0 оценок0% нашли этот документ полезным (0 голосов)
137 просмотров37 страниц
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang multiple sklerosis (MS), penyakit sistem saraf pusat kronis yang ditandai dengan kerusakan mielin.
2. Dibahas pula anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat, etiologi, klasifikasi, gejala, patofisiologi, komplikasi, diagnosis, dan penatalaksanaan MS.
3. Juga dibahas mengenai pengkajian keperawatan, diagnosis
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang multiple sklerosis (MS), penyakit sistem saraf pusat kronis yang ditandai dengan kerusakan mielin.
2. Dibahas pula anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat, etiologi, klasifikasi, gejala, patofisiologi, komplikasi, diagnosis, dan penatalaksanaan MS.
3. Juga dibahas mengenai pengkajian keperawatan, diagnosis
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang multiple sklerosis (MS), penyakit sistem saraf pusat kronis yang ditandai dengan kerusakan mielin.
2. Dibahas pula anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat, etiologi, klasifikasi, gejala, patofisiologi, komplikasi, diagnosis, dan penatalaksanaan MS.
3. Juga dibahas mengenai pengkajian keperawatan, diagnosis
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah III
Disusun Oleh : Ketua kelompok 4 : Mega Anistya Krisnaningsih P07120112025 Sekretaris : Umu Habibah P07120112040 Karisma Dwijayanti P07120112023 Anggota : Isnaini Wulandari P07120112022 Laili Kusuma Ardani P07120112024 Melda Rahma Permata Sari P07120112026 Nafiatun Aliyya P07120112027 Nanda Nur Fatmi Ahsanah P07120112028 Sindy Nurlitasari P07120112038
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA JURUSAN KEPERAWATAN 2014 PROBLEM BASED LEARNING (PBL) SKENARIO 4
A. Klarifikasi Istilah 1. Kebas Keadaan dimana seseorang mengalami kekurangan rasa (sensation). 2. Diplopia Penglihatan ganda. 3. Spastik Suatu keadaan yang ditandai dengan spasme. 4. Reflek abdomen Tes pada kuadran perut yang dibelai menuju garis tengah di atas, sejajar dengan dan di bawah umbilikus. 5. Depresi Kondisi lebih dari suatu keadaan sedih. 6. Elektroporesis. Teknik pemisahan komponen/molekul bermuatan berdasarkan perbedaan tingkat migrasi dalam sebuah medan listrik. 7. IgG Imunoglobulin G/antibodi: sistem pertahanan tubuh lapis ke tiga yang bersifat spesifik, fungsi merespon antigen. 8. IgM Imunoglobulin M: jenis pertama dari antibodi yang dibuat sebagai respon terhadap infeksi. 9. CT Scan Suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak. 10. Lesi otak Kelainan materi putih dan volume otak. 11. Multiple sklerosis Kelainan peradangan yang terjadi pada otak dan sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh banyak faktor. 12. Mielin Lapisan fosfolipid yang membungkus akson secara konsentrik. 13. Anti kolinesterase Agen yang menghalangi aksi asetilkolinestrase, enzim yang memecah asetilkolin.
B. Identifikasi Masalah 1. Pengertian multiple sklerosis 2. Anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat 3. Etiologi 4. Klasifikasi 5. Tanda dan gejala 6. Patofisiologi 7. Faktor risiko 8. Komplikasi 9. Pemeriksaan penunjang 10. Penatalaksanaan 11. Asuhan keperawatan a. Pengkajian b. Diagnosa keperawatan c. Perencanaan
C. Curah Pendapat 1. Pengertian multiple sklerosis a. Penyakit degeneratif SSP kronis yang meliputi kerusakan mielin (autoimun yang menyerang mielin). b. Kelainan peradangan yang terjadi pada otak dan sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh banyak faktor. 2. Anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat Sistem saraf pusat (SSP) meliputi otak (ensephalon) dan sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Keduanya merupakan organ yang sangat lunak, dengan fungsi yang sangat penting maka perlu perlindungan.
3. Etiologi a. Virus dan mekanisme autoimun. b. Genetik. c. Racun yang beredar pada CSS. d. Kelainan pada unsur pokok lipid mielin. 4. Klasifikasi a. Relapsing remitting multiplesclerosis Jenis MS yang timbul dengan suatu serangan hebat dan diikuti kesembuhan semu. b. Primary progessive MS MS ini tidak mengenal kesembuhan semu, kondisi penderita terus memburuk dan berakhir kematian. c. Secondary progressive MS Kondisi lanjut dari relapsing remitting multiplesclerosis dan kemudian menjadi serupa dengan kondisi primary progessive MS. d. Benigna MS MS jinak, serangan umumnya tidak pernah berat sehingga para penderita merasa sehat dan sering tidak menyadari bahwa dirinya menderita MS. 5. Tanda dan gejala a. Gejala sensorik. b. Perasaan sakit seperti tertusuk jarum. c. Kesemutan di beberapa bagian tubuh. d. Pandangan kabur. e. Kelumpuhan tiba-tiba. f. Kehilangan keseimbangan tubuh. g. Sakit kepala/migrain. h. Gangguan fungsi kognitif. 6. Patofisiologi Keadaan neuropatologis yang utama adalah reaksi inflamatorik, mediasi imun, demielinating proses. Faktor ini yang mungkin mendorong virus secara genetik mudah diterima individu. Diaktifkannya sel T merespon pada lingkungan. T sel ini dalam hubungannya dengan astrosit merusak barier darah otak, karena itu memudahkan masuknya mediator imun. Faktor ini dikombinasikan dengan hancurnya digodendrosyt (sel yang membentuk mielin) hasil dari perurunan pembentukan mielin. 7. Faktor risiko a. Kehamilan. b. Infeksi yang disertai demam. c. Stres emosional. d. Cidera. 8. Komplikasi a. Disfungsi pernapasan. b. Infeksi kandung kemih. c. Infeksi sistem pernapasan. d. Sepsis. 9. Pemeriksaan penunjang a. Elektroforesis SSP dengan lumbal pungsi. b. Gambaran MRI, ditemukan scar plak sepanjang sustansia alba dari SSP. c. Penglihatan, pendengaran, somatosensorik dengan konduksi lambat menunjukkan adanya kelainan. d. CT Scan, gambaran atrofi serebral. e. Urodinamik, jika terjadi gangguan urinarius. 10. Penatalaksanaan a. Bersifat simptomatik sesuai gejala. b. Dengan farmakoterapi: 1) Antiinflamasi: kortikosteroid, ACTH. 2) Immunosupresan: sitofosfamid, interferon. 3) Bakiovent sebagai anti spasmodik. c. Blog saraf dan pembedahan jika terjadi spastisitas berat. d. Terapi fisik untuk mempertahankan tonus otot. e. Bedrest. f. Transplantasi sel induk, dari sumsum tulang belakangnya sendiri. 11. Asuhan keperawatan a. Pengkajian 1) Keluhan utama 2) Riwayat kesehatan keluarga 3) Pemeriksaan fisik b. Diagnosa keperawatan 1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot, spastik, inkoordinasi. 2) Koping individu tidak efektif behubungan dengan perubahan fisiologis, cemas. 3) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan gangguan neuromuskular. c. Perencanaan
D. Tujuan Pembelajaran 1. Untuk mengetahui konsep dasar Multiple Sclerosis. 2. Untuk mengetahu konsep dasar asuhan keperawatn Multiple Sclerosis.
