Вы находитесь на странице: 1из 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Maksud
Menghitung persentase kelerengan serta beda tinggi dengan perhitungan
morfometri pada bentang alam fluvial berdasarkan klasifikasi Van
Zuidam.
Mengetahui pembagian satuan deliniasi pada peta topografi daerah
Randudongkal untuk dapat mengetahui ciri khas morfologinya.
Menggambarkan pola pengaliran sungai beserta jalan pada peta
topografi.
Menggambarkan sayatan peta topografi serta membuat profil eksagrasi.
Mengetahui interpretasi proses pembentukan bentang alam fluvial dilihat
dari peta topogafi.

1.2 Tujuan
Menghitung persentase kelerengan serta beda tinggi dengan perhitungan
morfometri pada bentang alam fluvial berdasarkan klasifikasi Van
Zuidam.
Mengetahui pembagian satuan deliniasi pada peta topografi daerah
Randudongkal untuk dapat mengetahui ciri khas morfologinya.
Menggambarkan pola pengaliran sungai beserta jalan pada peta
topografi.
Menggambarkan sayatan peta topografi serta membuat profil eksagrasi.
Mengetahui interpretasi proses pembentukan bentang alam fluvial dilihat
dari peta topogafi.

1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum
Hari : Kamis
Tanggal : 27 Maret 2014
2

Waktu : 15.30 17.30 WIB
Tempat Pelaksanaan : Ruang Seminar, Gedung Pertamina Sukowati
Teknik Geologi, Semarang
























3

BAB II
DASAR TEORI

2.1. Pengertian Bentang Alam Fluvial
Bentang alam fluvial adalah bentang alam hasil dari proses kimia
maupun fisika yang menyebabkan perubahan bentuk muka bumi karena
pengaruh air permukaan (proses fluvial). Air permukaan dapat berupa sungai
yang mengalir di bukit-bukit (sheet water).
Sebagaimana proses geomorfik yang lain, proses fluvial akan
menghasilkan suatu bentang alam yang khas sebagai tingkah laku air yang
mengalir di permukaan. Bentang alam yang dibentuk dapat terjadi karena
proses erosi maupun karena proses sedimentasi yang dilakukan oleh air
permukaan. Adanya air permukaan sangat dikontrol oleh adanya air hujan,
sedangkan besar kecilnya jumlah air permukaan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu antara lain kelerengan, iklim, litologi dan nilai curah hujan.
Sungai merupakan aliran air yang dibatasi suatu alur yang mengalir ke tempat
/ lembah yang lebih rendah karena pengaruh gravitasi. Sungai termasuk
sungai besar, sungai kecil maupun anak sungai.

2.2. Proses Fluvial
Proses fluvial dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Proses erosi
Menurut Sukmana, 1979, proses erosi adlah suatu proses atau
peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah yang disebabkan oleh
pergerakan air atau angin. Sedangkan Arsyad, 1982, mendefinisikan
proses erosi sebagai peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau
bagia-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami.
Menurut Holy, 1980, berdasarkan agen penyebabnya, erosi dibagi
menjadi empat macam, yaitu erosi oleh air, erosi oleh angin, erosi oleh
gletser dan erosi oleh salju. Dalam bentang alam ini, agen penyebab
erosi yang paling dominan adalah air. Sungai dapat mengerosi batuan
4

sedimen yang dilaluinya, memotong lembah, memperdalam dan
memperlebar sungai dengan cara-cara quarrying, abrasi, scouring,
korosi, hydraulic action, dan solution. Berdasarkan arahnya, erosi dapat
dibedakan menjadi :
Erosi kearah hulu ( head ward erotion) adalah erosi yang terjadi pada
ujung sungai.
Erosi vertikal, erosi yang arahnya tegak dan cenderung terjadi pada
daerah bagian hulu pada sungai dan menyebabkan terjadinya
pendalaman lembah sungai.
Erosi lateral, yaitu erosi yang arahnya mendatar dan dominan terjadi
pada daerah tengah sungai yang menyebabkan bertambah lebar dan
panjang sungai.

Erosi yang berlangsung terus hingga suatu saat akan mencapai
batas dimana air sungai sudah tidak lagi mampu mengerosi lagi (erition
base lavel). Erotion base level ini dapat dibagi menjadi ultimate base
level (yang base level-nya berupa laut) dan temporary base level (base
level-nya lokal seperti danau dan rawa.
Intensitas erosi pada suatu sungai berbanding lurus dengan
kecepatan aliran sungai tersebut. Erosi akan lebih efektif bila media
yang bersangkutan mengangkut bermacam-macam material. Erosi
memiliki tujuan akhir meratakan sehingga mendekati ultimate base
level.

2. Proses transportasi
Proses transportasi adalah proses perpindahan / pengangkutan
material yang diakibatkan oleh tenaga kinetis yang ada pada sungai
sebagai efek dari gaya gravitasi. Sungai mengangkut material hasil
erosinya dengan berbagai cara.
Traksi, yaitu material yang diangkut akan terseret pada dasar sungai.
5

Rolling, yaitu material akan terangkut dengan cara menggelinding di
dasara sungai.
Saltasi, yaitu material yang terangkut mengambang lalu kembali
tenggelam seolah-olah meloncat.
Suspensi, yaitu proses pengangkutan material secara mengambang
dan bercampur dengan air sehingga menybabkan air menjadi keruh.
Solution, yaitu pengangkutan material larut dalam air dan
membentuk larutan kimia.

