air
yaitu dengan menggeser jadwal tanam sesuai
dengan ketersediaan air dan kebutuhan
tanaman padi lahan kering. Karena apabila
pola dan jadwal tanam eksisting V ini
dipertahankan kemungkinan produksi yang
dihasilkan tidak mencapai hasil yang optimum.
Pola dan Jadwal Tanam Alternatif
Pola dan jadwal tanam alternatif
dirancang dengan melihat neraca air pada
pola dan jadwal tanam padi lahan kering
eksisting di Kecamatan Jatinangor tersebut.
Untuk jadwal tanam yang akan dirancang
dilihat dari bulan basah yang terjadi mulai
pada bulan Oktober II. Untuk merancang pola
tanam dilihat dari kebutuhan air tanaman padi
dikaitkan dengan ketersediaan air di lahan
tersebut.
Pola Dan Jadwal Tanam Alternatif Pada
Jenis Tanah Aluvial
Pola dan Jadwal Tanam Alternatif I
Jadwal dan pola tanam alternatif I adalah
padi lahan kering + jagung - jagung + kacang
merah - bera. Awal musim tanam yaitu pada
bulan Oktober II dan musim tanam kedua
pada bulan Februari II. Neraca air untuk pola
dan jadwal tanam alternatif I dapat dilihat pada
Gambar 13.
Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat
bahwa tidak terjadi defisit air pada MT I
dengan tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan jagung dan MT II
tanaman yang ditanam adalah tanaman
jagung yang ditumpangsarikan dengan kacang
Gambar 12. Grafik Neraca Air Lahan, Pola dan Jadwal Tanam Eksisting V Pada Jenis Tanah
Latosol di Desa Jatiroke
Gambar 13. Grafik Neraca Air Pola dan Jadwal Tanam Alternatif I Untuk Jenis Tanah Aluvial
merah. Defisit air ini tidak terjadi disebabkan
karena kebutuhan air tanaman pada MT I
dengan tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan jagung dapat
terpenuhi, begitu juga pada MT II kebutuhan
air tanaman pada tanaman jagung yang
ditumpangsarikan dengan kacang merah
dapat terpenuhi. Melihat grafik di atas maka
pola dan jadwal tanam alternatif I dapat
direkomendasikan.
Pola dan Jadwal Tanam Alternatif II
Jadwal dan pola tanam alternatif II adalah
padi lahan kering + singkong - jagung - bera.
Awal musim tanam yaitu pada bulan Oktober I
dan musim tanam kedua pada bulan Februari
II. Neraca air untuk pola dan jadwal tanam
alternatif II dapat dilihat pada Gambar 14.
Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat
bahwa tidak terjadi defisit air pada MT I
dengan tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan singkong dan MT II
tanaman yang ditanam adalah tanaman
jagung. Defisit air ini tidak terjadi disebabkan
karena kebutuhan air tanaman pada MT I
dengan tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan singkong dapat
terpenuhi, begitu juga pada MT II kebutuhan
air tanaman pada tanaman jagung dapat
terpenuhi. Tanaman singkong ditanam terlebih
dahulu di bulan Oktober I lalu diikuti tanaman
padi lahan kering pada bulan Oktober II dan
tanaman jagung ditanam pada bulan Februari
II. Melihat grafik diatas maka pola dan jadwal
tanam alternatif I dapat direkomendasikan.
Pola Dan Jadwal Tanam Alternatif Pada
Jenis Tanah Latosol
Pola dan Jadwal Tanam Alternatif I
Jadwal dan pola tanam alternatif I adalah
padi lahan kering + singkong jagung - bera.
Awal musim tanam yaitu pada bulan Oktober I
dan musim tanam kedua pada bulan Februari
II. Neraca air untuk pola dan jadwal tanam
alternatif I dapat dilihat pada Gambar 15.
Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat
bahwa tidak terjadi defisit air pada MT I
dengan tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan singkong dan MT II
tanaman yang ditanam adalah tanaman
jagung. Defisit air ini tidak terjadi disebabkan
karena kebutuhan air tanaman pada MT I
dengan tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan singkong dapat
terpenuhi, begitu juga pada MT II kebutuhan
Gambar 14. Grafik Neraca Air Pola dan Jadwal Tanam Alternatif II Untuk Jenis Tanah Aluvial
Gambar 15. Grafik Neraca Air Pola dan Jadwal Tanam Alternatif I Untuk Jenis Tanah Latosol
air tanaman pada tanaman jagung dapat
terpenuhi. Tanaman singkong ditanam terlebih
dahulu di bulan Oktober I lalu diikuti tanaman
padi lahan kering pada bulan Oktober II dan
tanaman jagung ditanam pada bulan Februari
II. Melihat grafik diatas maka pola dan jadwal
tanam alternatif I dapat direkomendasikan.
Pola dan Jadwal Tanam Alternatif II
Jadwal dan pola tanam alternatif II adalah
padi lahan kering + jagung - ubi jalar - bera.
Awal musim tanam yaitu pada bulan Oktober II
dan musim tanam kedua pada bulan Februari
II. Neraca air untuk pola dan jadwal tanam
alternatif II dapat dilihat pada Gambar 16.
Berdasarkan Gambar 16 dapat dilihat
bahwa tidak terjadi defisit air pada MT I
dengan tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan jagung dan MT II
tanaman yang ditanam adalah tanaman ubi
jalar. Defisit air ini tidak terjadi disebabkan
karena kebutuhan air tanaman pada MT I
dengan tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan jagung dapat
terpenuhi, begitu juga pada MT II kebutuhan
air tanaman pada tanaman ubi jalar dapat
terpenuhi. Melihat grafik diatas maka pola dan
jadwal tanam alternatif II dapat
direkomendasikan.
Pola dan Jadwal Tanam Alternatif III
Jadwal dan pola tanam alternatif III
adalah padi lahan kering + jagung - jagung +
kacang merah - bera. Awal musim tanam yaitu
pada bulan Oktober II dan musim tanam
kedua pada bulan Februari II. Neraca air untuk
pola dan jadwal tanam alternatif III dapat
dilihat pada Gambar 17.
Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat
bahwa tidak terjadi defisit air pada MT I
dengan tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan jagung dan MT II
dengan tanaman jagung yang
ditumpangsarikan dengan kacang merah.
Defisit air ini tidak terjadi disebabkan karena
kebutuhan air tanaman pada MT I dengan
tanaman padi lahan kering yang
ditumpangsarikan dengan jagung dapat
terpenuhi, begitu juga pada MT II kebutuhan
air tanaman jagung yang ditumpangsarikan
dengan tanaman kacang merah dapat
terpenuhi. Melihat grafik diatas maka pola dan
jadwal tanam alternatif III dapat
direkomendasikan.
Gambar 16. Grafik Neraca Air Pola dan Jadwal Tanam Alternatif II Untuk Jenis Tanah Latosol
Gambar 17. Grafik Neraca Air Pola dan Jadwal Tanam Alternatif III Untuk Jenis Tanah Latosol
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang
analisis neraca air lahan di Kecamatan
Jatinangor dapat disimpulkan bahwa :
1. Kondisi neraca air lahan bulanan di
Kecamatan Jatinangor adalah 7,5 bulan
surplus, dan 4,5 bulan defisit. Dengan
jenis tanah di Kecamatan Jatinangor
adalah latosol dan alluvial
2. Pola tanam yang tepat untuk budidaya
padi menggunakan metode SRI lahan
kering di Kecamatan Jatinangor untuk
jenis tanah aluvial adalah padi lahan
kering + jagung/singkong (MT I) jagung
+ kacang merah (MT II) - bera. Pola tanam
yang tepat untuk budidaya padi
menggunakan metode SRI lahan kering di
Kecamatan Jatinangor untuk jenis tanah
latosol adalah padi lahan kering +
singkong/jagung (MT I) jagung/ubi jalar +
kacang merah/jagung (MT II).
3. Jadwal tanam padi lahan kering eksisting
di Kecamatan Jatinangor adalah mulai
tanam pada bulan Oktober I dan setelah
dilakukan perhitungan analisis neraca air
lahan jadwal tanam tersebut
menyebabkan terjadinya defisit pada
musim tanam I (MT I). Oleh karena hal
tersebut, maka jadwal tanam khusus padi
lahan kering harus digeser menjadi bulan
Oktober II agar tidak terjadi defisit di
musim tanam yang ditanami padi lahan
kering.