LAPORAN PENDAHULUAN MULTIPLE SKELORIS
A. Pengertian Multipel sklerosis adalah penyakit kronis pada sistem saraf pusat (SSP) yang dikarakteristikkan oleh sedikit lapisan dari batas substansia alba pada saraf optik, otak, dan medula spinalis (Fransisca, 2008). Multipel sklerosis (MS) adalah penyakit pada sumsum tulang belakang dan otak, dimana terjadi bercak-bercak yang mengeras di otak, karena gangguan menaun pada susunan urat syaraf. Penderita merasa lemah dan bisa terjadi kebutaan separuh pada satu mata, atau penglihatan rangkap. Jika otak kena, penderita akan mengalami kejang-kejang atau kelumpuhan pada satu sisi dan mudah menangis (Maria, 2008).
B. Anatomi dan Fisiologi 1. Makroanatomi Sistem Saraf Pusat a. Meninges Sistem saraf pusat dikelilingi oleh lapisan pembungkus yaitu meninges, berfungsi sebagai pelindung otak dan corda medulla dari kerusakan mekanis serta memberi suplai nutrisi pada sel-sel saraf. Meninges dari luar ke dalam terdapat 3 lapisan yaitu duramater, arachnoidea, dan piamater.
Duramater melekat pada dinding tengkorak, membentuk periosteum. Pada duramater dijumpai dua lipatan besar yang terdapat pada muka interna yaitu falx cerebri dan tentorium cerebelli. Pertemuan dua lipatan tersebut membentuk protuberantia occipitalis interna fibrossa. Arachnoidea merupakan membran lunak hampir transparan, terdapat diantara duramater dan piamater, mempunyai trabekula sampai ke piamater. Piamater merupakan membran tipis yang terdiri dari jaringan ikat dan pembuluh darah, berguna untuk menyuplai nutrisi. Arachnoid dan piamater saling melekat dan seringkali dipandang sebagai satu membrane yang disebut pia-arachnoid (Walter & Sayles, 1959) (Musana, 2010). b. Encephalon 1) Cerebrum Cerebrum terdiri dari dua hemispherium cerebri, merupakan bagian terbesar dari encephalon. Kedua hemispherium cerebri dipisahkan oleh celah yang dalam yang disebut fisura longitudinale. Cerebrum terdiri dari beberapa lobus sesuai letak tulang yang berada di atasnya, yaitu lobus frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis, dan lobus occipitalis, serta lobus pyriformis yang terletak di ventral. Hemispherium cerebri dipisahkan dari cerebellum dengan adanya fissura transversa. Pada permukaan dorsal terdapat banyak lipatan konveks yang disebut gyri. Gyri merupakan tonjolan-tonjolan yang dipisahkan oleh parit-parit yang dinamakan fisura atau sulki. 2) Cerebellum Terletak diatas medula oblongata, berbentuk oval. Terdiri atas vermis (di tengah), dua hemispherium di lateralis dipisahkan oleh fissura sagital. 3) Brainstem Terdiri dari: a) Medulla Oblongata: Pars posterior dari brainstem, bentuk kerucut. b) Pons: Korpus ujung anterior dari medulla oblongata. c) Pedenculli cerebri, permukaannya: Corpora quadrigemina: Corpus yang bulat berjumlah empat. Thalamus: Corpus yang berbentnk oval. Posterior hemispherium cerebri 4) Hipothalamus Diantara thalamus dan pedenculi cerebri. Berdekatan dengan: a) Corpus mammilaris. b) Tubercinerium: bentukan oval di ujung anterior brainstem. c) Chiasma nervi optici: berbentuk X yang disusun oleh n. opticus dan tractus opticus. (Musana, 2010) c. Ventrikel dalam Encephalon
1) Ventrikel lateral Terdiri atas ventrikel I dan II, terdapat di hemispherium cerebri. Berisi corpus callosum, hippocampus, plexus choroideus, dan nucleus caudatus. Ventrikel lateral dengan ventrikel III dihubungkan oleh foramen interventricularis atau nama lainnya foramen Monro (Walter & Sayles, 1959). 2) Ventrikel III Mengelilingi thalamus kanan dan kiri. Berhubungan dengan ventrikel IV melalui aquaductus cerebri. 3) Ventrikel IV Di antara brainstem dan cerebellum. Di dorsal medulla oblongata membentang ke anterior dan posterior. (Musana, 2010)
d. Medulla Spinalis
1) Medulla spinalis merupakan lanjutan dari batang otak (medulla oblongata). Medulla spinalis juga diselubungi meninges. 2) Mengisi canalis vertebralis dr cervicalis I sampai lumbar V-VII (pada anjing) atau sacralis III (pada kucing). 3) Tersusun dari substansia grisea pada bagian tengah dan substansia alba pada bagian perifer dan terdapat canalis centralis. 2. Mikroanatomi Sistem Saraf Pusat Encephalon (cerebrum, cerebellum, dan brainstem) dan medulla spinalis secara histologi terbagi menjadi dua komponen utama yaitu substansi grisea dan substansi alba. Substansi grisea: Jaringan saraf berisi banyak perikarya atau soma dari neuron, dendrit, glia, pembuluh darah, dan sedikit serabut saraf yang bermyelin. Karakter utama dari substansi grisea ini berwarna kelabu karena adanya badan sel saraf yang relatif besar, nukleus bulat dikelilingi badan Nissl. Substansi grisea pada otak berada di perifer, membentuk cortex cerebrum dan cerebellum. Tetapi pada medulla spinalis berada di sentral berbentuk H. Substansi alba: Kontras dengan substansi grisea. Substansi alba berwarna putih, tidak mempunyai perikarya, axon bermyelin secara merata. Terletak pada lapisan dalam otak. Tidak termasuk nuclei dan ganglia. Di otak dalam juga terdapat substansi grisea yang dikelilingi sedikit atau banyak substansi alba, inilah yang disebut nuclei. (Samuelson, 2007) a. Cerebral Cortex Di cerebral cortex terdapat enam lapisan yang dapat dibedakan, membentuk bagian perifer dari hemispherium cerebri. 1) Lapisan molecular: berisi serabut saraf yang berasal dari otak bagian lain, paralel dengan permukaan. 2) Lapisan granular externa: berisi sel granular (stellate interneuron) kecil dan neuroglia. 3) Lapisan piramidal externa: juga berisi neuroglia dan piramidal yang semakin ke dalam semakin besar. 4) Lapisan granular interna: relatif tipis, berisi neuron yang menerima input sensoris. Pada area visual, lapisan ini sangat menonjol. 5) Lapisan piramidal interna: tersusun atas sel piramidal besar yang mempunyai jarak antar sel satu dengan yang lain. Sel besar terutama pada area motorik cortex cerebri. 6) Lapisan multiformis (fusiformis): memiliki neuroglia dan neuron yang berbentuk gelendong, tetapi bisa juga memiliki bentuk dan orientasi yang bermacam-macam. b. Cerebellar Cortex Dibagi menjadi 3 lapisan yang sedikit bervariasi tergantung areanya. 1) Lapisan pertama (molecular) : berisi neuropil yang berasal dari dari dendrit neuron yang berada di dalam lapisan tengah, dan axon neuron yang berada di dalam lapisan terdalam. 2) Lapisan tengah: tipis, terbentuk oleh selapis neuron besar yaitu sel piriformis atau sel Purkinje. Bentuknya seperti botol dan mempunyai cabang dendrit yang sangat besar, memanjang sampai lapisan pertama. 