3. Proses pengendapan
Proses sedimentasi adalah proses pengendapan mateial karena
aliran sungai tidak mampu lagi mengangkut material yang dibawanya.
Apabila tenaga angkut berkurang, maka material yang berukuran besar
dan lebih berat akan terendapkan terlebih dahulu, baru kemudian
material yang lebih halus dan ringan.
Bagian sungai yang paling efektif unutk proses pengendapan ini
adalah bagian hilir atau pada bagian slip of slope pada kelokan sungai,
karena biasanya pada bagian kelokan ini terjadi pengurangan energi
yang cukup besar.
Ukuran material yang diendapkan berbanding lurus dengan
besarnya energi pengangkut, sehingga semakin ke arah hilir, energi
semakin kecil, material yang diendapkan pun semakin halus.

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Erosi dan Sedimentasi
1. Kecepatan Aliran Sungai
Kecepatan aliran sungai maksimal pada tengah alur sungai, bila
membelok maka kecepatan maksimal ada pada daerah cut off slope
(terjadi erosi) karena gaya sentrifugal. Pengendapan terjadi jika
kecepatan sungai menurun atau bahkan hilang.


6

2. Gradien/ Kemiringan Lereng Sungai
Bila air mengalir dari sungai yang kemiringan lerengnya curam
ke dataran yang lebih rendah maka kecepatan air akan berkurang dan
tiba-tiba hilang sehingga menyebabkan pengendapan pada dasar sungai.
Bila kemudian ada lereng yang terjal lagi, kecepatan akan meningkat
sehingga terjadi erosi yang menyebabkan pendalaman lembah.

3. Bentuk Alur Sungai
Aliran sungai akan menggerus bagian tepi dan dasar sungai.
Semakin besar gesekan yang terjadi maka air akan mengalir lebih
lambat. Sungai yang dalam, sempit dan permukaan dasarnya tidak
kasar, aliran airnya deras. Sungai yang lebar, dangkal dan permukaanya
tidak kasar, atau sempit, dalam tetapi permukaan dasarnya kasar maka
aliran airnya lambat.

4. Discharge
Merupakan volume air yang keluar dari suatu sungai. Proses erosi
dan transportasi terjadi karena besarnya kecepatan aliran sungai dan
discharge.

2.4 Pola Pengaliran (Drainage Pattern)
Satu sungai atau lebih beserta anak sugai dan cabangnya dapat
membentuk suatu pola atau sistem tertentu yang dikenal sebagai pola
pengaliran (drainage pattern). Pola ini dapat dibedakan menjadi beberapa
macam variasi tergantung struktur batuan dan variasi litologinya.
a. Pola pengaliran rectangular, yaitu pola pengaliran di mana anak-anak
sungainya membentuk sudut tegak lurus dengan sungai utamanya. Pola ini
biasanya terdapat pda daerah patahan yang bersistem teratur.
b. Pola pengaliran dendritik, yaitu pola pengaliran berbentuk seperti pohon
dan cabang-cabangnya yang berarah tidak teratur. Pola ini berkembang
pada daerah dengan batuan yang resistensinya seragam, lapisan sedimen
7

mendatar, batuan beku massif, daerah lipatan, dan daerah metamorf yang
kompleks.
c. Pola pengaliran sejajar/paralel, yaitu pola pengaliran yang arah alirannya
sejajar. Pola ini berkembang pada daerah yang memppunyai kemiringan
nyata, dan batuannya bertekstur halus.
d. Pola pengaliran trellis, yaitu pola pengaliran yang berbentuk seperti daun
dengan anak-anak sungai sejajar, sungai utamanya biasanya memanjang
searah dengan jurus perlapisan batuan. Pola ini banyak dijumpai pada
daerah patahan atau lipatan.
e. Pola pengaliran radial, yaitu pola pengaliran yang arahnya menyebar ke
segala arah dari suatu pusat. Umumnya berkemban pada daerah dengan
struktur kubah stadia muda, pada kerucut gunug api, dan pada bukit-bukit
ynag berbentuk kerucut.
f. Pola pengaliran annular, yaitu pola pengaliran di mana sungai atau anak
sungainya mempunyai penyebaran yang melingkar. Sering dijumpai pada
daerah kubah berstadia dewasa.
g. Pola pengaliran multibasinal (sink hole), yaitu pola pengaliran yang tidak
sempurna, kadang tampak kadang hilang yang disebut sebagai sungai
bawah tanah. Pola ini berkembang pada daerah karst atau betugamping.
h. Pola pengaliran contorted, yaitu pola pengaliran yang arah alirannya
berbalik dari arah semula. Pola ini terdapat pada daerah patahan.


