Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan m
embutuhkan terapi khusus berdasarkan pemeriksaan klinis
seksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca operasi. Masalah paru adalah
penyebab umum morbiditas dan
telah
didokumentasikan, hanya 3% dari pasien dengan pra operasi normal fungsi paru yang
akan berkembang menjadi atelektasis atau pneumonia, sedangkan 70% dari pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik dengan perubahan fungsi paru akan menemui
beberapa kesulitan. Shnider melaporkan bahwa 6,5%
sebelumnya mengalami bronkospasme selama operasi. Gold dan Helrich menemukan 24%
insiden dari operasi dan komplikasi pasca operasi pada populasi asma, sangat berbeda
kejadiannya dengan 14% dalam kelompok kontrol. Dalam sebuah penelitian yang terbatas,
gagal jantung lebih dari 20 kali lebih sering terjadi pada penderita asma dibandingkan
pada kelompok kontrol.
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabangcabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel, hal ini
menandakan suatu keadaan hiperreaktivitas bronkus. Perubahan jaringan pada asma tanpa
komplikasi terbatas pada bronkus dan terdiri spasme otot polos, edema paru-paru,
infiltrasi sel-sel radang dan hipersekresi mukus yang kental. Mobilisasi sekret pada lumen
dihambat oleh penyempitan dari saluran napas dan pengelupasan sel-sel epitel bersilia,
yang dalam keadaan normal membantu membersihkan mukus.1
Gejala-gejala asma yang umum terjadi seperti sesak napas, batuk, whezing, dan
sampai sulit bernapas. Penyebab klasik yang memicu terjadinya asma antara lain:
substansi udara seperti polutan, serbuk sari, debu, dan beberapa uap kimia. Stimulasi
psikologi (seperti emosi, stres, cemas), cuaca, penggunaan obat NSAID( seperti aspirin,
ibuprofen), olah raga. Infeksi saluran napas oleh karena virus.2
Berdasarkan penyebabnya asma dapat dibagi menjadi dua macam, asma ekstrinsik (asma
alergi), asma intrinsik (asma yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik). Pada
asma ekstrinsik biasanya pada anak-anak dan dipicu oleh alergen, asma intrinsik dipicu
oleh faktor-faktor non alergen seperti infeksi saluran napas oleh virus, emosi, iritasi
saluran napas, dan olah raga. Pada asma intrinsik umumnya pada orang dewasa.
Asma dapat timbul pada semua kelompok umur. Terdapat peningkatan prevalensi
asma baik pada negara maju ataupun pada negara berkembang. Meskipun angka kematian
karena asma rendah tetapi penykit ini mempunyai dampak yang cukup besar karena
penderita asma sering mengalami serangan sehingga mengganggu aktivitas kerja ataupun
kehilangan hari sekolah.11
Pada umumnya pasien dengan gangguan fungsi paru derajat tertentu yang
mengalami pembedahan masih memiliki kemampuan toleransi terhadap gangguan
pernapasan pasca bedah. Tetapi pasien dengan penyakit paru memiliki peluang resiko
yang lebih tinggi terjadinya komplikasi paru pasca bedah dibandingkan pasien yang
normal, oleh karena itu diperlukan pengelolaan perioperatif yang memadai untuk
mencegah komplikasi tersebut.
BAB II
LAPORAN KASUS
1.
IDENTITAS PASIEN
1.
Nama
: Tn WD
2.
Jenis Kelamin
: Laki-laki
3.
Umur
: 28 tahun
4.
Alamat
: Temon, Kulonprogo
5.
Agama
6.
Pekerjaan
7.
No RM
8.
9.
10.
Tanggal Operasi
11.
: Islam
: Swasta
: 6123xx
: 18 Agustus 2014
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri pada kaki kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang rujukan dari RSUD Wates datang dengan keluhan nyeri pada kaki
kiri post kecelakaan lalu lintas. Pasien merasakan kaki susah digerakan. Pasien
dibawa ke rumah sakit dan hasil foto Rontgen memberi kesimpulan bahwa pasien
mengalami patah tulang pada bagian paha, dan dokter pun menyarankan untuk
melakukan operasi. Pusing (-) , Mual (-) , Muntah (-) , BAB dan BAK dalam batas
normal.
3.
4.
: disangkal
: disangkal
c. Riwayat Asma
: (+)
: disangkal
: disangkal
a. Riwayat Hipertensi
: disangkal
: disangkal
c. Riwayat Asma
: (+)
: disangkal
5.