3) Lapisan ketiga (granular): berisi banyak neuron kecil (sel granular), axon menuju arah yang berlawanan dari sel piriformis. c. Medulla Spinalis Posisi substansia alba dan grisea terbalik dibandingkan dengan otak. Lapisan eksternal berisi substansia alba yang menyusun berkas serabut saraf yang naik dan turun. Serabut saraf yang memasuki medulla spinalis (aferen) terletak di dorsal, sedangkan yang keluar dari medulla spinalis (eferen) terletak di ventral. Substansia grisea dalam potongan melintang tampak berbentuk H atau kupu-kupu, dengan kanalis sentralis berada di tengah yang disebut gray commissure. (Samuelson, 2007) 3. Fungsi Masing-Masing Bagian Sistem Saraf Pusat a. Otak depan Menerima dan memproses informasi sensorik, berpikir, memahami, produksi dan pemahaman bahasa, dan pengendalian fungsi motorik. There are two major divisions of forebrain: the diencephalon and the telencephalon. Ada dua divisi utama dari otak depan: 1) Diencephalon: berisi struktur seperti talamus dan hipotalamus yang bertanggung jawab atas fungsi seperti kontrol motorik, menyampaikan informasi sensorik, dan pengendalian fungsi otonom. 2) Telencephalon: berisi bagian terbesar dari otak, korteks cerebral. Sebagian besar pemrosesan informasi aktual di otak terjadi dalam korteks cerebral. b. Otak tengah 1) Otak tengah dan otak belakang bersama-sama membentuk brainstem. 2) Otak tengah terlibat dalam tanggapan pendengaran dan visual serta fungsi motorik. c. Otak belakang 1) Membentang dari sumsum tulang belakang dan terdiri dari metencephalon dan myelencephalon. 2) Metencephalon: struktur seperti pons dan serebelum. Daerah ini membantu dalam menjaga keseimbangan dan keseimbangan, koordinasi gerakan, dan informasi konduksi sensorik. 3) Myelencephalon: dari medula oblongata yang bertanggung jawab untuk mengontrol fungsi otonomik seperti pernapasan, denyut jantung, dan pencernaan. d. Area Lain Pada Otak 1) Basal ganglia: Terlibat dalam pengaturan gerakan sadar. 2) Brainstem: Menyampaikan informasi antara saraf tepi dan sumsum tulang belakang ke bagian atas otak. 3) Sulcus Tengah (fisura Rolando): Alur yang dalam yang memisahkan parietalis dan frontalis lobus. 4) Otak kecil: Kontrol gerakan koordinasi dan keseimbangan. 5) Cerebral Cortex : Menerima dan memproses informasi sensorik. Dibagi menjadi lobus korteks cerebral. 6) Lobus Cortex Cerebral: Lobus frontal: keputusan, pemecahan masalah, dan perencanaan. Lobus oksipital: terlibat dalam penglihatan dan pengenalan warna. Lobus parietal: menerima dan memproses informasi sensorik. Lobus temporal: tanggapan emosional, memori, dan bersuara. 7) Amygdala: terlibat dalam respons emosional, sekresi hormon, dan memori. 8) Cingulate Gyrus: sensor tentang emosi dan pengaturan perilaku agresif. 9) Fornix: pita melengkung dari serabut saraf yang menghubungkan hippocampus dengan hippothalamus. 10) Hippocampus: mengirim memori ke bagian yang tepat dari belahan otak untuk penyimpanan jangka panjang dan memanggil kembali ketika diperlukan. 11) Hypothalamus: mempunyai banyak fungsi penting seperti pengaturan suhu tubuh, rasa lapar, dan homeostasis. 12) Olfactory Cortex: menerima informasi sensorik dari bulbus olfaktorius dan terlibat dalam identifikasi bau. 13) Thalamus substansi sel kelabu yang menyampaikan sinyal sensoris ke dan dari sumsum tulang belakang dan otak besar. 14) Medulla oblongata: Membantu untuk mengontrol fungsi otonom. 15) Bulbus olfaktorius: Terlibat dalam indera penciuman. 16) Kelenjar pineal: Kelenjar endokrin yang berguna dalam keseimbangan biologis. Mengeluarkan hormon melatonin. 17) Kelenjar pituitari: Kelenjar endokrin yang terlibat dalam homeostasis. Mengatur kelenjar endokrin lainnya. 18) Pons: Menyampaikan informasi sensorik antara otak besar dan otak kecil. 19) Formasi retikular: Serabut saraf yang terletak di dalam brainstem. Mengatur kesadaran dan tidur. 20) Substantia Nigra: Membantu untuk mengontrol gerakan sadar dan pengaturan suasana hati. 21) Sistem ventrikel: Menghubungkan sistem internal rongga otak, berisi cairan cerebrospinal: Aqueductus Sylvius - kanal antara ventrikel III dan ventrikel IV. Plexus choroideus - menghasilkan cairan cerebrospinal. Ventrikel IV - kanal yang melalui pons, medula oblongata, dan cerebellum. Ventrikel lateral ventrikel terbesar dan berlokasi di kedua hemispher cerebri. Ventrikel III - menyediakan jalur untuk aliran cairan cerebrospinal.
C. Etiologi Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan berkaitan dengan virus dan mekanisme autoimun. Ada juga yang mengaitkan dengan faktor genetik. Ada beberapa faktor pencetus, antara lain: 1. Kehamilan. 2. Infeksi yang disertai demam. 3. Stress emosional. 4. Cedera. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyebab Multiple Sclerosis yang paling nyata adalah faktor genetik (mirip kanker). Sekitar 5% penderita memiliki saudara laki-laki atau saudara perempuan yang juga menderita penyakit ini dan sekitar 15% penderita memiliki keluarga dekat yang menderita penyakit ini. Faktor lingkungan juga berperan dalam terjadinya penyakit ini. Sklerosis multipel hampir tidak pernah menyerang orang-orang yang tinggal di dekat katulistiwa. Iklim dimana seseorang tinggal pada 10 tahun pertama kehidupannya tampaknya lebih penting dari pada iklim dimana seseorang tinggal setelah 10 tahun pertama kehidupannya, Meskipun para ahli menemukan bahwa MS itu berhubungan dengan infeksi (virus), imunologis, dan faktor genetik serta mengekalkan (menetap) sebagai hasil dari faktor intrinsik (contoh kegagalan imunoregulasi). Hal yang sudah diterima pada MS akan diturunkan. Derajat pertama, kedua, ketiga relatif pada klien dengan MS. Yang meningkatkan risiko secara perlahan. Multipel unlinked genes akan mudah diterima pada MS. Adanya faktor presifitasi terdiri dari terpaparnya pada agen pathogenik sebagai penyebab dari MS masih kontroversi. Ini mungkin karena asosiasi mereka masih acak dan tidak adanya hubungan sebab akibat disana. Faktor presifitasi yang mungkin termasuk infeksi, cedera fisik dan stres emosional, kelelahan berlebihan kehamilan ataupun seperti faktor ini: 1. Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsang/infeksi virus). 2. Kelainan pada unsur pokok lipid mielin. 3. Racun yang beredar dalam CSS. 4. Infeksi virus pada SSP (morbili, destemper anjing).