Gambar 2.1 Pola Pengaliran Sungai
8

2.5 Klasifikasi Sungai dan Stadia Erosinya
Berdasarkan stadia erosinya, sungai dibedakan menjadi :
a. Sungai muda
Sungai stadia muda dicirikan oleh kemiringan dasar sungai besar, erosi
vertikal efektif, tidak terjadi pengendapan, pada lembah sungai banyak
dijumpai air terjun, dataran banjir sempit, penampang melintang sungai
berbentuk seperti huruf V, relatif lurus dan mengalir di atas batuan
induk, densitas sungai kecil, dan anak sungai jarang.

b. Sungai dewasa
Sungai stadia dewasa dicirikan oleh kemiringan dasar sungai yang lebih
kecil, erosi dan deposisi relaif kecil, erosi lateral efektif, penampang
melintang sungai berbentuk seperti huruf U, mulai membentuk meander
(kelokan sungai), cabang-cabang sungai sudah mulai banyak, dan dataran
banjir sudah mulai meluas.

c. Sungai tua
Sungai stadia tua dicirikan oleh kemiringan dasar sungai relatif kecil dan
hampir landai, penampang melintang sungai berbentuk cawan, tidak terjadi
erosi vertikal, tetapi erosi lateral sangat efektif, mulai tampak danau tapal
kuda (oxbow lake), bermeander, anak sungai lebih banyak, dataran banjir
luas

2.6 Klasifikasi Relief Van Zuidam

Tabel 2.1 Klasifikasi Relief Van Zuidam (1983)
Klasifikasi Relief Persen lereng (%) Beda tinggi (m)
Datar/hampir datar 0-2 <50
Bergelombang landai 3-7 5-50
Bergelombang miring 8-13 25-75
Berbukit bergelombang 14-20 50-200
9

Berbukit terjal 21-55 200-500
Pegunungan sangat terjal 56-140 500-1000
Pegunungan sangat curam >140 >1000

























10

BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan
1. Alat
Penggaris
Alat Tulis
Pensil Warna
Kalkulator
Solatip
Gunting

2. Bahan
Peta Topografi
Millimeter Block (A3)
Kertas HVS
Kertas Kalkir (A3)

3.2 Diagram Alir Fisis
1. Pembuatan Deliniasi












Mulai
Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan
Meletakkan kertas kalkir diatas peta topografi dan
rekatkan dengan menggunakan selotip
Menentukan satuan fluvial, denudasional,
struktural rapat dan struktural renggang
pada peta topografi
11


















2. Pembuatan Profil Eksagrasi
















Memberikan batas untuk masing masing
satuan deliniasi pada kertas kalkir
Memberikan warna pada wilayah satuan kontur
tersebut dengan menggunakan pensil warna ungu
tua untuk struktural rapat, ungu muda untuk
struktural renggang, hijau untuk fluvial, serta
cokelat untuk denudasional
Selesai
Mulai
Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Menentukan titik A dan B yang masing masing
mempunyai titik ketinggian tertentu yang
melewati struktural rapat, struktural renggang,
denudasional dan fluvial

Menghubungkan titik A dan B menjadi 1 garis lurus
dengan panjang sekitar 25-30 cm
Memplotkan kertas HVS dengan garis garis
kontur yang dilalui oleh sayatan A ke B untuk
menghitung ketinggian kontur

12












3. Perhitungan Persentase Kelerengan dan Beda Tinggi berdasarkan
Klasifikasi Van Zuidam (1983)




















Mulai
Membuat 5 sayatan di 2 satuan deliniasi pada
kontur berbeda yang memotong 5 garis kontur dan
5 sayatan pada satuan fluvial yang memotong 1
garis kontur terdekat dan hitung panjang sayatan
tersebut
Menghitung rata-rata persentase kelerengan serta
beda tinggi tiap kontur pada tiap satuan delineasi,
kecuali satuan fluvial

Mempersiapkan alat dan bahan yang
diperlukan
Menghubungkan titik titik tersebut hingga
membentuk relief pada millimeter block.
Menghitung setiap kenaikan dan penurunan pada
kontur yang dilalui sayatan
Memindahkan data grafik yang dibuat ke kertas
milimeter blok. Dengan perbandingan skala vertical
: skala horizontal 2 : 1 (profil eksagrasi)
Selesai
13





4. Pembuatan Pola Pengaliran Sungai dan Jalan




















Mengklasifikasikan dari rata-rata kelerengan
setiap satuan dan beda tinggi berdasarkan
Klasifikasi Van Zuidam (1983)
Selesai
Mulai
Mempersiapkan alat dan bahan
yang ingin digunakan
Membuat garis pola pengaliran sungai dan garis
jalan dengan pensil warna biru muda dan biru tua
untuk pola pengaliran sungai, dan pensil warna
merah untuk garis jalan

Meletakkan kertas kalkir diatas peta
topografi dan rekatkan menggunakan selotip
Selesai
14

BAB IV
MORFOMETRI

4.1 Satuan Deliniasi Struktural Rapat
Rumus :





a. n = 1,2 cm
d = 1,2 25000 = 30.000 cm = 300 m

20,83 %

b. n = 0,8 cm
d = 0,8 25000 = 12.500 cm = 125 m

31,25 %

c. n = 0,7 cm
d = 0,7 25000 = 17.500 cm = 175 m

35,71 %

d. n = 0,8 cm
d = 0,8 25000 = 12.500 cm = 125 m

31,25 %

e. n = 0,6 cm
d = 0,6 25000 = 15.000 cm = 150 m

41,6 %
Sayatan
1 = 20,83 %
2 = 31,25 %
3 = 35,71 %
4 = 31,25 %
5 = 41,67 %

Jumlah = 160,71 %
Rata-rata = 160,71 % : 5
= 32,14 %
Berbukit Terjal
(Van Zuidam, 1983)