PEMERIKSAAN FISIK
1.
2.
3.
Status Generalis
Keadaan Umum
: Baik
Gizi
: Cukup
Kesadaran
: Compos mentis
TB/BB
: 170 cm/ 80 kg
Vital Sign
TD
: 114/73 mmHg
: 116 x/menit
RR
: 24 x/menit
Suhu
: 36,90C
Status Lokalis
1.
Hidung
Mulut
Telinga
Leher
Thorax
Pulmo
Jantung
Abdomen
3.
4.
Ekstremitas
Superior
Inferior
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
Satuan
Lekosit
10100
4000-12000
/L
Eritrosit
4,31
4.0-5.1
jt/ul
Hemoglobin
14,5
12.0-15.0
g/dL
Hematokrit
43
36-47
Trombosit
264000
15000-400000
/L
PPT
15,7
Menit
APTT
32,8
Menit
Gol. Darah
Imunoserologi
5.
HbSAg
Negative
GDS
124
DIAGNOSA KERJA
Close Fraktur Colum Femur Sinistra
6.
KESIMPULAN
Close Fraktur Colum Femur Sinistra. Berdasarkan status fisik, diklasifikasikan
dalam ASA II Emergency. ACC operasi dengan regional anastesi (anastesi spinal).
7.
PENATALAKSANAAN
8.
Macam
2.
Jenis AN
: Regional Anestesi
3.
Teknik AN
: Spinal Anastesi
1.
: ORIF
WIB
WIB
Operasi selesai
:11.30 WIB
Pre-operatif
Cek persetujuan operasi
Pasien puasa 6-8jam pre-operatif.
Cek obat-obatan dan alat anestesi (tersedia)
Infus RL 30 tpm
Keadaan umum dan vital sign baik (TD=130/80 mmHg, N=80/menit,
RR=20/menit, S=36,30C).
2. Intra operatif
Pada tanggal 18 Agustus 2014 pasien masuk ke ruang OK, diposisikan di
atas meja operasi, pasang alat monitoring: monitor tensi, Heart Rate, SpO2,
untuk monitoring ulang vital sign pasien. (TD : 130/70 mmHg, N : 82
x/menit).
Pasien diminta untuk duduk kemudian dilakukan spinal anastesi dengan
Bupivacain 20 mg dan kemudian pasien diposisikan supine kembali. Selama
operasi obat yang diberikan adalah injeksi Ranitidin 1 amp IV, Remopain 10
mg, metil prednisone 10 mg, ceftroaxone 1 gr, asam tranexamat.
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa
dikontrol setiap 5 menit, sebagai berikut :
Menit ke-
Sistole
Diastole
Nadi
Sp O2
98
50
114
99 %
100
60
92
99 %
10
110
70
92
99 %
15
120
80
94
99 %
20
120
87
100
98%
25
122
90
99
99 %
30
122
88
99
99 %
35
122
88
96
99 %
40
125
85
96
99 %
45
125
80
96
98 %
50
125
88
99
98 %
55
128
88
99
98 %
60
128
88
99
98 %
65
130
85
115
99 %
70
128
85
100
99 %
75
125
80
99
99 %
Post operatif
Operasi berakhir pukul 11.30 WIB.
Selesai operasi pasien dipindahkan ke Ruang Pemulihan (Recovery Room),
pasien segera diberi bantuan oksigenasi melalui Canul O2 3 lt/menit,
melanjutkan pemberian cairan, dan diobservasi terus dipantau setiap 15 menit
dinilai pernafasan, tekanan darah, dan nadi.
Instruksi Post Operasi :
Pasien dirawat di RR dengan O2 2 lpm nasal. Awasi respirasi tiap 15 menit.
Bila tekanan darah turun dibawah 90/60 mmHg, berikan efedrin 5-10mgIV.
Bila muntah, berikan ondansentron 4-8 mg IV, jika kesakitan berikan
ketolorac 30 mg.
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV
TINJUAN PUSTAKA
1. SISTEM RESPIRASI
A.
Sistem pulmonal memiliki dua bagian secara anatomis dengan fungsi berbeda, yaitu :
1. Saluran nafas mulai dari hidung dan mulut, pharink, larynx, trachea, bronkus,
hingga bronchiolus.
2. Pars respiratoar, terdiri dari bronchiolus respiratorik, duktus alveolaris, saccus
alveolaris, dan alveoli.
Mesoderm dari cabang bronchiolus berkembang membentuk pars respiratorik dari paru.