D. Klasifikasi Multiple Sclerosis adalah penyakit yang tidak akan sembuh 100% dan akan terus ada dalam tubuh kita untuk terus menerus memburuk. Namun progresifitas ini bisa bermacam-macam pada setiap orang. Ada yang penyakitnya memburuk dengan cepat dalam hitungan hari, minggu, atau bulan tanpa sempat merasa sehat lagi. Ada juga yang penyakitnya memburuk dan sedikit membaik kemudian memburuk lagi, demikian berulang-ulang dalam waktu yang lama. Menurut Basic Neurologi (Mc. Graw Hill, 2000), ada beberapa kategori multiple sclerosis berdasarkan progresivitasnya adalah: 1. Relapsing Remitting MS Ini adalah jenis MS yang klasik yang sering kali timbul pada akhir usia belasan atau dua puluhan tahun diawali dengan suatu serangan hebat yang kemudian diikuti dengan kesembuhan semu. Yang dimaksud dengan kesembuhan semu adalah setelah serangan hebat penderita terlihat pulih. Namun sebenarnya, tingkat kepulihan itu tidak lagi sama dengan tingkat kepulihan sebelum terkena serangan. Sebenarnya kondisinya adalah sedikit demi sedikit semakin memburuk. Jika sebelum terkena serangan hebat pertama penderita memiliki kemampuan motorik dan sensorik 100%, maka setelah serangan tersebut mungkin hanya akan pulih 70-95% saja. Serangan berikut akan terus menurukan kemampuan penderita sampai ke 0%. Setiap serangan tersebut berakibat semakin memburuknya kondisi penderita. Interval waktu antara serangan satu dengan serangan yang selanjutnya sama sekali tidak bisa diduga, bila dalam hitungan hari, minggu bulan atau tahun. Hampir 70% penderita MS pada awalnya mengalami kondisi ini, setelah beberapa kali mengalami serangan hebat, jenis MS ini akan berubah menjadi Secondary Progressiv MS. 2. Primary Progresssiv MS Pada jenis ini kondisi penderita terus memburuk. Ada saat-saat penderita tidak mengalami penurunan kondisi, namun jenis MS ini tidak mengenal istilah kesembuhan semu. Tingkat progresivitasnya beragam pada tingakatan yang paling parah, penderita MS jenis ini bisa berakhir dengan kematian. 3. Secondary Progressiv MS Ini adalah kondisi lanjut dari Relapsing Remitting MS. Pada jenis ini kondisi penderita menjadi serupa pada kondisi penderita Primary Progresssiv MS. 4. Benign MS Sekitar 20% penderita MS jinak ini. Pada jenis MS ini penderita mampu menjalani kehidupan seperti orang sehat tanpa begantung pada siapapun. Serangan-serangan yang diderita pun umumnya tidak pernah berat, sehingga para penderita sering tidak menyadari bahwa dirinya menderita MS.
E. Tanda dan Gejala MS merupakan penyakit demyelinating yang mengenai serebelum, saraf optikus dan medula spinalis (terutama mengenai traktus kortikospinalis dan kolumna posterior), secara patologi memberi gambaran plak multipel di susunan saraf pusat khususnya periventrikuler subtansia alba. Gejala Klinia MS, antara lain: 1. Kelemahan umum: biasanya muncul setelah aktivitas minimal, kelemahan bertambah berat dengan adanya peningkatan suhu tubuh dan kelembapan tinggi, yang disebut sebagai Uht holff fenomena (pada akson yang mengalami demylisasi). Kelemahan seperti ini dapat disertai kekakuan pada ekstermitas sampai drop foot. 2. Gangguan sensoris: baal, kesemutan, perasaan seperti diikat, ditusuk jarum, dingin pada tungkai dan tangan, pada pemeriksaan fisik dengan test lhermitte biasa + (30%) hal ini akibat adanya plek pada kolumna servikal posterior yang kemudian mengiritasi dan menekan medula spinalis. 3. Nyeri: pada kebanyakan pasien MS akan mengalami nyeri (Clifford & Troter), nyeri bersifat menahun. Nyeri pada MS berbentuk: a. Nyeri kepala relatif sering didapatkan (27%). b. Nyeri neurolgia trigeminal: pada orang muda dan bilateral (Jensen, 1982) relatif jarang (5%). c. Nyeri akibat peradangan nervus optikus akibat penekanan dura sekitar nervus optikus. d. Nyeri visceral berupa spasme kandung kemih, konstipasi. 4. Gangguan Blader: pada 2/3 kasus MS akan mengalami gangguan hiperreflek blader oleh karena gangguan spincter, pada fase awal reflek dan 1/3 hiporeflek dengan gejala impoten. 5. Gangguan serebelum: 50% kasus memberi gejala intension tremor, ataksia, titubasi kepala, disestesia, dan dikenal sebagai trias dari Charcott: nistagmus, gangguan bicara, intension tremor. 6. Gangguan batang otak: lesi pada batang otak akan mengganggu saraf intra aksonal, nukleus, internuklear, otonom dan motorik, sensorik sepanjang traktus-traktus. a. Lesi N III-IV menyebabkan diplopia, parese otot rektus medial yang menyebabkan internuklear ophtalmoplegi (INO). b. Patognomonis untuk MS. c. Lesi N VII menyebabkan Bell palsy. d. Lesi N VIII menyebabkan vertigor (sering), hearing loss (jarang). 7. Gangguan N Optikus (Neuritis optika): terutama pada pasien muda (Reder, 1997) sebanyak 31%, gejala berupa, penurunan ketajaman penglihatan, skotoma sentral, gangguan persepsi warna, nyeri pada belakang bola mata, visus akan membaik setelah 2 minggu onset neuritis optika kemudian sembuh dalam beberapa bulan. Penambahan suhu tubuh akan memperbesar gejala (uht holff). 8. Gangguan fungsi luhur: fungsi luhur umunya masih dalam batas normal, akan tetapi pada pemeriksaan neuropsikologi didapatkan perlambatan fungsi kognisi sampai sedang atau kesulitan menemukan kata (Rao, 1991).