Beda Tinggi : 770 406 = 364
Berbukit Terjal
(Van Zuidam, 1983)



d = n 2500

h = 5 12,5 = 62,5


15

4.2 Satuan Deliniasi Struktural Renggang
Rumus :





a. n = 1,3 cm
d = 1,3 25000 = 32.500 cm = 325 m

19,23 %

b. n = 2 cm
d = 2 25000 = 50.000 cm = 500 m

12,5 %

c. n = 2 cm
d = 2 25000 = 50.000 cm = 500 m

12,5 %

d. n = 1,7 cm
d = 1,7 67.500 = 42.500 cm = 425 m

17,85 %

e. n = 1,4 cm
d = 1,4 25000 = 35.000 cm = 350 m

17,85 %



d = n 2500

h = 5 12,5 = 62,5


Sayatan
1 = 19,23 %
2 = 12,5 %
3 = 12,5 %
4 = 14,70 %
5 = 17,85 %

Jumlah = 76,78 %
Rata-rata = 76,78 % : 5
= 15,35 %
Berbukit Bergelombang
(Van Zuidam, 1983)

Beda Tinggi : 375 - 127 = 248
Berbukit Terjal
(Van Zuidam, 1983)


16

4.3 Satuan Deliniasi Fluvial
Rumus :





a. n = 0,6 cm
d = 0,6 25000 = 15.000 cm = 150 m

8,33 %

b. n = 0,4 cm
d = 0,4 25000 = 10.000 cm = 100 m

12,5 %

c. n = 0,4 cm
d = 0,4 25000 = 10.000 cm = 100 m

12,5 %

d. n = 0,5 cm
d = 0,5 25000 = 12.500 cm = 125 m

10 %

e. n = 0,7 cm
d = 0,7 25000 = 17.500 cm = 175 m

7,14 %


d = n 2500

h = 1 12,5 = 12,5


Sayatan
1 = 8,33 %
2 = 12,5 %
3 = 12,5 %
4 = 10 %
5 = 7,14 %

Jumlah = 50,47 %
Rata-rata = 50,47 % : 5
= 10,09 %
Bergelombang Curam
(Van Zuidam, 1983)




17

BAB V
PEMBAHASAN

Pada praktikum Geomorfologi dan Geologi Foto, acara Bentang Alam
Fluvial dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 27 Maret 2014. Bentang alam
fluvial adalah bentang alam yang terbentuk akibat proses fluviatil. Proses fluviatil
dapat berupa erosi, transportasi, maupun pengendapan. Berdasarkan pada peta
topografi daerah Randudongkal dan sekitarnya, maka dapat dibedakan menjadi
satuan fluvial, struktural rapat, struktural renggang, serta satuan denudasional.
Dimana pada tiap deliniasi tersebut diberikan batas-batas dengan menggunakan
pensil warna yang berbeda. Warna hijau untuk satuan deliniasi fluvial, warna
coklat untuk satuan deliniasi denudasional, warna ungu tua untuk satuan deliniasi
struktural rapat dan ungu muda untuk satuan deliniasi struktural renggang.
Disamping itu juga, praktikan harus menentukan pola pengaliran sungai yang
ditandai dengan warna biru tua untuk sungai induk dan biru muda untuk anak
sungai, serta pola jalan yang ditandai dengan warna merah. Berikut penjelasan
tiap satuan deliniasi tersebut :

5.1 Satuan Deliniasi Fluvial
Pada peta topografi daerah Randudongkal dan sekitarnya, satuan
deliniasi daerah fluvial untuk sungai induk diberi warna hijau pada
kertas kalkir. Satuan deliniasi fluvial mencakup sungai hingga dataran
banjir sungai tersebut. Sungai yang terdapat pada deliniasi tersebut
terdiri dari sungai induk yaitu K. Tjomal dan K. Wakung. Disamping
itu juga terdapat anak-anak sungai yang bercabang dari sungai induk
yang terdiri dari K. Bandjaran, K. Widjen, K. Subah, K. Pring, K. Paku,
K. Asal, K. Sodong, K. Ujah, K. Bandungan, K. Djakung, K. Genitri,
dan lain sebagainya. Anak sungai tersebut pada peta topografi ditandai
dengan simbol garis yang tidak tegas. Berdasarkan pada peta topografi,
dapat diindikasikan bahwa wilayah tersebut termasuk ke dalam satuan
deliniasi fluvial, karena terdapat aliran-aliran fluvial yang disebabkan
17

oleh adanya aksi air permukaan (proses fluviatil). Disamping itu juga
terdapat endapan yang berada di tengah alur sungai atau disebut channel
bar serta terdapatnya meander atau kelokan sungai pada kenampakan
topografi satuannya.
Pada satuan deliniasi fluvial ini dibuat sayatan sebanyak 5 buah
secara menyebar di seluruh peta yaitu dari batas dataran banjir hingga
ke kontur terdekat dari dataran banjir tersebut. Setelah itu, sayatan
tersebut dihitung panjang sayatannya yang berguna untuk menentukan
persentase kelerengan. Berdasarkan dari perhitungan morfometri, maka
didapatkan hasil bahwa pada wilayah dengan kontur yang rapat
memiliki persentase kelerengan sebesar 10,09 %. Berdasarkan dari hasil
perhitungan tersebut, maka dapat diklasifikasikan bahwa wilayah yang
memiliki satuan fluvial tergolong kedalam relief bergelombang miring
(Van Zuidam, 1983). Hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa aliran
sungai induk tersebut berada sudah jauh dari pusat atau hulu sungai,
karena memiliki kelerengan yang tidak terjal.

