Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Di era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), pemerintah mendayagunakan dokter layanan primer,
dokter spesialis dan dokter subspesialis untuk mengawal serta membantu pemerintah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam bidang kesehatan di Indonesia.
Mengingat di Era JKN ini tidak ada lagi yang dinamakan dokter umum, maka pemerintah membuat
UU DikDok tahun 2013 yang menambahkan strata baru, yaitu dokter layanan primer untuk
mendukung pemerintah meyukseskan program JKN di Indonesia.
Dalam UU dikdok 2013 pasal 7, dijelaskan bagaimana sistem pendidikan dokter dari akademik hingga
menjadi dokter layanan primer. Dokter layanan primer adalah strata baru setelah internship secara
nasional dan dilaksananakan di institusi yang memiliki akreditasi tertinggi (A) sebagaimana yang
tertulis dalam UU Dikdok 2013 dan setara dengan spesialis.
Seperti diketahui bahwa ke depan penyediaan pelayanan kesehatan primer dilakukan oleh para DLP
pada 2019, bukan lagi tanggung jawab dokter umum seperti sekarang. Pendidikan bagi dokter
layanan primer ini akan memakan waktu sekitar 2-3 tahun untuk setiap angkatannya dengan bobot
50-90 SKS. Celakanya, belum ada satu pun institusi pendidikan yang sudah menjalankan program
pendidikan layanan primer.
Berdasarkan UU Pendidikan Kedokteran, mahasiswa pendidikan DLP sama dengan pendidikan dokter
spesialis dan umum, dimana juga diizinkan untuk mendapatkan beasiswa dan bantuan biaya
pendidikan dari pihak manapun. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya pada program
pendidikan DLP, pemerintah bisa memberikan bantuan biaya pendidikan atau bahkan digratiskan.
Selain itu, ada pencanangan bahwa setiap dokter yang melanjutkan pendidikan kedokterannya, baik
DLP maupun spesialis, diperbolehkan menerima insentif berupa imbalan material yang diberikan
rumah sakit sebagai balas jasa atas jasa medis yang dilakukan sesuai kompetensinya.
Jika hal ini benar dilakukan oleh pemerintahan dan pelaksanaannya diregulasi dengan baik, maka
akan banyak sekali dokter umum yang mau melanjutkan pendidikan DLP. Kekhawatiran muncul
lantaran pemerintah terkesan tidak serius dalam bidang kesehatan. Ini terlihat dari anggaran
kesehatan nasional yang belum mencapai 5 persen serta banyaknya daerah yang belum mencapai
target anggaran kesehatan daerah 10 persen.
Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa besarnya biaya pendidikan kedokteran akan menjadi penghalang
besar dalam JKN ini. Mahalnya biaya pendidikan kedokteran umum dan spesialis membuat profesi
ini seakan hanya bisa dinikmati mereka orang berada saja. Sementara penyebaran dokter yang
belum bisa merata menjadi masalah tersendiri.
Maka jelaslah membentuk dokter Indonesia berkualitas menjadi perkara yang sulit, apalagi untuk
kepentingan JKN. Sedikitnya institusi pendidikan dokter di Indonesia yang berakreditasi A,
banyaknya institusi berakreditasi C yang mayoritas peserta didiknya tidak lulus Ujian Kompetensi
Dokter Indonesia (UKDI), serta ditambah lagi adanya kekisruhan antara AIPKI (Asosiasi Institusi
Pendidikan Kedokteran Indonesia) dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) mengenai uji kompetensi
lulusan dokter menjadi rintangan tersendiri dalam pelaksanaan JKN ini.
Bisa dibayangkan ketika lulusan dokter umum sekarang banyak yang kesulitan mencapai parameter
sesuai UKDI, bagaimana nanti ketika sudah menjalani pendidikan DLP yang tentu melibatkan
kompetensi yang lebih tinggi dibandingkan dokter umum biasa. Tidak menutup kemungkinan juga
bahwa dapat terjadi pergolakan akibat keinginan agar status dokter umum dapat terus menjadi
provider di JKN. Belum lagi diperparah dengan dipermudahnya dokter asing masuk ke Indonesia
menyusul diberlakukannya Asean Economic Community pada 2015 nanti.