F. Patofisiologi Multiple Sclerosis ditandai dengan inflamasi kronis, demylination dan gliokis (bekas luka). Keadaan neuropatologis yang utama adalah reaksi inflamatori, mediasi imune, demyelinating proses. Yang beberapa percaya bahwa inilah yang mungkin mendorong virus secara genetik mudah diterima individu. Diaktifkannya sel T merespon pada lingkungan, (ex: infeksi). T sel ini dalam hubunganya dengan astrosit, merusak barier darah otak, karena itu memudahkan masuknya mediator imun. Faktor ini dikombinasikan dengan hancurnya digodendrosyt (sel yang membuat mielin) hasil dari penurunan pembentukan mielin. Makrofage yang dipilih dan penyebab lain yang menghancurkan sel. Proses penyakit terdiri dari hilangnya mielin, menghilangnya dari oligodendrosyt, dan poliferasi astrosyt. Perubahan ini menghasilkan karakteristik plak, atau sklerosis dengan plak yang tersebar. Bermula pada sarung mielin pada neuron di otak dan spinal cord yang terserang. Cepatnya penyakit ini menghancurkan mielin tetapi serat saraf tidak dipengaruhi dan impulsif saraf akan tetap terhubung. Pada poin ini klien dapat komplain (melaporkan) adanya fungsi yang merugikan (ex: kelemahan). Bagaimanapaun mielin dapat beregenerasi dan hilangnya gejala menghasilkan pengurangan. Sebagai peningkatan penyakit, mielin secara total robek/rusak dan akson menjadi ruwet. Mielin ditempatkan kembali oleh jaringan pada bekas luka, dengan bentuk yang sulit, plak sklerotik, tanpa mielin impuls saraf menjadi lambat, dan dengan adanya kehancuran pada saraf, axone, impuls secara total tertutup, sebagai hasil dari hilangnya fungsi secara permanen. Pada banyak luka kronik, demylination dilanjutkan dengan penurunan fungsi saraf secara progresif.
G. Pathways
H. Faktor Risiko 1. Umur Walaupun multiple sclerosis dapat terjadi pada segala umur, paling sering dimulai pada orang antara usia 20 dan 40. 2. Seks Perempuan sekitar dua kali lebih berisiko dibandingkan laki-laki untuk terjadinya multiple sclerosis. 3. Keturunan Risiko multiple sclerosis lebih tinggi untuk orang-orang yang memiliki riwayat keluarga penyakit Multiple sclerosis. Misalnya, jika salah satu dari orang tua atau saudara kandung memiliki multiple sclerosis, maka anda memiliki resiko 1 sampai 3 persen untuk terjadinya Multiple sclerosis dibandingkan dengan risiko pada populasi umum, yang hanya sepersepuluh dari 1 persen. 4. Infeksi Berbagai virus telah dikaitkan dengan multiple sclerosis salah satunya adalah virus Epstein-Barr. Bagaimana virus Epstein-Barr dapat mengakibatkan Multiple sclerosis dalam penelitian lebih lanjut. 5. Ras Orang kulit putih, khususnya mereka yang berasal keluarga di Eropa utara, berada pada risiko tertinggi terkena multiple sclerosis. Orang-orang Asia, Afrika atau keturunan Amerika asli memiliki risiko terendah terserang Multiple sclerosis. 6. Faktor geografis Multiple sclerosis lebih sering terjadi di negara-negara dengan daerah beriklim sedang, termasuk Eropa, Kanada bagian selatan, utara Amerika Serikat, Selandia Baru dan Australia bagian tenggara. Risiko tampaknya meningkat dengan lintang. 7. Penyakit lainnya Orang-orang yang sangat sedikit lebih mungkin untuk mengembangkan multiple sclerosis jika mereka memiliki salah satu gangguan autoimun berikut penyakit tiroid, diabetes tipe 1 dan radang usus.
I. Komplikasi Komplikasi yang biasanya sering terjadi pada multiple skelrosis adalah disfungsi pernafasan, infeksi kandung kemih, infeksi sistem pernafasan, sepsis, komplikasi dari imobilitas, dekubitus, konstipasi, deformitas kontraktur, edema dependen pada kaki, pneumonia dan depresi reaktif, masalah-masalah emosi, sosial, pernikahan, ekonomi, pendidikan juga dapat menjadi akibat dari penyakit.
J. Pemeriksaan Penunjang Dalam menegakkan diagnosis multiple sklerosis dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Elektroforesis terhadap SSP Pemeriksaan elektroforesis terhadap SSP biasanya mengungkap adanya ikatan oligoklonal (beberapa pita imunoglobulin gamma/IgG), yang menunjukkan abnormalitas imunoglobulin. Dalam kenyataannya, hampir 95% antibodi IgG normal terlihat di SSP pada klien dengan multipel skierosis. Pemeriksaan potensial bangkitan dilakukan untuk membantu memastikan luasnya proses penyakit dan memantau perubahan. Gambaran MRI ditemukan sedikit scar plag sepanjang substansia alba dari SSP. 2. CT Scan CT scan dapat menunjukkan atrofi serebri. MRI menjadi alat diagnostik utama untuk memperlihatkan plak kecil dan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit den efek pengobatan. Disfungsi kandung kemih yang mendasari diagnosis dengan pemeriksaan urodinamik. Pengujian neuropsikologis dapat diindikasikan untuk mengkaji kerusakan kognitif. Riwayat seksual menbantu untuk mengindentifikasi hal-hal kekhawatiran khusus. 3. Pemeriksaan MRI Pemeriksaan MRI menunjukkan bahwa banyak plak tidak menimbulkan gejala serius, dan pasien dengan plak ini tidak secara serius mengalami gangguan tetapi mengalami periode remisi yang panjang di antara episode remisi. Terdapat bukti bahwa remielinasi secara aktual terjadi pada beberapa pasien. 4. Tes Elektrofisiologis Tes elektrofisiologis, menimbulkan potensial-potensial, meneliti perjalanan impuls melalui saraf untuk menentukan apakah impuls-impuls bergerak secara normal atau terlalu lambat.
K. Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah menghilangkan gejala dan membantu klien. Penatalaksanaan meliputi penatalaksanaan pada serangan akut dan kronik. 1. Penatalaksanaan serangan akut a. Hormon kortikosteroid atau adrenokortikosteroid digunakan untuk menurunkan inflamasi, kekambuhan dalam waktu singkat atau eksaserbasi (exacerbation). b. Imunosupresan (immunosuppressant) dapat menstabilkan kondisi penyakit. c. Beta interferon (betaseron) digunakan untuk mempercepat penurunan gejala. 2. Penatalaksanaan gejala kronik a. Pengobatan spastik seperti bacloferen (lioresal), dantrolene (dantrum), diazepam (valium), terapi fisik, intervensi pembedahan. b. Kontrol kelelahan dengan namatidin (simmetrel). c. Pengobatan depresi dengan antidepresan dan konseling. d. Penatalaksanaan kandung kemih dengan antikolinergik dan pemasangan kateter tetap. e. Penatalaksanaan BAB dengan laksatif dan supositoria. f. Penatalaksanaan rehabilitasi dengan terapi fisik dan terapi kerja. g. Kontrol distonia dengan karbamazim (treganol). h. Penatalaksanaan gejala nyeri dengan karbamazepin (tegatrol), fenitonin (dilantin), perfenazin dan amitripilin (triavili).