Tabel 5.1 Klasifikasi Kelerengan Menurut Van Zuidam (1983)
Klasifikasi Relief % Relief Beda Tinggi
Datar / hampir datar 0 2 < 50
Bergelombang landai 3 7 550
Bergelombang miring 8 13 25 75
Berbukit bergelombang 14 20 50 200
Berbukit terjal 21 55 200 500
Pegunungan terjal 56 140 500 1000
Pegunungan sangat terjal > 140 >1000

Berdasarkan dari kenampakan aliran sungai pada peta topografi
tersebut, maka dapat diindikasikan bahwa pola pengaliran sungai
tersebut yaitu pola pengaliran dendritik. Hal tersebut disebabkan karena
adanya aliran anak-anak sungai yang bercabang serta menjari dari
17

sungai induknya dengan bentuk yang tidak beraturan. Pola ini
berkembang pada daerah dengan litologi batuan yang resistensinya
seragam. Disamping itu juga, pada daerah tersebut terdapat banyak
zona lemah, sehingga akan mengakibatkan adanya rekahan-rekahan
dimana rekahan tersebut akan terisi oleh aliran fluviatil yang dapat
memungkinkan terbentuknya anak sungai yang bercabang-cabang.
Kemungkinan besar pada sungai ini terjadi erosi vertikal pada bagian
yang elevasinya tinggi atau bagian hulu sungai, sehingga sungainya
memiliki lebar yang kecil. Sementara pada bagian hilir yang memiliki
elevasi rendah erosinya merupakan erosi lateral, sehingga memiliki
lebar sungai yang besar.

Gambar 5.1 Pola Pengaliran Dendritik

Pada peta topografi tersebut, terdapat sungai induk yang memiliki
lebar sungai yang besar, dimana sungai tersebut permukaannya dangkal
dan tidak kasar, sehingga aliran airnya lambat. Bila air mengalir dari
sungai yang kemiringan lerengnya curam ke dataran yang lebih rendah
maka kecepatan air akan berkurang dan tiba-tiba hilang, sehingga akan
menyebabkan pengendapan di daerah hilir sungai. Sehingga akan
terbentuk endapan material yang berada di tengah sungai atau disebut
juga channel bar. Terbentuknya channel bar dapat disebabkan karena
tingkat resistensi yang berbeda dimana pada bagian tengah sungai
memiliki tingkat resistensi yang tinggi, sehingga tidak mudah untuk
tergerus. Disamping itu juga akibat dari bentuk sungainya yang lebar,
sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengendapan di tepi
sungai. Dapat diinterpretasikan pula bahwa relief pada daerah tengah
17

sungai memiliki elevasi yang tinggi serta terdapat batuan penghalang
yang memungkinkan sulit untuk tergerus oleh arus sungai.
Pada peta topografi tersebut juga dapat diindikasikan terdapat
meander atau kelokan sungai. Hal tersebut disebabkan karena gaya
hantam air pada tepi sungai sangat efektif yang diakibatkan karena
adanya arus yang rendah, karena apabila arus sungai tinggi maka aliran
sungai akan mengalir dengan deras, sehingga tidak membentuk kelokan
pada sungai. Disamping itu juga dipengaruhi oleh litologi yang
seragam. Berdasarkan dari ciri ciri tersebut dapat diinterpretasikan
bahwa litologi yang terdapat pada satuan ini merupakan batuan beku
hingga batuan sedimen. Dimana pada daerah ini dominan terdapat
batuan sedimen karena adanya proses eksogen yang tinggi. Batuan
sedimen tersebut diindikasikan memiliki ukuran butir lempung hingga
bongkah, sesuai dengan energi transportasi dan energi pengendapannya.
Pada daerah hilir sungai terjadi erosi lateral yang akan semakin efektif,
sehingga akan menyebabkan pelebaran sungai. Oleh karena itu, pada
daerah hilir terjadi proses pengendapan yang efektif karena arus yang
rendah. Semakin ke arah hilir, maka energi transportasi semakin kecil
dan energi sedimentasinya akan semakin besar, maka material yang
diendapkannya pun akan berukuran kecil.
Berdasarkan interpretasi tersebut, maka dapat diindikasikan
bahwa tingkatan atau stadia sungai tersebut terdiri dari stadia muda
hingga stadia dewasa. Pada stadia muda dicirikan dengan adanya erosi
vertikal yang efektif, sehingga lebar sungai menjadi kecil serta
kenampakkan sungai yang relatif lurus dan mengalir di atas batuan
induk. Sehingga pada daerah hulu sungai yang termasuk ke dalam
stadia muda, tidak terjadi proses pengendapan yang efektif. Disamping
itu juga, pada daerah dengan stadia sungai muda memiliki dataran
banjir yang sempit. Sedangkan pada stadia dewasa dicirikan oleh erosi
lateral yang efektif akan mengakibatkan sungai menjadi lebar, mulai
17

membentuk meander atau kelokan sungai, cabang-cabang sungai sudah
mulai banyak, serta dataran banjir sudah mulai meluas.
Potensi positif dari satuan ini adalah sebagai pembangkit listrik
tenaga air, serta sumber irigasi persawahan. Sedangkan potensi
negatifnya adalah dapat terjadinya banjir bandang ketika terjadi hujan
secara terus menerus. Tata guna lahan yang telah dimanfaatkan adalah
sebagai pertambangan pasir.