Saran
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan, maka diajukan saran perlu adanya
penyuluhan tentang pola dan jadwal tanam
yang tepat untuk budidaya SRI lahan kering
yang dianalisis berdasarkan analisis neraca air
lahan bulanan kepada seluruh petani yang
menanam padi lahan kering di Kecamatan
Jatinangor.



Daftar Pustaka

Abdurachman et, al. 2008. Strategi Dan
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering
Mendukung Pengadaan Pangan
Nasional. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian, Bogor. Indonesia.

As-syakur. 2009. Evaluasi Zona Agroklimat
Dari Klasifikasi Schimidt-Ferguson
Menggunakan Aplikasi Sistem
Informasi Geografis (SIG). J. Pijar
MIPA, Vol. III: Denpasar.

Badan Pusat Statistik, 2012. Statistik
Indonesia 2012. Badan Pusat
Statistik Indonesia. Indonesia.

Badan Pusat Stastik Jawa Barat, 2012. Jawa
Barat Dalam Angka 2012. Bidang
Integrasi Pengolahan dan Diseminasi
Statistik. Jawa Barat, Indonesia.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang,
2010. Kabupaten Sumedang Dalam
Angka 2010. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Sumedang.

Norsalis, Eko. 2011. Padi Sawah dan Padi
Gogo Tinjauan Secara Morfologi,
Budidaya dan Fisiologi. Dalam
http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-
Indonesia/Padigogodansawah_ekono
rsalis_17170.pdf diunduh pada
tanggal 20 juni 2012

Purbawa, I Gede Agus. Wiryajaya, I Nyoman
Gede. 2009. Analisis Spasial Normal
Ketersediaan Air Tanah Bulanan Di
Provinsi Bali. Balai Besar Meteorologi
dan Geofisika Wilayah III Denpasar.
Bali.

Wirosoedarmo, R. 1985. Studi Pengolahan
Tanah Pada Berbagai Kandungan Air
Tanah. Universitas Brawijaya. Malang

Вам также может понравиться