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN MULTIPLE SKLEROSIS
A. Pengkajian 1. Identitas klien Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no. register, dan diagnosis medis. 2. Keluhan utama Sering menjadi alasan klien dan keluarga untuk meminta bantuan medis adalah kelemahan anggota gerak, penurunan daya ingat, gangguan sensorik, dan penglihatan. 3. Riwayat penyakit sekarang Pada anamesis sering klien mengeluhkan parestesia (baal, perasaan geli, perasaan mati atau tertusuk-tusuk jarum dan peniti), kekaburan penglihatan lapang pandang yang makin menyempit dan klien sering mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara sepontan terutama apabila ia sedang berada di tempat tidur. Merasa lelah dan berat pada satu tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah terseret maju, dan pengontrolannya kurang sekali dan sering juga mengeluh retensi akut dan inkontinensial. 4. Riwayat penyakit dahulu Pengkajian yang perlu dikaji meliputi: adanya riwayat infeksi virus pada masa kanak-kanak yang menyebabkan multipel sklerosis pada waktu mulai menginjak usia pada masa dewasa muda. Virus campak (rubella) diduga menjadi penyebab penyakit ini. 5. Riwayat penyakit keluarga Penyakit ini sedikit lebih banyak ditemukan di antara keluarga yang pernah menderita penyakit tersebut, yaitu kira-kira 5-8 kali lebih sering pada keluarga dekat. 6. Pengkajian psiko-sosio-spritual Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengarunya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. 7. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum Klien dengan multipel sclerosis umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada TTV, meliputi: bradikardia, hipotensi, dan penurunan frekuensi pernafasan berhubungan dengan bercak lesi di medulla spinalis. b. B1 (breathing) Pada umunya, klien dengan multipel sklerosis tidak mengalami gangguan pada sistem pernapasan. Pemeriksaan fisik yang didapat mencakup hal-hal sebagai berikut. 1) Inspeksi umum Didapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum, sesak napas dan pengguanan otot bantu napas. 2) Palpasi Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. 3) Perkusi Adanya suara resonan pada seluruh lapang paru. 4) Auskultasi Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi stridor, rhonki pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien dengan inaktivitas. c. B2 (blood) Pada umumnya, klien dengan multipel sklerosis tidak mengalami gangguan pada sistem kardiovaskular. Akibat dari tirah baring lama dan inaktivitas biasanya klien mengalami hipotensi postural. d. B3 (brain) Pengkajian B3 atau Brain merupakan pemeriksaan vokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lain. Inspeksi umum didapatkan berbagai manifestasi akibat dari perubahan tingka laku. e. B4 (bladder) Disfungsi kandung kemih. Lesi pada traktus kortikospinalis menimbulkan gangguan pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan, frekuensi dan urgensi yang menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih yang spastis. Selain itu juga sering menimbulkan retensi akut dan inkontinensial. f. B5 (bowel) Pemenuhan nutrisi berkurang berhubungan dengan asupan nutrisi yang kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif. Penurunan akitfitas umum klien sering mengalami konstipasi. g. B6 (bone) Pada beberapa keadaan klien multipel sclerosis bisanya didapatkan adanya kesulitan untuk beraktifitas karena kelemahan spastik anggota gerak. Kelemahan anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetri pada keempat anggota gerak. Risiko dari multipel sklrosis terhadap sistem ini berupa komplikasi sekunder, seperti risiko kerusakaan integritas jaringan kulit (dekubitus) akibat penekanan tempat dari tirah baring lama, deformitas kontraktur, dan edema dependen pada kaki. 8. Pengkajian tingkat kesadaran Tingkat kesadaran klien biasanya komposmentis. 9. Pengkajian fungsi saraf serebral Status mental: biasanya status mental klien mengalami perubahan yang berhubungan dengan penurunan status kognitif penurunan persepsi dan penurunan memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang. 10. Pengkajian saraf kranial Pengkajian ini meliputi: pengkajian saraf kranial I-XII a. Saraf I: biasanya pada klien multipel sklerosis tidak memiliki kelainan fungsi penciuman. b. Saraf II: tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan penurunan ketajaman penglihatan. c. Saraf III, IV, dan VI: pada beberapa kasus penyakit multipel sklerosis biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf ini. d. Saraf V: wajah simetris dan tidak ada kelainan. e. Saraf VII: presepsi pengecapan dalam batas normal. f. Saraf VIII: tidak ditemukan adanya tuli kondusif dan tuli presepsi. g. Saraf IX dan X: didapatkan kesulitan dalam menelan makanan yang berhubungan dengan perubahan status kognitif. h. Saraf XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. i. Saraf XII: lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu sisi dan tidak ada vasikulasi, indera pengecapan normal 11. Pengkajian sistem motorik a. Kelemahan spastik anggota gerak, dengan manifestasi berbagai gejala, meliputi kelemahan anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota gerak. b. Merasa lelah dan berat pada satu tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas yang sebekah terseret maju, serta pengontrolan yang buruk. c. Klien dapat mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara trauma spontan terutama jika pasien sedang berada di tempat tidur. d. Keadaan spastis yang lebih berat disertai spasme otot yang nyeri. 12. Pengkajian refleks Berikut dijelaskan beberapa pengkajian refleks: a. Refleks tendon hiperaktif dan refleks-refleks abdominalis tidak ada. b. Respon plantar berupa ekstensor (tanda Babinski). Tanda ini merupakan indikasi terseranganya lintasan kortikospinal. 13. Pengkajian sistem sensorik Gangguan sensorik. Parestesia (baal, perasaan geli, perasaan mati rasa atau tertususk-tusuk jarum dan peniti). Gangguan proprioseptif sering menimbulkan ataksia sensori dan inkoordinasi lengan. Sensasi getar seringkali menghilang.
B. Diagnosa Keperawatan 1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular, tidak toleran terhadap panas/dingin, penurunan kekuatan, kelelahan, penurunan persepsi kognitif, nyeri/merasa tidak nyaman, kurang nutrisi (kurus), gangguan tidur, depresi, efek samping obat. 2. Kurang perawatan diri berhubungan dengan gangguan neuromuscular, tidak toleran terhadap aktivitas, penurunan kekuatan dan kethanan, gangguan motorik, tremor, nyeri, tidak nyaman, kelelahan, kehilangan memori, depresi. 3. Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan bentuk/fungsi tubuh, gangguan dalam penerimaan tubuhnya sendiri, peran yang terbaik, ketergantungan. 4. Ketidakberdayaan/keputusasaan berhubungan dengan perjalanan penyakit, gaya hidup yang tanpa harapan. 5. Risiko tinggi terhadap koping, individual tidak efektif. 6. Perubahan pola eliminasi urinarius. 7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan kurang terbuak, interpretasi informasi yang salah, tidak mengenal sumber-sumber informasi, keterbatasan pengetahuan, hilangnya kemampuan untuk mengingat.