5.2 Satuan Deliniasi Denudasional
Pada peta topografi daerah Randudongkal dan sekitarnya, terdapat
berbagai satuan diliniasi, salah satunya yaitu satuan deliniasi
denudasional. Satuan diliniasi tersebut diberikan batas terhadap satuan
yang lain dengan menggunakan pensil warna cokelat. Satuan
denudasional pada peta topografi tersebut mencangkup daerah
Randudongkal, Karangmontjol, Bandjaran, Semingkir, dan daerah
sekitarnya. Kenampakan yang dilihat pada peta topografi yaitu pada
daerah tersebut memiliki kontur yang sangat renggang. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa wilayah ini termasuk satuan denudasional.
Satuan deliniasi daerah denudasional dicirikan dengan adanya
elevasi yang rata karena adanya proses denudasi yang tinggi baik
berupa erosi, pelapukan maupun gerakan tanah. Disamping itu juga
terdapat batas-batas wilayah pemukiman yang ditandai dengan adanya
jalan yang membentuk banyak simpang sehingga terlihat seperti
persegi. Daerah denudasional mengindikasikan bahwa adanya aktivitas
manusia pada daerah tersebut yang menyebabkan adanya pemerataan
pada daerah tersebut.
Proses yang terjadi pada kawasan ini dapat berupa proses alami
maupun proses buatan manusia. Dimana pada proses secara alami dapat
terjadi salah satunya yaitu proses longsoran dari dataran yang lebih
tinggi yang memiliki kelerengan yang curam, sehingga lama kelamaan
daerah tersebut akan mengalami keseragaman elevasi. Disamping itu
17

juga aktivitas dari manusia yang memanfaatkan daerah tersebut sebagai
jalan, pemukiman atau aktivitas yang lain. Manusia memanfaatkan
daerah tersebut sebagai pemukiman karena memiliki kelerengan yang
relatif landai yang ditandai dengan adanya kontur yang renggang.
Adanya jalan yang terbentuk akibat aktivitas manusia dapat berfungsi
sebagai akses untuk berpergian.

5.3 Satuan Deliniasi Struktural Rapat
Pada peta topografi bentang alam fluvial daerah Randudongkal
dan sekitarnya, terdapat satuan deliniasi yang terdiri dari satuan fluvial,
struktural rapat, struktural renggang, hingga denudasional. Garis-garis
kontur yang terdapat pada peta topografi menyatakan titik ketinggian
suatu daerah tertentu. Apabila semakin rapat garis kontur yang terdapat
di peta topografi, maka semakin curam ketinggian suatu wilayah
tersebut. Wilayah yang memiliki kontur rapat tersebut masing-masing
diberikan batas dengan menggunakan pensil warna ungu tua pada kertas
kalkir. Daerah-daerah satuan deliniasi struktural rapat mencakup daerah
G. Wadasgumantung, G. Djenggol, Igir Sibenda, G. Tedjaula, G. Serut,
G. Mritja, dan daerah sekitarnya. Hal tersebut diindikasikan sebagai
daerah struktural rapat karena pada kenampakan peta topografi tersebut
memiliki kontur yang rapat, dimana semakin rapat suatu kontur maka
ketinggian suatu daerah akan semakin curam. Disamping itu juga pada
peta topografi tersebut terdapat banyak aliran-aliran sungai yang berasal
dari hulu sungai atau daerah struktural rapat.
Daerah yang memiliki kontur rapat tersebut kemudian dibuat 5
sayatan yang memotong 5 garis kontur pada letak yang berbeda dan
saling menyebar. Setelah itu, sayatan tersebut dihitung panjang
sayatannya yang berguna untuk menentukan persentase kelerengan.
Disamping itu juga, mencari titik tertinggi serta titik terendah pada
satuan kontur rapat yang berfungsi untuk menentukan beda tinggi pada
wilayah tersebut. Berdasarkan dari perhitungan morfometri, maka
17

didapatkan hasil bahwa pada wilayah dengan kontur yang rapat
memiliki persentase kelerengan sebesar 32,14%. Berdasarkan dari hasil
perhitungan tersebut, maka dapat diklasifikasikan bahwa wilayah yang
memiliki satuan kontur rapat tergolong kedalam relief berbukit terjal
(Van Zuidam, 1983). Kemudian, pada satuan kontur rapat juga
didapatkan titik tertinggi sebesar 770 meter, sedangkan titik
terendahnya sebesar 406 meter. Sehingga, berdasarkan tophill dan
downhillnya didapatkan bahwa beda tinggi pada satuan kontur
renggang sebesar 364 meter. Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam, beda
tinggi tersebut termasuk ke dalam golongan relief berbukit terjal.

Tabel 5.2 Klasifikasi Kelerengan Menurut Van Zuidam (1983)
Klasifikasi Relief % Relief Beda Tinggi
Datar / hampir datar 0 2 < 50
Bergelombang landai 3 7 550
Bergelombang miring 8 13 25 75
Berbukit bergelombang 14 20 50 200
Berbukit terjal 21 55 200 500
Pegunungan terjal 56 140 500 1000
Pegunungan sangat terjal > 140 >1000