Luas permukaan alveoli keseluruhan mendekati 55 m2 pada dewasa, 25 kali lebih besar
dari luas permukaan kulit. Alveoli memiliki jaringan dan percabangan kapiler yang padat,
hingga saturasi oksigen 100% dapat tercapai di sini. Anatomi pulmonal di sisni sangat
penting bagi anestesiolog, seperti jarak dari bibir ke larynk 12 cm, puncak kartilago
thyroid ke dasar cricoid 4-5 cm, larynk ke carina 12-13 cm, diameter trachea dewasa ratarata 2,5 cm.
B.
Total kapasitas udara paru-paru mendekati 5000ml (5L), atau kurang lebih 70 ml/KgBB.
Dengan menggunakan alat perekam volume sederhana dan spirometer, dapat ditentukan
pembagian dari udara paru-paru.
1. Volume paru-paru
A. Volume tidal
Adalah jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan pada kondisi biasa, pada dewasa
mendekati 500ml saat istirahat. Volume tidal dapat menggunakan + 6,0-7,5 ml/KgBB.
Pada neonatal aterm digunakan 6,0 ml/KgBB, setelah usia sebulan digunakan 7,0
ml/KgBB, dan pada dewasa digunakan 7,5 ml/KgBB.
1. Volume cadangan inspirasi
Adalah maksimal volume udara yang masih dapat di hirup setelah inspirasi normal,
jumlahnya mendekati 40-50% dari kapasitas total paru-paru, atau sekitar 2000-3000 ml
pada dewasa dengan BB 70 Kg. Pada dewasa muda sekitar 3000-3500 ml, pada >50
tahun 2500 ml.
2. Volume cadangan ekspirasi
Adalah maksimal volume udara yang masih dapat dikeluarkan setelah ekspirasi normal.
Volumenya mendekati 20% dari kapasitas total paru-paru, atau mendekati 1000-1200 ml.
3. Volume residual
10
Adalah volume udara yang masih tetap berada di paru-paru walaupun telah ekspirasi
maksimal. Jumlahnya sekitar 20% dari kapasitas total paru-paru, atau 1200 ml. besarnya
volume bervariasi seiring dengan usia, pada 20-30 tahun sekitar 1300 ml, pada 30-40
tahun sekitar 1500 ml, pada 40-60 tahun sekitar 2000 ml, pada usia lebih tua dapat
mencapai 2400 ml. Hal ini tidak dapat diukur dengan spirogram, namun dapat ditentukan
secara tidak langsung. Terdapat 2 metode : sirkuit terbuka dan sirkuit tertutup. Pada
sirkuit terbuka, semua nitrogen dalam paru ( + 80% volume) di keluarkan dengan cara
inspirasi oksigen dan ekspirasi ke dalam spirometer. Volume gas ekspirasi diukur dan
kadar nitrogen diukur.
Pada sirkuit tertutup, digunakan helium yang telah diketahui volume dan konsentrasinya (
10% ), di inspirasi dari reservoar. Perubahan persentase dalam reservoar digunakan untuk
menghitung kapasitas paru.
1. Kapasitas paru-paru
Merupakan kombinasi dari beberapa jenis volume paru-paru, terdapat 4 macam kapasitas
paru, yaitu :
1. Kapasitas inspiratoar
Adalah volume maksimal udara yang dapat di inspirasi setelah ekspirasi normal,
merupakan kombinasi volume tidal dan volume cadangan inspirasi.
2. Kapasitas vital (VC)
Adalah total volume udara yang dapat diinspirasi setelah ekspirasi maksimal, merupakan
kombinasi dari volume cadangan inspirasi, volume tidal, dan volume cadangan ekspirasi.
3. Kapasitas residual fungsional (FRC)
Adalah volume udara yang masih terdapat di dalam paru-paru setelah ekspirasi normal,
merupakan kombinasi dari volume residual dan volume cadangan ekspirasi. Volumenya
mendekati 2500 ml. FRC menurun pada posisi supine bila dibandingkan pada posisi
duduk, karena perubahan posisi diaphragma. FRC juga biasanya menurun pada narkose
umum hingga 0,5 ml.
2.
DEFINISI ASMA
Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan sebagai
gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini
menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk,
khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
11
penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan.8
Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya peningkatan
kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka hal ini
menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi mengi, banyak dahak, sesak napas, dan
tidak enak didada terutama pada malam hari atau pagi hari.15
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas cabangcabang tracheobronchial terhadap pelbagai jenis rangsang. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel akibat
bronkospasme. 15
3.