C. Intervensi Keperawatan 1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular, tidak toleran terhadap panas/dingin, penurunan kekuatan, kelelahan, penurunan persepsi kognitif, nyeri/merasa tidak nyaman, kurang nutrisi (kurus), gangguan tidur, depresi, efek samping obat. a. Tujuan: 1) Mampu mengidentifikasi factor-faktor risiko dan kekuatan individu yang mempengaruhi toleransi terhadap aktivitas. 2) Mampu mengidentifikasi beberapa alternative untuk membantu mempertahankan tingkat aktivitas saat sekarang. 3) Berpartisipasi dalam program rehabilitasi untuk meningkatkan kemampuan untuk beraktivitas. b. Intervensi: 1) Tentukan tingkat aktivitas sekarang/ keadaan fisik pasien. Kaji derajat gangguan fungsi dengan menggunakan skala 0-4. Rasional: memberikan informasi untuk mengembangkan rencana perawatan bagi program rehabilitasi. 2) Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk aktif, seperti temperature yang sangat tinggi, pemasukan makanan yang tidak adekuat, insomnia, penggunaan obat-obat tertentu. Rasional: memberikan kesempatan untuk memecahkan masalah untuk mempertahankan/ meningkatkan mobilitas. 3) Anjurkan pasien untuk melakukan perawatan diri sendiri sesuai dengan kemampuan maksimal yang dimiliki pasien. Rasional: meningkatkan kemandirian dan rasa control diri, dapat menurunkan perasaan tidak berdaya. 4) Lakukan perubahan posisis secara teratur ketika pasien tirah baring (imobilisasi) di tempat tidur atau di kursi. Rasional: menurunkan tekanan terus menerus pada daerah yang sama,mencegah kerusakan kulit. Meminimalkan spasme fleksor lutut dan pinggul. 5) Anjurkan untuk melakukan latihan meregangkan dan penggunaan kompres dingin, bidai sesuai dengan kebutuhan. Rasional: membantu menurunkan spastisitas. 6) Konsultasikan dengan ahli terapi fisik/ terapi kerja. Rasional: bermanfaat dalam mengembangkan program latihan secara individual dan mengidentifikasi kebutuhan alat untuk menghilangkan spasme otot, meningkatkan fungsi motorik, mencegah/ menurunkan atrofi dan kontraktur pada sistem muscular. 7) Berikan pengobatan Dantrolen (dantrium). Rasional: relaksan otot untuk mengurangi spastisitas, meningkatkan mobilisasi, meningkatkan aktivitas. 2. Kurang perawatan diri berhubungan dengan gangguan neuromuscular, tidak toleran terhadap aktivitas, penurunan kekuatan dan kethanan, gangguan motorik, tremor, nyeri, tidak nyaman, kelelahan, kehilangan memori, depresi. a. Tujuan: 1) Mampu mengidentifikasi kelemahan atau kebutuhan secar individual. 2) Mampu mendemonstrasikan perubahan teknik/ pola gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri. 3) Mampu melakukan kegiatan perawatan dirir sendiri dalam tingkat kemampuan yang dimiliki secara optimal. 4) Mengidentifikasi sumber-sumber personal komunikasi yang dapat memberikan bantuan. b. Intervensi: 1) Kaji derajat ketidakmampuan pasien. Rasional: berpartisipasi dalam perawatan diri sendiri dapat meringankan frustasi atas hilangnya kemandirian yang dimilikinya. Kualitas hidup pasien meningkat ketika pasien mampu untuk melakukan kegiatannya sehari-hari. 2) Perhatikan adanya tindakan terhadap keletihan. Rasional: kelelahan yang dialami oleh pasien dengan Multiple sklerosis sangat melemahkan dan menurunkan kemampuan untuk berartisispasi dalam melakukan AKS. Pasien dengan Multiple Sklerosis menghabiskan lebih banyak tenaga untuk melakukan AKS secara keseluruhan yang selanjutnya meningkatkan risisko terjadinya kelelahan. 3) Bantu pemenuhan kebersihan diri sesuai dengan kebutuhan. Rasional: contoh oleh pemberi pelayanan dapat menata satu upaya terhadap penerimaan keutuhan yang mungkin hilang pada pasien atau mungkin bertentangan dengan orang terdekat. 4) Buat cara-cara untuk menemukan kebutuhan nutrisi/ cairan seperti sendok, garpu dengan perekat (plester, makanan yang dipotong-potong dan melihat pasien bagaimana pasien memegang gelas dengan kedua tangannya). Rasional: memberikan masukan yang adekuat dan meningkatkan perasaan mandiri/ harga diri pasien itu sendiri. 5) Konsultasikan dengan ahli terapi okupasi. Rasional: bermanfaat dalam mengidentifikasi alat untuk menemukan keutuhan secara individual, meningkatankan kemandirian dan meningkatkan perasaan menghargai perasaan menghargai diri sendiri. 3. Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan bentuk/ fungsi tubuh, gangguan dalam penerimaan tubuhnya sendiri, peran yang terbaik, ketergantungan. a. Tujuan: 1) Mampu mengungkapkan kenyataan secara realistis dan penerimaan terhadap tubuhnya. 2) Pandangan diri sesuai dengan kemampuan individu. 3) Mampu mengenali dan bekrja sama dalam perubahan konsep diri/peran tanpa menimbulkan harga diri yang negative. 4) Mampu mengembangkan perencanaan yang realistis untuk mengadaptasi perubahan peran. b. Intervensi: 1) Ciptakan/ pertahankan hubungan terapetik pasien-perawat. Rasional: meremehkan sikap peduli dan mengembangkan rasa saling percaya antara pasien dan perawat yang di dalamnya pasien bebas untuk mengekspresikan ketakutan ditolak, perasaan putus asa. Meningkatkan rasa sejahtera pada pasien. 2) Catat tingkah laku menarik diri/ sikap menyangkal atau terlalu memikirkan tubuh/ proses penyakitnya. Rasional: awalnya mungkin merupakan respons perlindungan yang normal, tetapi jika berkepenjangan bisa menghalangi sikap untuk menghadapi kenyataan sebagaimana seharusnya dan dapat menuntun kea rah koping yang tidak efektif. 3) Dukung penggunaan mekanisme pertahanan, biarkan pasien menangani informasi dengan cara dan waktunya sendiri. Rasional: konfrontasi pasien terhadap situasi yang nyata dapat mengakibatkan peningkatan ansietas dan mengurangi kemampuan untuk mengatasi perubahan peran/ konsep diri. 4) Berikan informasi lisan/tertulis yang tepat mengenai apa yang sedang terjadi dan diskusikan dengan pasien/orang terdekat. Rasional: membantu pasien menerima keadaan, menurunkan rasa takut terhadap hal yang tidak diketahi, member sumber rujukan untuk dimasa datang. 5) Berikan lingkungan terbuka bagi pasien/ keluarga untuk mendiskusikan masalah seksualitas. Rasional: perubahan fisik dan psikologis seringkali menimbulkan stressor dalam hubungan keluarga yang mempengaruhi pern/ harapan semula, selanjutnya mengganggu konsep diri. 6) Konsultasikan dengan ahli terapi okupasi/tim rehabilitasi. Rasional: mengidentifikasi alat bantu/ peralatan yang dapat meningkatkan tingkat fungsi dan partisipasi dalam AKS. 4. Ketidakberdayaan/keputusasaan berhubungan dengan perjalanan penyakit, gaya hidup yang tanpa harapan. a. Tujuan: 1) Mampu menggunakan mekanisme koping untuk melawan perasaan tidak berdaya. 2) Mampu mengidentifikasi wilayah yang dapat dikendalikan . 