Berdasarkan dari satuan kontur rapat tersebut, maka dapat
diinterpretasikan bahwa wilayah tersebut memiliki ketinggian serta
kelerengan yang terjal. Dapat diinterpretasikan bahwa batuan yang
terbentuk pada satuan kontur rapat tersebut diindikasi terdiri dari batuan
beku serta terdapat batuan sedimen. Dimana batuan beku maupun
batuan sedimen tersebut memiliki tingkat resistensi yang tinggi
terhadap proses pelapukan maupun erosi. Sehingga, dilihat dari
teksturnya maka dapat diinterpretasikan bahwa pada satuan deliniasi
struktural rapat memiliki tekstur ukuran butir yang kasar, karena jarak
17

transportasi yang dekat dengan gunungapi. Semakin tinggi energi
transportasinya maka energi pengendapannya akan semakin rendah.
Berdasarkan peta topografi pada wilayah yang memiliki kontur
rapat, terdapat banyak aliran sungai yang memiliki pola pengaliran
dendritik. Pola pengaliran dendritik yaitu pola pengaliran yang
memiliki anak sungai yang bercabang dan menjari. Pada peta topografi,
pola pengaliran sungai ditandai dengan warna biru tua maupun muda.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa pada wilayah
kontur rapat terdapat banyak hulu sungai yang mengalir dari puncak.
Pada kontur rapat tersebut memiliki ketinggian yang terjal, sehingga
sesuai dengan sifat air yang akan mengalir dari tempat tinggi menuju ke
tempat yang lebih rendah. Disamping itu juga, pada daerah hulu terjadi
erosi vertikal yang intensif serta belum terbentuknya bar deposit karena
arus pada daerah hulu sangat kuat. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka
dapat diinterpretasikan bahwa tingkatan sungai pada daerah hulu yaitu
stadia muda. Akibat dari adanya aliran-aliran fluviatil, maka dapat
diindikasikan bahwa pada daerah tersebut terdapat struktur sekunder
berupa kekar, sesar, maupun lipatan. Dimana terbentuknya struktur
kekar terjadi pada wilayah yang memiliki zona lemah. Indikasi adanya
sesar disebabkan karena adanya pembelokan aliran sungai secara
mendadak dan tajam. Sedangkan indikasi adanya lipatan dilihat dari
kenampakan peta topografi tersebut, dimana terdapat kontur yang rapat
kemudian renggang pada suatu wilayah tertentu.

Gambar 5.2 Indikasi Struktur Sekunder
Indikasi Lipatan
Indikasi Sesar dan
Kekar
17

Tata guna lahan pada daerah yang memiliki kontur rapat banyak
digunakan sebagai wisata, seperti climbing, rifting, trakking, wisata air
terjun, serta wisata alam. Disamping itu juga, pada daerah tersebut
dapat digunakan sebagai hutan lindung karena banyaknya vegetasi yang
tumbuh. Potensi positif yang terdapat pada wilayah satuan struktural
rapat yaitu dapat dijadikan daerah pertambangan, karena batuan beku
seperti andesit banyak ditemukan untuk bahan baku kontruksi
bangunan. Disamping itu juga dapat dijadikan sebagai kawasan
geothermal atau panas bumi, dimana sebagai sumber tenaga listrik dari
proses hidrotermal yang terjadi di daerah gunungapi. Sedangkan potensi
negatif yang terdapat pada daerah tersebut yaitu dapat terjadinya
longsor, karena daerah tersebut memiliki kelerengan yang terjal. Oleh
karena itu, kawasan tersebut tidak dapat dimanfaatkan sebagai tempat
pemukiman, dimana akses jalan untuk menuju lokasi tersebut sangat
sulit untuk ditempuh dan berbahaya.
5.
5.1 Satuan Deliniasi Struktural Renggang
Satuan deliniasi struktural renggang menunjukan daerah dengan
kelerengan yang cenderung landai. Pewarnaan pada daerah ini
menggunakan warna ungu muda. Pada peta topografi, daerah yang
merupakan struktural renggang terdiri dari Simaling, Bulakan,
Pedjarakan, Tjengis, dan sekitarnya. Hal tersebut disebabkan karena
pada daerah tersebut memiliki kelerengan yang tidak curam dilihat dari
kontur pada peta topografinya.
Daerah yang memiliki kontur renggang tersebut kemudian dibuat 5
sayatan yang memotong 5 garis kontur pada letak yang berbeda dan
saling menyebar. Setelah itu, sayatan tersebut dihitung panjang
sayatannya yang berguna untuk menentukan persentase kelerengan.
Disamping itu juga, mencari titik tertinggi serta titik terendah pada
satuan kontur rapat yang berfungsi untuk menentukan beda tinggi pada
wilayah tersebut. Berdasarkan dari perhitungan morfometri, maka
17

didapatkan hasil bahwa pada wilayah dengan kontur yang rapat
memiliki persentase kelerengan sebesar 15,35 %. Berdasarkan dari hasil
perhitungan tersebut, maka dapat diklasifikasikan bahwa wilayah yang
memiliki satuan kontur rapat tergolong kedalam relief berbukit
bergelombang (Van Zuidam, 1983). Kemudian, pada satuan kontur
rapat juga didapatkan titik tertinggi sebesar 375 meter, sedangkan titik
terendahnya sebesar 127 meter. Sehingga, berdasarkan tophill dan
downhillnya didapatkan bahwa beda tinggi pada satuan kontur
renggang sebesar 248 meter. Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam, beda
tinggi tersebut termasuk ke dalam golongan relief berbukit terjal.
Perbedaan klasifikasi antara persentase kelerengan dengan beda tinggi
dapat disebabkan karena adanya letak 5 sayatan kontur yang tidak
menyebar ke seluruh bagian dari satuan kontur rapat tersebut. Hal
tersebut akan mengakibatkan perbedaan perhitungan tinggi pada
wilayah yang disayat dimana akan dapat menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam klasifikasi kelerengan.