PATOFISIOLOGI ASMA
Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan napas dan
mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis. Substansi
yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui respon imun spencifik dan non
spencifik oleh daya degranulai sel mast bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen
berikatan dengan Ig E di permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi,
bronkokontriksi merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya : bradiknin;
leukotrien C, D, dan E; platelet activating-factor, prostaglandin (PG), PGE2, PGF2 alfa,
dan PGD2; dan factor netrofil eosinofil kemotaktik.2 Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th),
limpfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua
jenis lifosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
(GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama
memprodusi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16.
Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi
hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell mediated. Langkah pertama terbentuknya
respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel
aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan molekul MHC/major histocompatibility
complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada ael T CD8+). Sel
dendritik adalah merupakan antigen presenting cell yang utama dalam saluran napas. Sel
dendritik terbentuk perkusornya didalam sumsum tulang dan membentuk jaringan luas
dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel
tersebut bermigrasi kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin
12
yang terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast. Setelah
antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang banyak mengandung
limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai
antigen presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi selT
nave-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada
klaster kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster). 8
Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus
abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak faktor, saluran
napas ini seakan-akan merupakan persarafan -adrenergik yang tidak kompeten, dan
banyak bukti memberikan paling tidak secara fungsional terdapat hambatan partial pada
reseptor adrenergik pada penderita asma yang khas ini. Penyempitan saluran
respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan
saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan
agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase,
prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropepetida dari saraf aferen
setempat dan asetilkolin dari saraf postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respirtorik
diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel
inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos, vaskuler dan selsel sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran respiratorik. Selain itu hambatan
saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan
lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui
mikrovaskuler bronkus dan debris seluler.16
Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada manusia. Sistim
saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga tonus normal bronkial.
Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang dimediasi oleh peningkatan siklik
guanosin monofosfat intraseluler (cGMP). 2
Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang terjadi
akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang lebih rendah.
Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas yang lebih besar
(bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian baru perifer. Laju
ekspirasi menurun melampaui kapasitas vital paksa (force vital capacity) tetapi pada
pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume paru rendah.
Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal ini
13
sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus dan
gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis kanan, dan
RBBB) menunjukan obstruksi jalan napas berat.2
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol
asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu
pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan
adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut
berat-ringannya
asma
yang
sangat
penting
dalam
penatalaksanaannya.
Asma
diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
4.
PEMBAGIAN ASMA
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa
14
5.
A. Evaluasi Preoperatif
15
Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat penting
untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik intraoperatif maupun
postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa gas darah, foto rontgen
thorax.16
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-obatan
dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan, obat, minuman),
Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya.4 Bila baru-baru ini mendapat
infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi elektif sebaiknya
ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.3
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang
terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi memanjang,
Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi.4 Tanda-tanda serangan
asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak mampu berhenti
napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada whezing (jalan napas tertutup,
sedikit gerakan udara, dan whezing menurun).5
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini
selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga untuk
membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum selain
didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden, spiral
churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.4
16
% FEV/FVC
Normal
80-100
Asma Ringan
75-79
Asma Sedang
50-74
Asma Berat
35-49
Status Asmatikus
<35
17
asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi paruparu.4
7. Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas. Indikasi
fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk dilakukan
fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang berlebihan atau
abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang batuknya sangat lemah.3
B. Pengelolaan Preoperatif
Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang
menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi yang
reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses inflamasi jalan napas.
Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator misalnya adalah empisema, tumor.3
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat bronkodilator
yang berisi -adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan kortikosteroid.2 Pada pasien
dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini
pasien sering mengalami dehidrasi.5
1. Manajemen Asma
Preparat yang digunakan untuk asma sebagai berikut :
1. Sympathomimetik atau agonis agen, menyebabkan brokodilator melalui Cyclic
adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi relaxasi otot polos bronkus.
Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan juga neurotransmiter kolinergik.
2. Selektif -adrenergik, umumnya diberikan secara inhalasi dan sampai saat ini
merupakan preparat yang paling efektif. Misalnya albuterol(ventolin) 2 puffs atau
lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam.