3) Berpartisipasi/mampu memantau dan mengontrol perawatan diri sendiri dan AKS dalam keterbatasan yang dimilikinya. b. Intervensi: 1) Catat adanya tingkah laku yang merupakan pertanda dari ketidakberdayaan/ tidak ada harapan. Rasional: derajat diman pasien mempercayai keadaan dirinya tidak ada harapan, bahwa ia tidak berdaya untuk mengubah apa yang terjadi, berpengaruh pada bagaimana pasien menangani keadaan hidupnya. 2) Bantu pasien untuk mengidentifikasi factor-faktor yang berada di bawah control diri sendiri, seperti apa yang dapat dan tidak dapat dikendalikan. Rasional: mengetahui dan menerima apakah control di luar individu dapat menurunkan bantuan atau tingkah laku yang muncul meningkatkan focus atas bagian individu yang dapat dikontrol. 3) Diskusikan kebutuhan secara terbuka dengan pasien atau keluarga atur kegiatan sehari-hari yang disetujui untuk menemukan kebutuhan yang teridentifikasi. Rasional: membantu untuk mendapatkan tingkah laku yang dimanipulasi ketika pasien merasa tidak berdaya dan tidak ada kepedulian. 5. Risiko tinggi terhadap koping, individual tidak efektif. a. Tujuan: 1) Mampu mengenali hubungan antara proses penyakit dan respon emosi, perubahan proses piker/tingkah laku. 2) Mampu mengungkapkan kesadarannya terhadap kemampuan/ kekuatan diri sendiri. 3) Mampu menampilkan keterampilan cara pemecahan masalah yang efektif dalam waktu yang lama. 4) Mampu mendemonstrasikan perubahan gaya hidup/ perilaku untuk mencegah/meminimalkan perubahan mental dan mempertahankan orientasi mata. b. Intervensi: 1) Kaji kemampuan/keterbatasan yang dialami saat ini, catat adanya proses piker yang menyimpang, emosi yang labil, penurunan kognitif. Rasional: pengaruh organic atau psikologis menyebabkan pasien mudah distraksi, kesulitan lamanya untuk konsentrasi, memecahkan masalah,mengatasi kejadian, bertanggungjawab terhadap perawatan diri sendiri dan sebagainya. 2) Anjurkan mengungkapkan perasaan takutnya, menerima apakah pasien mengatakan dengan cara yang kurang benar. Rasional: dapat menurunkan ketakutan pasien, mengembangkan kepercayaan dan memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi masalah/memutus untuk membuat pasien pemecahan masalah. 3) Observasi komunikasi nonverbal seperti posisi tubuh , kontak mata, dll. Rasional: dapat memberikan informasi yang khusus mengenai apakah yang sednag dirasakan pasien, klarifikasi merupakan satu hal yang amat penting untuk meyakinkan kekuatan dari komunikasi tersebut. 4) Berikan petunjuk untuk memperbaiki orientasi. Rasional: membantu dalam mengingat dan mempertahankan memori dan memungkinkan pasien untuk menguasai keadaan. 5) Rujuk ke konselor untuk konseling, perawat spesialis jiwa sesuai kebutuhan. Rasional: mungkin memerlukan bantuan tambahan untuk mengatasi masalah harga diri dan mendapatkan keterampilan koping efektif. 6. Perubahan pola eliminasi urinarius. a. Tujuan: 1) Mampu mengungkapkan pemahamannya mengenai keadaannya. 2) Mendemonstrasikan teknik perilaku untuk mencegah/ menurunkan infeksi. b. Intervensi: 1) Catat frekuensi berkemih. Rasional: memberikan informasi mengenai derajat gangguan eliminasi atau mungkin merupakan indikasi adanya infeksi kandung kemih. Kandung kemih yang masih tetap penuh setelah berkemih merupakan indikasi pengosongan yang tidak adekuat dan memerlukan intervensi. 2) Lakukan program latihan kandung kemih. Rasional: membantu untuk mempertahankan fungsi kandung kemih yang adekuat, mengurangi terjadinya infeksi kandung kemih. 3) Anjurkan untuk minum yang cukup, batasi minum selama sore menjelang malam dan saat tidur. Rekomendasikan penggunaan jus buah tertentu/ vitamin C. Rasional: hidrasi yang cukup meningkatkan pengeluaran urine dan membantu dalam mencegah infeksi. Menurunkan risiko berkembangnya infeksi pada saluran kemih atau pada kandung kemih. 4) Pasang kateter sesuai kebutuhan. Rasional: mungkin diperlukan jika pasien tidak dapat mengosongkan kandung kemih atau adanya retensi urin. 5) Ambil urin untuk pemeriksaan sensitivitas dan untuk kultur. Rasional: jumlah koloni di atas 100.000 merupakan indikasi adanya infeksi yang memerlukan penanganan. 6) Berikan pengobatan sesuai dengan kebutuhan, seperti antimikrobial, nitrofurantonin makrokristal. Rasional: obat bakteriostatik yang menghambat pertumbuhan kuman. Pengobatan infeksi dengan segera adalah penting untuk mencegah komplikasi yang serius atau sepsis/syok. 7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan kurang terbuak, interpretasi informasi yang salah, tidak mengenal sumber-sumber informasi, keterbatasan pengetahuan, hilangnya kemampuan untuk mengingat. a. Tujuan: 1) Berpartisipasi dalam proses belajar. 2) Mengambil tanggungjawab untuk belajar sendiri dan mulai untuk mencari informasi dan bertanya. 3) Mengungkapkan pemahaman terhadap keadaan/ proses penyakit dan penanganannya. 4) Melakukan perubahan gaya hidup yang diperlukan. 5) Berpartisipasi dalam pengobatan sesuai dengan pesan dokter. b. Intervensi: 1) Kaji keinginan untuk belajar. Rasional: menentukan jumalh/ tingkat informasi untuk mmberikan pasien beberapa hal yang penting. 2) Catat adanya emosi labil atau pasien dalam keadaan melamun. Rasional: pasien tidak akan menginternalisasi informasi dan akan mengalami kesulitan belajar selama periode ini. 3) Dorong pasien untuk menentukan tujuan masa datang dengan berfokus pada disini dan sekarang. Rasional: memiliki perencanana untuk masa datang membantu memenuhi harapan serta memberikan kesempatan pasien untuk melihat bahwa walaupaun hari ini dihidupkan, seseorang dapat merencanakan peristiwa besok meskipun dalam keadaan yang memburuk. 4) Tinjau kembali pengobatan individu secara spesifik. Rasional: menurunkan interaksi obat/ efek yang tidak diharapkan dan meningkatkan kooperatif pasien dengan regimen pengobatan. 5) Rujuk ke rehabilitasi vokasional. Rasional: mungkin memerlukan penilaian kemampuan sesuai indikasi dengan perkembangan penyakit atau keterbatasan secara individual.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2013). Mengenal Multiple Sclerosis. Diunduh pada tanggal 1 Mei 014 dari http://gosehat.com/mengenal-multiple-sclerosis. Baticaca, F.B. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Brunner&Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah ed. 8 vol.3. Jakarta: EGC. Doengoes, M. E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC. Maria, A. (2008). Bertahan Hidup dengan Terapi Jus. Yogyakarta: Pustaka Anggrek. Musana, D. K. (2010). Encephalon dan Nervi Cranialis. Yogyakarta: Presentasi Kuliah Pengantar Kedokteran Hewan UGM. Mutaqin, Arif. (2008). Asuhan keperawatan klien dangan Gangguan System Persyarafan ed. 6 vol.2. Jakarta: Salemba Medical. Samuelson, D. A. (2007). Textbook of Veterinary Histology. Philadelphia: Saunders Elsevier. Walter, H. E., & Sayles, E. P. (1959). Biology of the Vertebrates. New York: The Macmillan Company.
Pembedahan Skoliosis Lengkap Buku Panduan bagi Para Pasien: Melihat Secara Mendalam dan Tak Memihak ke dalam Apa yang Diharapkan Sebelum dan Selama Pembedahan Skoliosis