Tabel 5.3 Klasifikasi Kelerengan Menurut Van Zuidam (1983)
Klasifikasi Relief % Relief Beda Tinggi
Datar / hampir datar 0 2 < 50
Bergelombang landai 3 7 550
Bergelombang miring 8 13 25 75
Berbukit bergelombang 14 20 50 200
Berbukit terjal 21 55 200 500
Pegunungan terjal 56 140 500 1000
Pegunungan sangat terjal > 140 >1000

Sungai pada satuan ini bermuara dari hulu yang berasal dari
lereng gunung. Sungai yang terdapat pada satuan deliniasi ini
cenderung lebar dan banyak terdapat channel bar maupun meander
sungai. Hal tersebut mengindikasikan bahwa erosinya berupa erosi
17

lateral dan dengan arus aliran yang semakin lemah sehingga tidak
sanggup membawa material material sedimen yang tertransport
sebelumnya, maka material tersebut akan terendapakan pada tengah
sungai. Dan aliran arus sungai yang mulai melemah cenderung mencari
zona lemah untuk di lewatinya sehingga banyak terdapat meander yaitu
berupa kelokan sungai. Aliran sungai pada satuan ini juga cenderung
menjari membentuk cabang anak sungai, sehingga pola pengalirannya
berupa pola pengaliraan dendritik, dengan ciri ciri tersebut sungai ini
dapat dikategorikan dalam sungai stadia dewasa. Perkiraan litologi pada
satuan ini adalah batuan sedimen yang fragmennya berukuran lebih
kecil dari kerakal karena telah mengalami proses pelapukan, erosi dan
transportasi yang jauh. Disamping itu juga, litologi yang terdapat pada
daerah struktural renggang pada umumnya memiliki tekstur yang halus.
Disatu sisi, pada daerah tersebut dapat ditemukan litologi dengan
tekstur yang kasar. Hal ini disebabkan karena batuan tersebut
terlontarkan secara langsung dari pusat gunungapi ketika erupsi dan
mengendap di tempat yang jauh. Disamping itu juga dapat
diinterpretasikan karena awal transportasinya yang tidak jauh, serta
resistensi dari provenence. Dimana semakin resisten, maka tekstur yang
dihasilkan akan semakin besar dan kasar. Pada satuan deliniasi
struktural renggang, dapat diindikasikan adanya struktur sekunder
berupa kekar maupun sesar. Adanya kekar dikarenakan pada daerah
tersebut terdapat zona lemah yang menyebabkan adanya aliran
permukaan. Sedangkan adanya sesar disebabkan karena adanya
pembelokan arah aliran sungai secara tajam.
Potensi positif satuan ini adalah berupa irigasi persawahan,
sedangkan potensi negatifnya adalah dapat meluapnya air sungai yang
diakibatkan debit air yang semakin meninggi. Tata guna lahan yang
telah dimanfaatkan adalah pertambangan pasir.


17


Gambar 5.3 Indikasi Struktur Sekunder
























Indikasi Sesar
Indikasi Kekar
17

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Daerah morfologi fluvial yang mencakup K. Bandjaran, K. Genitri dan
sebagainya pada peta topografi diberi warna hijau. Pola pengaliran sungai
pada peta diinterpretasikan sebagai pola pengaliran dendritik.
Daerah morfologi denudasional mencakup Randudongkal dan sekitarnya
pada peta diberi warna coklat. Di morfologi ini ditemui kontur yang sangat
jarang karena adanya keseragaman elavasi. Daerah ini pada umumnya
sudah dimanfaatkan manusia sebagai pemukiman ataupun jalan
Daerah struktural berkontur rapat mencakup G. Wadasgumatung dan
sekitarnya diberi warna ungu tua. Elevasinya terjal, erosi pada aliran
sungai cenderung erosi vertical karena arus yang deras, serta terdapat hulu.
Daerah struktural berkontur renggang mencakup Bulakan dn sekitarnya
diberi warna ungu muda. Elevasinya rendah sehingga erosi pada aliran
sungi cenderung ke erosi lateral, arus aliran yang pelan, serta terdapat hilir.
Menurut klasifikasi Van Zuidam (1983), daerah Randudongkal satuan
fluvialnya merupakan relief bergelombang miring, struktural rapat
merupakan relief berbukit terjal, dan struktural renggang merupakan relief
berbukit bergelombang hingga berbukit terjal.
Litologi yang terdapat pada daerah tersebut umumnya batuan sedimen
dengan ukuran butir yang berbeda, serta terdapat indikasi struktur
sekunder.

6.2 Saran
Perlu adanya koordinasi lebih antara asisten agar tidak terjadinya
perbedaan informasi yang disampaikan.
Sebaiknya tidak membangun rumah di daerah dekat sungai maupun daerah
yang terjal, karena dapat terjadi banjir serta longsor.
17

DAFTAR PUSTAKA

Endarto, Danang. 2005. Pengantar Geologi Dasar. Surakarta: UNS Press.
http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-fluvial.html (Diakses pada
hari Minggu, tanggal 30 Maret 2014, pada pukul 11.07 WIB).
http://geouh10.blogspot.com/2012/10/pola-aliran-sungai.html (Diakses pada hari
Minggu, tanggal 30 Maret 2014 pada pukul 11.20 WIB).
http://www.scribd.com/doc/52030477/Bentang-Alam-Fluvial (Diakses pada hari
Minggu, 30 Maret 2014, pada pukul 10.23 WIB).
Tim Asisten Geomorfologi dan Geologi Foto.2012.Panduan Praktikum
Geomorfologi dan Feologi Foto.Semarang : Laboratorium Geomorfologi
dan Geologi Foto.

Вам также может понравиться