Salmeterol(serevent)
puff
dengan
MDI
setiap
12
jam
dan
metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau
0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan terapi bloker hendaknya bloker yang tidak menimbulkan spasme bronkus seperti
atenolol atsumetropolol atau esmolol.3
3. Campuran 1 dan 2 adrenergik termasuk epinefrine (Adrenalin), isoproterenol
(Isuprel) dan isoetharin (Brokosol). Efek samping takikardi dan arithmogenik
membahayakan pada penderita penyakit jantung.
18
Teofilin
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling
memperkuat. Teofilin, sebagai bronkodilator, memiliki 2 mekanisme aksi utama di paru
yaitu dengan cara relaksasi otot polos dan menekan stimulan yang terdapat pada jalan
nafas (suppression of airway stimuli). Mekanisme aksi yang utama belum diketahui
secara pasti. Diduga efek bronkodilasi disebabkan oleh adanya penghambatan 2 isoenzim
yaitu phosphodiesterase (PDE III) dan PDE IV. Sedangkan efek selain bronkodilasi
berhubungan dengan aktivitas molekular yang lain. Teofilin juga dapat meningkatkan
kontraksi otot diafragma dengan cara peningkatan uptake Ca melalui Adenosin-mediated
Chanels
2)
Aminofilin
Pada serangan asma akut reversible berat yang berhubungan dengan bronkitis
kronis dan enfisema digunakan aminofilin. Aminofilin merupakan kompleks 2:1 dari
Teofilin dan etilendiamin. Teofilin sebagai z.a untuk antiasma. Etilendiamin digunakan
agar terbentuk kompleks aminofilin yang mudah larut dalam air. Bentuk pemberian
adalah injeksi iv yang digunakan dalam wadah dosis tunggal ampul. Tidak perlu
ditambahkan pengawet karena sediaan dalam wadah dosis tunggal. Sterilisasi akhir
dengan autoklaf karena za tetap stabil pada pemanasan tinggi. Pemberian aminofilin
dengan cara :
a)
awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit
b)
Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan
separuhnya.
c)
19
menginduksi
CYP
1A2
(seperti:
Aminoglutethimide,
Phenobarbital,
2)
3)
4)
5)
Kortikosteroid yang diberikan jangka panjang dapat menimbulkan efek samping oleh
karena itu dianjurkan pemberian melalui inhalasi (misalnya budesonide, beclometason)
digunakan dengan dosis maximal 2000 mcg, sangat efektif dalam mengendalikan gejala
asma dan mengendalikan ekserbasi.4Bila pemberian kortikosteroid secara inhalasi belum
bisa mengontrol serangan asma maka dianjurkan pemberian parenteral. Koortikosteroid
yang biasa digunakan parenteral adalah 1-2 mg/kgBB Hydrocortyson atau100mg IV per 8
jam dan methylprednisolon 40-80 mg IV per 4-6 jam atau 0,8 mg/kgBB.3
Sodium Cromolyn dan sodium nedokromil adalah preparat inhalasi yang
digunakan sebagai profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini melalui stabilisasi
membrane mast sel dan anti inflamasi.
Mucolytics
1)
2)
20
3)
4)
2. Premedikasi7
1. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan
asma berat dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini penting diberikan
pada pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.
2. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih
yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil14
3. Anticholinergik pemberian dilakukan jika terdapat sekresi berlebihan atau
penggunaan ketamin sebagai agen induksi Antikolinergik tidak efektif untuk
mencegah reflek bronkospasme oleh karena tindakan intubasi.2
4. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara teori
dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 sera normal akan menyebabkan
bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1 yang tanpa
hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan bronkokonstriksi.2
5. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau
kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80 mg) 12 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai proses
pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama glukokortikoid harus
diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison 50100mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama 1-3 hari post operasi.2,9
6. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium dalam
dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.9,10
21
2.6.
pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi khusus
atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap sadar, mampu
mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan kombinasi general
anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan atau untuk mengendalian nyeri
postoperatif.
A. Regional Anestesi
Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah.
Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan
(intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat
memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi kemampuan
untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi atau bahkan
terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk
bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah(T1-T4) dan
menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan
anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah
hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya
dilakukan dengan general anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan
penggunaan regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi
dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada
tahap kritis pembedahan.
B. Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi
dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan
dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin, meperidin)
harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi
umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi.
Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum
intubasi dan stimulasi pembedahan.
1. Agent Inhalasi
22
23
dapat memicu bronkospasme jika dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan
antikolinergic (atropin 2 mg atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.
3. Muscle Relaxant
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan adalah
perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran ACH endogen,
inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan sekresi jalan napas dan
dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan antagonis
muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate 0,5 mg untuk meminimalkan efek
samping muskarinik. Alternatif lain dapat digunakan muscle relaxan short acting.
Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan histamin tetapi secara umum
dapat digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien asma.
C.
penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari gelombang
dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya. Jika tidak hilang
maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube endotracheal dari kekakuan, balon
yang terlalu keras, intubasi endobronchial, tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem
pulmo
atau
emboli
dan
pneumothorak
semua
dapat
menyebabkan
bronkospasme.2 Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta adrenergik agonist baik
secara aerosol atau inheler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas (gas pembawa yang
menggunakan
dosis
terukur
dapat
berinterferensi
dengan
pembacaan
massa
spectrometer). Tehnik pemberian ini adalah secara matered dose inheler, berikan 5-10
puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma sedang sampai berat perlu
diterapi dengan aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang
tidak menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB
intravena lebih dari 20 menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma
dengan
serangan
asma
berat
sebaiknya
diberikan
ventilasi
bantuan
untuk
mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah (610 napas/menit) volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.9
Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat dapat
mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi pada
beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat
24
Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator dilanjutkan lagi
sesegera mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui nebulator
atau sungkup muka. Sampai pasien mampu menggunakan MDI (Meteroid Dose Inheler)
sendiri secara benar.3,13
1. Buka penutup dan pegang inheler tegak
2. Kocok inhaler
3. Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc
4. Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut
5. Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam 3-5
detik
6. Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai paruparu
7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator bisa
membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini perlu untuk
memberikan dosis yang benar
8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi kriteria
sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan naps selama 5 detik atau lebih
25
nondepolarising
dengan
antikolinesterase
tidak
menimbulkan
brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang teridentifikasi
resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada
dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post operatif adalah hal yang penting
menurunkan bronkospasme.17 Masalah berikut yang terjadi pasca bedah adalah penurunan
volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena
terjadi penurunan VA (Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity).
Penurunan VA diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn
dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi,
narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia gravis,
Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada neervus phrenicus.
Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung, bronkospasme.
Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan pneumonia.
Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi endobronkhial,
penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura, cedera nervus phrenicus.
Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang merupakan predisposisi timbulnya
atelektasis sehingga mobilisasi dini akan menurunkan angka kejadian komplikasi ini.
Latihan napas dalam dan incentive spirometry merupakan cara yang sama
efektifnya untuk mengembangkan paru dan mempertahankan FRC atau dengan continous
positive airway pressure (CPAP) dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan
latihan napas dalam. Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca
bedah akan mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah
mobilisasi.3
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :
1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support
2. FEV atau PEV < 50%
3. PCO2 > 50 mmHg
4. PO2 < 50 mmHg
5. Pasien nampak bingung dan lemah
26
BAB V
KESIMPULAN
1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang
penyempitan
27
DAFTAR PUSTAKA
28
2. Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in Clinical
Anaesthesiology third edition, page : 571-576.
3. Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan
Pernapasan dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133.
4. Karnen B, 1999 : Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, hal : 21-39.
5. Oberoi G, Phillip G, 2000 : Management of some Medical Emergency Situation,
Mc. Graw Hill, page : 315-318
6. Stoelting R.K, 1999 : Pharmacology in Pharmacology and Physiology in
Anaesthetic Practice, Fourth edition, Lippincott William & Wilkins, page : 253418.
7. Kevin C. Dennehy and Kenneth E. Shepherd, 2002 : Specifik Consideration with
Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Prosedures of the Massachusetts
General Hospital, six edition Lippincott Williams & Wilkins page : 33-41
8. Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.
9. Mark R. Ezekeil, MD,MS. Pulmonary disease, Handbook of Anesthesiology,
Current Clinical Strategies, 2004-2005 edition page : 34-35
10. St. Mulyata.2004 : Clinical Problem Solving In Postanesthesia Care Unit dalam
Konggres Nasional VII IDSAI di Makasar, hal : 305-306.
11. Faisal Y, 2002 : Terapi Controller pada Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru
Milenium 2002, Surabaya hal : 1-6.
12. Taib S, 2002 : Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan Ilmiah
Paru Milenium Surabaya, hal : 1-16.
13. William R. Solomon, 2002 : Pathologi, Konsep Klinis Proses-prose Penyakit hal:
171-186.
14. Gal, TJ, 2002, Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS 2002
Review Course Lectures, USA.
15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.
16. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. From
bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000
; 161:1720-45.
29
30